Beranda / Romansa / DILEMA DUA HATI / Guratan Masa Lalu

Share

Guratan Masa Lalu

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-28 20:38:05

Mata abu-abu milik Ivan nyaris sama dengan mata milik anaknya yang hilang puluhan tahun lalu. Lelaki bernama Hamis itu mencari keberadaan putranya yang dibawa tentara musuh, saat wilayahnya diserang ia dan istrinya berhasil menyelamatkan diri sedangkan sang putra semata wayang berhasil ditangkap dan dibawa masuk ke dalam mobil. Tidak banyak orang di dunia ini yang memiliki mata berwarna abu-abu, hanya 1% dari total penduduk dunia. Namun, Hamis tak mau berharap banyak, sebab kebengisan sangat tergambar jelas di mata Ivan.

“Akan kami apakan anak-anak itu? Pedulimu apa, Pak Tua? Lebih baik kau urus saja hidupmu sebentar lagi. Eksekusi matimu sudah ditetapkan sejak seminggu lalu. Aku sendiri yang akan mencabut nyawamu. Lalu kau temui bidadari-bidadari surga yang akan menyambutmu dengan tubuh gemulai. Dasar pemuja nafsu!” ketus Ivan sambil menenggelamkan kepalanya. Ia masih berusaha sekuat tenaga menepis bayangan Gu yang terus menuding dirinya. Lelaki berkepala plontos itu sudah kehilangan istri dan anak-anaknya, lalu derita apa lagi yang harus ia rasakan? Apa itu tidak cukup sepadan dengan kehilangan yang dirasakan Gu?

“Tentu, sebagai seorang ayah yang kehilangan putra semata wayangnya, aku sangat peduli, Nak. Bagi kami, tidak ada yang paling berharga selain keluarga yang taat di jalan Islam. Katakan padaku kalian apakan mereka semua?” Berdebar-debar jantung pria tua itu. Gaya Ivan ketika sedang merana mirip dengan istri yang telah ia tinggalkan selama puluhan tahun demi mencari putranya.

“Kami kafirkan mereka, agar jauh dari tuntunan agama kalian. Tak hanya itu saja, kami cuci otaknya agar jadi pembunuh nomer 1 ketika melihat umat muslim di depan mata. Dan hentikan memanggilku, Nak. Aku tak pernah punya orang tua dari dulu. Mereka meninggalkanku saat aku kelaparan, lelaki tua keparat, anggap ini hadiah dariku, sebentar lagi kau akan mati.” Ivan tak ingin lagi berkata apa-apa pada Hamis. Ia sedang ingin menenangkan diri, seharusnya ia diberikan minuman dengan kadar alkohol tinggi, tapi tak ada anak buahnya yang paham. Hanya Sintia saja yang mengerti tentang dirinya. Itu pun ia khianati kepercayaannya hingga membuahkan hasil yang menyakitkan.

Terdiam Hamis mendengar penjelasan Ivan. Ternyata berita yang ia dengar selama ini benar adanya. Dan bisa jadi putranya juga telah mengalami hal yang sama. Sungguh ia ingin bertemu sekali saja dengan anak lelakinya sebelum dieksekusi mati. Jika dengan istri tentu sudah tidak ada harapan lagi, sebab jarak yang sangat jauh dari tempatnya dipenjara kini.

“Kalian benar-benar laknat. Semoga Allah memberikan balasan yang setimpal untuk kalian!”

“Diamlah, atau aku hancurkan semua gigimu sebelum kau mati! Aku lelah, ingin tidur!” Ivan meringkuk tanpa selimut di hari yang sebentar lagi musim salju. Begitu juga dengan Hamis. Ia tak lagi bisa melakukan apa-apa. Ingin menolong lelaki tua itu pun tak bisa, ia terpenjara dan tak bersenjata pula. Satu-satunya penolong hanya Allah, jika tidak dibebaskan maka dengan jalan kematian. Siksaan? Jangan tanya lagi. Punggung Hamis sudah banyak bekas luka. Kakinya pincang dan sebelah matanya telah buram pandangannya. Ia tak pernah diberikan Al Qur’an sejak dipindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya. Namun, ia bersyukur hafal walau tak sampai 30 juz.

Sejak wilayah Hamis diserang, dan ketika ia berhasil pindah ke tempat yang aman walau sunyi. Saat itu pula ia memutuskan untuk berpisah dengan Sarah—istrinya. Mereka sepakat untuk sama-sama sabar dalam mencari sang putra—Adilzhan. Namun, naas, saat baru saja memasuki wilayah Balrus, Hamis langsung ditangkap. Ia tak punya pengalaman memasuki wilayah yang anti Islam. Lelaki tua itu memiliki janggut dan memakai celana di atas mata kaki. Hal yang sangat terlarang di wilayah Balrus. Dengan tuduhan sebagai penyusup Hamis dijebloskan ke dalam penjara. Ia sempat disiksa untuk mengakui pekerjaan yang tak pernah dilakukan suami Sarah tersebut.

“Aku ke sini hanya untuk mencari putraku,” ucap Hamis ketika dua tangannya diikat ke atas dengan rantai besi. Punggungnya sudah penuh dengan luka cambukan. Pipinya disudut oleh rokok yang masih hidup.

“Oh, ya? Kalau begitu katakan pada kami bagaimana ciri-ciri putramu?” tanya sang penyiksa berpura-pura baik hati.

“Matanya berwarna abu-abu. Dia tinggi melebihi anak seusianya dan tubuhnya tegap,” jawab lelaki itu sambil menahan perih siksaaan. Perkataan Hamis itu membuat para tentara penyiksa saling menatap, lalu tertawa tanpa sebab yang jelas. Jika memang benar ciri-ciri anak itu tinggi dan tegap maka sudah tentu akan berakhir di camp konsentrasi. Ingatan mereka akan kehidupannya yang lalu akan dihapus perlahan-lahan. Dikatakan telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, lalu dipungut dengan pemerintah Balrus dan diperlakukan dengan baik. Selanjutnya doktrin demi doktrin untuk membenci Islam akan masuk ke dalam otak anak-anak tanpa dosa itu.

“Sudah, kau lupakan saja putramu. Anggap dia sudah mati. Lebih baik kau tandatangani surat ini. Mengakulah kau penyusup lalu kau akan kami bebaskan.” Sekali lagi salah satu tentara menyodorkan perjanjian pada Hamis. Dan lagi-lagi lelaki itu menggeleng. Ia tahu apa maksud lain surat itu, setelah ia tandatangani bukan tak mungkin ia akan digiring menjadi murtad.

“Baik, kalau begitu. Lanjutkan siksaan, sampai turun perintah lanjutan dari komandan kita.” Salah satu tentara dengan pangkat paling tinggi di ruangan itu keluar. Di telinganya terdengar jeritan Hamis. Siksaan yang diterima bisa dipastikan tidak main-main. Tentara saja tak akan sanggup menerimanya, bahkan akan mengaku saja demi keselamatan.

“Tolol. Anakmu dua tahun lagi akan diberkati oleh pemuka agama kami. Mereka akan jadi pasukan penghancur umat muslim di kemudian hari. Kau beruntung tak akan bisa menyaksikan kematian saudaramu. Kau akan dikurung sampai tua, lemah dan tak berdaya lalu dijatuhi hukuman mati.”

Hamis terbangun, ia memimpikan hal yang sama setiap malamnya. Siksaan yang ia terima puluhan tahun lalu ketika tertangkap basah dan menjadi penyusup. Lelaki tua itu sudah tahu dan sudah biasa bangun di sepertiga malam terakhir. Ia bertayamum, sebab sangat sulit mendapatkan air bersih di dalam penjara itu. Lalu ia tunaikan tahajjud. Dua tangannya naik lebih tinggi. Ia haturkan doa yang sedemkian mendalam pada keluarganya.

“Ya Rabb, jagalah istriku apabila dia masih hidup dan masih menanti kepulangan kami, dan kepada putraku jika dia masih hidup dan benar telah dimurtadkan oleh pemerintah ini, maka kembalikanlah ia kepada fitrahnya. Kembalikan dia pada ajaran yang engkau kehendaki. Serta jika kematian sudah di depan mataku, perkenankanlah aku mendapatkan mimpi indah saat masih bersama istri dan putraku.”

Dua tangan Hasim mengusap wajah lalu ia menyudahi doanya. Lelaki itu menghitung waktu, tak lama lagi ia memang akan dieksekusi mati setelah sekian banyak siksaan yang ia terima dari dulu. Sering ia ingin menyerah. Namun, mengingat semua yang telah ia perjuangkan membuatnya harus bersabar lebih banyak lagi. Hidup memang penuh cobaan, yang paling berat memang ketika menimpa keluarga sendiri. Di sanalah keimanan kita diuji, begitu pikir Hamis. Hingga ia hanya pasrah diperlakukan seanjing apa pun oleh musuh. Hanya doa yang bisa ia panjatkan, dan suatu saat nanti ia yakin akan memperoleh kemenangan.

Hasim melihat gaya tidur Ivan, benar-benar mirip dengan Sarah. Namun, rasa-rasanya tak mungkin jika putranya Adilzhan adalah Ivan. Sebab ia begitu luar biasa mengajarkan ketauhidan pada putra semata wayangnya. Akan tetapi, bukankah sudah sering ia dengar bagaimana upaya pemerintah Balrus untuk mencuci otak anak-anak yang masih rentan? Semua kemungkinan bisa terjadi, termasuk jika Ivan adalah Adilzhan. Lalu jika memang benar, apa Hamis bisa memafkannya? Sebab lelaki bertubuh tinggi tegap itu telah banyak membumi hanguskan wilayah umat muslim. Sudah banyak nyawa orang-orang tak berdosa yang meregang di tangan besinya. Dan ada satu orang gadis yang ia renggut kehormatannya. Sanggupkah Hamis menerimanya dengan tangan terbuka dan memeluknya?

Lekaki itu menarik napas panjang seraya beristighfar. Semua kemungkinan terus menari-nari di kepalanya. Ia pun kembali mengaji, hal yang bisa Hamis lakukan di tengah-tengah keluangan waktu. Sejak lelaki tua itu sudah tak sanggup menerima siksaan, ia hanya duduk dan mengulang apa yang diingat saja. Dulu Hamis pernah punya teman satu penjara yang bernasib sama, tetapi temannya tak tahan siksaan dan memilih menyerah.

Sayup-sayup Ivan mendengar suara bacaan merdu dari bibir Hamis. Lelaki bengis itu membuka matanya yang berwarna abu-abu. Ia terdiam sesaat, sudah lama ia tak dengar bacaan sedemikian indahnya. Terakhir beberapa tahun lalu saat ia diam-diam meledakkan rumah seorang pejuang yang telah ia targetkan demi kenaikan pangkat.

Hening, Ivan tak melakukan perlawanan, ada rasa gelisah yang masuk ke dalam sanubarinya. Mengapa rasanya ia pernah membaca deretan ayat demi ayat yang dibaca oleh Hamis. Tidak, ia tak boleh lengah, sebab jika mudah kasihan ia tak akan bisa melakukan pekerjaannya di kemudian hari. Meski telah kehilangan istri, anak, dan semua hartanya, hidup Ivan harus terus berjalan.

Perlahan-lahan sakit merambat dari telapak kaki lelaki bengis itu, naik ke betis, lutut, dan kini mengitari kerongkongannya. Ia seperti sesak napas, otaknya mendadak tak mendapat pasokan oksigen. Ia mulai memegang kepalanya yang berdenyut dan nyeri. Secara luar biasa, Ivan merasa ada yang menarik nyawanya keluar. Tidak, bukan mati, hanya saja ia dilemapar ke kehidupannya puluhan tahun ke belakang. Saat ia masih anak-anak, tubuhnya memang paling tinggi di antara teman-temannya. Ia kerap dimintai tolong untuk membawa beban berat.

Ivan melihat dirinya sendiri, sedang menunggu ibunya selesai memasak kentang, salah satu makanan kesukaannya, lalu ayahnya pulang dari ladang yang diolah dari pagi sampai siang. Waktu berjalan dengan cepat, Ivan melihat bagaimana sang ayah mengajarinya mengaji dan menyimak bacaannya.

“Adilzhan, bukan begitu cara membacanya, kau salah,” ucap sang ayah waktu itu. Ivan terkejut, lalu ia menggeleng, tak mau lagi menyaksikan potongan film itu di matanya. Tidak, ia bukanlah muslim. Dari dulu ia selalu ditekankan bahwa umat muslim adalah musuh abadi pemerintah Balrus, dan harus dimusnahkan.

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DILEMA DUA HATI    Home Sweet Home

    Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi

  • DILEMA DUA HATI    Bersama Zahra

    Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,

  • DILEMA DUA HATI    Gombal

    Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig

  • DILEMA DUA HATI    Terlalu Polos

    Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug

  • DILEMA DUA HATI    Lelaki Yang Gugup

    Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me

  • DILEMA DUA HATI    Benang Merah

    Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status