Share

03. AIR MATA UMI

Penulis: Dayat_eMJe
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-30 05:21:58

   Waktu sudah menunjukan pukul delapan pagi. Kutelusuri jalan dan gang kecil yang berkelok-kelok, suara bising kereta api sesekali terdengar membuat telingaku gatal. Tepat di depan mataku terdapat sekelompok anak-anak kecil sedang berlari-larian kesana kemari.

 

Beberapa di antara mereka ada juga yang bermain sepeda-sepedaan. Sepertinya beberapa dari mereka adalah murid-muridku di TPA Al-Irsyad. Umur mereka sekitar dua sampai empat tahun. kuhentikan sepeda motor sejenak untuk mengamati mereka bermain. Serentak mereka melihat wajahku lalu berlari menghampiriku dan berebut mencium tanganku.

 

“Itu kak Akmal, Kak Akmal…” teriak mereka gembira.

 

Mereka berebut mencium tanganku. Setelah mereka bersaliman denganku mereka melanjutkan bermain. Aku kembali menjalankan motorku dengan perlahan. Sesampainya di rumah, kulihat Umi sedang sibuk menjemur pakaian. Sepeda motor kuparkir di pinggir selokan kecil depan rumah. Umi melihatku sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya, kuhampiri dan kucium tangannya yang sedikit bau sabun.

 

“Bawa apa itu Mal?” Tanya Umi.

 

“Sarapan, untuk Umi dari ibu hamadah dan yang ini baju koko pemberian dari pak Jaja untukku.”

 

Terlihat Umi menarik nafasnya dalam-dalam. Ia terharu dengan pemberian ibu hamadah dan pak jaja. Aku tau, mungkin Umi merasa kalau kita tak ada habis-habisnya dibantu. Umi takut tidak bisa membalas pemberiannya. Kami sudah banyak merepotkan.

 

“Aku Bantu ya Umi?” tanyaku ingin membuatnya ceria.

 

“Nggak usah, kamu istirahat saja di dalam, sebentar lagi juga selesai. Lagian kalau kamu bantu nanti tangan kamu bau sabun.”

 

“O iya Mi hampir aku lupa, tadi Ibu Hamadah berpesan katanya Umi di suruh main kerumahnya. Katanya Ibu Hamadah kangen sekali sama Umi.”

 

“Iya Insya Allah, nanti lain waktu kamu mau kan antar Umi berkunjung kerumah Ibu Hamadah?” tanya Umi sambil memeras baju untuk di jemur di atas tali rapiah yang sudah kendur di pinggiran rumah.

 

“Pasti Umi. Dengan senang hati aku akan mengantar Umi.”

 

   Setelah panjang lebar berbincang, aku beranjak masuk ke dalam rumah, menunggu untuk memberikan uang hasil keripik dan amplop dari ustadz Ahmad. Kududuk di kursi panjang yang terbuat dari bambu yang di atasnya terdapat dua bantal kecil, dan depan bangku itu terdapat satu meja kecil yang ditengahnya di beri vas bunga berwarna hijau.

 

Siapapun yang datang berkunjung kerumah pasti akan di jamu di kursi itu. Itu kursi satu-satunya yang kami punya. Sambil menunggu, kuangkat vas bunga dan kutaruh di bawah kolong meja, lalu kubentangkan kaki ke atas meja. Badanku sedikit pegal dan perutku terasa kenyang.

 

Rumah ini terasa begitu hening, tidak ada televisi untuk sekedar menghibur. Yang ada hanya sebuah radio butut yang dinyalakan setiap pagi untuk mendengarkan siaran Assafii’yah. Umi sangat senang siaran itu, disana banyak ceramah-ceramah islami yang dapat menambah ilmu agama. Atau biasanya, Umi menghabiskan waktu senggang dengan membaca al-Qur’an sambil menyiapkan materi untuk mengajar ibu-ibu di Al-Irsyad.

 

   Setiap ingin menonton televisi aku selalu pergi berkunjung kerumah Irfan. Biasanya untuk menonton siaran pertandingan bola liga eropa atau Dunia. Irfan salah satu sahabatku sejak SMP. Rumahnya tak jauh dari rumahku, hanya sekitar tiga ratus meter. Ia juga teman kampusku disalah satu organisasi, yaitu rohis. Sekarang Irfan menjabat sebagai ketua rohis.

 

Aku sangat akrab dengannya, Orangnya ramah dan senang bergaul. Orang tuanya memiliki usaha travel untuk umrah dan pemberangkatan Haji. Umi pernah berkata padaku, kalau suatu saat Allah memberikan rezeki untuk Umi naik haji, Umi mau mendaftar di tempat orang tua Irfan. Pembicaraan Umi tentang naik Haji membuatku seperti mendapatkan cambukan yang sangat keras. Aku sebagai anak merasa bertanggung jawab dengan keinginan Umi,

 

Aku ingin sekali mewujudkan keinginannya untuk naik haji. Sejak saat itu semangat belajarku begitu tinggi dan selalu mendapatkan nilai yang terbaik di kampus. Aku harus menjadi seorang yang dapat di andalkan dan berhasil, agar aku dapat membahagiakan Umi.

 

Yang membuat aku kagum dengan Irfan apabila ia memiliki waktu senggang, dengan senang hati ia membantuku mengajar anak-anak TPA di Masjid al-Irsyad. Irfan selalu menjemputku berangkat ke kampus dengan menggunakan mobilnya apabila cuaca sedang hujan. Kampusku terletak di jalan srengseng sawah, perbatasan Jakarta dengan depok. Entah kenapa tiba-tiba mataku mulai mengantuk. Saat ingin memejamkan mata tiba-tiba Umi,

 

“Kamu ngantuk Mal?”

 

“Sedikit Umi.” jawabku datar.

 

Ia langsung duduk di sampingku dan mengusap kepalaku.

 

“Gimana Mal, laku berapa kripiknya?”

 

“Baru laku seratus tujuh puluh bungkus. Di setiap warung selalu saja kripik kita tersisa, jadi aku biarkan saja. Lalu aku bilang kepada mereka biar di tambah saja.”

 

“Lalu mereka menyetujuinya?”

 

“Iya, untunglah mereka menyetujuinya. Kalau tidak pasti kita bisa bisa bangkrut.”

 

   Kemudian Umi menarik napasnya. sepertinya ia mulai kecewa dengan hasil jualannya akhir-akhir ini yang sangat menurun. kukeluarkan uang pembayaran keripik dan sebuah amplop berwarna putih yang sudah terlipat-lipat olehku hingga kusut.

 

“Apa ini Mal?”

 

“Seperti biasa Umi, pemberian dari ustadz Ahmad untuk Umi. Terus beliau juga titip salam untuk Umi, katanya lain waktu mau mampir.”

 

Serentak Umi terdiam sambil menundukkan wajahnya perlahan, kulihat air matanya mulai berlinang dan menggumpal di pelupuk matanya. Seperti ada sesuatu yang tertahan di dalam dadanya dan  ingin ia ungkapkan namun terasa berat.

 

“Kenapa Umi ..? aku salah yah ..?” tanya ku risau, dan sedikit terkejut dengan perubahan sikapnya saat ini. kupegang kedua tangannya sambil menatapnya kemudian kutanyakan lagi,

 

“Cerita padaku, ada apa? Ada apa Mi? Jawab Umi?”

 

mendengar desakan dan kepanikanku Umi segera mengangkat kepalanya dan menatapku, air matanya menetes jatuh mengenai tangan kananku. Aku heran, kenapa akhir-akhir ini Umi sangat-sangat sensitif dan murung.

 

“Umi sedih, kerena kita selalu saja di bantu ustadz Ahmad dan ibu Hamadah, Umi hanya takut tidak dapat membalas pemberian mereka. Umi hanya bisa mendoakannya di setiap shalat Umi. Coba kalau ayahmu masih hidup dan ia mau menuruti kata-kata Umi, Pasti ia masih bersama-sama kita sekarang.”

 

“Kenapa Umi bicara begitu!, emang dulu ayah kenapa Umi?” Tanyaku Penasaran pada Umi.

 

Umi mulai menangis terisak-isak, wajahnya seketika memerah. Lalu ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku terdiam menatapnya. Tak lama kemudian Umi bangkit kembali dan menghapus air matanya.

 

“Mal, Umi rasa sudah saatnya Umi menceritakan semuanya padamu. Kamu harus tau apa yang terjadi selama ini dengan Umi dan ayahmu, dan siapa ayahmu sebenarnya, untuk kau jadikan pelajaran.” 

 

“Iya Umi.” Jawabku singkat.

 

“Begini ceritanya. Umi adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang tinggal di daerah rawa belong, slipi. Semua saudara Umi perempuan dan telah menikah dengan saudagar mesir untuk di jadikan istri kedua. Hanya Umi yang tidak mau, Umi tetap ingin menikah dengan lelaki bujang.

 

Setelah beberapa tahun adik-adik Umi menikah, bapak menjodohkan umi dengan ayahmu. Dia seorang sarjana kedokteran yang cukup kaya dan terpandang di daerah tempat tinggal Umi. Umi menyetujui perjodohan itu. Ayahmu sudah mapan dan memiliki tempat tinggal yang bagus dan mempunyai dua buah mobil pribadi. Setelah menikah, entah kenapa ayahmu terobsesi ingin menjadi lebih kaya lagi dari apa yang sudah ia dapatkan."

 

*******

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   24. TOKO PULSA MERIAH

    Setelah menyelesaikan urusanku dikampus aku langsung bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamarku, dan aku coba menanyakan bagaimana kabar Anisa pada Irma melalui sambungan telpon. Karena aku belum sanggup untuk perjalanan jauh lagi, ini semua di akibatkan dua mahasiswa tekhnik suruhannya Dini yang tadi memukuliku di perpustakaan.Aku duduk di atas kasur lalu ku ambil handphone di saku celana dan menelpon Irma,"Assallamu'alaikum.""Wa'alaikumussallam, kau tak jadi datang kesini Mal?" Tanya Irma di sebrang sana."Maaf Ma, badanku tiba-tiba terasa sangan pegal sekali. Jadi tadi selesai dari kampus aku langsung pulang ke rumah.""Oh ya

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   23. ANCAMAN KERAS

    Setelah dari rumah Irma, aku langsung berangkat menuju kampus untuk mengembalikan buku-buku akhir semester yang pernah aku pinjam di perpustakaan, sekaligus mendaftar pengisian jadwal mata kuliah baru yang hanya di selenggarakan hari ini.Dalam perjalanan aku merasa baru mengerti dan sadar kenapa Anisa menitipkan jilbab hitamnya padaku waktu di puncak. ternyata ia takut kalau jilbabnya akan di buang dan ia juga akan disiksa oleh ayahnya. Aku terus berpikir bagaimana mencari jalan keluar untuk membantu Anisa. Ia tidak mungkin selamanya berada di rumah Irma. Ia secepatnya harus di pindahkan ke tempat yang lebih aman.Tempat dimana Anisa bisa mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Aku yakin cepat atau lambat orang tua Anisa pasti akan mencari Anisa, mereka tidak akan membiarkan Anisa hilang begitu saja. Aku mulai terpikir un

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   22. PENGAKUAN ANISA

    Irma berusaha menenangkan Anisa dengan memberikan pelukan hangat sambil mengusap-usap punggungnya. Wajah Anisa pucat, tubuhnya lemas, dan terdapat luka memar di pipi dan bibirnya. Itu pasti akibat tamparan keras ayahnya semalam. Irma menyuruh Anisa menceritakan pada kami apa yang terjadi. Tapi ia malah terus menangis. Aku memberikan kode pada Irma agar Anisa dibiarkan saja dulu. Karena Aku harus pergi ke kampus nanti aku kembali. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Anisa memutuskan untuk bercerita saat ini juga, Irma kembali duduk disamping Anisa dengan wajah tertunduk. Kutunggu Anisa bicara, sambil ku alihkan pandangan agar aku tidak menatapnya. Lalu ia mulai bicara sambil terisak-isak, "Mal, aku mau minta maaf atas perilaku Dedi dan Orang tuaku yang telah menyakitimu. Semalaman aku telah disiksa oleh Ayah. Ayah bilang semala

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   21. KABAR BURUK

    Kupacu sepeda motorku dengan cepat menjauh dari rumah mewah tersebut. Setibanya di pertengahan jalan raya menuju rumah, aku dikejutkan oleh suasana jalan yang terlihat lengang dan sepi. Seperti tidak ada aktivitas. Aku menghentikan sepeda motorku sejenak. kulihat Batu-batu besar berserakan di tengah-tengah jalan. sekelompok polisi terlihat sedang berjaga-jaga dan memblokade jalan.Aku mulai panik, mungkin baru saja terjadi tawuran antar warga. Pasti anak-anak kampungku telah berbuat ulah kembali. Baru saja tiga bulan yang lalu berdamai dengan kampung sebrang, dan sekarang sudah bertikai kembali. Kuhampiri pak polisi itu dan meminta izin agar aku bisa pulang kerumah, merekapun membuka blokade dan mengizinkanku masuk. Saat aku melewati pos kemanan aku bertemu sekelompok anak-anak muda kampung yang sedang berjaga-jaga. Wajah mereka terlihat marah dan geram seperti api yang memb

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   20. MENGANTARKANMU PULANG

    Sambil menunggu Anisa di dalam masjid, Pak Iman menawarkanku bertadarus Al-Qur'an bersama usai shalat maghrib sampai menjelang Is'ya. Aku tersanjung mendengar tawarannya. Beliau mengajariku membaca Al-Quran dengan makhorijul huruf yang benar. Beliau memintaku membaca surat Al-Baqarah, aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali beliau membetulkan bacaanku. Tak terasa waktu shalat Isy'a tiba. Beliau menyuruhku mengumandangkan Adzan. Aku ikuti permintaannya. Alhamdulillah, suaraku tidak terlalu buruk. Masih cukup banyak masyarakat yang datang menunaikan shalat usai mendengar suaraku. Beliau tersenyum padaku. Usai shalat pak Iman pamit pergi kerumah temannya yang sakit. Ia mengajakku, tapi aku bilang aku sudah ada janji. Masjid masih terlihat ramai, ada beberapa orang sedang berzikir dan membaca Al-Qur'an.

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   19. UNDANGAN DAN ANCAMAN

    Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   18. SELEPAS KEPERGIAN USTADZ AHMAD

    Pagi hari kira-kira pukul empat subuh. Hujan rintik-rintik perlahan turun mengguyur kota jakarta yang masih terlihat lengang. Seperti biasanya kota jakarta baru akan ramai pada pukul setengah enam pagi, dimana masyarakatnya berbondong-bondong pergi menuju kantornya masing-masing. Usai shalat shubuh, Umi sibuk membereskan perlengkapan rumah. Perabotan yang tidak terlalu penting dimasukan ke dalam kardus, untuk mencicil persiapan pindah bulan depan. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak shalat shubuh di masjid, tapi di rumah berjamaah dengan Umi. Aku masih sedih dengan kepergian ustadz Ahmad. Kejadian ustadz Ahmad yang tiba-tiba jatuh saat menjadi imam, masih terngiang-ngiang di dalam otakku. Bagaimana aku tidak sedih. Setelah mendengar pemberitahuan meninggalnya ustadz Ahmad dari beberapa menara masjid, aku dan Umi segera berlari kembali kerumah beliau. Kesedihanku sudah ti

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   17. KEPERGIAN SANG USTADZ

    Ketika aku tersadar Umi sudah berada disisiku. Ia membangunkanku dengan cara mengelus-elus pipi. Kepalaku masih terasa berat dan kakiku terasa pegal-pegal. Ini karena hampir seharian aku berjalan kaki. Kutanyakan padanya jam berapa sekarang? Umi menjawab jam empat lewat sepuluh menit. Lalu kutanya lagi, apakah hari ini hari senin? Umi menjawab iya. Kemarin aku sudah tidak mengaji dengan ustadz Ahmad. Beliau pasti menayakanku. Aku bertanya kembali pada Umi, pakah kemarin Ustadz Ahmad datang kerumah? Umi menjawab Iya. Aku yakin Umi pasti sudah menjelaskan kenapa aku tidak datang ke masjid. Hari ini aku harus bertemu dengan ustadz Ahmad dan aku harus minta maaf padanya. Tiba-tiba tanganku terasa sangat sulit digerakkan. Umi berusaha memijat tubuh dan tanganku. Tapi ku bilan

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   16. PERMOHONAN DI ATAS SAJADAH

    Hujan deras mengucur berkali-kali, langit sesekali diterangi kilat yang menyambar kesana- kemari, dengan dinyanyikan suara guntur menggelegar hebat. Aku berjalan dipayungi hujan, menjejakkan langkah menuju rumah dengan membawa tas ransel dan penggorengan. Aku diam-diam pergi dari rumah itu saat mereka tertidur lelap. Hatiku seperti teriris-iris. Aku telah di siksa dan di nodai oleh Dini. Ya Allah apa yang telah aku perbuat sungguh-sungguh memalukan dan sangat-sangat memalukan! Aku telah terjerumus lembah nista dan terperosok dalam jurang kesesatan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bukannya aku merubah mereka agar menjadi benar tapi malah aku yang ikut terjerumus. Sungguh tak kusangka susu yang kuminum membuatku tak sadarkan diri. Tubuhku dinodai dan ditelanjangi tanpa sehelai benangpun. Aku telah

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status