Home / Romansa / DILEMA DUA HATI / Dendam Kesumat

Share

Dendam Kesumat

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2022-10-11 18:48:37

Rambut Gu ditarik paksa oleh Ivan ke dalam kamar miliknya. Beberapa tentara wanita memandang atasannya dengan tatapan sarat makna. Mereka ingin berada di posisi Gu saat itu. Merupakan kehormatan jika bisa berada dalam situasi yang begitu mereka impikan. Namun, lelaki tersebut lebih memilih gadis muslim sebagai mangsanya.

Bayangan wajah Sintia terlintas beberapa kali di benak Ivan, lalu lelaki berkepala plontos itu tepis secepat mungkin. Baginya tak ada masalah mencoba wanita lain seperti yang diutarakan oleh bawahannya di atas helikopter. Ia berhak sebagai pemimpin. Dan sudah biasa jika wanita selalu menjadi pelampiasan. Tentara bawahannya sudah sering melakukan itu. Lelaki berwajah bengis itu saja yang terlalu sayang dan menuruti perkataan istrinya.

Ivan mengunci pintu kamar. Ia melempar Gu ke atas ranjang. Kamar di mana seumur hidup gadis itu jadikan tempat bernaung kini menjadi saksi bisu terenggut kehormatannya. Namun, gadis berambut keriting itu masih mencoba menyelamatkan diri. Ia mencoba melempar segala benda apa saja yang bisa ia raih, meski tak berpengaruh sama sekali oleh Ivan.

“Gadis kecil. Kau lihat saja ukuran tubuhmu. Pantas tidak untuk melawanku.” Ivan mendorong Gu hingga terjatuh di lantai. Gadis itu menyeret tubuhnya dengan dua tangan. Ia mulai dilanda ketakutan sebab tentara bengis itu mulai membuka pakaiannya. Gu berdiri dan mencoba membuka pintu, Ivan datang dan menarik gadis itu hingga mereka kini saling berhadapan.

“Menyerahlah. Atau semuanya akan terasa menyakitkan.” Lelaki berpangkat tinggi itu mulai mencengkeram dua pipi Gu.

“Cuih! Lebih baik kau bunuh saja aku.” Gu meludah tepat di wajah Ivan.

Satu tamparan melayang di wajah gadis berlesung pipi itu. Pipi Gu kemerahan dan ujung bibirnya mengeluarkan darah. Ivan gelap mata, ia mulai mencium wajah Gu yang terlihat begitu menantang di matanya. Tangan gadis bermata biru itu mulai ke sana kemari mencari benda apa saja yang bisa ia temukan. Sebuah vas bunga ia raih, lalu dengan sekuat tenaga ia hantamkan ke kepala Ivan. Lelaki itu mundur beberapa langkah, darah mengalir dari pelipisnya.

Kesempatan itu digunakan Gu untuk berusaha membuka pintu, air matanya yang sedari tadi membeku mulai mengalir. Ia menjerit memohon agar dikeluakan dari sarang harimau yang tengah kelaparan. Ivan semakin gelap mata, ia menarik rambut keriting Gu, melempar tubuhnya di atas ranjang. Mulai melepaskan satu demi satu kain penghalang. Gu masih berusaha untuk memintas belas kasihan. Namun, jeritannya tak ada yang menghiraukan, ditambah deru suara helikopter yang lalu lalang di atas langit Hazakh. Kehormatannya malam itu dirampas oleh musuh. Derai air mata menjadi saksi bisu betapa ia mendendam dan bersumpah tak akan pernah memaafkan lelaki itu. Bahkan, dalam kegamangan ia meminta pada Rab-nya agar, lelaki yang telah menjamahnya menderita seumur hidup sebelum kematian menjemputnya.

***

Ivan menyentuh tengkuknya, ia masih merasakan sensasi tadi malam saat berhasil mempecundangi Gu dalam kuasanya. Lelaki itu belum mau beranjak. Tugasnya masih beberapa hari di sana, demi memastikan wilayah itu benar-benar jatuh dalam kekuasan Balrus. Lelaki bengis itu mengikat dua tangan Gu di ranjang kayu. Gadis itu telah tak sadarkan diri, siksaan pada dirinya benar-benar kejam dan tak berperasaan.

Ivan mencoba menghidupkan ponselnya. Secara beruntun pesan masuk ke nomornya. Tak lain tak bukan berasal dari Sintia. Beberapa foto istrinya kirim, ada beberapa makan malam yang dimasak dengan istimewa. Sintia menanti kepulangan suaminya dengan penuh harap.

Ivan memandang pesan itu tanpa berniat membalas. Ia duduk di kursi kamar Gu yang jendelanya berhadapan langsung dengan pemandangan akhir musim semi. Tak ada rasa bersalah di hatinya telah menodai seorang gadis, sebagaimana hatinya telah beku ketika membunuh begitu banyak nyawa umat muslim yang tidak berdosa. Pun tak ada penyesalan di hatinya ketika mengkhinati permintaan Sintia. Ia memang iblis berwujud manusia.

Dari kecil Ivan dibersarkan dengan doktrin bahwa umat muslim adalah sumber penyakit di dunia. Mereka layaknya sel-sel kanker kecil yang bisa membuat sebuah tubuh mati perlahan-lahan. Baik laki-laki, perempuan, tua atau pun muda. Semuanya tak sama, layak untuk dimusnahkan dengan cara apa pun.

Pintu kamar Gu diketuk, Ivan membukanya. Ia diberi laporan oleh bawahannya bahwa eksekusi mati akan segera dilaksanakan. Tadi malam beberapa orang mencoba untuk memberontak. Ivan diminta untuk datang meresmikan pembantaian tersebut.

Lelaki bengis itu menutup pintunya. Ia melirik ke arah Gu yang baru saja membuka mata. Gadis yang tak bisa disebut gadis itu lagi memandangnya dengan tatapan kebencian. Bola mata birunya tak lagi memancarkan keceriaan. Ia benci dan mendendam pada Ivan.

“Pakai bajumu. Ada pemandangan indah yang harus kau lihat.” Ivan melempar beberapa helai pakaian dari lemari Gu.

“Aku bukan orang yang bisa kau perintah sesuka hati.” Gu berpaling, tak ingin beradu pandang dengan Ivan.

“Atau kau aku lemparkan pada bawahanku, digilir satu per satu sampai mati kehabisan napas.”

Gu tak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar ia memakain pakaiannya. Selepas itu, tangannya diikat dan diseret oleh Ivan. Ia dibawa ke padang rumput luas, tempat beberapa pemberontak akan dieksekusi.

“Fani,” gumam Gu ketika melihat sahabatnya diikat dan wajahnya memar, membiru dan terluka.

Ivan melayangkan tangannya. Tak lama kemudian satu regu penembak datang. Mereka mengacungkan senapan ke arah puluhan orang yang tertangkap termasuk Fani.

“Jangan!” jerit Gu. Namun, semuanya telah tiada arti, suaranya kembali tenggelam di antara letusan peluru. Darah umat muslim kembali tumpah di pagi hari. Kematian telah menjemput mereka.

“Bedebah. Membusuklah kau di neraka jahanam! Kau dan semua pasukanmu.” Gu mengumpat ke wajah Ivan yang menertawai kematian orang-orang yang dianggapnya lemah. Ia tak peduli lagi dengan semua umpatan gadis itu. Justru hal demikian membuatnya semakin bernafsu lagi untuk mengulang kejahatan yang sama.

Atas perintah lelaki bengis itu, bendera negaranya dikibarkan. Semua tentara memberi hormat, kecuali Gu, ia meludah beberapa kali sebagai tanda tak terima atas semua hinaan yang menimpa dirinya.

“Pastikan semua wilayah berada dalam kendali kita. Jangan ada yang lewat satu inci pun. Bunuh semua yang tak berguna lagi, kecuali anak-anak kecil. Orang tua yang tak berguna dan menyusahkan saja jangan diberi kesempatan bahkan untuk membuka mulut. Mengerti!”

Perkataan menusuk hati itu kembali terngiang di benak Gu. Gadis itu kembali diseret paksa, dibawa kembali ke kamarnya. Ivan mengulang kembali kebejatannya. Ia bahkan tertawa ketika gadis itu begitu merintih kesakitan meratapi nasibnya. Gu merasa Fani jauh lebih beruntung, sebab bisa melawan dan berakhir dengan kematian. Ia ingin menyusul kedua orang tuanya. Ia pun ingin menyelamatkan adiknya. Ia tak mau menjadi wanita yang hina lebih daripada pelacur. Ia benci, ingin menyaksikan kehancuran lelaki itu sedekat mungkin. Namun, Gu tak pernah tahu pasti sampai kapan ia akan dibiarkan hidup.

“Bukankah kau akan jadi seperti ini di surga nanti? Menjadi bidadari yang kerjanya hanya melayani birahi para lelaki. Ajaran macam apa itu?” Ivan menghina Gu usai menyesap kembali kehangatan di awal musim salju.

Alat komunikasi kesatuannya berbunyi, lelaki itu memberi perintah yang membuat Gu membelalakkan matanya.

“Siapkan helikopter, akan kubuang pelacur hina ini ke dalam sungai. Biar dia mati membeku di sana.”

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DILEMA DUA HATI    Home Sweet Home

    Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi

  • DILEMA DUA HATI    Bersama Zahra

    Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,

  • DILEMA DUA HATI    Gombal

    Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig

  • DILEMA DUA HATI    Terlalu Polos

    Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug

  • DILEMA DUA HATI    Lelaki Yang Gugup

    Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me

  • DILEMA DUA HATI    Benang Merah

    Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status