Share

Guratan Masa Lalu

Mata abu-abu milik Ivan nyaris sama dengan mata milik anaknya yang hilang puluhan tahun lalu. Lelaki bernama Hamis itu mencari keberadaan putranya yang dibawa tentara musuh, saat wilayahnya diserang ia dan istrinya berhasil menyelamatkan diri sedangkan sang putra semata wayang berhasil ditangkap dan dibawa masuk ke dalam mobil. Tidak banyak orang di dunia ini yang memiliki mata berwarna abu-abu, hanya 1% dari total penduduk dunia. Namun, Hamis tak mau berharap banyak, sebab kebengisan sangat tergambar jelas di mata Ivan.

“Akan kami apakan anak-anak itu? Pedulimu apa, Pak Tua? Lebih baik kau urus saja hidupmu sebentar lagi. Eksekusi matimu sudah ditetapkan sejak seminggu lalu. Aku sendiri yang akan mencabut nyawamu. Lalu kau temui bidadari-bidadari surga yang akan menyambutmu dengan tubuh gemulai. Dasar pemuja nafsu!” ketus Ivan sambil menenggelamkan kepalanya. Ia masih berusaha sekuat tenaga menepis bayangan Gu yang terus menuding dirinya. Lelaki berkepala plontos itu sudah kehilangan istri dan anak-anaknya, lalu derita apa lagi yang harus ia rasakan? Apa itu tidak cukup sepadan dengan kehilangan yang dirasakan Gu?

“Tentu, sebagai seorang ayah yang kehilangan putra semata wayangnya, aku sangat peduli, Nak. Bagi kami, tidak ada yang paling berharga selain keluarga yang taat di jalan Islam. Katakan padaku kalian apakan mereka semua?” Berdebar-debar jantung pria tua itu. Gaya Ivan ketika sedang merana mirip dengan istri yang telah ia tinggalkan selama puluhan tahun demi mencari putranya.

“Kami kafirkan mereka, agar jauh dari tuntunan agama kalian. Tak hanya itu saja, kami cuci otaknya agar jadi pembunuh nomer 1 ketika melihat umat muslim di depan mata. Dan hentikan memanggilku, Nak. Aku tak pernah punya orang tua dari dulu. Mereka meninggalkanku saat aku kelaparan, lelaki tua keparat, anggap ini hadiah dariku, sebentar lagi kau akan mati.” Ivan tak ingin lagi berkata apa-apa pada Hamis. Ia sedang ingin menenangkan diri, seharusnya ia diberikan minuman dengan kadar alkohol tinggi, tapi tak ada anak buahnya yang paham. Hanya Sintia saja yang mengerti tentang dirinya. Itu pun ia khianati kepercayaannya hingga membuahkan hasil yang menyakitkan.

Terdiam Hamis mendengar penjelasan Ivan. Ternyata berita yang ia dengar selama ini benar adanya. Dan bisa jadi putranya juga telah mengalami hal yang sama. Sungguh ia ingin bertemu sekali saja dengan anak lelakinya sebelum dieksekusi mati. Jika dengan istri tentu sudah tidak ada harapan lagi, sebab jarak yang sangat jauh dari tempatnya dipenjara kini.

“Kalian benar-benar laknat. Semoga Allah memberikan balasan yang setimpal untuk kalian!”

“Diamlah, atau aku hancurkan semua gigimu sebelum kau mati! Aku lelah, ingin tidur!” Ivan meringkuk tanpa selimut di hari yang sebentar lagi musim salju. Begitu juga dengan Hamis. Ia tak lagi bisa melakukan apa-apa. Ingin menolong lelaki tua itu pun tak bisa, ia terpenjara dan tak bersenjata pula. Satu-satunya penolong hanya Allah, jika tidak dibebaskan maka dengan jalan kematian. Siksaan? Jangan tanya lagi. Punggung Hamis sudah banyak bekas luka. Kakinya pincang dan sebelah matanya telah buram pandangannya. Ia tak pernah diberikan Al Qur’an sejak dipindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya. Namun, ia bersyukur hafal walau tak sampai 30 juz.

Sejak wilayah Hamis diserang, dan ketika ia berhasil pindah ke tempat yang aman walau sunyi. Saat itu pula ia memutuskan untuk berpisah dengan Sarah—istrinya. Mereka sepakat untuk sama-sama sabar dalam mencari sang putra—Adilzhan. Namun, naas, saat baru saja memasuki wilayah Balrus, Hamis langsung ditangkap. Ia tak punya pengalaman memasuki wilayah yang anti Islam. Lelaki tua itu memiliki janggut dan memakai celana di atas mata kaki. Hal yang sangat terlarang di wilayah Balrus. Dengan tuduhan sebagai penyusup Hamis dijebloskan ke dalam penjara. Ia sempat disiksa untuk mengakui pekerjaan yang tak pernah dilakukan suami Sarah tersebut.

“Aku ke sini hanya untuk mencari putraku,” ucap Hamis ketika dua tangannya diikat ke atas dengan rantai besi. Punggungnya sudah penuh dengan luka cambukan. Pipinya disudut oleh rokok yang masih hidup.

“Oh, ya? Kalau begitu katakan pada kami bagaimana ciri-ciri putramu?” tanya sang penyiksa berpura-pura baik hati.

“Matanya berwarna abu-abu. Dia tinggi melebihi anak seusianya dan tubuhnya tegap,” jawab lelaki itu sambil menahan perih siksaaan. Perkataan Hamis itu membuat para tentara penyiksa saling menatap, lalu tertawa tanpa sebab yang jelas. Jika memang benar ciri-ciri anak itu tinggi dan tegap maka sudah tentu akan berakhir di camp konsentrasi. Ingatan mereka akan kehidupannya yang lalu akan dihapus perlahan-lahan. Dikatakan telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, lalu dipungut dengan pemerintah Balrus dan diperlakukan dengan baik. Selanjutnya doktrin demi doktrin untuk membenci Islam akan masuk ke dalam otak anak-anak tanpa dosa itu.

“Sudah, kau lupakan saja putramu. Anggap dia sudah mati. Lebih baik kau tandatangani surat ini. Mengakulah kau penyusup lalu kau akan kami bebaskan.” Sekali lagi salah satu tentara menyodorkan perjanjian pada Hamis. Dan lagi-lagi lelaki itu menggeleng. Ia tahu apa maksud lain surat itu, setelah ia tandatangani bukan tak mungkin ia akan digiring menjadi murtad.

“Baik, kalau begitu. Lanjutkan siksaan, sampai turun perintah lanjutan dari komandan kita.” Salah satu tentara dengan pangkat paling tinggi di ruangan itu keluar. Di telinganya terdengar jeritan Hamis. Siksaan yang diterima bisa dipastikan tidak main-main. Tentara saja tak akan sanggup menerimanya, bahkan akan mengaku saja demi keselamatan.

“Tolol. Anakmu dua tahun lagi akan diberkati oleh pemuka agama kami. Mereka akan jadi pasukan penghancur umat muslim di kemudian hari. Kau beruntung tak akan bisa menyaksikan kematian saudaramu. Kau akan dikurung sampai tua, lemah dan tak berdaya lalu dijatuhi hukuman mati.”

Hamis terbangun, ia memimpikan hal yang sama setiap malamnya. Siksaan yang ia terima puluhan tahun lalu ketika tertangkap basah dan menjadi penyusup. Lelaki tua itu sudah tahu dan sudah biasa bangun di sepertiga malam terakhir. Ia bertayamum, sebab sangat sulit mendapatkan air bersih di dalam penjara itu. Lalu ia tunaikan tahajjud. Dua tangannya naik lebih tinggi. Ia haturkan doa yang sedemkian mendalam pada keluarganya.

“Ya Rabb, jagalah istriku apabila dia masih hidup dan masih menanti kepulangan kami, dan kepada putraku jika dia masih hidup dan benar telah dimurtadkan oleh pemerintah ini, maka kembalikanlah ia kepada fitrahnya. Kembalikan dia pada ajaran yang engkau kehendaki. Serta jika kematian sudah di depan mataku, perkenankanlah aku mendapatkan mimpi indah saat masih bersama istri dan putraku.”

Dua tangan Hasim mengusap wajah lalu ia menyudahi doanya. Lelaki itu menghitung waktu, tak lama lagi ia memang akan dieksekusi mati setelah sekian banyak siksaan yang ia terima dari dulu. Sering ia ingin menyerah. Namun, mengingat semua yang telah ia perjuangkan membuatnya harus bersabar lebih banyak lagi. Hidup memang penuh cobaan, yang paling berat memang ketika menimpa keluarga sendiri. Di sanalah keimanan kita diuji, begitu pikir Hamis. Hingga ia hanya pasrah diperlakukan seanjing apa pun oleh musuh. Hanya doa yang bisa ia panjatkan, dan suatu saat nanti ia yakin akan memperoleh kemenangan.

Hasim melihat gaya tidur Ivan, benar-benar mirip dengan Sarah. Namun, rasa-rasanya tak mungkin jika putranya Adilzhan adalah Ivan. Sebab ia begitu luar biasa mengajarkan ketauhidan pada putra semata wayangnya. Akan tetapi, bukankah sudah sering ia dengar bagaimana upaya pemerintah Balrus untuk mencuci otak anak-anak yang masih rentan? Semua kemungkinan bisa terjadi, termasuk jika Ivan adalah Adilzhan. Lalu jika memang benar, apa Hamis bisa memafkannya? Sebab lelaki bertubuh tinggi tegap itu telah banyak membumi hanguskan wilayah umat muslim. Sudah banyak nyawa orang-orang tak berdosa yang meregang di tangan besinya. Dan ada satu orang gadis yang ia renggut kehormatannya. Sanggupkah Hamis menerimanya dengan tangan terbuka dan memeluknya?

Lekaki itu menarik napas panjang seraya beristighfar. Semua kemungkinan terus menari-nari di kepalanya. Ia pun kembali mengaji, hal yang bisa Hamis lakukan di tengah-tengah keluangan waktu. Sejak lelaki tua itu sudah tak sanggup menerima siksaan, ia hanya duduk dan mengulang apa yang diingat saja. Dulu Hamis pernah punya teman satu penjara yang bernasib sama, tetapi temannya tak tahan siksaan dan memilih menyerah.

Sayup-sayup Ivan mendengar suara bacaan merdu dari bibir Hamis. Lelaki bengis itu membuka matanya yang berwarna abu-abu. Ia terdiam sesaat, sudah lama ia tak dengar bacaan sedemikian indahnya. Terakhir beberapa tahun lalu saat ia diam-diam meledakkan rumah seorang pejuang yang telah ia targetkan demi kenaikan pangkat.

Hening, Ivan tak melakukan perlawanan, ada rasa gelisah yang masuk ke dalam sanubarinya. Mengapa rasanya ia pernah membaca deretan ayat demi ayat yang dibaca oleh Hamis. Tidak, ia tak boleh lengah, sebab jika mudah kasihan ia tak akan bisa melakukan pekerjaannya di kemudian hari. Meski telah kehilangan istri, anak, dan semua hartanya, hidup Ivan harus terus berjalan.

Perlahan-lahan sakit merambat dari telapak kaki lelaki bengis itu, naik ke betis, lutut, dan kini mengitari kerongkongannya. Ia seperti sesak napas, otaknya mendadak tak mendapat pasokan oksigen. Ia mulai memegang kepalanya yang berdenyut dan nyeri. Secara luar biasa, Ivan merasa ada yang menarik nyawanya keluar. Tidak, bukan mati, hanya saja ia dilemapar ke kehidupannya puluhan tahun ke belakang. Saat ia masih anak-anak, tubuhnya memang paling tinggi di antara teman-temannya. Ia kerap dimintai tolong untuk membawa beban berat.

Ivan melihat dirinya sendiri, sedang menunggu ibunya selesai memasak kentang, salah satu makanan kesukaannya, lalu ayahnya pulang dari ladang yang diolah dari pagi sampai siang. Waktu berjalan dengan cepat, Ivan melihat bagaimana sang ayah mengajarinya mengaji dan menyimak bacaannya.

“Adilzhan, bukan begitu cara membacanya, kau salah,” ucap sang ayah waktu itu. Ivan terkejut, lalu ia menggeleng, tak mau lagi menyaksikan potongan film itu di matanya. Tidak, ia bukanlah muslim. Dari dulu ia selalu ditekankan bahwa umat muslim adalah musuh abadi pemerintah Balrus, dan harus dimusnahkan.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status