Home / Romansa / DILEMA DUA HATI / Gulaisha Amira

Share

Gulaisha Amira

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2022-10-11 18:47:57

Gadis berambut keriting bernama Gulaisha Amira itu mengemas perlengkapan kesehatannya. Ia baru saja memberikan obat pada penduduk di desa yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Gu, ia kerap dipanggil demikian. Gadis itu ramah dan murah senyum dengan lesung pipinya. Tak sedikit pula lelaki yang mudah jatuh cinta padanya. Namun, ia pun termasuk gadis yang pemilih. Tak ingin menerima lamaran, sebab ia sedang melanjutkan jenjang pendidikan kedokterannya yang lebih tinggi.

“Gu, cepat pergi dari sini wilayah perbatasan sedang digempur habis-habisan. Rumah kita pasti jadi sasaran?” Fani sahabat Gu datang tergesa-gesa. Ia baru saja mendapatkan laporan langsung dari saudaranya yang tinggal di dekat ribath.

“Apa?” Oh, tidak keluargaku.” Gegas Gu berlari, kerudung ala kadar terlepas dan rambutnya terurai mengikuti arah angin. Gadis itu bersama Fani memasuki mobil putih fasilitas dari tempat mereka kuliah.

“Apa saja berita yang kau dapat?” tanya Gu ketika mobil berjalan di antara rimbunan pepohonan.

“Tak begitu banyak. Saluran telepon langsung terputus, Gu. Aku juga khawatir. Belum lagi kabar yang kudengar mereka mendatangkan pasukan yang jumlahnya berkali-kali lipat dari wilayah perbatasan.”

Dua sahabat baik itu sama-sama panik. Kediaman mereka tak terlalu berjauhan. Kuliah di tempat yang sama dan mengambil jurusan yang sama pula. Mereka berdua lebih dari sekedar sahabat. Dua gadis muslim itu bahkan tak ambil pusing ketika mobil mereka diberhentikan oleh penjaga. Ada larangan meninggalkan desa dikarenakan serangan yang masih terus berjalan.

“Kami petugas medis. Sudah tugas kami menolong orang-orang yang terluka.” Gu menunjukkan tanda pengenal serta seragamnya pada penjaga desa.

“Tapi, Nona. Ini perintah, semua wanita dan anak-anak tak boleh meninggalkan desa dan diminta mengungsi secepatnya.”

Sopir mobil dipaksa turun, Gu tak menghiraukan larangan dari petugas. Ia gegas mengganti posisi sopir dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Ia tak peduli lagi, bahkan sengaja menabrak kayu pembatas jalan. Hanya satu yang ada di dalam benaknya. Keselamatan keluarganya.

Gu mengendarai mobil dengan hati tak menentu, ia juga kesulitan, sebab kerumunan orang mulai berdatangan dengan membawa beberapa barang-barang penting.

“Gu. Apa kita tidak salah? Orang-orang mengungsi kita malah mencari bahaya.” Fani melihat kerumanan anak-anak kecil yang mulai menangis.

“Kalau kau takut, keluar dari mobil, aku harus menyelamatkan keluargaku.” Gu menghentikan laju kendaraan. Ia mempersilakan Fani turun, tetapi sahabatnya itu hanya diam di tempat. Tak banyak bicara, gadis berambut keriting itu melanjutkan perjalanannya.

Beberapa kali mobilnya dihentikan, tetapi gadis berambut keriting itu mengabaikannya. Pun para petugas jaga lebih sibuk mengurus orang-orang yang akan mengungsi. Santer terdengar kabar, wilayah perbatasan sedikit lagi berhasil dikuasai. Dentuman alat peledak dan desingan peluru masih terus berlangsung. Korban berjatuhan belum sempat ditolong.

***

Gu sampai di dekat rumahnya. Mobilnya mogok sebab telah kehabisan bahan bakar. Fani turun terlebih dahulu untuk memastikan keluarganya baik-baik saja. Namun, pada saat yang bersamaan pula gadis berambut keriting itu melihat beberapa truk dengan pasukan berpakaian hitam mulai memasuki gang tempatnya tinggal.

Gadis berusia 25 tahun itu berlari. Ia mengetuk pintu rumah dengan kuat beberapa kali sembari memanggil kedua orang tuanya. Tak Gu hiraukan lagi beberapa orang yang mulai menjerit dan menangis. Pintu rumahnya terbuka dan Gu langsung ditarik ke dalam.

“Kenapa kau kembali lagi, Nak, harusnya kau pergi jauh saja dari sini.” Ibu Gu memeluk anak gadisnya yang datang bercucuran keringat.

“Mana mungkin aku meninggalkan kalian di sini. Mana Hamdan?” tanya gadis itu sembari mencari adiknya.

“Di dalam bersama Ayah. Dia baru saja tertidur.”

Gu mengunci pintu dan mengganjalnya baik dengan meja atau kursi. Gadis berambut keriting itu melihat dari balik tirai. Beberapa tentara berpakaian hitam mulai memasuki rumah demi rumah dan menarik paksa beberapa orang di dalamnya.

Dalam netra biru Gulaisha terlihat bagaimana biadabnya tentara-tentara itu, terutama pada perampuan. Ia lihat sendiri bagaimana pakaian wanita dikoyak dan digiring dalam suatu tempat. Gadis itu tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ada sedikit rasa sesal dalam hatinya mengapa ia tak pergi saja. Jika yang lain sudah tertangkap, bukan tak mungkin gilirannya akan segera menyusul.

Tidak! Gu tak mau harga dirinya direnggut. Meski ia bukanlah muslimah yang terlalu alim, ia tetap harus menjaga kehormatannya. Lebih baik ia mati, daripada tubuhnya menjadi bulan-bulanan serigala kelaparan yang mencabiknya hingga ke tulang sum-sum.

“Kita pergi lewat jalan belakang. Cepat, sebelum rumah kita didatangi mereka.” Ayah Gu telah mengemas barang seadaanya, tak banyak hanya satu tas saja, ditambah Sultan dalam gendongannya.

Tanpa basa-basi lagi, Gu dan keluarganya keluar dari pintu belakang. Mereka berjalan di suasana jerit dan tangisan menggema di sana sini. Harusnya malam itu mereka akan sahur pertama kali, mengingat esok hari telah masuk Ramadhan. Namun, ujian besar menyapa mereka satu wilayah Hazakh.

Sayangnya baru beberapa langkah mereka berjalan, suara letusan pistol telah menggema tak jauh dari mereka berada. Gu merunduk, ia berusaha menghindar dari serangan. Letusan demi letusan di udara terdengar lagi. Sultan bahkan mulai menangis ketika letusan datang begitu beruntun.

Gu mengambil Sultan yang masih terus berontak. Sementara itu ayah dan ibunya telah menjadi benteng dari kedua anaknya, sebab lima orang berpakaian hitam serta mengenakan topeng mulai mendekati satu keluarga itu.

Pangkal senapan dihantam di kepala ayah Gu, lelaki paruh baya itu langsung meringkuk di tanah. Ia merasa pusing luar biasa, darah mengalir dari dahinya. Hantaman datang lagi berulang kali. Tak kurang pula ibu Gu turut menjadi tameng agar suaminya tidak disakiti.

Gadis bemata biru itu tak tahu harus berbuat apa, sebab Hamdan mulai menangis histeris dan meronta sembari memeluk dirinya. Dingin di hari menjelang musim salju seakan-akan membuat air mata Gu beku. Ia ingin pasrah saja tetapi tak juga rela menyerah dengan mudah.

Seorang laki-laki dengan berwajah bengis datang menghampiri Gu, ia mengambil Hamdan, tarik menarik pun terjadi. Rambut Gu ditarik dengan sangat kuat, sampai jeritannya terdengar begitu menyayat hati. Ayah Gu beringsut ingin menolong. Namun, satu buah peluru dilesatkan dan bersarang di perutnya. Detik itu juga lelaki yang berusaha menyelamatkan keluarganya itu terjatuh, darah mengucur deras, kemudian matanya menutup dengan perlahan-lahan. Ia titipkan keluarganya pada Rab-nya, sebagai satu-satunya tempat bersandar.

“Bedebah. Bajingan kalian!” Gu berusaha menutup jalan darah ayahnya. Namun, seseorang dengan pangkat tinggi datang dan menarik bajunya, hingga robek dan kulit putihnya terlihat oleh serigala yang masih kelaparan.

“Bawa anak ini. Lakukan seperti biasa,” perintah Ivan pada bawahannya.

“Tidak. Lepaskan aku! Aku bersumpah kalian akan membusuk di neraka!” Gu mengabaikan tawa hina dari para tentara berpakaian hitam.

“Oh, jadi kau yang sok suci ini akan menjadi bidadari surga yang terjaga keperawanannya?” Ivan memandang Gu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia tertarik dengan gadis itu, mata biru, kulit putih dan rambut keriting membuat nalurinya bangkit. Ia lupakan permintaan Sintia untuk tak mengkhianatinya.

“Aku ambil dia, bawa ke kamar. Anggap ini hadiah ulang tahun pernikahan. Calon bidadari surga bermata jeli. Begitu, kan, yang kalian banggakan dalam ajaran agama kalian yang suci itu.” Ucapan Ivan mengundang gelak tawa para serigala kepalaran itu. Gu diseret ke dalam rumahnya. Ayahnya telah mati, adiknya direbut paksa. Dan kini sembari diseret ia melihat ibunya ditembak ketika hendak menolongnya. Malaikatnya roboh di samping tubuh ayahnya yang telah tak bernyawa.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Mar Ni
Ya Allah. persis seperti yg dialami saudara2 seimanku saat ini...
goodnovel comment avatar
Ainun 01
bagus sekali
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DILEMA DUA HATI    Home Sweet Home

    Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi

  • DILEMA DUA HATI    Bersama Zahra

    Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,

  • DILEMA DUA HATI    Gombal

    Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig

  • DILEMA DUA HATI    Terlalu Polos

    Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug

  • DILEMA DUA HATI    Lelaki Yang Gugup

    Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me

  • DILEMA DUA HATI    Benang Merah

    Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status