Share

02. LAKSANA SEORANG AYAH 2

   Suasana jalan masih terlihat lengang ketika aku menuju rumah. Setelah menutup kembali pintu pagar rumah ustadz Ahmad yang terbuat dari besi yang kokoh. Kumelangkah menelusuri beberapa gang kecil yang berkelok-kelok.

 

Rumahku berada paling pojok di ujung gang, dan terbuat dari batako yang telah rapuh. Bertingkat dua dan ukurannya sangat kecil. Hanya terdapat dua kamar tidur, di bawah dan di atas, hanya cukup untukku dan Umi. Tidak seperti tempat tinggal pada umumnya yang besar dan rapih.

 

Lantai rumahku hanya terbuat dari tumpukan pasir dan semen yang di ratakan tanpa ubin. Walaupun keadaan kami demikian, Umi selalu di hormati di wilayah ini. Sesampainya di rumah, kulihat asap yang keluar dari dapur belakang yang kotor dan berdebu.

 

Sepertinya Umi sedang menggoreng kripik singkong menggunakan kompor minyak tanah berwarna hijau yang terbuat dari kaleng. Itu satu-satunya yang kami miliki.

 

Ayahku telah meninggal saat aku berumur dua tahun. Yang tertinggal dari peninggalannya hanya sebuah motor butut yang kupakai mengantarkan keripik ke warung-warung untuk di jual. Kulangkahkan kaki memasuki rumah dengan kaki kanan.

 

Tak lupa kuucapkan salam. Sepertinya Umi tidak mendengar suara salamku. Kumelangkah kedapur, disana Umi dengan penuh semangat menyelesaikan pekerjaannya.

 

“Sudah pulang Mal?” Tanya Umi yang fokus dengan pekerjaannya dan tak menoleh kearahku.

 

“Sudah Umi.”  Tanpa banyak bicara segera kunaik kekamar atas untuk bersiap-siap. Berganti pakaian dan sedikit sisiran.

 

   Kulihat jadwalku hari ini, kamis tanggal dua belas ada rapat rihlah rohis jam sebelas siang dan sore hari aku mengajar TPA. Dan kamis minggu depan rapat rihlah, jumat, sabtu, minggu pelaksanaan acara rihlahnya yang dilaksanakan dipuncak.

 

Jadwal lainnya masih terlihat kosong, belum ada janji. Setelah itu kubuka jendela kamar yang penuh debu. Terlihat bulan mulai menyingkir keperaduan, Angin bersemilir silih berganti, burung-burung berkicau tanpa henti menyambut kedatangan sang fajar.

 

Jarum jam menunjukan pukul enam pagi. Aku harus segera mengantarkan keripik ke warung-warung langganan Umi. Kuturun melewati tangga yang tipis dan reot.

 

Berjualan keripik sudah di lakoni Umi sejak ayah meninggal. Tapi Umi tidak pernah menyerah dan putus asa. Ia berusaha keras mencari nafkah untuk kami.

 

“Mal, ini titipan keripiknya, Jangan lupa kita harus bersikap ramah kepada semua warung langganan kita. Karena hanya itu yang kita bisa berikan kepada mereka. Hanya memberikan senyum dan memberikan penghormatan yang tinggi kepada mereka agar silaturahmi kita dengan mereka tetap terjaga.”

 

“Iya Umi, sebentar aku keluarkan motor dulu.”

 

Kupegang stang sepeda motor lalu kumundurkan perlahan hingga sampai depan pintu rumah. Ruangan rumah yang kecil membuat motor ini sangat sulit dikeluarkan. Umi memberikan keripik di depan pintu rumah.

 

“Mal, Ini ada tiga ratus kantong, hati-hati bawanya, jangan sampai jatuh ya? dan sekalian minta uang bayaran yang kemarin kepada semua warung.”

 

“Iya Umi. Mohon doanya.”

 

   Kucium tangannya penuh syahdu untuk memperoleh restu. Hanya Umi orang tua satu-satunya yang kumiliki. Aku sangat sayang dengannya. Karena surgaku ada di telapak kakinya.

 

“Hati-hati ya Mal.”

 

“Iya Umi.”

 

   Segera aku meluncur kesepuluh warung yang jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar beberapa kilo dari rumah. Tapi yang membuatku lama adalah aku harus mengantar kesepuluh warung dan melintasi jalan yang berkelok-kelok dan kecil.

 

Pada  setiap warung aku harus menitipkan tiga puluh kantong. Untuk satu keripik Umi menjual seharga seribu rupiah. Kalau di hitung-hitung cukuplah untuk makan sehari-hari.

 

Selain berjualan, Umi juga mengajar ibu-ibu pengajian di Masjid Al-Irsyad, dan aku membantu mengajarkan anak-anak TPA setiap kamis sore. Hari ini tugasku yang mengajar.

 

Uang suka rela hasil mengajar aku gunakan untuk kebutuhanku sehari-hari dan sisanya kutabung untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Di warung ko Ahong jualan kripik yang kemarin baru habis lima belas kantong, masih sisa setengahnya.

 

   Kulanjutkan ke warung-warung yang lain. Aku ingat nasehat Umi agar selalu bersikap ramah kepada semua pemilik warung. Dari semua warung yang aku kunjungi ternyata hasil jualan kripik Umi tak semuanya habis, dari seluruhnya aku hanya membawa uang seratus tujuh puluh ribu rupiah. Itu juga penjualan selama lima hari.

 

   Astaghfirullah, Tiba-tiba teringat titipan ustadz Ahmad untuk Umi belum aku berikan, hampir saja aku lupa. Ini adalah sebuah amanat yang harus aku berikan. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali lupa, padahal sedang tidak ada satupun yang aku pikirkan.

 

Tak terasa sudah setengah jam aku berkeliling. Matahari sudah mulai meninggi ke angkasa, menyinari seluruh alam dengan sinar keemasannya. Terlihat Jalan-jalan mulai padat oleh kendaraan bermotor yang berdesak-desakkan.

 

Semua orang mulai terlihat sibuk pergi mencari nafkah. Jakarta pagi hari sudah seperti lautan kendaraan yang berbaris menuju persingahannya masing-masing.

 

   Warung terakhir yang kusinggahi adalah warung haji jaja, beliau yang paling ramah dari yang lain. Setiap aku datang, beliau selalu membuatkan aku teh manis dan memberikan sarapan untukku. Tapi kali ini ibu Hamadah yang membuatkannya. Beliau Istrinya pak jaja, teman sekolah Umi waktu kecil.

 

Mereka sangat akrab dan sudah seperti saudara kandung. Wajahnya juga sedikit mirip, tak heran bila ibu Hamadah sayang denganku, karena beliau tidak mempunyai keturunan. Kuberikan titipan kripik dan mengambil hasil yang telah laku terjual. Sebelum aku pulang, Ibu Hamadah membungkuskan nasi dan lauk untuk sarapan Umi.

 

“Ini untuk sarapan ibumu Mal, aku yakin dia pasti belum makan, ambillah.” Ujar ibu Hamadah.

 

   Aku tak bisa berkata-kata. Aku ingin sekali menolak pemberiannya. Aku tak ingin selalu merepotkannya. Tapi apabila aku menolaknya nanti ibu Hamadah pasti akan marah padaku. Yang aku tau ibu Hamadah juga salah satu pelanggan setia Umi. Jadi aku tak ingin mengecewakannya.

 

“Makasih bu.” Jawabku haru.

 

“O  ya mal, aku dengar kabar dari temanku yang tinggal di dekat rumahmu katanya Fatimah sakit ya? Sakit apa?”

 

“Iya, Memang beberapa hari lalu Umi sakit flu dan meriang selama dua hari, Tapi, Alhamdulillah sekarang sudah sembuh, dansudah sehat kembali.”

 

“Syukur Alhamdulillah, kalau ibumu sudah sehat. Bilang padanya jangan terlalu di porsir tenaganya, nanti bisa ngedrop lagi. Emang ibumu itu seorang pekerja keras sejati, semua pekerjaan ia lakoni tanpa kenal lelah, dari jual kripik, ngajar ngaji sampai mengerjakan pekerjaan rumah. Wah kalau aku sih nggak sanggup deh, Makanya aku minta pakai pembantu. Satu lagi, Jangan lupa sekalian salam buat ibumu ya Mal? Kapan-kapan suruh ia main kemari, bilang aku kangen dengannya.”

 

“Iya bu, nanti akan saya sampaikan. mari bu, Assalamu’alaikum.”

 

Wa'laikumussalam.”

 

   Saat aku memalingkan badan dan melangkah menuju sepeda motor, tiba-tiba telingaku menangkap ada suara yang memanggil-mangil namaku dari dalam rumah. Kuhentikan langkah, suaranya seperti sudah kukenal. Ternyata pak Jaja berlari keluar dari dalam rumah dengan membawa sebuah kantong plastik berwarna hitam.

 

“Mal, ini ada baju koko, aku sudah tak muat memakainya, sepertinya cocok untukmu. Ambillah?”

 

“Terima kasih Pak Jaja.” Jawabku senang.

 

“Hati-hati di jalan ya Mal.” Saut Pak Jaja dengan senyumnya sambil membetulkan sarungnya yang kedodoran.

 

“Iya, terima kasih Pak.”

 

   Kupacu sepeda motor dengan segera, hatiku terasa berbunga-bunga bisa mendapatkan baju koko dari pak jaja yang sangat bagus berwarna biru terang. Aku tidak pernah punya baju koko sebagus ini.

 

Baju koko adalah salah satu pakaian kesukaanku, sangat sopan untuk di pakai kemana saja dan kapan saja. Aku sering sekali memakai baju koko untuk kegiatanku sehari-hari. Tapi lebih sering lagi aku pakai untuk mengajar di Al-Irsyad. Kata Umi, kalau aku mengenakan baju koko akan terlihat tampan seperti almarhum ayah.

 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status