Share

Pesan Ayah

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2022-10-28 20:38:59

Ivan melirik, ia bisa melihat dengan kedua mata abu-abu itu, lelaki tua di sebelahnya sedang melantunkan ayat suci. Namun, tidak sedikit pun bibirnya bergerak untuk meminta Hamis berdiri. Ivan teramat lelah, rasa kehilangan dalam dirinya telah menciptakan duka luar biasa.

“Apa ini yang dialami oleh mereka ketika aku merenggut kehidupan yang tengah mereka jalani?” gumam Ivan. Ia meringkuk lagi, membiarkan Hamis terus mengaji hingga lelaki bengis itu kembali terlelap. Kali ini ia benar-benar berharap agar Gu tak lagi mengganggu tidurnya. Dihantui terus-menerus itu bisa membuatnya nyaris gila.

Hamis berhenti mengaji, ia benar-benar tak bisa menampik perasaan ketika gaya tidur Ivan mirip dengan Sarah—istri yang telah lama ia tinggalkan. Hamis sendiri tak tahu apa istrinya masih setia menunggu. Namun, jika wanita yang ia sayangi itu memutuskan menyerah lalu memilih menikah lagi pun, ia tak akan marah. Wajar, tidak hanya lelaki saja yang butuh pendamping. Perempuan pun demikian, butuh dinafkahi, disayangi, dan dilindungi. Namun, jika istrinya masih memutuskan untuk setia, sungguh Hamis berharap dapat dipertemukan di surga kelak.

Mengikuti naluri hatinya, Hamis bergerak. Tubuhnya memang dirantai tapi cukup panjang. Ia menyentuh leher Ivan, mencari tahu apa benar lelaki di depan dirinya adalah sang putra yang telah lama ia rindukan. Lelaki bengis itu begitu nyenyak tidurnya. Hamis menyibak kerah baju Ivan, dan benar saja. sebuah kenyataan pahit harus Hamis telan. Lelaki yang sedang tidur itu memiliki tanda lahir di leher. Tanda yang membuat keyakinannya semakin bertambah jika Ivan adalah putranya yang hilang.

Apa Hamis lantas memeluk Ivan? Tidak. Justru ia bimbang harus bagaimana. Ia memilih duduk dan tenggelam dalam air mata. Lelaki bengis di depan matanya dan berpakaian serba hitam sudah bisa dipastikan merupakan satu dari sekian banyak tentara yang menggempur umat islam.

Tidak ada yang bisa Hamis lakukan selain tersedu sedan. Mengapa ia harus dipertemukan dengan putranya ketika sudah menjadi mesin pembunuh. Darah memang lebih kental daripada air, tapi jika darah itu bercampur dengan penyakit, apa masih bisa dibiarkan begitu saja? Nyeri hati Hamis. Padahal ia berharap di akhir kehidupannya bisa memeluk sang putra dengan kedua tangannya. Nyatanya, Adhilzan sendiri telah menjelma menjadi musuh bagi agamanya sendiri.

“Ya Allah, mengapa begitu berat engkau berikan ujian untuk kami? Dari sekian banyak hal, mengapa harus putra kami yang engkau ambil sebagai musuh. Mengapa tak orang lain saja?” Hamis kembali menghapus air mata. Rasanya ia ingin menerobos dinding penjara lalu berlari ke rumah dan memeluk istrinya, sembari berkata. “Tidak ada harapan lagi, Sarah. Putra kita telah memutuskan untuk menjadi penghuni api neraka yang kekal di dalamnya.” Namun, apa daya, tubuhnya sudah lemah dan ringkih, di usia yang sebentar lagi menginjak angka 63 tahun, ia sudah merasa ajalnya amat dekat.

Lama Hamis menangis hingga ia terlelap. Dalam mimpinya ia dipertemukan kembali dengan Sarah dan Adhilzan ketika berusia 12 tahun. Masa-masa indah itu terulang kembali walau hanya dalam angan saja. Satu demi satu doa Hamis dikabulkan oleh Rab-Nya. Bukan tidak mungkin doanya tadi untuk meminta sang putra diselamatkan diwujudkan juga.

Shubuh masuk, Hamis sadar walau ia tak mendengar adzan seayat pun. Mengingat kematian telah amat dekat, dan harapan agar sang putra menjadi lelaki yang membela agama sudah sangat tipis. Hamis berdiri dengan tubuh ringkihnya. Dengan suara yang sedikit serak dan jelas sekali bekas tangisannya. Ia kumandangkan adzan di dalam ruang sempit itu. Suaranya terdengar memantul-mantul dari satu dinding ke dinding lain, membuat Ivan bangun, tapi ia hanya diam saja. Lalu penjaga penjara yang lain pun sama. Nyenyak tidur mereka terganggu. Tentu mereka merasa tak senang.

“Hei kau pria tua, diam! Atau aku tembak kepalamu.” Bentak penjaga penjara. Ivan bangun dan meminta mereka untuk pergi. Justru ketenangan hatinya terganggu ketika bawahan berpangkat rendahan itu menghardik Hamis.

“Kau teriak sekali lagi, aku hancurkan semua gigimu,” balas Ivan. Penjaga penjara itu lantas pergi setelah mendapat amarah dari pria berpangkat tinggi. Adzan pun terus dilantunkan Hamis sampai selesai. Tentu dengan air mata yang berlinang. Luka hati lelaki tua itu begitu dalam, sudah tak sanggup diukur lagi dengan penggaris paling panjang di dunia ini. Ia lanjut sholat seorang diri. Tak putus doa dipanjatkan, berharap hati diteguhkan dalam ketauhidan sampai ajal menjelang. Tak bangkit lelaki tua itu dari duduknya. Hanya dzikir yang bisa ia lantunkan sebagai penenang hati.

Ivan hanya diam saja dari tadi. Meski mimpinya sangat singkat tapi meninggalkan bekas yang demikian dalam. Adhilzan, apakah itu namanya dulu? Sebab Ivan ingat sekali, dulu tiba-tiba saja dalam tubuh tinggi ia sudah bangun di dalam sebuah ruangan khusus dan diberikan nama itu padanya sampai sekarang. Tentu ia memiliki kehidupan dulunya, tapi tak ia ingat sedikit pun.

Seorang laki-laki dengan pangkat lebih rendah daripada Ivan datang. Lelaki bengis itu melihat dengan kedua matanya, lalu sempat melirik Hamis yang kepalanya bersandar pada sebuah dinding.

“Kalau kau datang ke sini hanya untuk mengasihaniku saja, lebih baik kau pulang. Aku baik-baik saja meski istri dan anakku telah hangus terpanggang,” ucap Ivan. Hamis tidak tidur, ia hanya kelelahan saja. Ia dengar semuanya, ternyata ia sudah memiliki cucu dan telah tewas pula, kenyataan lain yang jauh lebih pahit.

“Tidak, Bos. Aku datang kemari hanya untuk memastikan kau baik-baik saja. Jika memang baik kau bisa keluar hari ini juga.”

“Aku baik, aku tidak lemah dan cengeng seperti perempuan. Keluarkan aku sekarang juga!”

“Tunggu sebentar lagi, Bos. Ada baiknya kalau kau makan dulu. Sejak kemaren tak aku lihat perutmu terisi makanan.” Tidak lama setelah itu lelaki dengan pangkat lebih rendah daripada Ivan menghantarkan senampan makanan hanya untuk bosnya. Tidak untuk Hamis.

“Berikan juga makanan untuknya. Sebentar lagi dia akan dieksekusi mati bukan? Setidaknya dia merasakan sedikit kebaikan kita,” ujar Ivan.

“Tidak perlu. Aku lebih baik mati kelaparan daripada harus makan-makanan haram daripada kalian.” Hamis langsung menyahut. Pertemuan dengan Ivan yang ia sangka sebagai Adhilzan terlalu menyakitkan seperti ini caranya.

Ivan tersulut emosinya. Ia lempar nampan besinya hingga menghantam dinding penjara dan semua makanan tumpah.

“Sudah tua kau masih sok saja. Lihat saja nanti, dengan kedua tanganku akan kucabut nyawamu. Enam hari dari sekarang, kau hitung saja sendiri kematianmu. Kalau kau mau menyerah masih ada waktu. Akan kami berikan kehidupan mewah di sisa usiamu.”

“Tidak perlu. Tidak perlu menunggu sampai enam hari lagi. Eksekusi mati saja aku sekarang dengan tanganmu, Nak. Barangkali haus darahmu tak juga puas setelah membantai sekian banyak umat muslim. Barangkali dengan darah orang tuamu sendiri, kau akan menyesal lalu menghentikan semua kegilaanmu, Nak.” Hamis masih memanggil Ivan dengan sebutan yang begitu lelaki itu benci.

“Sudah kukatakan untuk berhenti memanggilku seperti itu. Aku keluar dari sini sekarang, kalau kau mau tinggal di sini menggantikanku terserah. Aku tak perlu izin siapa-siapa untuk melakukan apa pun yang kuinginkan.” Ivan menarik kerah baju bawahannya. Ia keluar dari penjara, sebab tak ingin menghajar orang tua itu sampai rontok semua giginya.

“Adhilzan,” panggil Hamis dengan nama putra yang ia sematkan sejak lahir dan telah ditebus dengan dua ekor domba. Entah mengapa pula Ivan berhenti, nama itu, iya nama itu mengingatkannya dengan mimpi singkatnya tadi malam.

“Ingatlah dalam hidupmu tiga nama ini. Allah, Muhamma SAW dan Sarah.” Setelah itu Hamis menutup mulutnya, tak lagi ada hal yang harus ia katakan pada Ivan. Lelaki bengis itu pun sama, ia meninggalkan penjara setelah tak ada lagi yang perlu ia dengar.

Ivan menuju lapangan di mana semua personel sedang mempersiapkan diri. Ia menuju mobil yang memang sudah diparkir di sana sejak beberapa hari yang lalu. Ia hidupkan, ingin menuju rumahnya. Tak lama kemudian bawahannya datang dan mengetuk kaca mobil Ivan.

“Bos, kau mau ke mana?” tanyanya sedikit heran.

“Pulang tentu saja. Minggir, aku tak punya banyak waktu!” hardik lelaki berkepala plontos itu.

“Tapi, Bos, rumahmu sudah terbakar dan semuanya hangus. Barangkali kau lupa, aku hanya mengingatkan saja.” Usai mengatakan itu, bawahannya pergi takut kena murka lagi. Ivan meletakkan keningnya di kemudi. Ia lupa bahwa semua pencapaiannya telah hangus menjadi abu dan debu. Sama seperti rumah orang-orang Islam yang telah ia musnahkan.

Lelaki itu tetap menyetir, ia berkendara menuju tepi pantai, tempat di mana Sintia dan anak-anaknya kerap liburan melepas lelah di akhir pekan. Mereka merupakan keluarga bahagia dan menjadi panutan bagi banyak orang. Ivan yang dingin bertemu dengan Sintia yang hangat, saling melengkapi satu sama lain.

Debur ombak Ivan biarkan mengenai seluruh tubuhnya. Ia ingin mendinginkan hatinya dari segala amarah dan kekecewaan. Cipratan air mengenai mata abu-abu lelaki itu. Ia memejam karena terasa perih, dan kembali ingatan masa kecilnya tergambar begitu saja tanpa mau berkompromi pada Ivan. Ingatan ketika ia dipanggil ladi dengan nama Adhilzan, dan sedang pergi ke sungai dengan ayahnya, menangkap ikan.

“Bawa ini untuk ibumu. Minta dia untuk memasak sup ikan, sebentar lagi salju turun, kita perlu makan yang hangat-hangat,” ucap sang lelaki dalam ingatan Ivan. Rupa di masa muda itu sangat mirip dengan lelaki tua di dalam penjara.

Ivan yang tubuhnya sudah jauh lebih tinggi daripada ayahnya membawa dua ekor ikan itu ke rumah. Di sana ia bertemu lagi dengan sosok yang ia panggil sendiri dengan sebutan ibu. Sosok berwajah lembuh dan cantik, rambutnya lurus dan panjang, dan ibunya pendek daripada ayahnya.

“Kau mau Ibu mencampur ikan ini dengan kentang, Nak?” tanya wanita itu dengan lemah lembut. Adhilzan mengangguk saja, setiap hari pun diberikan kentang ia tak pernah bosan. Lalu ingatan itu putus begitu saja. Ivan membuka matanya, ia tak mau terlalu larut. Masih jelas dalam ingatan pesan dari lelaki tua itu untuk meningat tiga nama, salah satu di antaranya Sarah.

“Apa wanita dalam mimpi itu yang bernama Sarah? Lalu mengapa lelaki tua itu memanggilku dengan nama Adhilzan?” Ivan kembali ke kantornya, ia tak punya lagi tempat untuk tinggal.

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DILEMA DUA HATI    Home Sweet Home

    Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi

  • DILEMA DUA HATI    Bersama Zahra

    Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,

  • DILEMA DUA HATI    Gombal

    Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig

  • DILEMA DUA HATI    Terlalu Polos

    Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug

  • DILEMA DUA HATI    Lelaki Yang Gugup

    Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me

  • DILEMA DUA HATI    Benang Merah

    Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status