Beranda / Romansa / DILEMA DUA HATI / Akhir Kehidupan

Share

Akhir Kehidupan

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-11 18:49:26

Gu yang masih lemah diseret oleh Ivan dengan kasar, tubuhnya dililit selimut. Gadis itu dipecundangi habis-habisan usai kehormatannya direnggut paksa berkali-kali. Namun, ia kini tengah tak berdaya. Tak ada pula yang datang menolong. Gadis itu pun bertanya di dalam hati, ke mana Rabb-nya? Mengapa tak menolong hamban yang sedang ditimpa kezaliman?

Ivan membawanya masuk Gu ke helikopter. Ia dipertontonkan bagaimana wilayah Hazakh telah hampir separuhnya dikuasai. Terbukti dari berkibarnya bendera negara tempat lelaki bengis itu mengabdi. Dari atas helikopter Gu melihat bagaimana sebagian wilayahnya dibumi hanguskan. Tak sedikit pula ia lihat eksekusi mati bagi yang berani memberontak. Hatinya hancur dan terluka entah untuk yang keberapa kalinya. Ia menjerit dan menangis sejadi-jadinya demi meluapkan perasaannya.

“Lemah!” hardik Ivan.

“Bedebah. Penghuni neraka jahanam!” Gadis itu berteriak ke wajah Ivan.

“Turunkan helikopter ke dekat sungai deras. Biar dia rasakan dinginnya air sungai, sebentar lagi musim salju. Aku yakin air perlahan-lahan akan membeku. Dan dia pun mati menjadi es di neraka itu.”

Perintah lelaki itu langsung dikerjakan. Pilot gegas memutar haluan, dan mencari titik sungai terdekat. Di wilayah perbatasan Hazakh dengan wilayah lain yang belum ditaklukkan.

Ivan menarik rambut keriting Gu. Ia memaksa gadis itu untuk melihat derasnya air terjun yang jika diukur dengan mata manusia, tak akan ada yang selamat, sebab kepalanya langsung menghantam bebatuan terjal.

“Matilah kau. Bukankah tuhanmu telah berjanji menjadikanmu bidadari surga. Sekarang kuantar kau ke alam baka.” Ivan memandang wajah putih Gu untuk yang terakhir kalinya.

Lelaki berwajah bengis itu kemudian mendorong tubuh Gu ke dalam sungai. Gadis itu menutup mata ketika menyadari hidupnya sebentar lagi akan berakhir. Ia sempatkan melafadzkan dua kalimat syahadat ketika tubuhnya menghantam air.

Dingin sungai Hazakh mulai memasuki setiap pori-pori kulit Gu. Napas gadis berambut keriting itu mulai sesak. Secara naluri manusia ia tetap mengupayakan keselamatan diri sendiri, sebab tak jauh dari matanya yang perih, air terjun telah di depan matanya sedikit lagi.

Gadis bermata biru itu berusaha membuka selimut yang melilit tubuhnya. Meski susah payah, akhirnya ia bisa lepas dari jeratan itu. Gu berusaha berenang ke tepian sekuat tenaga, walau kakinya hampir kebas, sebab dingin air begitu mematikan rasa di tungkainya. Namun, deras arus sungai itu membuat Gu menyerah. Ia telah pasrah dengan nasibnya, berharap di akhirat nanti berkumpul bersama keluarganya.

Di saat yang bersamaan, sebatang kayu yang mengapung lewat, Gu berusaha meraihnya. Ia peluk dahan itu dengan kuat meski beberapa kali balok kayu itu berputar dan gadis itu tenggelam dalam sungai. Ia tak menyerah, ia harus selamat. Sebagai seorang muslimah ia harus berusaha sampai akhir.

Gu berhasil memegang dahan kayu dengan stabil. Mata dan hidungnya memerah. Gemeretak giginya menjadi pertanda ia tak kuat dengan dingin air sungai. Ia terbatuk, dadanya penuh dengan air. Matanya pun mulai lelah, tetapi tidak dengan tangannya. Ia masih memeluk dahan pohon dengan erat.

“Rabb. Jika kau panjangkan umurku. Izinkan aku bertemu dengan bededah itu sekali lagi. Akan kuseret ia dalam neraka sebagai balasan atas dendamku padanya.” Gu menutup matanya, ia pasrah ketika air terjun telah di depan mata. Ia hanya manusia yang mengikut jalan hidup yang telah ditakdirkan Rabb-nya. Waktu yang akan membawa gadis itu ke mana, dan bagaimana ia menyembuhkan luka yang membuat hatinya telah hancur tak berbentuk.

* **

Dari atas helikopter, Ivan memandang Gu yang telah tak terlihat lagi. Ia tadi sempat menganggap gadis itu selamat, sebab masih berusaha memeluk sebatang kayu.

“Gigih juga hidupnya. Sayangnya sia-sia belaka.” Lelaki itu tertawa dan helikopter atas perintahnya terbang kembali ke rumah Gu yang telah ia kuasai.

“Bagaimana, Bos? Bukankah menyenangkan ketika kau berhasil mencoba wanita selain istrimu. Ayolah, akui saja. Kesempatan selalu terbuka lebar di depan mata. Masih banyak wilayah yang akan kita taklukkan,” ujar bawahan Ivan.

“Ya begitulah. Kembali ke rumah. Aku harus menghubungi istriku.” Ada setitik rasa bersalah yang menelusup dalam hati kecilnya. Ia tak menepati janjinya dengan Sintya.

Sampai di rumah yang telah ia kuasai, Ivan menghidupkan ponselnya. Tak ada daya, kemudian ia membongkar laci kamar Gu, ia temukan sesuatu untuk mengisi ulang baterai ponselnya. Ivan menunggu sesaat sampai benda itu hidup kembali. Kemudian ia menghubungi Sintya yang telah dua hari ia tinggalkan.

Sebuah video call tersambung, Cintya ada di sana bersama dua putra kebanggaan Ivan. Mereka bercengkerama sejenak dari jarak jauh. Tak jarang istrinya menanyakan apa saja yang ia kerjakan di tempat yang baru saja berhasil ia taklukkan.

“Seperti biasa. Aku selalu membersihkan sampai di sini,” jawab Ivan sembari memandang foto Gu dan Fani di atas meja.

“Kau tak bermain nakal dengan perempuan lain, bukan? Kau ingat dengan janji sucimu, kan?” Sintya melontarkan pertanyaan yang membuat Ivan membalikkan foto Gu.

“Tidak. Aku lelaki yang menepati janji. Tenang saja,” jawabnya bohong.

“Baiklah, kalau begitu. Aku tunggu kau kembali. Ada kejutan yang ingin kuberi tahukan padamu.”

“Apa? Tak bisa sekarang saja?” tanya Ivan tak sabaran.

“Nanti a—” Video call dari Sintya terputus.

Ivan mencoba menghubungi, tetapi tak diangkat. Ia pun meletakkan ponselnya. Beristirahat di atas ranjang tempat ia merampas harga diri Gu. Ia terlelap begitu nyenyak, hingga beberapa kali pun helikopter lewat di atas langit Hazakh, lelaki itu tetap tak bangun. Ia terlena dengan semua kemenangan dan juga prestasinya. Ia sudah membayangkan berapa banyak lembaran uang dan hadiah yang akan diterima atas dedikasinya menaklukkan wilayah umat muslim. Tak perlu lagi Sintya kesulitan mengatur uang untuk membayar cicilan barang yang mereka ambil. Penghasilannya akan naik beberapa kali lipat.

***

Pintu kamar Gu digedor dengan kuat berkali-kali, hingga Ivan terbangun. Matanya memerah, ia sebenarnya paling tak suka diganggu ketika tengah beristirahat. Namun, bukan tanpa alasan bawahannya terpaksa membangunkannya.

“Bos. Maaf tapi ini berita penting.”

“Katakan.” Ivan menenggak air mineral di meja.

“Rumah dan keluarga anda.” Perkataan itu terpotong, ragu-ragu bawahan Ivan untuk meneruskan laporan penting.

“Cepat, katakan!” bentak Ivan.

“Rumah anda terbakar. Istri dan dua anakmu, terperangkap tak bisa keluar. Mereka, ehm, mereka, hangus terbakar di dalamnya.” Lelaki muda itu menunduk, ia tahu pasti akan menjadi sasaran kemurkaan bosnya.

“Omong kosong!” Satu tamparan melayang di wajah anak buahnya.

Lelaki itu meringis, tetapi tak berani melawan. Beberapa orang dari luar kamar memandang Ivan dengan penuh rasa takut.

“Apa yang kalian lihat, ha?” Ivan mulai hilang arah, baru saja ia mulai membayangkan hidup damai bersama keluarga kecilnya.

“Bos, ini buktinya.” Salah seorang bawahan lainnya memperlihatkan rumah bertingkat Ivan yang telah menghitam terbakar, berikut barang-barang di dalamnya.

Lelaki itu kalut. Ia mulai melempar semua barang-barang di kamar Gu. Tak ada yang berani mendekatinya. Semuanya hanya diam membisu.

“Cepat siapkan helikopter, sekarang!” perintahnya dan langsung dituruti oleh bawahannya.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DILEMA DUA HATI    Home Sweet Home

    Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi

  • DILEMA DUA HATI    Bersama Zahra

    Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,

  • DILEMA DUA HATI    Gombal

    Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig

  • DILEMA DUA HATI    Terlalu Polos

    Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug

  • DILEMA DUA HATI    Lelaki Yang Gugup

    Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me

  • DILEMA DUA HATI    Benang Merah

    Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status