Share

Akhir Kehidupan

Gu yang masih lemah diseret oleh Ivan dengan kasar, tubuhnya dililit selimut. Gadis itu dipecundangi habis-habisan usai kehormatannya direnggut paksa berkali-kali. Namun, ia kini tengah tak berdaya. Tak ada pula yang datang menolong. Gadis itu pun bertanya di dalam hati, ke mana Rabb-nya? Mengapa tak menolong hamban yang sedang ditimpa kezaliman?

Ivan membawanya masuk Gu ke helikopter. Ia dipertontonkan bagaimana wilayah Hazakh telah hampir separuhnya dikuasai. Terbukti dari berkibarnya bendera negara tempat lelaki bengis itu mengabdi. Dari atas helikopter Gu melihat bagaimana sebagian wilayahnya dibumi hanguskan. Tak sedikit pula ia lihat eksekusi mati bagi yang berani memberontak. Hatinya hancur dan terluka entah untuk yang keberapa kalinya. Ia menjerit dan menangis sejadi-jadinya demi meluapkan perasaannya.

“Lemah!” hardik Ivan.

“Bedebah. Penghuni neraka jahanam!” Gadis itu berteriak ke wajah Ivan.

“Turunkan helikopter ke dekat sungai deras. Biar dia rasakan dinginnya air sungai, sebentar lagi musim salju. Aku yakin air perlahan-lahan akan membeku. Dan dia pun mati menjadi es di neraka itu.”

Perintah lelaki itu langsung dikerjakan. Pilot gegas memutar haluan, dan mencari titik sungai terdekat. Di wilayah perbatasan Hazakh dengan wilayah lain yang belum ditaklukkan.

Ivan menarik rambut keriting Gu. Ia memaksa gadis itu untuk melihat derasnya air terjun yang jika diukur dengan mata manusia, tak akan ada yang selamat, sebab kepalanya langsung menghantam bebatuan terjal.

“Matilah kau. Bukankah tuhanmu telah berjanji menjadikanmu bidadari surga. Sekarang kuantar kau ke alam baka.” Ivan memandang wajah putih Gu untuk yang terakhir kalinya.

Lelaki berwajah bengis itu kemudian mendorong tubuh Gu ke dalam sungai. Gadis itu menutup mata ketika menyadari hidupnya sebentar lagi akan berakhir. Ia sempatkan melafadzkan dua kalimat syahadat ketika tubuhnya menghantam air.

Dingin sungai Hazakh mulai memasuki setiap pori-pori kulit Gu. Napas gadis berambut keriting itu mulai sesak. Secara naluri manusia ia tetap mengupayakan keselamatan diri sendiri, sebab tak jauh dari matanya yang perih, air terjun telah di depan matanya sedikit lagi.

Gadis bermata biru itu berusaha membuka selimut yang melilit tubuhnya. Meski susah payah, akhirnya ia bisa lepas dari jeratan itu. Gu berusaha berenang ke tepian sekuat tenaga, walau kakinya hampir kebas, sebab dingin air begitu mematikan rasa di tungkainya. Namun, deras arus sungai itu membuat Gu menyerah. Ia telah pasrah dengan nasibnya, berharap di akhirat nanti berkumpul bersama keluarganya.

Di saat yang bersamaan, sebatang kayu yang mengapung lewat, Gu berusaha meraihnya. Ia peluk dahan itu dengan kuat meski beberapa kali balok kayu itu berputar dan gadis itu tenggelam dalam sungai. Ia tak menyerah, ia harus selamat. Sebagai seorang muslimah ia harus berusaha sampai akhir.

Gu berhasil memegang dahan kayu dengan stabil. Mata dan hidungnya memerah. Gemeretak giginya menjadi pertanda ia tak kuat dengan dingin air sungai. Ia terbatuk, dadanya penuh dengan air. Matanya pun mulai lelah, tetapi tidak dengan tangannya. Ia masih memeluk dahan pohon dengan erat.

“Rabb. Jika kau panjangkan umurku. Izinkan aku bertemu dengan bededah itu sekali lagi. Akan kuseret ia dalam neraka sebagai balasan atas dendamku padanya.” Gu menutup matanya, ia pasrah ketika air terjun telah di depan mata. Ia hanya manusia yang mengikut jalan hidup yang telah ditakdirkan Rabb-nya. Waktu yang akan membawa gadis itu ke mana, dan bagaimana ia menyembuhkan luka yang membuat hatinya telah hancur tak berbentuk.

* **

Dari atas helikopter, Ivan memandang Gu yang telah tak terlihat lagi. Ia tadi sempat menganggap gadis itu selamat, sebab masih berusaha memeluk sebatang kayu.

“Gigih juga hidupnya. Sayangnya sia-sia belaka.” Lelaki itu tertawa dan helikopter atas perintahnya terbang kembali ke rumah Gu yang telah ia kuasai.

“Bagaimana, Bos? Bukankah menyenangkan ketika kau berhasil mencoba wanita selain istrimu. Ayolah, akui saja. Kesempatan selalu terbuka lebar di depan mata. Masih banyak wilayah yang akan kita taklukkan,” ujar bawahan Ivan.

“Ya begitulah. Kembali ke rumah. Aku harus menghubungi istriku.” Ada setitik rasa bersalah yang menelusup dalam hati kecilnya. Ia tak menepati janjinya dengan Sintya.

Sampai di rumah yang telah ia kuasai, Ivan menghidupkan ponselnya. Tak ada daya, kemudian ia membongkar laci kamar Gu, ia temukan sesuatu untuk mengisi ulang baterai ponselnya. Ivan menunggu sesaat sampai benda itu hidup kembali. Kemudian ia menghubungi Sintya yang telah dua hari ia tinggalkan.

Sebuah video call tersambung, Cintya ada di sana bersama dua putra kebanggaan Ivan. Mereka bercengkerama sejenak dari jarak jauh. Tak jarang istrinya menanyakan apa saja yang ia kerjakan di tempat yang baru saja berhasil ia taklukkan.

“Seperti biasa. Aku selalu membersihkan sampai di sini,” jawab Ivan sembari memandang foto Gu dan Fani di atas meja.

“Kau tak bermain nakal dengan perempuan lain, bukan? Kau ingat dengan janji sucimu, kan?” Sintya melontarkan pertanyaan yang membuat Ivan membalikkan foto Gu.

“Tidak. Aku lelaki yang menepati janji. Tenang saja,” jawabnya bohong.

“Baiklah, kalau begitu. Aku tunggu kau kembali. Ada kejutan yang ingin kuberi tahukan padamu.”

“Apa? Tak bisa sekarang saja?” tanya Ivan tak sabaran.

“Nanti a—” Video call dari Sintya terputus.

Ivan mencoba menghubungi, tetapi tak diangkat. Ia pun meletakkan ponselnya. Beristirahat di atas ranjang tempat ia merampas harga diri Gu. Ia terlelap begitu nyenyak, hingga beberapa kali pun helikopter lewat di atas langit Hazakh, lelaki itu tetap tak bangun. Ia terlena dengan semua kemenangan dan juga prestasinya. Ia sudah membayangkan berapa banyak lembaran uang dan hadiah yang akan diterima atas dedikasinya menaklukkan wilayah umat muslim. Tak perlu lagi Sintya kesulitan mengatur uang untuk membayar cicilan barang yang mereka ambil. Penghasilannya akan naik beberapa kali lipat.

***

Pintu kamar Gu digedor dengan kuat berkali-kali, hingga Ivan terbangun. Matanya memerah, ia sebenarnya paling tak suka diganggu ketika tengah beristirahat. Namun, bukan tanpa alasan bawahannya terpaksa membangunkannya.

“Bos. Maaf tapi ini berita penting.”

“Katakan.” Ivan menenggak air mineral di meja.

“Rumah dan keluarga anda.” Perkataan itu terpotong, ragu-ragu bawahan Ivan untuk meneruskan laporan penting.

“Cepat, katakan!” bentak Ivan.

“Rumah anda terbakar. Istri dan dua anakmu, terperangkap tak bisa keluar. Mereka, ehm, mereka, hangus terbakar di dalamnya.” Lelaki muda itu menunduk, ia tahu pasti akan menjadi sasaran kemurkaan bosnya.

“Omong kosong!” Satu tamparan melayang di wajah anak buahnya.

Lelaki itu meringis, tetapi tak berani melawan. Beberapa orang dari luar kamar memandang Ivan dengan penuh rasa takut.

“Apa yang kalian lihat, ha?” Ivan mulai hilang arah, baru saja ia mulai membayangkan hidup damai bersama keluarga kecilnya.

“Bos, ini buktinya.” Salah seorang bawahan lainnya memperlihatkan rumah bertingkat Ivan yang telah menghitam terbakar, berikut barang-barang di dalamnya.

Lelaki itu kalut. Ia mulai melempar semua barang-barang di kamar Gu. Tak ada yang berani mendekatinya. Semuanya hanya diam membisu.

“Cepat siapkan helikopter, sekarang!” perintahnya dan langsung dituruti oleh bawahannya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status