Share

Musnah

Ivan turun dari helikopternya, tergesa-gesa ia berlari sembari menabrak kerumunan lainnya. Rumahnya telah hangus seperti yang digambarkan oleh bawahannya. Letak kediaman lelaki itu yang agak masuk ke dalam dan diantara dereten pohon pinus membuat orang-orang terlambat memanggil pemadam kebaran dan menolong.

Ivan memperhatikan tiga jenazah di hadapannya, semuanya tertutup selimut putih. Ia buka perlahan-lahan sembari menguatkan hatinya. Sintia dan dua anaknya telah hangus di dalam rumahnya sendiri. Rumah yang ia bangun dengan susah payah.

Lelaki itu kemudian pergi, tak kuat menahan pedih hati kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Semua khayalannya tentang hidup mewah bergelimangan harta bersama keluarganya, musnah sudah. Ivan tak lagi punya tempat untuk pulang dan melepaskan lelah.

***

Lelaki berwajah bengis itu memperhatikan sisa rumahnya. Ia berjalan ke arah rumah yang diberi garis batas keamanan. Foto-foto keluarganya hangus. Semua barang mahal yang ia beli pun lenyap tak bersisa.

“Kau rasakan sendiri akibat perbuatanmu.”

Ivan menoleh, ia merasa ada yang berbisik dan menghina dirinya. Namun, sejauh mata memandang tak ada siapa pun di sana. Bawahannya datang sembari berusaha memberi kabar yang akan semakin menggetarkan hati lelaki itu.

“Katakan.” Satu kata terucap ketika ia menyentuh abu pembakaran rumahnya.

“Istrimu, Bos. Dia, dia.”

“Cepat!”

“Dia terbakar dalam keadaan sedang hamil muda. Baru saja petugas otopsi mengabarkan.” Tak ingin menjadi sasaran murka tuannya, tentara itu kemudian mundur dan menunggu saja di dalam mobil.

Ivan tak kuasa menahan hancur hatinya. Semuanya telah diambil secara paksa darinya tanpa tersisa sedikit pun. Ia tak lagi memiliki siapa-siapa di dunia ini. Ia yang yatim piatu dan terbiasa hidup keras dari kecil.

“Ternyata ini kejutan yang kau sembunyikan dariku. Kenapa? Apa kau marah karena aku mengkhianati kesetiaanmu, Sintia?” Ivan duduk dan berbicara seorang diri. Ia melakukan hal itu berjam-jam lamanya. Menyesal mengapa tak menuruti permintaan istrinya yang meminta makan malam romantis di tepi laut seperti tahun-tahun yang sudah lalu.

“Impas. Kau akhirnya kehilangan keluargamu juga.”

Satu bisikan pedih datang lagi. Ivan gelap mata, ia mengambil senapan laras pendeknya. Ia tembakkan ke sembarang arah agar suara-suara yang menghinanya tak datang lagi. Lelaki itu mulai kehilangan arah.

Beberapa bawahannya mencoba mendekat ketika Ivan menjerit dan berbaring di tanah. Mereka mengambil senapan yang telah kosong, lalu membawa bosnya masuk ke dalam mobil. Baru pertama kali dalam hidupnya Ivan begitu pasrah diatur orang, biasanya ia yang selalu dominan terhadap orang lain. Sepanjang mobil lelaki berwajah bengis itu hanya diam saja memandang jalanan, tak ada air mata yang tumpah. Ia hanya membayangkan bagaimana jerit tangis Sintia dan anak-anaknya ketika berusaha keluar dari kobaran api.

Mobil itu berhenti di kantor Ivan. Ia dibawa masuk ke dalam ruangannya. Diminta untuk menginap di sana sampai semuanya membaik. Beberapa helai pakaian ditinggalkan untuknya.

Lelaki itu merebahkan dirinya di sofa ketika ia hanya tinggal sendiri saja. Sepi begitu terasa, biasanya ia akan berkumpul bersama dua anak lelakinya yang mulai tumbuh mengenal dunianya sendiri. Dan di malam hari Sintia akan bermanja-manja di pelukannya, hingga mereka berdua melewati malam yang penuh kehangatan dalam satu selimut yang sama. Kini semuanya tak ada lagi, benar-benar sunyi.

Perlahan-lahan mata lelaki itu terpejam, ia larut ke dalam mimpi. Di sana ia melihat bagaimana jerit, tangis, pekik minta tolong kaum muslimin yang ia bantai satu per satu. Dengan matanya sendiri pula ia lihat bagaimana para pejuang terbakar dalam kobaran api akibat bom yang ia lesatkan.

Kemudian, tak lama setelahnya pemandangan itu berganti. Sebuah kisah pilu ketika ia memerintahkan bawahannya untuk menembak mati kedua orang tua Gu, gadis yang ia tiduri. Lalu bagaimana ketika Gu ia lempar dari atas helikopter.

Gambaran mimpinya berubah, ia melihat Sintia sedang mempersiapkan ulang tahun pernikahan mereka. Istrinya mengeluarkan kue dari oven listrik. Terjadi sebuah kesalahan tekhnis. Oven listrik itu konslet dan meledak menyambar tubuh Sintia hingga terlempar beberapa meter dari dapur. Api merambat dengan cepat, membakar rumah yang dibangun dengan kayu hutan. Lanjut merambat gorden, sofa dan benda-benda lainnya. Dua anak lelakinya berusaha keluar dari rumah. Terlebih dahulu mereka mencari keberadaan ibunya yang telah tak bernyawa di dapur. Api terus menjalar mengurung dua anak lelaki itu, selanjutnya .... Ivan terbangun dengan peluh yang bercucuran di keningnya. Ia kepanasan di tengah musim salju yang sebentar lagi akan tiba.

Lelaki itu membuka sebotol air mineral, meski telah tandas ia merasa rasa hausnya tak kunjung hilang. Ia pun membuka pintu jendela ruangannya. Membiarkan angin dingin masuk dan menyejukkan tulang-tulangnya.

“Apa rasanya kehilangan?”

Ivan menoleh, ia melihat sosok Gu di kaca jendela. Berdiri menertawakannya tanpa belas kasihan. Lelaki itu mencari di sekeliling ruangannya. Suara gadis bemata biru itu terus menggema. Ivan ambil patung kayu yang ada di mejanya. Memecahkan kaca jendela agar bayangan Gu hilang dan tak mengganggu nyenyak istirahatnya.

Kaca tersebut hancur menjadi serpihan-serpihan tajam. Dari serpihan tajam itu muncul begitu banyak sosok Gu yang menunjuk-nunjuk wajah Ivan. Lelaki itu gelap mata, ia injak kaca itu hingga semakin pecah berkeping-keping. Ia pukul lantai sampai tangannya tergores kaca dan berdarah. Lelaki itu menjerit sekuatnya. Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya jatuh juga.

“Tidak. Pergi kau dariku, wanita hina!” Ivan melempar semua benda yang ada di atas mejanya. Ia mengamuk membati buta, membalikkan sofa, memukul dinding dan meraih belatinya. Berusaha menikam Gu di arah mana saja ia lihat. Lelaki itu dihantui dosanya sendiri.

Beberapa orang datang mencoba menenangkan Ivan. Tak kurang dari lima orang. Namun, tak mudah, Ivan terlalu kuat untuk ditaklukkan. Bersusah payah lelaki lain di kesatuan itu mencoba menahan agar Ivan tak mengamuk. Ia akhirnya dijebloskan ke dalam penjara, ketika tak juga bisa menenangkan diri, bahkan ketika mencoba menembak kepalanya sendiri.

Di dalam penjara Ivan menangis sekuatnya. Ia masih meluapkan emosinya, sebab bayangan Gu senantiasa berwujud di matanya. Lelaki itu menarik napas dalam berkali-kali, meredam emosinya yang tak beraturan. Ivan sampai tak sadar, di dalam penjara itu ia tak sendirian. Ia ditemani dengan tawanan lama yang telah belasan tahun mendekam di sana. Seorang laki-laki yang tengah mencari anaknya yang diculik oleh tentara Balrus. Lelaki tua beragama Islam.

“Kau baik-baik saja?” sapa lelaki itu padanya.

Ivan menoleh dan memandang lawan bicaranya. Ia sangat mengenali identitas yang melekat pada wajah lelaki itu, janggut yang lebat serta pakaian sorban di kepalanya walau telah usang.

“Untuk apa kau bertanya? Apa kau sedang menghina dan mencoba mengasihaniku?”

“Aku tak perlu melakukannya. Aku hanya kasihan dengan anak-anak yang kalian pisahkan dari orang tuanya. Kalian apakan bocah-bocah tak berdosa itu?” Lelaki tua itu menata mata Ivan, melalui cahaya yang remang-remang, ia terperanjat melihat raut wajah itu. Bola mata abu-abu Ivan begitu mirip dengan …

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status