Share

Dendam Kesumat

Rambut Gu ditarik paksa oleh Ivan ke dalam kamar miliknya. Beberapa tentara wanita memandang atasannya dengan tatapan sarat makna. Mereka ingin berada di posisi Gu saat itu. Merupakan kehormatan jika bisa berada dalam situasi yang begitu mereka impikan. Namun, lelaki tersebut lebih memilih gadis muslim sebagai mangsanya.

Bayangan wajah Sintia terlintas beberapa kali di benak Ivan, lalu lelaki berkepala plontos itu tepis secepat mungkin. Baginya tak ada masalah mencoba wanita lain seperti yang diutarakan oleh bawahannya di atas helikopter. Ia berhak sebagai pemimpin. Dan sudah biasa jika wanita selalu menjadi pelampiasan. Tentara bawahannya sudah sering melakukan itu. Lelaki berwajah bengis itu saja yang terlalu sayang dan menuruti perkataan istrinya.

Ivan mengunci pintu kamar. Ia melempar Gu ke atas ranjang. Kamar di mana seumur hidup gadis itu jadikan tempat bernaung kini menjadi saksi bisu terenggut kehormatannya. Namun, gadis berambut keriting itu masih mencoba menyelamatkan diri. Ia mencoba melempar segala benda apa saja yang bisa ia raih, meski tak berpengaruh sama sekali oleh Ivan.

“Gadis kecil. Kau lihat saja ukuran tubuhmu. Pantas tidak untuk melawanku.” Ivan mendorong Gu hingga terjatuh di lantai. Gadis itu menyeret tubuhnya dengan dua tangan. Ia mulai dilanda ketakutan sebab tentara bengis itu mulai membuka pakaiannya. Gu berdiri dan mencoba membuka pintu, Ivan datang dan menarik gadis itu hingga mereka kini saling berhadapan.

“Menyerahlah. Atau semuanya akan terasa menyakitkan.” Lelaki berpangkat tinggi itu mulai mencengkeram dua pipi Gu.

“Cuih! Lebih baik kau bunuh saja aku.” Gu meludah tepat di wajah Ivan.

Satu tamparan melayang di wajah gadis berlesung pipi itu. Pipi Gu kemerahan dan ujung bibirnya mengeluarkan darah. Ivan gelap mata, ia mulai mencium wajah Gu yang terlihat begitu menantang di matanya. Tangan gadis bermata biru itu mulai ke sana kemari mencari benda apa saja yang bisa ia temukan. Sebuah vas bunga ia raih, lalu dengan sekuat tenaga ia hantamkan ke kepala Ivan. Lelaki itu mundur beberapa langkah, darah mengalir dari pelipisnya.

Kesempatan itu digunakan Gu untuk berusaha membuka pintu, air matanya yang sedari tadi membeku mulai mengalir. Ia menjerit memohon agar dikeluakan dari sarang harimau yang tengah kelaparan. Ivan semakin gelap mata, ia menarik rambut keriting Gu, melempar tubuhnya di atas ranjang. Mulai melepaskan satu demi satu kain penghalang. Gu masih berusaha untuk memintas belas kasihan. Namun, jeritannya tak ada yang menghiraukan, ditambah deru suara helikopter yang lalu lalang di atas langit Hazakh. Kehormatannya malam itu dirampas oleh musuh. Derai air mata menjadi saksi bisu betapa ia mendendam dan bersumpah tak akan pernah memaafkan lelaki itu. Bahkan, dalam kegamangan ia meminta pada Rab-nya agar, lelaki yang telah menjamahnya menderita seumur hidup sebelum kematian menjemputnya.

***

Ivan menyentuh tengkuknya, ia masih merasakan sensasi tadi malam saat berhasil mempecundangi Gu dalam kuasanya. Lelaki itu belum mau beranjak. Tugasnya masih beberapa hari di sana, demi memastikan wilayah itu benar-benar jatuh dalam kekuasan Balrus. Lelaki bengis itu mengikat dua tangan Gu di ranjang kayu. Gadis itu telah tak sadarkan diri, siksaan pada dirinya benar-benar kejam dan tak berperasaan.

Ivan mencoba menghidupkan ponselnya. Secara beruntun pesan masuk ke nomornya. Tak lain tak bukan berasal dari Sintia. Beberapa foto istrinya kirim, ada beberapa makan malam yang dimasak dengan istimewa. Sintia menanti kepulangan suaminya dengan penuh harap.

Ivan memandang pesan itu tanpa berniat membalas. Ia duduk di kursi kamar Gu yang jendelanya berhadapan langsung dengan pemandangan akhir musim semi. Tak ada rasa bersalah di hatinya telah menodai seorang gadis, sebagaimana hatinya telah beku ketika membunuh begitu banyak nyawa umat muslim yang tidak berdosa. Pun tak ada penyesalan di hatinya ketika mengkhinati permintaan Sintia. Ia memang iblis berwujud manusia.

Dari kecil Ivan dibersarkan dengan doktrin bahwa umat muslim adalah sumber penyakit di dunia. Mereka layaknya sel-sel kanker kecil yang bisa membuat sebuah tubuh mati perlahan-lahan. Baik laki-laki, perempuan, tua atau pun muda. Semuanya tak sama, layak untuk dimusnahkan dengan cara apa pun.

Pintu kamar Gu diketuk, Ivan membukanya. Ia diberi laporan oleh bawahannya bahwa eksekusi mati akan segera dilaksanakan. Tadi malam beberapa orang mencoba untuk memberontak. Ivan diminta untuk datang meresmikan pembantaian tersebut.

Lelaki bengis itu menutup pintunya. Ia melirik ke arah Gu yang baru saja membuka mata. Gadis yang tak bisa disebut gadis itu lagi memandangnya dengan tatapan kebencian. Bola mata birunya tak lagi memancarkan keceriaan. Ia benci dan mendendam pada Ivan.

“Pakai bajumu. Ada pemandangan indah yang harus kau lihat.” Ivan melempar beberapa helai pakaian dari lemari Gu.

“Aku bukan orang yang bisa kau perintah sesuka hati.” Gu berpaling, tak ingin beradu pandang dengan Ivan.

“Atau kau aku lemparkan pada bawahanku, digilir satu per satu sampai mati kehabisan napas.”

Gu tak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar ia memakain pakaiannya. Selepas itu, tangannya diikat dan diseret oleh Ivan. Ia dibawa ke padang rumput luas, tempat beberapa pemberontak akan dieksekusi.

“Fani,” gumam Gu ketika melihat sahabatnya diikat dan wajahnya memar, membiru dan terluka.

Ivan melayangkan tangannya. Tak lama kemudian satu regu penembak datang. Mereka mengacungkan senapan ke arah puluhan orang yang tertangkap termasuk Fani.

“Jangan!” jerit Gu. Namun, semuanya telah tiada arti, suaranya kembali tenggelam di antara letusan peluru. Darah umat muslim kembali tumpah di pagi hari. Kematian telah menjemput mereka.

“Bedebah. Membusuklah kau di neraka jahanam! Kau dan semua pasukanmu.” Gu mengumpat ke wajah Ivan yang menertawai kematian orang-orang yang dianggapnya lemah. Ia tak peduli lagi dengan semua umpatan gadis itu. Justru hal demikian membuatnya semakin bernafsu lagi untuk mengulang kejahatan yang sama.

Atas perintah lelaki bengis itu, bendera negaranya dikibarkan. Semua tentara memberi hormat, kecuali Gu, ia meludah beberapa kali sebagai tanda tak terima atas semua hinaan yang menimpa dirinya.

“Pastikan semua wilayah berada dalam kendali kita. Jangan ada yang lewat satu inci pun. Bunuh semua yang tak berguna lagi, kecuali anak-anak kecil. Orang tua yang tak berguna dan menyusahkan saja jangan diberi kesempatan bahkan untuk membuka mulut. Mengerti!”

Perkataan menusuk hati itu kembali terngiang di benak Gu. Gadis itu kembali diseret paksa, dibawa kembali ke kamarnya. Ivan mengulang kembali kebejatannya. Ia bahkan tertawa ketika gadis itu begitu merintih kesakitan meratapi nasibnya. Gu merasa Fani jauh lebih beruntung, sebab bisa melawan dan berakhir dengan kematian. Ia ingin menyusul kedua orang tuanya. Ia pun ingin menyelamatkan adiknya. Ia tak mau menjadi wanita yang hina lebih daripada pelacur. Ia benci, ingin menyaksikan kehancuran lelaki itu sedekat mungkin. Namun, Gu tak pernah tahu pasti sampai kapan ia akan dibiarkan hidup.

“Bukankah kau akan jadi seperti ini di surga nanti? Menjadi bidadari yang kerjanya hanya melayani birahi para lelaki. Ajaran macam apa itu?” Ivan menghina Gu usai menyesap kembali kehangatan di awal musim salju.

Alat komunikasi kesatuannya berbunyi, lelaki itu memberi perintah yang membuat Gu membelalakkan matanya.

“Siapkan helikopter, akan kubuang pelacur hina ini ke dalam sungai. Biar dia mati membeku di sana.”

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status