“Farhan, kamu dimana?” Suara Citra dari ujung telpon memekakkan telinga Farhan yang sedang menunggu penerbangan malam itu dari Surabaya menuju Jakarta. Namun begitu, Farhan menyukainya“Ada apa, Sayang? Kamu kangen?” goda Farhan. Meskipun Farhan sadar, sepertinya susah memisahkan Citra dengan Firman, tapi rasa sayangnya ke Citra memang tak bisa begitu saja dihilangkan. Selalu ada getaran aneh saat ia berkomunikasi dengan Citra. Sama seperti dulu saat ia masih kuliah. “Farhan! Aku serius. Kamu lagi sama Rani bukan?” teriak Citra kesal.Citra yakin, pasti Farhan dalang dibalik kekacauan ini. Tak mungkin Rani dengan berani membawa bayi prematur keluar rumah sakit tanpa orang yang menemani. “Ya, aku sedang siap-siap boarding dari Surabaya,” jawab Farhan kemudian. Tak sampai hati dia mempermainkan Citra dengan candaan di kala pujaan hatinya itu sedang serius. Bisa-bisa, Citra akan mendiamkannya sebelum keinginannya tercapai. “Gila kamu, Han, nyulik anak orang nggak bilang-bilang bapakn
Firman masih memegangi pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut dan pening akibat pukulan dari mertuanya. "Cukup, Ayah!" Rani berlari keluar saat mendengar kegaduhan. Andai Rani tidak segera menghampiri, mungkin saja mertua Firman sudah bertidak brutal, menonjok atau menendang tubuhnya. "Ibu, ajak Ayah masuk," titah Rani pada ibunya yang juga ikut menghambur ke luar. Ayahnya masih emosi. Tak mungkin dapat berbicara baik-baik dengan menantunya itu. Rani segera kembali membawakan secangkir teh panas setelah Firman duduk dengan nyaman di teras rumahnya. Rani sengaja belum mempersilahkan masuk. "Dikompres dulu, Mas. Biar nggak memar," ujar Rani sembari mengangsurkan kompres berisi air dingin. "Maafin, Ayah, ya, Mas," tutur Rani sambil duduk di sebelah Firman. Dulu, di teras itu mereka sering menghabiskan waktu. Dulu, teras itu adalah saksi bisu cinta mereka tumbuh karena terbiasa bertemu. Dulu, teras itu pula, mertuanya menyambut Firman dengan hangat. Kini, teras itu pula saksi
Sejak Rani menggugat cerai, Firman memilih merahasiakannya dari Citra. Sebagai sahabatnya, pasti Citra tidak merelakan perceraiannya dengan Rani. Tapi, Firman juga tidak sanggup berpisah dengan Citra. "Gimana kabar Caca dan Rani?" tanya Citra saat Firman pulang dari Surabaya. "Baik." Firman hanya menjawab pendek. Dia tak mau bicara panjang lebar, karena takut terjebak pada kebohongan lain. "Mereka nggak ingin tinggal di Jakarta lagi?" Sejak kelahiran anaknya hasil buah cinta dengan Rani, Firman sudah mengurus kembali pekerjaannya ke kantornya di Jakarta.Setelah Rani pulang ke Surabaya, Firman pun juga kembali ke keluarga Citra dan anak-anak dengan alasan kehamilan Citra yang mulai membesar sehingga kehadirannya sangat diperlukan. "Neneknya ingin mengasuh Caca," jawab Firman sekenanya. Citra tak lagi menaruh curiga. Sejak dia sering kecewa, Citra memilih tak ingin jauh mencampuri urusan Firman. "Tapi kamu papanya Caca. Sebaiknya, kamu juga memperhatikan tumbuh kembangnya. Janga
"Selamat, ya. Keponakanku cantik, kayak mamanya," ucap Farhan, usai meng-adzan-i keponakannya. "Han..." panggil Citra setelah suster mengambil putrinya dan membawanya ke ruang bayi. "Rani menggungat cerai Mas Firman," sambung Citra. "Sttt. Kamu habis lahiran. Ngomong yang lain aja, ya." Farhan meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Dia tak ingin membahas tentang apapun hingga kondisi Citra stabil. Dia baru saja melahirkan. "Apa kamu sudah tahu?" Citra mencurigai sesuatu. Farhan menarik nafas. Dia ingat kalau Citra keras kepala. Apa yang ingin diketahui. pasti saat itu juga harus tahu. “Kamu baru tahu kalau Firman dan Rani akan bercerai?” Farhan balik bertanya. “Jadi, kamu sudah tahu?" Mata Citra menatap tajam pada Farhan yang duduk di kursi di samping ranjang. Mengapa tidak mengatakannya padaku?” tanya Citra sendu. Dia semakin merasa tak ada satu pun orang yang menyayanginya. Buktinya, Farhan [un ikut merahasiakan masalah besar ini darinya. Farhan mendesah. “Aku tak mau turut
“Gimana, Pak kondisi Ibu?” tanya Mbok Sumi saat Firman saat masuk ke rumah setiba dari Surabaya. Karena hari kerja, rumah memang sepi. Anak-anak sekolah. Hanya ada Rara yang sedang diasuh oleh Mbak Susi. “Bu Citra? Kok tanya ke saya?” tanya Firman keheranan. Mbok Sumi jadi ikut keheranan. Dia fikir majikannya sudah tahu kalau Citra sudah di bawa ke rumah sakit dari kemaren. Meskipun Farhan sudah mengabarkan lewat telepon, namun Mbok Sumi merasa tak ada salah nya bertanya secara langsung ke majikannya. “Lhoh, Ibu kan sudah melahirkan, Pak!”jawab Mbok Sumi. Citra dan Firman memang memperlakukan ART nya seperti layaknya saudara. Sehingga Mbok Sumi biasanya tidak terlalu canggung menanyakan mengenai kondisi dan kabar majikannya. “Melahirkan?” Seketika mata Firman membulat. Dia langsung bangkit dari duduknya, lalu menyambar kunci mobilnya tanpa bertanya lebih jauh. Dia sudah tahu kemana dia harus pergi. Setiba di rumah sakit diilihatnya Farhan baru saja keluar dari kamar dimana Ci
“Tidak!” terdengar suara lantang dari arah pintu. Serentak Citra dan Firman menoleh ke sumber suara. “Kami tidak rela Citra hidup bersamamu lagi! sudah banyak kebohongan dan kekecewaan yang kamu berikan kepadanya.” Hanung tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu bersama Papi dan Maminya Citra. Rupanya mereka sudah mendengar kalau Citra sudah melahirkan. “Urus segera perceraianmu dengan Citra. Semua sudah berakhir,” ujar Papi Citra. Citra tahu, papi dan maminya sangat kecewa kepada Firman. Bagi orang tua Citra sudah tidak ada maaf bagi pengkhianat cinta. Apalagi sekarang Citra sudah melahirkan dan tidak menunjukkan hubungan yang membaik. Buat apa mempertahankan ikatan jika salah satu darinya masih terus mengkianatinya.“Jika kamu tidak sanggup mengurusnya, biar papi yang akan mengurus semuanya. Sampai ketemu di penggadilan agama,” ujar Papi Citra lagi. Firman baru saja hendak bersimpuh di hadapan mertuanya, namun mereka justru pergi meninggalkannya.***Sepulang dari rumah sakit, Fir
“Farhan!” Farhan mencari ke sumber suara. Dia sedikit tertegun saat melihat Rani dengan setelan baju kerja berdiri di ruang meeting, tempat dia sebentar lagi akan melakukan meeting dengan klien-nya di Makassar. “Rani, kok kamu ada di sini?” tanya Farhan sedikit keheranan. Tentu saja Farhan tidak menyangka akan bertemu Rani di kantor mitra nya di Makassar. Bahkan, Firman pun tidak pernah bercerita soal hal ini. Mungkin juga karena ini tidak penting untuk diceritakan. Toh mereka bukan lagi suami istri. Tapi? Bagaimana dengan anak mereka?“Surat ceraiku sudah turun. Aku sudah resmi berpisah dengan Firman,” ujar Rani dengan rona bahagia. Rani ingin memberi tahu hal ini kepada Farhan seolah ingin memberikan kesempatan kepada Farhan.“Aku sengaja menjauh dari kota asalku. Meninggalkan segala kenangan masa lalu,” lanjutnya. Percakapan keduanya terhenti karena meeting segera akan dimulai. __“Gimana kabar Caca?” tanya Farhan. Mereka memutuskan melanjutkan perbincangan usai jam kerja. Farh
“Apa ini?” tanya Firman sambil membanting amplop surat dan secarik kertas yang sudah di keluarkan di hadapan Citra yang sedang menyusui anak bungsunya, Reva.Citra terlihat tidak kaget. Dia hanya melirik sekilas kop surat yang tertera di kertas itu. Surat yang mirip dengan yang pernah diterima Citra saat gugatan cerai dari Rani datang ditujukan untuk Firman.Selama bersama Citra, Firman tidak mencurigai apapun. Sejak kelahiran Reva, Citra lebih memilih tidur di kamar Rara dan Reva dengan alasan khawatir Reva rewel. Tapi, rupanya itu hanya alasan Citra untuk diam-diam menjauhinya. “Aku sudah bilang, Mas. Aku serius. Tapi, kamu selalu menganggapku main-main,” jawab Citra datar. Sudah tak ada air mata di sana.Citra sudah mengetahui semua sandiwara Firman. Pria itu hanya berpura-pura setiap minggu ke Surabaya demi menyenangkan hati Citra, karena Citra meminta Firman tidak berpisah dari Rani. Tapi, nyatanya? Farhan bahkan memberitahukannya kalau Rani sudah lama bekerja di Makassar sejak