Share

04. MASA LALU AYAHKU

   Sekarang Aku tahu, ternyata Umi itu di jodohkan dengan Ayahku, karena keinginan kakekku. Padahal, tidak ada salahnya menurutku jika Umi mempunyai keinginannya sendiri. 

 

Sambil air mata terus menetes dipipinya, Umi pun melanjutkan Ceritanya.

 

"Dia tidak pernah bersyukur atas apa yang Allah berikan kepadanya. Lalu dia di ajak oleh seorang temannya untuk bermain judi dengan kalangan orang-orang kaya yang menurutnya sangat terpandang. Katanya kalau sekali menang bisa membeli mobil baru dan hidup kita akan makmur. Umi sudah melarangnya, dan sudah menasehatinya kalau itu haram. Tapi dia tidak mau mendengar perkataan Umi dan malah mengacuhkannya.

 

Hampir setiap kalah berjudi ia melampiaskan kekesalannya dengan mabok-mabokan setiap malam. Sesampainya di rumah dia selalu mengamuk dan menghancurkan seluruh perabotan rumah. Semakin lama hutangnya mulai bertumpuk dan dia semakin tidak mampu membayar. Seluruh rumah beserta isinya ludes diambil untuk membayar hutang-hutangnya.”

 

   Umi kembali menangis terisak-isak, Aku terkejut dengan cerita Umi yang sangat berbeda dengan apa di ceritakan padaku oleh ustadz Ahmad waktu kecil. Katanya Ayahku seorang pria yang baik dan sholeh. Ia sangat sayang sama Umi. Tapi, kenapa cerita Umi berbeda?

 

Aku sedih mendengarnya. Hatiku seperti tersayat-sayat dan dadaku terasa seperti di pukul oleh palu godam yang besar. Aku terdiam tak bicara, lalu Umi berusaha menenangkan hatinya, ia menarik nafasnya dan melanjutkan bercerita.

 

“Sampai Akhirnya kita pindah ke tempat ini. Hanya Ustadz Ahmad dan Ibu Halimah yang mau menyewakan rumahnya untuk kita dengan harga yang sangat murah. Kontrakan yang lain sangat mahal dan kita tak sanggup untuk menyewanya.”

 

Ternyata ini benang merah Perkenalan Umi dan Ustadz Ahmad. Dan Masya Allah betapa baiknya mereka berdua kepada Umi. Aku pun mendengarkan lagi cerita Umi soal Ayahku,

 

“Ayahmu juga di pecat dari pekerjaan karena ulahnya yang jarang sekali masuk kantor dan berbuat onar. Tapi semua kejadian itu tidak membuat ayahmu sadar juga, tapi obsesinya malah semakin tinggi. Perlahan semua perhiasan pernikahan habis di jual untuk modalnya berjudi.

 

Umi selalu saja dipukuli dan dicaci. Sampai seluruh tetangga tau sifat ayahmu yang sebenarnya. Sudah beberapa kali ayahmu berkelahi dengan warga disini karena kalah judi. Dan Umi selalu saja menjadi bulan-bulanan ayahmu. Uang belanja dan uang simpanan Umi habis di pakai bermain judi.

 

Suatu ketika ayahmu sakit, dia hanya bisa terbaring di tempat tidur selama satu bulan. Tak ada satupun yang dapat dia lakukan. Umi tidak mampu membawanya kerumah sakit, karena kondisi keuangan kita tidak memungkinkan untuk membawa ayahmu kerumah sakit, yang bisa Umi lakukan hanya berdoa dan menangis setiap hari.

 

Sampai akhirnya Ustadz Ahmad mengetahui kalau ayahmu sakit, Ustadz Ahmad bersedia membantu membiayai pengobatan ayahmu hingga sembuh. Ibu halimah meminta Umi mengajar ibu-ibu mengaji untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bayaran seikhlasnya. Ayahmu selalu saja dinasehati oleh Ustadz Ahmad agar dia mau merubah sifat buruknya, dan sadar kalau apa yang dilakukannya hanya akan menghancurkan dirinya dan keluarganya.”

 

“Terus mi?” Tanyaku dengan hati lirih dan perih, mendengar cerita kehidupan umi bersama ayah.

 

“Iya, Seiring berjalannya waktu, Alhamdulillah ayahmu mulai sadar dan mau bekerja. Dia ingin berjualan dengan modal minim. Seharian dia berjalan kesana kemari, bertanya-tanya kepada teman-temannya untuk mencari usaha yang halal, dan dipenghujung hari yang melelahkan, ia mendapatkan hasilnya.

 

Dengan gembira ia melaporkan pada Umi, bahwa ia mendapat tawaran berjualan roti keliling. Ia juga bilang kalau alat jualannya di sediakan oleh pabrik. Ia hanya harus menyiapkan modal untuk membeli rotinya untuk berjualan nanti. Perbuah roti rata-rata harganya lima ratus rupiah dan dijual seharga delapan ratus rupiah.

 

Modalnya kira-kira tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Umi terkejut mendengarnya, bagaimana Umi bisa mendapatkan uang sebanyak itu, kami tidak punya uang sebanyak itu. Ayahmu lalu menyesal atas apa yang dulu ia perbuat. Tanpa sadar Allah mengabulkan doa Umi.

 

   Ustadz Ahmad meminjami Ayahmu modal dengan catatan Ia harus giat bekerja dan meninggalkan judi dan meminum Khamr. Ayahmu menyetujui syarat yang di ajukan ustadz Ahmad kepadanya. Ayahmu mulai berjualan seperti lazimnya orang memulai berjualan, tentu roti yang dijual tidak mulus seperti apa yang di harapkannya.

 

Rata-rata dia hanya memperoleh sepuluh sampai lima belas ribu rupiah perhari. Umi dan ayahmu mencoba bertahan hidup. Hasil itu sebenarnya cukup lumayan, untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari-hari. Namun ayah juga harus menyimpan sebagian dari hasil penjualannya untuk kebutuhan-kebutuhan mendadak, serta untuk membayar sewa rumah kontrakan sebesar dua ratus ribu rupiah.

 

Perubahan Ayahmu semakin baik. Allah telah membuka pintu hatinya. Ayahmu sangat rajin menjual rotinya. Nyaris tidak ada hari tanpa berjualan. Beliau berangkat dari sebelum waktu subuh. Mengambil roti dari pabrik, dan mampir di masjid untuk shalat subuh. Tapi, apabila ada roti yang tersisa, Dia akan membawanya pulang. Setelah lebih dari tiga bulan berdagang, ternyata Umi hamil. Ayahmu semakin berkerja keras menjual rotinya.

 

   Kami bertahan hidup dengan makan dan minum ala kadarnya. Bila kita harus membeli kebutuhan lain seperti sabun mandi, sabun cuci, atau yang lain, terpaksa jatah makan sehari-hari kita kurangi. Kami harus menabung setiap hari untuk biaya persalinan. Jatah makan tiga kali sehari, di kurangi menjadi dua kali saja. Bahkan sesekali hanya makan dengan garam dan bawang goreng.

 

 Ayahmu juga tidak mau menyantap makanan enak-enak dijalan. Ia ingin, segala apa yang ia nikmati, juga dinikmati oleh istrinya. Namun sejak kau berumur satu setengah tahun, ayahmu sudah terlihat sakit-sakitan. Kondisi fisiknya menurun drastis, yang tadinya kekar dan kuat tiba-tiba berubah menjadi kurus dan gampang lemah. Saat kau berumur dua tahun ayahmu meninggal karena penyakit liver yang di deritanya.

 

Umi baru mengetahui penyakitnya sejak beliau di rawat di rumah sakit. Sesudah ayahmu meninggal, Ustadz Ahmad dan Ibu Halimah yang membantu kebutuhan kita sehari-hari. Mereka menghapus biaya kontrakan, dan meminjaminya secara cuma-cuma. Beliau juga membiayai sekolahmu dan kebutuhan sehari-harimu. Kasih sayang mereka kepada kita seperti orang tua kepada anaknya. Umi tak tau bagaimana harus membalas kebaikan Ustadz Ahmad dan ibu Halimah”

 

   Selama bercerita air mata Umi mengalir deras. Itu pertama kalinya Umi menangisi ayah dan menceritakan semuanya  kepadaku. Tidak seperti biasanya, kali ini Umi mencurahkan seluruh perasaannya yang sekian lama terpendam.

 

Aku tak kuasa mendengarnya. Walaupun ayah dulu terpuruk dalam jurang sesat, tapi aku bangga dengan perjuangan ayah untuk bangkit dari keterpurukan. Walaupun belum berhasil, tapi semangatnya akan terus berkobar pada diriku. Sekarang akulah yang akan membahagiakan Umi.

 

Akulah harapan satu-satunya. Kutatap wajahnya, kemudian kuhapus air mata dipipinya. Umi langsung memelukku erat, Air matanya jatuh mengenai pundak kiriku. Aku merasa Umi menyimpan sejuta harapan padaku. Harapan untuk menjadi seorang yang dapat di banggakan demi agama dan bangsa. Aku akan melanjutkan semangat ayah untuk menjadi lebih baik. Aku tak ingin mengecewakan mereka.

 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status