Share

Musnah

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-11 18:50:04

Ivan turun dari helikopternya, tergesa-gesa ia berlari sembari menabrak kerumunan lainnya. Rumahnya telah hangus seperti yang digambarkan oleh bawahannya. Letak kediaman lelaki itu yang agak masuk ke dalam dan diantara dereten pohon pinus membuat orang-orang terlambat memanggil pemadam kebaran dan menolong.

Ivan memperhatikan tiga jenazah di hadapannya, semuanya tertutup selimut putih. Ia buka perlahan-lahan sembari menguatkan hatinya. Sintia dan dua anaknya telah hangus di dalam rumahnya sendiri. Rumah yang ia bangun dengan susah payah.

Lelaki itu kemudian pergi, tak kuat menahan pedih hati kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Semua khayalannya tentang hidup mewah bergelimangan harta bersama keluarganya, musnah sudah. Ivan tak lagi punya tempat untuk pulang dan melepaskan lelah.

***

Lelaki berwajah bengis itu memperhatikan sisa rumahnya. Ia berjalan ke arah rumah yang diberi garis batas keamanan. Foto-foto keluarganya hangus. Semua barang mahal yang ia beli pun lenyap tak bersisa.

“Kau rasakan sendiri akibat perbuatanmu.”

Ivan menoleh, ia merasa ada yang berbisik dan menghina dirinya. Namun, sejauh mata memandang tak ada siapa pun di sana. Bawahannya datang sembari berusaha memberi kabar yang akan semakin menggetarkan hati lelaki itu.

“Katakan.” Satu kata terucap ketika ia menyentuh abu pembakaran rumahnya.

“Istrimu, Bos. Dia, dia.”

“Cepat!”

“Dia terbakar dalam keadaan sedang hamil muda. Baru saja petugas otopsi mengabarkan.” Tak ingin menjadi sasaran murka tuannya, tentara itu kemudian mundur dan menunggu saja di dalam mobil.

Ivan tak kuasa menahan hancur hatinya. Semuanya telah diambil secara paksa darinya tanpa tersisa sedikit pun. Ia tak lagi memiliki siapa-siapa di dunia ini. Ia yang yatim piatu dan terbiasa hidup keras dari kecil.

“Ternyata ini kejutan yang kau sembunyikan dariku. Kenapa? Apa kau marah karena aku mengkhianati kesetiaanmu, Sintia?” Ivan duduk dan berbicara seorang diri. Ia melakukan hal itu berjam-jam lamanya. Menyesal mengapa tak menuruti permintaan istrinya yang meminta makan malam romantis di tepi laut seperti tahun-tahun yang sudah lalu.

“Impas. Kau akhirnya kehilangan keluargamu juga.”

Satu bisikan pedih datang lagi. Ivan gelap mata, ia mengambil senapan laras pendeknya. Ia tembakkan ke sembarang arah agar suara-suara yang menghinanya tak datang lagi. Lelaki itu mulai kehilangan arah.

Beberapa bawahannya mencoba mendekat ketika Ivan menjerit dan berbaring di tanah. Mereka mengambil senapan yang telah kosong, lalu membawa bosnya masuk ke dalam mobil. Baru pertama kali dalam hidupnya Ivan begitu pasrah diatur orang, biasanya ia yang selalu dominan terhadap orang lain. Sepanjang mobil lelaki berwajah bengis itu hanya diam saja memandang jalanan, tak ada air mata yang tumpah. Ia hanya membayangkan bagaimana jerit tangis Sintia dan anak-anaknya ketika berusaha keluar dari kobaran api.

Mobil itu berhenti di kantor Ivan. Ia dibawa masuk ke dalam ruangannya. Diminta untuk menginap di sana sampai semuanya membaik. Beberapa helai pakaian ditinggalkan untuknya.

Lelaki itu merebahkan dirinya di sofa ketika ia hanya tinggal sendiri saja. Sepi begitu terasa, biasanya ia akan berkumpul bersama dua anak lelakinya yang mulai tumbuh mengenal dunianya sendiri. Dan di malam hari Sintia akan bermanja-manja di pelukannya, hingga mereka berdua melewati malam yang penuh kehangatan dalam satu selimut yang sama. Kini semuanya tak ada lagi, benar-benar sunyi.

Perlahan-lahan mata lelaki itu terpejam, ia larut ke dalam mimpi. Di sana ia melihat bagaimana jerit, tangis, pekik minta tolong kaum muslimin yang ia bantai satu per satu. Dengan matanya sendiri pula ia lihat bagaimana para pejuang terbakar dalam kobaran api akibat bom yang ia lesatkan.

Kemudian, tak lama setelahnya pemandangan itu berganti. Sebuah kisah pilu ketika ia memerintahkan bawahannya untuk menembak mati kedua orang tua Gu, gadis yang ia tiduri. Lalu bagaimana ketika Gu ia lempar dari atas helikopter.

Gambaran mimpinya berubah, ia melihat Sintia sedang mempersiapkan ulang tahun pernikahan mereka. Istrinya mengeluarkan kue dari oven listrik. Terjadi sebuah kesalahan tekhnis. Oven listrik itu konslet dan meledak menyambar tubuh Sintia hingga terlempar beberapa meter dari dapur. Api merambat dengan cepat, membakar rumah yang dibangun dengan kayu hutan. Lanjut merambat gorden, sofa dan benda-benda lainnya. Dua anak lelakinya berusaha keluar dari rumah. Terlebih dahulu mereka mencari keberadaan ibunya yang telah tak bernyawa di dapur. Api terus menjalar mengurung dua anak lelaki itu, selanjutnya .... Ivan terbangun dengan peluh yang bercucuran di keningnya. Ia kepanasan di tengah musim salju yang sebentar lagi akan tiba.

Lelaki itu membuka sebotol air mineral, meski telah tandas ia merasa rasa hausnya tak kunjung hilang. Ia pun membuka pintu jendela ruangannya. Membiarkan angin dingin masuk dan menyejukkan tulang-tulangnya.

“Apa rasanya kehilangan?”

Ivan menoleh, ia melihat sosok Gu di kaca jendela. Berdiri menertawakannya tanpa belas kasihan. Lelaki itu mencari di sekeliling ruangannya. Suara gadis bemata biru itu terus menggema. Ivan ambil patung kayu yang ada di mejanya. Memecahkan kaca jendela agar bayangan Gu hilang dan tak mengganggu nyenyak istirahatnya.

Kaca tersebut hancur menjadi serpihan-serpihan tajam. Dari serpihan tajam itu muncul begitu banyak sosok Gu yang menunjuk-nunjuk wajah Ivan. Lelaki itu gelap mata, ia injak kaca itu hingga semakin pecah berkeping-keping. Ia pukul lantai sampai tangannya tergores kaca dan berdarah. Lelaki itu menjerit sekuatnya. Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya jatuh juga.

“Tidak. Pergi kau dariku, wanita hina!” Ivan melempar semua benda yang ada di atas mejanya. Ia mengamuk membati buta, membalikkan sofa, memukul dinding dan meraih belatinya. Berusaha menikam Gu di arah mana saja ia lihat. Lelaki itu dihantui dosanya sendiri.

Beberapa orang datang mencoba menenangkan Ivan. Tak kurang dari lima orang. Namun, tak mudah, Ivan terlalu kuat untuk ditaklukkan. Bersusah payah lelaki lain di kesatuan itu mencoba menahan agar Ivan tak mengamuk. Ia akhirnya dijebloskan ke dalam penjara, ketika tak juga bisa menenangkan diri, bahkan ketika mencoba menembak kepalanya sendiri.

Di dalam penjara Ivan menangis sekuatnya. Ia masih meluapkan emosinya, sebab bayangan Gu senantiasa berwujud di matanya. Lelaki itu menarik napas dalam berkali-kali, meredam emosinya yang tak beraturan. Ivan sampai tak sadar, di dalam penjara itu ia tak sendirian. Ia ditemani dengan tawanan lama yang telah belasan tahun mendekam di sana. Seorang laki-laki yang tengah mencari anaknya yang diculik oleh tentara Balrus. Lelaki tua beragama Islam.

“Kau baik-baik saja?” sapa lelaki itu padanya.

Ivan menoleh dan memandang lawan bicaranya. Ia sangat mengenali identitas yang melekat pada wajah lelaki itu, janggut yang lebat serta pakaian sorban di kepalanya walau telah usang.

“Untuk apa kau bertanya? Apa kau sedang menghina dan mencoba mengasihaniku?”

“Aku tak perlu melakukannya. Aku hanya kasihan dengan anak-anak yang kalian pisahkan dari orang tuanya. Kalian apakan bocah-bocah tak berdosa itu?” Lelaki tua itu menata mata Ivan, melalui cahaya yang remang-remang, ia terperanjat melihat raut wajah itu. Bola mata abu-abu Ivan begitu mirip dengan …

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DILEMA DUA HATI    Home Sweet Home

    Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi

  • DILEMA DUA HATI    Bersama Zahra

    Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,

  • DILEMA DUA HATI    Gombal

    Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig

  • DILEMA DUA HATI    Terlalu Polos

    Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug

  • DILEMA DUA HATI    Lelaki Yang Gugup

    Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me

  • DILEMA DUA HATI    Benang Merah

    Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status