Share

03. AIR MATA UMI

   Waktu sudah menunjukan pukul delapan pagi. Kutelusuri jalan dan gang kecil yang berkelok-kelok, suara bising kereta api sesekali terdengar membuat telingaku gatal. Tepat di depan mataku terdapat sekelompok anak-anak kecil sedang berlari-larian kesana kemari.

 

Beberapa di antara mereka ada juga yang bermain sepeda-sepedaan. Sepertinya beberapa dari mereka adalah murid-muridku di TPA Al-Irsyad. Umur mereka sekitar dua sampai empat tahun. kuhentikan sepeda motor sejenak untuk mengamati mereka bermain. Serentak mereka melihat wajahku lalu berlari menghampiriku dan berebut mencium tanganku.

 

“Itu kak Akmal, Kak Akmal…” teriak mereka gembira.

 

Mereka berebut mencium tanganku. Setelah mereka bersaliman denganku mereka melanjutkan bermain. Aku kembali menjalankan motorku dengan perlahan. Sesampainya di rumah, kulihat Umi sedang sibuk menjemur pakaian. Sepeda motor kuparkir di pinggir selokan kecil depan rumah. Umi melihatku sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya, kuhampiri dan kucium tangannya yang sedikit bau sabun.

 

“Bawa apa itu Mal?” Tanya Umi.

 

“Sarapan, untuk Umi dari ibu hamadah dan yang ini baju koko pemberian dari pak Jaja untukku.”

 

Terlihat Umi menarik nafasnya dalam-dalam. Ia terharu dengan pemberian ibu hamadah dan pak jaja. Aku tau, mungkin Umi merasa kalau kita tak ada habis-habisnya dibantu. Umi takut tidak bisa membalas pemberiannya. Kami sudah banyak merepotkan.

 

“Aku Bantu ya Umi?” tanyaku ingin membuatnya ceria.

 

“Nggak usah, kamu istirahat saja di dalam, sebentar lagi juga selesai. Lagian kalau kamu bantu nanti tangan kamu bau sabun.”

 

“O iya Mi hampir aku lupa, tadi Ibu Hamadah berpesan katanya Umi di suruh main kerumahnya. Katanya Ibu Hamadah kangen sekali sama Umi.”

 

“Iya Insya Allah, nanti lain waktu kamu mau kan antar Umi berkunjung kerumah Ibu Hamadah?” tanya Umi sambil memeras baju untuk di jemur di atas tali rapiah yang sudah kendur di pinggiran rumah.

 

“Pasti Umi. Dengan senang hati aku akan mengantar Umi.”

 

   Setelah panjang lebar berbincang, aku beranjak masuk ke dalam rumah, menunggu untuk memberikan uang hasil keripik dan amplop dari ustadz Ahmad. Kududuk di kursi panjang yang terbuat dari bambu yang di atasnya terdapat dua bantal kecil, dan depan bangku itu terdapat satu meja kecil yang ditengahnya di beri vas bunga berwarna hijau.

 

Siapapun yang datang berkunjung kerumah pasti akan di jamu di kursi itu. Itu kursi satu-satunya yang kami punya. Sambil menunggu, kuangkat vas bunga dan kutaruh di bawah kolong meja, lalu kubentangkan kaki ke atas meja. Badanku sedikit pegal dan perutku terasa kenyang.

 

Rumah ini terasa begitu hening, tidak ada televisi untuk sekedar menghibur. Yang ada hanya sebuah radio butut yang dinyalakan setiap pagi untuk mendengarkan siaran Assafii’yah. Umi sangat senang siaran itu, disana banyak ceramah-ceramah islami yang dapat menambah ilmu agama. Atau biasanya, Umi menghabiskan waktu senggang dengan membaca al-Qur’an sambil menyiapkan materi untuk mengajar ibu-ibu di Al-Irsyad.

 

   Setiap ingin menonton televisi aku selalu pergi berkunjung kerumah Irfan. Biasanya untuk menonton siaran pertandingan bola liga eropa atau Dunia. Irfan salah satu sahabatku sejak SMP. Rumahnya tak jauh dari rumahku, hanya sekitar tiga ratus meter. Ia juga teman kampusku disalah satu organisasi, yaitu rohis. Sekarang Irfan menjabat sebagai ketua rohis.

 

Aku sangat akrab dengannya, Orangnya ramah dan senang bergaul. Orang tuanya memiliki usaha travel untuk umrah dan pemberangkatan Haji. Umi pernah berkata padaku, kalau suatu saat Allah memberikan rezeki untuk Umi naik haji, Umi mau mendaftar di tempat orang tua Irfan. Pembicaraan Umi tentang naik Haji membuatku seperti mendapatkan cambukan yang sangat keras. Aku sebagai anak merasa bertanggung jawab dengan keinginan Umi,

 

Aku ingin sekali mewujudkan keinginannya untuk naik haji. Sejak saat itu semangat belajarku begitu tinggi dan selalu mendapatkan nilai yang terbaik di kampus. Aku harus menjadi seorang yang dapat di andalkan dan berhasil, agar aku dapat membahagiakan Umi.

 

Yang membuat aku kagum dengan Irfan apabila ia memiliki waktu senggang, dengan senang hati ia membantuku mengajar anak-anak TPA di Masjid al-Irsyad. Irfan selalu menjemputku berangkat ke kampus dengan menggunakan mobilnya apabila cuaca sedang hujan. Kampusku terletak di jalan srengseng sawah, perbatasan Jakarta dengan depok. Entah kenapa tiba-tiba mataku mulai mengantuk. Saat ingin memejamkan mata tiba-tiba Umi,

 

“Kamu ngantuk Mal?”

 

“Sedikit Umi.” jawabku datar.

 

Ia langsung duduk di sampingku dan mengusap kepalaku.

 

“Gimana Mal, laku berapa kripiknya?”

 

“Baru laku seratus tujuh puluh bungkus. Di setiap warung selalu saja kripik kita tersisa, jadi aku biarkan saja. Lalu aku bilang kepada mereka biar di tambah saja.”

 

“Lalu mereka menyetujuinya?”

 

“Iya, untunglah mereka menyetujuinya. Kalau tidak pasti kita bisa bisa bangkrut.”

 

   Kemudian Umi menarik napasnya. sepertinya ia mulai kecewa dengan hasil jualannya akhir-akhir ini yang sangat menurun. kukeluarkan uang pembayaran keripik dan sebuah amplop berwarna putih yang sudah terlipat-lipat olehku hingga kusut.

 

“Apa ini Mal?”

 

“Seperti biasa Umi, pemberian dari ustadz Ahmad untuk Umi. Terus beliau juga titip salam untuk Umi, katanya lain waktu mau mampir.”

 

Serentak Umi terdiam sambil menundukkan wajahnya perlahan, kulihat air matanya mulai berlinang dan menggumpal di pelupuk matanya. Seperti ada sesuatu yang tertahan di dalam dadanya dan  ingin ia ungkapkan namun terasa berat.

 

“Kenapa Umi ..? aku salah yah ..?” tanya ku risau, dan sedikit terkejut dengan perubahan sikapnya saat ini. kupegang kedua tangannya sambil menatapnya kemudian kutanyakan lagi,

 

“Cerita padaku, ada apa? Ada apa Mi? Jawab Umi?”

 

mendengar desakan dan kepanikanku Umi segera mengangkat kepalanya dan menatapku, air matanya menetes jatuh mengenai tangan kananku. Aku heran, kenapa akhir-akhir ini Umi sangat-sangat sensitif dan murung.

 

“Umi sedih, kerena kita selalu saja di bantu ustadz Ahmad dan ibu Hamadah, Umi hanya takut tidak dapat membalas pemberian mereka. Umi hanya bisa mendoakannya di setiap shalat Umi. Coba kalau ayahmu masih hidup dan ia mau menuruti kata-kata Umi, Pasti ia masih bersama-sama kita sekarang.”

 

“Kenapa Umi bicara begitu!, emang dulu ayah kenapa Umi?” Tanyaku Penasaran pada Umi.

 

Umi mulai menangis terisak-isak, wajahnya seketika memerah. Lalu ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku terdiam menatapnya. Tak lama kemudian Umi bangkit kembali dan menghapus air matanya.

 

“Mal, Umi rasa sudah saatnya Umi menceritakan semuanya padamu. Kamu harus tau apa yang terjadi selama ini dengan Umi dan ayahmu, dan siapa ayahmu sebenarnya, untuk kau jadikan pelajaran.” 

 

“Iya Umi.” Jawabku singkat.

 

“Begini ceritanya. Umi adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang tinggal di daerah rawa belong, slipi. Semua saudara Umi perempuan dan telah menikah dengan saudagar mesir untuk di jadikan istri kedua. Hanya Umi yang tidak mau, Umi tetap ingin menikah dengan lelaki bujang.

 

Setelah beberapa tahun adik-adik Umi menikah, bapak menjodohkan umi dengan ayahmu. Dia seorang sarjana kedokteran yang cukup kaya dan terpandang di daerah tempat tinggal Umi. Umi menyetujui perjodohan itu. Ayahmu sudah mapan dan memiliki tempat tinggal yang bagus dan mempunyai dua buah mobil pribadi. Setelah menikah, entah kenapa ayahmu terobsesi ingin menjadi lebih kaya lagi dari apa yang sudah ia dapatkan."

 

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status