Home / Romansa / DILAMAR MALAIKAT MAUT / 04. MASA LALU AYAHKU

Share

04. MASA LALU AYAHKU

Author: Dayat_eMJe
last update Last Updated: 2021-04-30 05:25:43

   Sekarang Aku tahu, ternyata Umi itu di jodohkan dengan Ayahku, karena keinginan kakekku. Padahal, tidak ada salahnya menurutku jika Umi mempunyai keinginannya sendiri. 

 

Sambil air mata terus menetes dipipinya, Umi pun melanjutkan Ceritanya.

 

"Dia tidak pernah bersyukur atas apa yang Allah berikan kepadanya. Lalu dia di ajak oleh seorang temannya untuk bermain judi dengan kalangan orang-orang kaya yang menurutnya sangat terpandang. Katanya kalau sekali menang bisa membeli mobil baru dan hidup kita akan makmur. Umi sudah melarangnya, dan sudah menasehatinya kalau itu haram. Tapi dia tidak mau mendengar perkataan Umi dan malah mengacuhkannya.

 

Hampir setiap kalah berjudi ia melampiaskan kekesalannya dengan mabok-mabokan setiap malam. Sesampainya di rumah dia selalu mengamuk dan menghancurkan seluruh perabotan rumah. Semakin lama hutangnya mulai bertumpuk dan dia semakin tidak mampu membayar. Seluruh rumah beserta isinya ludes diambil untuk membayar hutang-hutangnya.”

 

   Umi kembali menangis terisak-isak, Aku terkejut dengan cerita Umi yang sangat berbeda dengan apa di ceritakan padaku oleh ustadz Ahmad waktu kecil. Katanya Ayahku seorang pria yang baik dan sholeh. Ia sangat sayang sama Umi. Tapi, kenapa cerita Umi berbeda?

 

Aku sedih mendengarnya. Hatiku seperti tersayat-sayat dan dadaku terasa seperti di pukul oleh palu godam yang besar. Aku terdiam tak bicara, lalu Umi berusaha menenangkan hatinya, ia menarik nafasnya dan melanjutkan bercerita.

 

“Sampai Akhirnya kita pindah ke tempat ini. Hanya Ustadz Ahmad dan Ibu Halimah yang mau menyewakan rumahnya untuk kita dengan harga yang sangat murah. Kontrakan yang lain sangat mahal dan kita tak sanggup untuk menyewanya.”

 

Ternyata ini benang merah Perkenalan Umi dan Ustadz Ahmad. Dan Masya Allah betapa baiknya mereka berdua kepada Umi. Aku pun mendengarkan lagi cerita Umi soal Ayahku,

 

“Ayahmu juga di pecat dari pekerjaan karena ulahnya yang jarang sekali masuk kantor dan berbuat onar. Tapi semua kejadian itu tidak membuat ayahmu sadar juga, tapi obsesinya malah semakin tinggi. Perlahan semua perhiasan pernikahan habis di jual untuk modalnya berjudi.

 

Umi selalu saja dipukuli dan dicaci. Sampai seluruh tetangga tau sifat ayahmu yang sebenarnya. Sudah beberapa kali ayahmu berkelahi dengan warga disini karena kalah judi. Dan Umi selalu saja menjadi bulan-bulanan ayahmu. Uang belanja dan uang simpanan Umi habis di pakai bermain judi.

 

Suatu ketika ayahmu sakit, dia hanya bisa terbaring di tempat tidur selama satu bulan. Tak ada satupun yang dapat dia lakukan. Umi tidak mampu membawanya kerumah sakit, karena kondisi keuangan kita tidak memungkinkan untuk membawa ayahmu kerumah sakit, yang bisa Umi lakukan hanya berdoa dan menangis setiap hari.

 

Sampai akhirnya Ustadz Ahmad mengetahui kalau ayahmu sakit, Ustadz Ahmad bersedia membantu membiayai pengobatan ayahmu hingga sembuh. Ibu halimah meminta Umi mengajar ibu-ibu mengaji untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bayaran seikhlasnya. Ayahmu selalu saja dinasehati oleh Ustadz Ahmad agar dia mau merubah sifat buruknya, dan sadar kalau apa yang dilakukannya hanya akan menghancurkan dirinya dan keluarganya.”

 

“Terus mi?” Tanyaku dengan hati lirih dan perih, mendengar cerita kehidupan umi bersama ayah.

 

“Iya, Seiring berjalannya waktu, Alhamdulillah ayahmu mulai sadar dan mau bekerja. Dia ingin berjualan dengan modal minim. Seharian dia berjalan kesana kemari, bertanya-tanya kepada teman-temannya untuk mencari usaha yang halal, dan dipenghujung hari yang melelahkan, ia mendapatkan hasilnya.

 

Dengan gembira ia melaporkan pada Umi, bahwa ia mendapat tawaran berjualan roti keliling. Ia juga bilang kalau alat jualannya di sediakan oleh pabrik. Ia hanya harus menyiapkan modal untuk membeli rotinya untuk berjualan nanti. Perbuah roti rata-rata harganya lima ratus rupiah dan dijual seharga delapan ratus rupiah.

 

Modalnya kira-kira tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Umi terkejut mendengarnya, bagaimana Umi bisa mendapatkan uang sebanyak itu, kami tidak punya uang sebanyak itu. Ayahmu lalu menyesal atas apa yang dulu ia perbuat. Tanpa sadar Allah mengabulkan doa Umi.

 

   Ustadz Ahmad meminjami Ayahmu modal dengan catatan Ia harus giat bekerja dan meninggalkan judi dan meminum Khamr. Ayahmu menyetujui syarat yang di ajukan ustadz Ahmad kepadanya. Ayahmu mulai berjualan seperti lazimnya orang memulai berjualan, tentu roti yang dijual tidak mulus seperti apa yang di harapkannya.

 

Rata-rata dia hanya memperoleh sepuluh sampai lima belas ribu rupiah perhari. Umi dan ayahmu mencoba bertahan hidup. Hasil itu sebenarnya cukup lumayan, untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari-hari. Namun ayah juga harus menyimpan sebagian dari hasil penjualannya untuk kebutuhan-kebutuhan mendadak, serta untuk membayar sewa rumah kontrakan sebesar dua ratus ribu rupiah.

 

Perubahan Ayahmu semakin baik. Allah telah membuka pintu hatinya. Ayahmu sangat rajin menjual rotinya. Nyaris tidak ada hari tanpa berjualan. Beliau berangkat dari sebelum waktu subuh. Mengambil roti dari pabrik, dan mampir di masjid untuk shalat subuh. Tapi, apabila ada roti yang tersisa, Dia akan membawanya pulang. Setelah lebih dari tiga bulan berdagang, ternyata Umi hamil. Ayahmu semakin berkerja keras menjual rotinya.

 

   Kami bertahan hidup dengan makan dan minum ala kadarnya. Bila kita harus membeli kebutuhan lain seperti sabun mandi, sabun cuci, atau yang lain, terpaksa jatah makan sehari-hari kita kurangi. Kami harus menabung setiap hari untuk biaya persalinan. Jatah makan tiga kali sehari, di kurangi menjadi dua kali saja. Bahkan sesekali hanya makan dengan garam dan bawang goreng.

 

 Ayahmu juga tidak mau menyantap makanan enak-enak dijalan. Ia ingin, segala apa yang ia nikmati, juga dinikmati oleh istrinya. Namun sejak kau berumur satu setengah tahun, ayahmu sudah terlihat sakit-sakitan. Kondisi fisiknya menurun drastis, yang tadinya kekar dan kuat tiba-tiba berubah menjadi kurus dan gampang lemah. Saat kau berumur dua tahun ayahmu meninggal karena penyakit liver yang di deritanya.

 

Umi baru mengetahui penyakitnya sejak beliau di rawat di rumah sakit. Sesudah ayahmu meninggal, Ustadz Ahmad dan Ibu Halimah yang membantu kebutuhan kita sehari-hari. Mereka menghapus biaya kontrakan, dan meminjaminya secara cuma-cuma. Beliau juga membiayai sekolahmu dan kebutuhan sehari-harimu. Kasih sayang mereka kepada kita seperti orang tua kepada anaknya. Umi tak tau bagaimana harus membalas kebaikan Ustadz Ahmad dan ibu Halimah”

 

   Selama bercerita air mata Umi mengalir deras. Itu pertama kalinya Umi menangisi ayah dan menceritakan semuanya  kepadaku. Tidak seperti biasanya, kali ini Umi mencurahkan seluruh perasaannya yang sekian lama terpendam.

 

Aku tak kuasa mendengarnya. Walaupun ayah dulu terpuruk dalam jurang sesat, tapi aku bangga dengan perjuangan ayah untuk bangkit dari keterpurukan. Walaupun belum berhasil, tapi semangatnya akan terus berkobar pada diriku. Sekarang akulah yang akan membahagiakan Umi.

 

Akulah harapan satu-satunya. Kutatap wajahnya, kemudian kuhapus air mata dipipinya. Umi langsung memelukku erat, Air matanya jatuh mengenai pundak kiriku. Aku merasa Umi menyimpan sejuta harapan padaku. Harapan untuk menjadi seorang yang dapat di banggakan demi agama dan bangsa. Aku akan melanjutkan semangat ayah untuk menjadi lebih baik. Aku tak ingin mengecewakan mereka.

 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   24. TOKO PULSA MERIAH

    Setelah menyelesaikan urusanku dikampus aku langsung bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamarku, dan aku coba menanyakan bagaimana kabar Anisa pada Irma melalui sambungan telpon. Karena aku belum sanggup untuk perjalanan jauh lagi, ini semua di akibatkan dua mahasiswa tekhnik suruhannya Dini yang tadi memukuliku di perpustakaan.Aku duduk di atas kasur lalu ku ambil handphone di saku celana dan menelpon Irma,"Assallamu'alaikum.""Wa'alaikumussallam, kau tak jadi datang kesini Mal?" Tanya Irma di sebrang sana."Maaf Ma, badanku tiba-tiba terasa sangan pegal sekali. Jadi tadi selesai dari kampus aku langsung pulang ke rumah.""Oh ya

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   23. ANCAMAN KERAS

    Setelah dari rumah Irma, aku langsung berangkat menuju kampus untuk mengembalikan buku-buku akhir semester yang pernah aku pinjam di perpustakaan, sekaligus mendaftar pengisian jadwal mata kuliah baru yang hanya di selenggarakan hari ini.Dalam perjalanan aku merasa baru mengerti dan sadar kenapa Anisa menitipkan jilbab hitamnya padaku waktu di puncak. ternyata ia takut kalau jilbabnya akan di buang dan ia juga akan disiksa oleh ayahnya. Aku terus berpikir bagaimana mencari jalan keluar untuk membantu Anisa. Ia tidak mungkin selamanya berada di rumah Irma. Ia secepatnya harus di pindahkan ke tempat yang lebih aman.Tempat dimana Anisa bisa mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Aku yakin cepat atau lambat orang tua Anisa pasti akan mencari Anisa, mereka tidak akan membiarkan Anisa hilang begitu saja. Aku mulai terpikir un

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   22. PENGAKUAN ANISA

    Irma berusaha menenangkan Anisa dengan memberikan pelukan hangat sambil mengusap-usap punggungnya. Wajah Anisa pucat, tubuhnya lemas, dan terdapat luka memar di pipi dan bibirnya. Itu pasti akibat tamparan keras ayahnya semalam. Irma menyuruh Anisa menceritakan pada kami apa yang terjadi. Tapi ia malah terus menangis. Aku memberikan kode pada Irma agar Anisa dibiarkan saja dulu. Karena Aku harus pergi ke kampus nanti aku kembali. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Anisa memutuskan untuk bercerita saat ini juga, Irma kembali duduk disamping Anisa dengan wajah tertunduk. Kutunggu Anisa bicara, sambil ku alihkan pandangan agar aku tidak menatapnya. Lalu ia mulai bicara sambil terisak-isak, "Mal, aku mau minta maaf atas perilaku Dedi dan Orang tuaku yang telah menyakitimu. Semalaman aku telah disiksa oleh Ayah. Ayah bilang semala

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   21. KABAR BURUK

    Kupacu sepeda motorku dengan cepat menjauh dari rumah mewah tersebut. Setibanya di pertengahan jalan raya menuju rumah, aku dikejutkan oleh suasana jalan yang terlihat lengang dan sepi. Seperti tidak ada aktivitas. Aku menghentikan sepeda motorku sejenak. kulihat Batu-batu besar berserakan di tengah-tengah jalan. sekelompok polisi terlihat sedang berjaga-jaga dan memblokade jalan.Aku mulai panik, mungkin baru saja terjadi tawuran antar warga. Pasti anak-anak kampungku telah berbuat ulah kembali. Baru saja tiga bulan yang lalu berdamai dengan kampung sebrang, dan sekarang sudah bertikai kembali. Kuhampiri pak polisi itu dan meminta izin agar aku bisa pulang kerumah, merekapun membuka blokade dan mengizinkanku masuk. Saat aku melewati pos kemanan aku bertemu sekelompok anak-anak muda kampung yang sedang berjaga-jaga. Wajah mereka terlihat marah dan geram seperti api yang memb

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   20. MENGANTARKANMU PULANG

    Sambil menunggu Anisa di dalam masjid, Pak Iman menawarkanku bertadarus Al-Qur'an bersama usai shalat maghrib sampai menjelang Is'ya. Aku tersanjung mendengar tawarannya. Beliau mengajariku membaca Al-Quran dengan makhorijul huruf yang benar. Beliau memintaku membaca surat Al-Baqarah, aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali beliau membetulkan bacaanku. Tak terasa waktu shalat Isy'a tiba. Beliau menyuruhku mengumandangkan Adzan. Aku ikuti permintaannya. Alhamdulillah, suaraku tidak terlalu buruk. Masih cukup banyak masyarakat yang datang menunaikan shalat usai mendengar suaraku. Beliau tersenyum padaku. Usai shalat pak Iman pamit pergi kerumah temannya yang sakit. Ia mengajakku, tapi aku bilang aku sudah ada janji. Masjid masih terlihat ramai, ada beberapa orang sedang berzikir dan membaca Al-Qur'an.

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   19. UNDANGAN DAN ANCAMAN

    Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status