Citra dan Firman menikah dengan kebahagiaan yang sempurna. Sayangnya, saat ekonomi keluarga mulai membaik, Firman mulai menaruh hati pada rekan kerjanya, Rani, yang tak lain adalah sahabat lama Citra saat SMA. Citra berusaha mengalah dan mundur dari kehidupan Firman. Sayangnya, Firman terlambat menyadari bahwa Citra adalah cintanya yang sesungguhnya. Bagaimanakah kelanjutannya? Ikuti kisahnya sampai tamat ya.
View More“Jadi, Nak Firman, kapan orang tua nya akan datang melamar Rani?” tanya Ayah Rani.
Namanya Maharani. Usianya nyaris kepala tiga. Karir di kantornya bagus, hingga dia melupakan mencari pendamping. Di saat semua teman sekolah dan teman kuliah sudah membahas masalah menikah dan berkeluarga, Rani justru sibuk dengan karirnya. Lama-kelamaan, dia menarik diri dari aktivitas sosialnya.
Entah bagaimana awalnya, Firman, penanggungjawab proyek yang bekerjasama dengan kantor Rani menjalin hubungan dekat dengannya. Yang tadinya hanya sebatas urusan kerja, lama-kelamaan hubungan keduanya menjadi nyaman dan saling bergantung. Tak jarang Firman bertandang ke rumah Rani dari sekedar mengantar pulang, hingga benar-benar menghabiskan waktu di saat luang.
Firman yang tidak menyangka dengan pertanyaan Ayah Rani tergagap. Dia tak menyangka jika harapan orang tua Rani sampai sejauh itu. Karena Firman sendiri selama ini hanya ingin mengisi kekosongan selama mengerjakan proyek di Surabaya.
Kantor Pusat tempat Firman bekerja ada di Jakarta. Begitu juga dengan keluarganya. Di Surabaya, dia hanya bertugas sementara hingga proyeknya selesai. Karena hanya sementara, tak mungkin istrinya harus keluar kerja untuk mengikuti penugasannya.
“Tidak enak sama tetangga, Rani anak gadis, sering pergi dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya,” sambung Ayah Rani sebelum Firman menjawab.
“Maaf, Om. Saya belum bisa memastikan. Soalnya sampai tahun depan kantor saya di Jakarta sedang sibuk-sibuknya. Dan sepertinya tidak bisa saya tinggalkan.“ Firman mencoba mencari alasan.
Ingin menjawab yang sesungguhnya, kalau sebenarnya dia adalah pria beristri, sepertinya bukan saat yang tepat. Bagaimana bisa seorang pria beristri dekat dengan wanita lain? Jika dia melakukannya, pasti Ayah Rani akan mengusirnya. Firman pikir, lebih baik untuk mengulur waktu, sementara dia punya jawaban yang tepat.
“Kami paham dengan kesibukan Nak Firman. Begini saja, saya sebagai orang tua, takut kalau kenapa-kenapa. Apalagi Rani kan anak perempuan kami satu-satunya. Bagaimana kalau kalian menikah dulu saja. Nanti, kalau Nak Firman sudah longgar, kita bisa perkenalan orang tua, sekaligus mengurus untuk meresmikannya.” Ayah Rani memberi solusi.
Pria paruh baya itu sudah sangat menginginkan Rani segera mengakhiri masa lajang. Usia hampir kepala tiga adalah usia yang rawan. Apalagi Rani punya karir yang bagus. Pria biasa saja, pasti akan minder mendekati Rani.
Dulu, saat Rani belum jadi siapa-siapa, ayahnya sudah berusaha mengenalkan dengan beberapa anak sahabatnya. Namun, selalu saja ditolak. Kini, anak-anak sahabatnya satu persatu sudah berkeluarga. Hanya Firman satu-satunya lelaki yang terlihat serius dengan Rani.
Selain tampang rupawan, Firman terlihat sebagai pria baik-baik. Pria rumahan yang bertanggungjawab. Juga tidak neko-neko. Jadi, apalagi yang harus diragukan? Apalagi usia Firman yang masih muda, seumuran dengan Rani terlihat mereka adalah pasangan yang cocok.
Entah apa yang ada dalam otak Firman saat itu. Dia menerima saja tawaran dari Ayah Rani, tanpa memikirkan keluarganya di Jakarta. Pernikahan siri yang dilakukan hanya mengundang tetangga kanan kiri, memang tak membuat tetangga curiga. Justru tasyakuran yang dilakukan untuk memperjelas hubungan mereka dan menyampaikan alasan tentang kesibukan Firman. Ayah Rani berjanji akan segera meresmikan hubungan keduanya di Kantor Urusan Agama, begitu proyek Firman selesai.
Tak terasa, pernikahan mereka sudah menginjak usia empat bulan. Proyek Firman di Surabaya juga sudah usai. Firman sudah kembali ke Jakarta, dengan alasan pekerjaan di kantor pusat, namun sesekali juga mengunjungi Rani. Apalagi Jakarta-Surabaya bukanlah jarak yang jauh.
Citra, istri Firman yang di Jakarta, tak pernah sedikit pun menaruh curiga. Firman masih sama seperti sebelumnya. Sering ke luar kota, karena memang itulah pekerjaannya. Citra juga tidak pernah mempermasalahkan keuangan karena dia juga bekerja. Gaji Firman memang 100% Citra yang pegang. Tapi, semua bonus ada di tangan Firman.
Di samping itu, Rani yang juga wanita karir tak pernah menuntut materi dari Firman. Sehingga empat bulan punya dapur dua, tak pernah sedikit pun terendus oleh kedua istrinya.
“Sayang, minggu ini aku akan meninjau proyek di Surabaya selama seminggu,” kata Firman saat sarapan pagi bersama Citra dan anak-anaknya.
Citra sudah biasa ditinggal dinas ke luar kota oleh Firman. Dia merasa tak pernah ada yang aneh. Apalagi kehidupan keluarganya baik-baik saja.
Citra adalah cinta pertama Firman. Mereka kuliah satu kampus. Citra adik tingkat Firman dan salah satu mahasiswi popular. Namun, cintanya jatuh pada Firman.
Mereka berdua nikah muda, saat baru lulus kuliah. Kala itu, Firman belum siapa-siapa. Citra rela hidup susah tinggal mengontrak di rumah petak. Saat Firman masih sibuk sana sini mencari pekerjaan, Citra sudah bekerja sebagai staf admin di salah satu perusahaan swasta.
Seiring waktu, Firman diterima bekerja di tempatnya yang sekarang. Atas dukungan Citra, karirnya melesat. Citra sendiri tak pernah memikirkan karir. Dia sudah merasa cukup meski sudah senior hanya sebagai staf. Dia lebih mementingkan keluarga dan sering menolak untuk dipromosikan karena khawatir tidak sebebas sekarang jika tanggung jawab pekerjaan bertambah.
Sebagai wanita rumahan, Citra pun lebih mementingkan keluarga. Tak heran jika karirnya hanya begitu-begitu saja. Kalah jauh dengan yuniornya. Selain itu, Citra juga menarik diri dari aktivitas media sosial. Dia sering merasa minder dengan teman-temannya. Dia yang dulu popular, sekarang kalah jauh dengan teman-temannya.
“Iya, Sayang. Ohya. Aku juga minta ijin, sabtu ini ada reuni, boleh ya?” sahut Citra.
Citra sebenarnya kurang menyukai acara kumpul-kumpul. Tapi, karena acara reuni kali ini hanya reuni kecil geng nya SMA, rasanya tak ingin untuk dilewatkan meskipun dia harus menempuh ratusan kilometer. Dia sudah kangen mengenang masa mudanya setelah sekian lama berjibaku dengan urusan rumah tangga.
“Ya boleh, terserah mama. Yang penting hati-hati,” jawab Firman. Pria itu mengecup kening istrinya, sebelum kemudian meninggalkan Citra untuk berangkat ke kantor. Anak-anak biasanya urusan Citra.
***ETW***
“Jadi kapan kita akan menikah secara resmi?” tanya Rani sambil bermanja di bahu Firman. Minggu ini Firman sedang dinas ke Surabaya selama seminggu. Setiap dinas ke Surabaya, tentu saja Firman akan menginap di rumah Rani.
“Nanti sayang. Mas belum sempat mengurus surat-suratnya,” dalih Firman.
Rani hanya dapat menghela nafas untuk bersabar. Bagaimanapun Rani sangat ingin segera meresmikan hubungan mereka dan mengundang teman-temannya untuk hadir di acara resepsi pernikahannya. Rani selalu merasa risih jika bertemu teman lamanya dan ditanya statusnya. Sebuah buku nikah, jauh lebih berharga dibandingkan hanya gambar foto berdua dengan Firman.
“Ngga usah sedih, pasti nanti segera aku urus,” bujuk Firman sambil menjawil dagu Rani.
***ETW***
Sore itu Rani dan Firman sengaja jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan. Apalagi yang tidak dia lakukan selain menghabiskan waktu dengan Firman mumpung dia sedang di Surabaya.
“Makan yuk, Mas. Aku lapar, “ ajak Rani sambil menggamit lengan Firman menuju Foodcourt di lantai lima pusat perbelanjaan terbesar di kota Surabaya.
“Aku ke toilet dulu ya, Ran,” kata Firman setelah memesan menu.
Sedang Rani memilih menunggu menu yang dipesan sambil memainkan ponselnya.
“Hai! Rani kan? Maharani?” Seorang wanita dengan baju tunik dan jilbab pasmina menyapa Rani. Dia mendekat, memastikan yang disapa adalah benar sahabatnya saat SMA dahulu.
Sekilas Rani mengingat-ingat.
“Ya ampun Citra! Apa kabar?” Rani bangkit dari duduknya. Ia segera menghambur ke pelukan Citra.
Mereka berdua bersahabat saat masih SMA. Rani hampir tak mengenal Citra. Ibu muda itu jauh berbeda dengan saat SMA dulu. Dulu dia terlihat modis dan berkelas. Sementara sekarang, jauh terlihat sederhana.
Sejak lulus SMA keduanya terpisah. Mereka kuliah di kampus yang berbeda. Keadaan juga yang membuat keduanya tidak saling kontak. Rani yang menarik diri dari aktivitas sosial karena belum berkeluarga. Citra yang menarik diri karena kesibukan bekerja dan punya tiga orang anak di usia belum genap tiga puluh tahun.
“Sedang apa di Surabaya? Sama Siapa?” Rani memindai sekitar, memastikan ada seseorang yang sedang bersama Citra.
Bahkan, Citra belum sempat menjawab pertanyaan Rani sebelumnya.
“Ya ampun, Ran. Kan tadi ada reunian khusus teman-teman sekelas kita, cewek-cewek aja. Ternyata temen-temen kelas kita banyak yang di Surabaya. Kamu tadi di cari-cari lho. Acara ini 'kan sudah diposting di grup. Sudah lama dan sering dibahas,” ujar Citra antusias.
Sebenarnya, Citra tahu acara itu juga karena ada salah satu yang men-japri-nya. Tapi, ia sama sekali tidak ingat untuk menghubungi salah satu sahabatnya, Rani. Waktu itu malah kepikiran kalau Rani salah satu yang bakal datang, karena memang orang tua Rani orang Surabaya.
Kebetulan mereka dahulu SMA di Solo, saat orang tua Rani yang asli Surabaya pindah tugas ke kota itu. Sementara, Citra sendiri asli Solo.
Rani tertegun sejenak. Dia memang malas mengecek percakapan di grup alumni sekolah maupun kuliah. Bahkan sampai ribuan notifikasi, saking tidak pernah dibukanya kedua grup itu.
“Trus yang lain mana?” tanya Rani penasaran.
“Udah bubar semua. Cuma sebentar kok tadi. Makan-makan, udah,” Citra menjawab dengan antusias.
“Kamu nginep dimana?” tanya Rani. Dia ingin menawarkan sahabatnya menginap di rumahnya. Bisa ngobrol-ngobrol sampai malam, seperti saat masih gadis dulu.
“Aku nggak lama. Ini langsung balik Jakarta. Kebetulan papanya anak-anak juga lagi keluar kota,” jelas Citra.
Ada rona kecewa di wajah Rani. “Padahal aku kangen. Dah lama banget nggak ketemu,” sungut Rani. Masih seperti dulu.
“Kamu apa kabar?” tanya Citra seraya mengambil tempat duduk berhadapan dengan Rani.
“Baik!” Pandangan Rani yang semula ke Citra, beralih ke belakang Citra. “Eh, aku kenalin ya sama suami aku,” kata Rani saat melihat Firman menghampirinya.
Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat.
Seketika mata Citra langsung membulat sempurna. Begitu juga Firman. Firman tak menyangka Citra ada di Surabaya.
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri
Setelah mendapatkan nomor Farhan, Rani tak tinggal diam. Berawal hanya menanyakan nama kantor dan alamat kantornya, akhirnya Rani berhasil mengajak Farhan makan siang. "Waktuku nggak banyak, Ran. Kalau kamu mau, kamu harus datang tepat waktu," ujar Farhan setelah beberapa kali menolak ajakan Rani. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan. Rani segera bergegas. Bahkan dia tak peduli kalau usai makan siang ada jadwal kuliah. Toh, selama ini dia belum pernah bolos. Jadi, tak mengapa sesekali absen. Perkara alasan, nanti bisa dicari. Demi agar tidak terlambat, Rani datang duluan. Sedikit banyak dia ingat karakter Farhan yang selalu on time, jutek dan tidak mau ditawar. Cafe yang tak jauh dari kantor Farhan menjadi pilihan. Ada menu halal di sana. Biasanya Farhan hanya makan siang dengan bekal yang disiapkan Citra. Namun, karena dia sudah janji dengan Rani, terpaksa dia harus makan di luar. Rani tersenyum simpul saat melihat Farhan menghampiri. Pria itu terlihat lebih tampan dengan stelan
Bekerja lembur bukanlah tradisi orang Belanda. Mereka bekerja dengan sangat efisien. Jam lima sore lewat sedikit biasanya mobil-mobil sudah terparkir kembali di depan rumah. Jam enam sore, umumnya orang Belanda sudah selesai makan malam. Jam delapan malam anak-anak di Belanda sudah berangkat tidur.“Citra, apa kamu bersedia jika aku meminta satu anak dari darah dagingku?” bisik Farhan.Citra sudah selesai menidurkan Reva dan Rara. Musim semi di Belanda membuat udara terasa segar. Tidak terlalu gerah tapi juga tidak terlalu dingin. Semilir angin mengintip melalui celah ventilasi yang dibiarkan terbuka. Sangat cocok pagi pasangan untuk memadu kasih. “Jangankan satu, lima pun aku bersedia,” jawab Citra sambil mengerling manja. Mungkin Farhan benar. Cinta Citra akan tumbuh seiring dengan waktu. Beruntung Farhan membawanya ke tempat yang baru. Ke tempat yang dia bisa melupakan kenangan tentang Firman. Ke tempat dimana hanya ada Farhan di sisinya dan mencurahkan segala kasih kepadanya. F
“Makasih ya, sayang. Kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat menantimu,” ujar Farhan di antara semilir angin musin semi di kota Den Haag. Dibukanya jendela apartemennya. Tampak dari kejauhan pemandangan wind molen terlihat dari jendela. “Aku yang berterimakasih kepadamu, sudah mau menerima anak-anak,” sahut Citra. Jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Citra segera beranjak untuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti di Indonesia yang sarapannya ribet. Di sana, Citra hanya cukup menyiapkan susu sereal, atau roti bakar. Mereka benar-benar memulai hidup baru. Bagi, Farhan menjadi ayah baru dari empat keponakannya tidaklah berat di negeri kincir angin ini. Tidak ada stigma buruk menikah dengan janda punya anak banyak. Di kota itu pun, Citra tidak akan kesepian. Banyak orang Indonesia yang tinggal disini. Citra bisa ikut aktivitas di Masjid Indonesia, atau pengajian warga Indonesia yang ada di Belanda atau pun di KBRI jika mau. Ter
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments