Share

PERMOHONAN MAAF ALVIN

"Astagfirullah!"

Mimpi apa ini Ya Allah? Di saat aku sedang berdamai dengan hatiku untuk memaafkan kak Alvin dan menerimanya. Bayangan itu muncul lagi membangunkan kenangan buruk yang perlahan ingin aku kubur.

Segera kuambil wudhu, lalu aku sholat tahajud juga istikharah.

Kuputar tasbih di tanganku, entah sudah ke berapa kali. Meng asmakan namaNYA membuat jiwa ini merasa lebih tenang.

***

"Assalamu'alaikum!" Terdengar suara Bi Sari memasuki ruangan. Ternyata kak Alvin datang berniat untuk menjemput kami.

"Wa'alaikum salam!" jawab aku dan Bunda.

Bi Sari dengan telaten membantu Bunda yang masih lemas menuruni ranjang.

"Sini biar aku yang bawa," pinta kak Alvin meraih tas besar yang sedang aku tenteng.

Walau masih tidak nyaman, aku mencoba terbiasa bertemu wajah ini, wajah yang tidak aku sangka ternyata milik orang yang telah menghujam hati, hingga menjadi kepingan kecil yang sulit disatukan lagi.

Kak Alvin pun mengantar kami pulang, aku duduk dijok belakang bersama Bunda.

Sekilas aku melihat punggung kak Alvin yang tertutup kemeja warna biru. Apakah masih ada tato bergambar sepasang sayap disana?

"Zahra, apa kamu mau beli sesuatu dulu?" tanya kak Alvin di tengah perjalanan.

"Tidak, Kak. Makasih," jawabku singkat.

"Bunda?" tanya nya lagi.

"Kami langsung pulang saja, Vin!" jawab Bunda.

Kami pun sampai di rumah sederhana yang sejak 5 tahun lalu menjadi tempatku melukis masa depan, berkanvas iman, aku menggambar dengan warna-warni takdir yang Allah beri, berharap kelak menjadi lukisan indah meski awalnya berwarna hitam kelam.

Bunda langsung kududukan di sofa, bersama kak Alvin dan Bii Sari menemani, sementara itu aku berjalan menuju dapur untuk membuat minuman.

"Silahkan di minum!" ucap Bunda, ketika aku mulai menyuguhkan dua cangkir kopi untuk kak Alvin dan Bi Sari.

"Bun, Insya Allah besok aku akan kesini bersama Ustadz Iman?"

"Ustadz Iman itu siapa, Vin?" tanya bunda.

"Ustadz Iman adalah guru mengajiku yang meminta Ustadz Danu mencari jodoh untukku berta'aruf," jelas kak Alvin.

Aku hanya menundukan pandangan. Ustadz Danu memang pernah bercerita tentang murid sahabatnya, Ustadz Iman, yang berhijrah setelah mengalami kecelakaan.

Aku tidak tahu tujuan Ustadz Danu bercerita seperti itu padaku adalah untuk menjodohkanku dengannya. Kak Alvin.

"Aku mau membicarakan pernikahanku dengan Zahra, Bun. Itu pun kalau Zahra bersedia kami menikah diwaktu dekat"

Aku yang sedikit terkejut mengangkat kepalaku hingga pandangan kami bertemu.

Mata syahdu itu, terlihat begitu tulus. Apa benar itu mata yang sama, dengan yang menatap seluruh lekuk tubuhku penuh nafsu, dulu.

Bunda memegang tanganku, seakan tahu tentang apa yang aku pikirkan saat ini.

"Zahra sudah memutuskan untuk meneruskan berta'aruf. Semakin cepat kalian menjadi halal, akan semakin cepat pula kalian saling memperbaiki diri masing-masing dengan berusaha menjadi pasangan yang baik. Namun, untuk saat ini kondisi Bunda masih belum sepenuhnya sehat, jadi sebaiknya Alvin besok lusa saja kesininya."

Kak Alvin menyetujuinya. Dengan Alasan tidak mau mengganggu Bunda, Dia pun pamit. Namun sebelum pergi Bi Sari memberi Bunda sebuah bingkisan.

"Ini untuk Nak Zahra!" ucapnya.

"Terimakasih!"

Setelah kak Alvin dan Bi Sari pergi, aku menuntun Bunda ke kamarnya. Di dalam, Bunda memintaku membuka bingkisan tadi.

"Apa isinya?" tanya Bunda.

"Gamis, Bun!" jawabku sambil memperlihatkan sebuah gamis berwarna kuning kunyit lengkap dengan kerudungnya.

"Itu apa?" tunjuk Bunda pada Amplop merah muda yang terselip dilipatan gamis.

Aku membukanya, sepucuk surat atas nama Alvin yang di tujukan untukku.

[Assalamu'laikum, Zahra! Dulu aku telah menoreh luka dihatimu, sehingga matamu mungkin terus terbayang akan kasarnya sikapku, pikiranmu mungkin tak luput akan kekejian perbuatanku, dan Nuranimu mungkin sulit menerima kasih sayang seseorang akibat trauma.]

[Maafkan aku, Zahra! Maaf. Izinkan aku perlahan mengobati luka yang aku buat. Aku yakin ini sulit untukmu, menerima berta'aruf dengan orang yang ingin kamu lupakan.]

[Untuk itu Aku sangat berterima kasih telah memberiku kesempatan. Terima kasih, Zahra. Wassalamu'alaikum]

Kulipat kembali surat itu lalu memasukannya ke dalam amplop.

"Anak bunda sudah dewasa, ya! Sudah benar-benar hijrah di jalan Allah. Hebat!" Dielusnya pipi ini dengan lembut, sentuhan Bunda memang selalu bikin hati ini nyaman.

Aku melanjutkan memasak di dapur, membereskan rumah dan mulai merapikan jahitan Bunda yang sudah selesai, takut keburu diambil pemiliknya.

Hari ini begitu melelahkan, bukan karena pekerjaan rumah, melainkan aku harus mulai menyatukan kepingan hati yang pecah, aku berusaha melawan perih ini, agar bisa terus melangkah dan melanjutkan hidup di jalan Allah.

Salat isya sudah kami tunaikan, Aku dan Bunda langsung tidur, tidak menonton tivi seperti biasa kami lakukan seusai sholat.

Hanya Rembulan yang masih terjaga, menemani bintang yang sulit terpejam. Semilir angin masuk kecelah jendela, sampai mentari pagi munculpun kesejukan masih terasa dimusim dingin ini.

"Zahra, kamu tidak mengajar?" tanya Bunda melihat aku menyajikan nasi goreng di meja makan.

"Aku ijin, Bun! Mau nemenin Bunda di rumah" sahutku menuangkan secangkir teh hangat buat Bunda.

"Bunda sudah sehat, kalau kamu mau pergi kesekolah gak pa-pa, kok!"

"Aku tetap tidak mau pergi ke sekolah, takut terjadi sesuatu lagi pada Bunda." Sejak kejadian itu, aku memang sedikit berlebihan, mudah takut dan cepat cemas.

Selesai sarapan Bunda langsung menuju mesin jahitnya, sedangkan aku lanjut memasak untuk makan siang.

"Assalamu'alaikum!" terdengar dari balik pintu ada yang mengucapkan salam, aku pun berhenti mengupas bawang lalu berjalan ke arah pintu.

"Farel?"

Aku terkejut dengan siapa yang berada di depanku, segera ku tundukan pandangan yang sempat melihat wajah pemuda itu.

Farel.

Dia adalah mantan pacarku, lebih tepatnya pacar yang aku tinggalkan semenjak pemerkosaan itu.

"Siapa?" Bunda menghampiriku.

Farel langsung menjabat tangan Bunda seperti biasa dia lakukan setiap mengajaku kencan.

"Apa kabar, Bun?"

"Baik, Rel. Mari masuk!"

Kami bertiga pun duduk di ruang tamu, Farel mungkin heran karena Bunda tidak juga meninggalkan kami berdua.

"Maaf ya, Rel. Zahra sudah hijrah, dia tidak mau kalau hanya berdua dalam satu ruangan dengan yang bukan mahromnya. Kalau kalian mau ngobrol, anggap saja Bunda nyamuk," canda Bunda memberi pengertian pada Farel.

Farel dan Bunda tertawa. Sedangkan aku hanya tersenyum.

Perasaan apa ini, seperti mendapat percikan api, menyalakan lilin yang sudah lama padam. Aku mulai bisa melihat lagi setelah sebelumnya hanya kegelapan dipelupuk mata.

"Apa kabar, Zahra?" tanya Farel. Aku tahu saat ini pasti dia ingin memegang tanganku dan memelukku.

Waktu kelas dua SMA, dia yang dua minggu pergi keluar kota karena ada urusan keluarga. Nekat pulang sendirian hanya karena tidak bisa menahan rindu, jam 10 malam Farel menemuiku dan langsung memelukku mencurahkan rasa rindunya.

"Alhamdulillah, baik!" jawabku masih menahan pandangan, agar mata ini tidak berzina dengan melihat wajah pemuda yang pernah aku cintai.

Bahkan sampai sekarang pun mungkin perasaan itu masih ada. Namun, rasa cintaku kepada Allah jauh lebih besar dibanding rasa cintaku kepada ciptaanya, termasuk Farel.

"Rel, tahu darimana kami pindah kesini?" tanya bunda.

"Kak Indah kemarin melihat Zahra di rumah sakit tempat dia bekerja, awalnya kak Indah tidak yakin karena penampilan Zahra yang berbeda, tetapi setelah melihat data pasien dan tertulis nama Bunda, kak Indah langsung memberi tahuku dan memberi alamat rumah ini." Farel menghadapkan tubuhnya ke arahku.

"Aku sudah tahu musibah yang menimpamu, aku bersedia menikahimu, Zahra! Apapun yang terjadi, aku masih tetap mencintaimu," ucap Farel penuh keyakinan.

Kamu tidak tahu Farel, pagi itu aku yang setengah telanjang di semak-semak menjadi tontonan warga yang melihat.

Sekuat tenaga aku mencoba bangkit, namun tidak bisa. Tubuh ini seakan tak bertulang. Hingga seorang warga bersama ayahku datang dan membawaku pulang ke rumah.

"Kenapa kamu pindah rumah tanpa memberi tahuku? Padahal saat itu juga aku sudah siap kalau harus menikahimu."

"Aku yang tidak siap, Rel. Aku takut tatapanmu sama seperti warga yang lain. Jijik."

Kuseka airmata yang mulai menetes kepermukaan.

"Pulanglah, Rel," lirihku.

"Zahra?" Farel tidak mengerti dengan apa yang aku ucapakan

"Aku tidak siap melihat wajahmu yang pasti ikut terluka dengan apa yang menimpaku. Aku sangat mencintaimu, kamu cinta pertama dalam hidupku.

"Zahra sedang menjalani proses ta'aruf, Rel. Sebentar lagi dia akan menikah," jelas Bunda.

"Tapi, Bun. Bukankah bunda juga tahu kalau kami saling mencintai?"

"Pulanglah, Rel!" Aku benar-benar tidak sanggup lagi. Aku berlari meninggalkan mereka menuju kamar.

Aku terduduk lemas dimeja rias, kusembunyikan wajah yang terisak ini disela tanganku.

Airmata terus mengalir hingga jatuh kebawah meja. Perlahan aku angkat kepala ini dan menatap pantulan wajahku dicermin.

"Apa yang kamu pikirkan saat ini, Zahra? Kamu pasti mengira Allah tidak adil padamu, kan? Lihat dirimu! Berusaha menjadi hamba yang lebih baik, kamu tutup Auratmu, namun Allah malah bertubi menghujanimu dengan ujian. Apa kamu sanggup?"

Aku langsung menyeka airmata ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status