Share

DILAMAR MALAIKAT MAUT
DILAMAR MALAIKAT MAUT
Penulis: Dayat_eMJe

01. LAKSANA SEORANG AYAH 1

   Panggilan Adzan subuh dari ribuan menara yang bertebaran di kota Jakarta hanya mampu menggugah hati mereka yang benar-benar tebal imannya. Meskipun hanya untuk sholat berjamaah di Masjid.

 

Mereka yang memiliki tekad beribadah dalam segala musim dan cuaca, seperti mercusuar yang tegak berdiri dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan terik matahari. Ia tiada kenal lelah, tetap teguh pendiriannya seperti yang di titahkan Tuhan sambil berdoa siang dan malam.

 

Akmal, begitu para teman-temanku dan orang-orang memanggilku. Nama lengkapku Akmal Raka Maulana, kata Umi nama Akmal di ambil dari kata Kamil yang bermakna lengkap atau sempurna. Ayah memberi nama itu karena merasa lengkap dan sempurnalah kehidupan mereka dengan kehadiranku saat itu.

 

Sedangkan arti dari nama lengkapku adalah seorang pemimpin yang cerdas dan lebih sempurna, orang tuaku berharap, kelak aku bisa menjadi pemimpin yang cerdas dan juga sempurna, bukan hanya di bidang akademis saja, tapi di bidang agama juga.

 

Pagi ini aku membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu yang sedikit rapuh untuk melaksanakan panggilan ilahi. Aku menongah ke atas, di sana terdapat ribuan bintang berkilauan indah terpancar seperti sedang bertasbih menyahut Asma Allah. Hampir setiap hari di jam yang sama aku selalu melihat keindahan baru, keindahan yang tidak pernah sama setiap harinya.

 

Keindahan yang tidak dapat dilukiskan secara nyata di atas kanvas oleh pelukis manapun. Yang aku tau keindahan itu hanya bisa di rasakan, dinikmati dan dihayati oleh orang-orang yang selalu bersyukur dan mencintai keagungan tuhannya.

 

Tak jauh dari rumah terdapat Masjid Al-Irsyad yang tidak terlalu besar, namun sangat tertata rapi. Ornamen-ornamen klasik menghiasi dinding-dinding Masjid. Lukisan kaligrafi menghiasi dinding dalam kubah berwarna hijau.

 

Aku melangkah memasuki rumah Tuhan yang sangat indah itu. Disana hanya ada tiga kakek tua yang bersiap melaksanakan shalat. Semangat mereka begitu tinggi menyahut panggilan Ilahi.

 

Salah satunya Ustadz Ahmad. Beliau pensiunan jaksa yang kaya raya. Umurnya telah mencapai enam puluh delapan tahun. Beliau sangat ramah, dermawan, piawai dan cerdas. Walau sudah tua, kedalaman ilmu agama dan kefasihannya membaca Al-Qur’an membuat masyarakat memanggilnya dengan sebutan ustadz atau Haji Ahmad.

 

Hampir setiap shalat berjamaah beliau selalu hadir dan datang tepat waktu, tidak kenal kata absen. Rumahnya tak jauh dari masjid ini, kira-kira dua puluh meter. Seluruh masyarakat begitu sayang kepadanya, karena beliau sering sekali membantu masyarakat yang kesusahan. Tapi, di balik itu kondisi masyarakat sekitarku sangatlah memperihatinkan.

 

   Banyak anak muda seumuranku yang terjaring dalam pergaulan bebas dan terjerumus dalam jurang narkoba. Beberapa dari temanku sudah banyak yang meninggal akibat barang haram itu.

 

Perkelahian dan tawuran antar warga selalu menghiasi kampungku yang kecil dan berpenduduk padat. Pencurian, perampokan, penganiayaan selalu datang silih berganti meramaikan tempat dimana aku tinggal.

 

Tempat tinggalku telah menjadi kawasan rawan akan kejahatan. Sampai-sampai daerah ini pernah dijuluki sebagai tempat berkumpulnya para bandar narkoba dari berbagai pelosok negeri.

 

Tak heran kalau kampungku sangat terkenal di Jakarta, dan seringkali menjadi sorotan publik, kampung menteng tenggulun tepatnya, yang di apit oleh jalur kereta api dan kali malang yang deras dan airnya kotor berwarna coklat.

 

Itulah yang membuat masjid di daerahku selalu saja sepi dan lengang apabila panggilan Allah dikumandangkan, tidak ada satupun kaum muda yang tergerak hatinya. Hanya ada beberapa orang tua yang sudah cukup umur dan uzur yang bersemangat kemasjid. Karena hampir seluruh kaum muda di kampungku tidak perduli akan ajaran agama dan jauh dari akhlak yang terpuji.

 

   Gadis-gadis sebayaku di daerah sini juga sudah banyak yang terperosok dalam lembah nista. Banyak sekali dari mereka sengaja mengorbankan masa mudanya yang seharusnya dipakai untuk menuntut ilmu, tapi mereka malah menghancurkan hidupnya dengan cara berpacaran, bercinta dan selanjutnya hamil di luar nikah, dan yang menghamilinya tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Malah mereka sering kali menjadi tukang palak dan pencopet.

 

Tidak hanya cukup sampai disitu, banyak gadis-gadis yang tidak lulus bersekolah malah mengabdikan dirinya sebagai pekerja sex komersial atau yang sering disebut pelacur. Karena itulah, Aku memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan teman-teman sebayaku didaerah ini. Aku sangat paham, walaupun sifat mereka buruk, tapi kepada sesama teman yang mereka kenal dilingkungannya mereka masih memiliki rasa saling menghormati.

 

   Di daerah tempat tinggalku Ustadz Ahmad memiliki tiga puluh kontrakan yang tersebar luas, dan kami salah satu yang menempati kontarakan itu. Ustadz Ahmad menyuruh kami tinggal dikontrakannya tanpa mengeluarkan biaya, sebab kami sudah tidak mampu membayar uang sewa rumah.

 

Istri beliau yang bernama ibu Halimah telah meninggal tiga tahun lalu karena sakit kanker payudara yang di deritanya. Ustadz Ahmad memiliki tiga orang anak laki-laki yang ketiganya belum juga menikah.

 

Mereka bernama Hasan, Husin dan Marfat. Dari ketiganya tidak ada satupun yang berminat mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang ustadz atau pengajar Qur’an. Mereka lebih memilih menjadi karyawan kantor dari pada seorang ustadz yang katanya tidak menghasilkan uang dan tidak bisa menjadi kaya.

 

Salah satu putra ustadz Ahmad yang paling bungsu yang bernama Marfat adalah pengedar narkoba kelas kakap di kampungku. Ia sering sekali menjadi profokator penyebab terjadinya tauran antar warga.

 

Marfat juga sering sekali keluar masuk penjara, dan sekarang ia sedang berada di penjara cipinang terkena hukuman lima tahun penjara karena kedapatan menyimpan narkoba sebanyak satu kilogram ganja kering. Itulah yang sering kali membuat Ustadz Ahmad sedih dan murung. Beliau selalu memikirkan nasib ketiga putranya.

 

   Aku sangat dekat dengan Ustadz Ahmad. Beliau sangat sayang padaku, dengan senang hati beliau mengajarkanku mengaji dan memperdalam ilmu agama secara privat. Beliau ingin menghadiahkan seluruh ilmu yang beliau miliki seluruhnya kepadaku. Jadwal mengajiku dengan ustadz Ahmad seminggu dua kali, yaitu setiap ahad dan rabu.

 

Beliau sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Meskipun beliau sudah tua dan berbadan gemuk dan seluruh rambutnya sudah ber uban, tapi jiwa beliau masih seperti anak muda yang selalu gesit dalam segala hal.  Usai Shalat, aku menyalami ustadz Ahmad, beliau tak bisa menyembunyikan senyumnya bila bertemu denganku. Kerendahan hatinya membuat beliau menjadi salah satu tokoh agama yang sangat di hormati di daerah tempat tinggalku.

 

“Mau kemana Mal kok sepertinya buru-buru?” Tanya ustadz  ramah.

 

Kutatap beliau sesaat, semakin awet muda saja dilihatnya. Jenggotnya yang berwarna putih begitu tertata rapih, tak tampak terlihat tua dengan kulitnya yang putih bersih, walaupun umurnya sudah uzur.

 

“Ah, tidak juga ustadz, setelah ini saya mau bantu Umi. Kasihan Umi kalau harus bekerja sendiri.” Jawabku datar.

 

Beliau langsung paham apa yang akan aku lakukan. Sebab beliaulah yang memberikan modal untuk ibu berdagang kripik singkong. Bahkan sesekali beliau sering berkunjung kerumah.

 

“Bagaimana kabar Fatimah? Apa ia sehat?” Tanya ustadz kembali.

 

Alhamdulillah. Sehat Ustadz.”

 

   Fatimah nama ibuku. Aku memanggilnya dengan sebutan Umi, Ustadz Ahmad sangat perduli dengan keadaan kami. Sampai-sampai biaya kuliahku beliau yang membiayai. Beliau ingin aku menjadi seorang sarjana yang soleh dansukses, itu harapan terakhirnya. Karena semua anaknya tidak ada yang bisa diharapkan.

 

Aku tak ingin mengecewakannya. Setiap hari aku belajar dan belajar untuk mendapatkan nilai yang terbaik di kampus. Beliau selalu bangga padaku.

 

“Ustadz sedang sakit yah? Kok mata ustadz merah. ” tanyaku khawatir.

 

   Kulihat wajahnya begitu murung. Seperti ada masalah yang menghampirinya. Matanya celong dan sedikit merah seperti sedang sakit. Biasanya manusia kalau sudah tua akan sangat mudah terkena penyakit.

 

Kondisi tubuhnya mudah surut serta kehilangan stamina tubuh. Tapi aku yakin, bukan itu yang memyebabkan ustadz Ahmad sakit. Pasti ini ulah ketiga anaknya.

 

“Ah tidak. Hanya kurang tidur saja. Cuaca akhir-akhir ini sering sekali hujan, dan itu yang membuatku kurang enak badan.” Jawabnya.

 

   Aku berjalan mengantarkan beliau pulang. Kutuntun dengan penuh sayang. Beliau sudah tidak bisa berjalan jauh, Kesehatannya terlihat sudah mulai berkurang, tidak seperti waktu muda, segar berstamina.

 

Waktu muda beliau sangat aktif berolah raga dan berceramah di masjid-masjid. Salah satu filosofi ustadz Ahmad yang membuatku kagum adalah Tiada hari tanpa berdakwah.

 

Beliau mengajarkan padaku bahwa selama kita masih sehat, perbanyaklah beramal dan beribadah untuk tabungan kita di akhirat. Karena hidup di dunia ini hanya sementara dan di akhiratlah hidup kita akan kekal abadi, jadi perbanyaklah amal ibadah selama kita masih berada di dunia.

 

Karena semua yang kita kerjakan di dunia akan di pertanggung jawabkan semuanya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Sambil berjalan ustadz Ahmad meletakkan tangan kanannya di pundak kiriku. Dan beliau berpesan,

 

“Jangan lupa salam buat ibumu di rumah. Bilang padanya lain waktu aku mau mampir.”

 

“Iya ustadz, pasti akan saya sampaikan.” Jawabku senyum.

 

   Ustadz Ahmad sangat perduli dengan keadaan Umi. Beliau sudah banyak membantu kami. Sesekali beliau memberikan uang belanja apabila hasil jualan kripik Umi sedang tidak membuahkan hasil. Sambil berjalan, tidak lupa beliau selalu menasehati dan menceramahiku agar tidak melakukan hal-hal buruk, beliau tidak ingin aku menjadi seperti anak-anak muda sebayaku di kampung ini. Beliau menasehatiku laksana seorang ayah yang perduli terhadap anaknya.

 

   Rumah ustadz Ahmad sangat mewah. Satu-satunya yang terbesar di kampung ini. Tapi aku heran, kenapa terlihat begitu hening, seperti tidak ada aktivitas di dalam rumahnya. Mungkin setelah shalat semua penghuninya tidur kembali. Aku buka pintu pagar yang terbentang lebar berwarna hijau. Bentuknya sedikit unik seperti anak panah yang sedang berbaris, ujungnya lancip dan tajam.

 

Kuantar ustadz Ahmad sampai di depan garasi. Disana terdapat lima mobil mewah berbagai warna. Semua anaknya diberikan mobil satu persatu. Pikiranku mulai melayang, Andaikan aku menjadi anaknya mungkin hidup ini terasa indah.

 

Aku membayangkan Berangkat menuju kampus dengan mobil sambil mendengarkan musik dan ditemani AC yang dingin. Wah asiknya, bisa kuajak Umi dan teman-teman ke puncak melihat pemandangan indah. Semakin lama khayalanku semakin yang tidak-tidak.

 

"Mau mampir dulu Mal?” suara ustadz Ahmad menyadarkanku dari khayalan yang sangat jauh dari kenyataan.

 

“Langsung pulang aja ustadz. Umi sudah menunggu di rumah, mau antar jualan kripik.”

 

Lalu tiba-tiba ustadz Ahmad  mengeluarkan amplop dari kantong baju koko nya.

 

“Ini untuk ibumu dan uang kebutuhan kuliahmu. Ambillah!! Semoga bisa bermanfaat.”

 

“Terima kasih Ustadz.” Kuambil amplop itu dengan tangan kanan dan langsung kucium tangannya penuh rasa ta’zhim lalu kumasukan kedalam saku celana bahanku berwarna hitam.

 

   Aku yakin sekali, Sepertinya beliau sudah mempersiapkan amplop itu sejak tadi. Beliau tahu kalau aku tidak pernah absen sholat subuh di masjid ini. beliau pamit masuk,  kupandangi cara beliau berjalan, takut-takut ia terjatuh.

 

Cara berjalannya sudah sedikit lambat dan mudah lemas, seperti layangan singit. Sambil berjalan masuk sesekali beliau menoleh ke arahku. Kuberikan senyum terindahku untuknya.

 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rafli123
Jedi berfikir sama, andaikan Akmal di kasih salah satu mobilnya mungkin lebih baik yaa...lanjut Thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status