Happy reading ya >3 Terima kasih :)
“Hendra kamu?” “Saya tau Aisyah kamu pasti mengerti maksud dari perkataan saya, bukan bermaksud lancang tapi saya khawatir wanita sebaik dan secantik kamu pasti orang di luar sana banyak yang tertarik dengan kamu.” “Saya harap kamu hanya bercanda Hen,” tegasnya. “Tidak, saya tidak pernah bercanda tentang perasaan saya, saya takut ada yang mendahului saya jadi lebih cepat lebih baik jika kamu tau perasaan saya yang sebenarnya. Saya suka sama kamu Aisyah.” Penjelasan Hendra membuat Aisyah sontak terkejut, “Kamu jangan bercanda Hen, emang kamu mau sama janda anak satu seperti saya? Kamu siap jadi omongan orang? Kamu itu seorang dokter Hen, kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari saya.” “Nggak Aisyah, perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Kalau saya suka sama kamu itu artinya orang lain di luar sana tidak spesial di mata saya, lagi pula apa masalahnya jika kamu janda anak satu toh kamu masih manusia kan! Justru saya senang jika kamu mau menerima saya karena saya bisa langsung punya a
“Kesehatan pak Ahmad berangsur membaik, nanti sore beliau boleh pulang dan bisa istirahat di rumah. Obatnya tetap diminum agar kesehatan beliau tetap stabil, jangan kerja atau beraktivitas yang berat-berat dulu,” terang dokter itu. “Alhamdulilah, terima kasih, dok.” “Syukurlah, Aisyah jadi sedikit lega kalau Bapak sudah bisa dibawa pulang, sehat-sehat ya, Pak.” Hendra memberikan kode pada Aisyah, “Iya kenapa Hen?” “Saya boleh mengantar Bapak pulang nanti? Nanti bisa naik mobil, jadi bisa lebih nyaman di jalan.” “Tapi Hen…” “Kalau kamu keberatan, saya bisa sewakan mobil jadi nanti ada yang sopirin tapi bukan saya, kamu tidak usah sungkan semuanya demi kebaikan kita semua. Kasian bapak,” bujuknya. “Lebih baik kamu saja Hen, kalau sewa mobil lagi malah makin merepotkan. Urusan Bapak nanti saya bisa bicarakan dulu.” “Baik, kalau begitu saya tunggu di luar.” “Terima kasih, Hen.” Perlahan tetapi pasti, setiap keinginan pasti butuh perjuangan. Sang dokter Hendra mulai me
“Anak muda jaman sekarang kalau ada maunya memang kelakuannya aneh-aneh!” “Bapak ini! Orang berbuat baik malah disangka yang enggak-enggak.” “Bapakmu ini dulu pernah muda!” “Hust! Udahlah Pak, kasian Aisyah.” Pak Ahmad tidak mudah untuk digoyahkan tampaknya usaha dokter Hendra harus lebih keras lagi untuk meluluhkan hati lelaki senja yang sedikit keras kepala itu. “Aisyah ke sini sebentar, Nak!” “Iya kenapa, Pak?” “Bapak tidak sedang bercanda! Kamu dengar baik-baik pesan Bapak, sekarang kesehatan Bapak tidak ada yang tau mungkin hari ini Bapakmu ini masih bisa selamat tapi tidak tau hari esok …” “Bapak!” Aisyah merasa sedikit kesal “Dengar dulu! Bapakmu ini sayang sama kamu jadi Bapak nggak mau kamu jatuh kepada lelaki yang salah lagi terlebih sekarang kamu tidak sendiri tapi ada anak yang juga tanggung jawab kami sebagai orang tua kamu … kalau Bapakmu ini boleh berpesan kamu jangan dekat-dekat dengan lelaki dulu, Bapak nggak suka!” jelasnya. “Tapi, Pak. Bapak bar
“Ma!” “Mending kamu langsung istirahat, Mama lagi malas berdebat sama kamu!” Bima mendengus lantas melangkahkan kakinya dengan tergesa menuju ke kamar. “Aaaahhhhh.” Bima berteriak sejadi-jadinya, barang-barang yang ada di kamarnya menjadi sasaran empuk kemarahannya, “Kenapa hidup aku jadi berantakan gini, sih! Istri jadi pembangkang, punya Mama kerjaannya ngoceh mulu. Lama-lama stres aku!” *** “Ma, Kia mau papa baru!” “Kia, kok gitu sih ngomongnya sayang?” “Aku nggak suka sama Papa Bima! Dia jahat!” “Sutss! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya.” Jihan ketakutan jika orang tuanya mendengar “Tapi kan bener, Ma. Temen-temen aku yang lain Papanya baik-baik semua, aku kan cuma mau Papa yang nganterin aku sekolah tiap hari, mau aku kenalin ke temen-temen dan nggak marahin Mama terus.” “Sayang, Papa Bima baik kok, dia lagi capek aja kan Papa Bima banyak kerjaan di kantor jadi kalau udah nggak capek pasti Papa Bima bakalan sayang banget sama Kia,” bual Jihan. “Mama serius?” “Iya, saya
“Ke mana lu?” “Mau jemput istri gua sama anaknya.” “Baik-baik, lu!” *** “Setelah sampai rumah, Mas mau ngobrol hal penting sama kamu.” “Mau ngobrol apa, Mas?” “Ini penting jadi lebih baik cuma kita saja yang dengar,” ucapnya sambil melirik ke arah Kiara. “Pa! Kata Mama Papa udah jadi baik ya?” “Maksudnya?” “Kata Mama, Papa jadi jahat karena Papa capek iya kan?” Bima kikuk, “Ha? E ….” “Cuma itu yang bisa aku lakuin buat anak aku, lagian kamu juga bersalah dalam hal ini.” “Kia udah boleh panggil Papa lagi kan? Papa Bima udah mau jadi Papa aku lagi kan?” Jihan hanya menatap Bima datar, Bima berbalik menatap Jihan. “Emm iya boleh,” jawabnya datar. Jihan tampak terheran namun di sisi lain ia merasa senang, “Kamu kenapa, Mas?” “Emang kenapa?” “Aneh aja! Bukannya kamu benci kalau Kiara manggil kamu Papa lagian kamu nggak mau nganggep Kiara sebagai anak.” “Kamu ini maunya apa sih? Mas udah berusaha buat jadi lebih baik lagi, emangnya kamu nggak seneng?” “Ya nggak gitu, aneh
“Gimana? Ini penawaran aku yang terakhir.” “Jaminan apa yang bisa buat aku percaya sama omongan kamu, Mas?” “Kamu bisa pegang omongan aku, kalau kamu memang tidak percaya sama omongan aku kita akan membuat kesepakatan di atas materai.” Jihan tampak mulai yakin dengan rayuan Bima, “Aku harap kamu memang benar-benar bisa pegang omongan kamu Mas … tapi ….” “Tapi apa?” “Bagaimana dengan Mama? Aku khawatir melihat sikap Mama selama ini yang selalu turut campur dengan urusan rumah tangga kita dan Mama sangat jelas menunjukkan sikapnya kalau dia nggak suka sama anak aku Kiara,” ungkapnya ragu. “Urusan itu gampang, Mama aku dan kamu kita bertiga akan sama-sama membuat kesepakatan di atas materai … jadi tidak ada yang dirugikan sampai kita bertiga tidak ada yang melanggar kesepakatan, gimana?” Jihan tampak sangat mempertimbangkan ucapan Bima, ia takut keputusannya itu akan berpengaruh besar terhadap dirinya dan anaknya di masa depan. “Kamu masih ragu? Ingat ini penawaran terakhir, Mas t
Pagi-pagi sekali Hendra sudah bersiap membeli semua bahan yang diperlukan Aisyah untuk berjualan, ia sudah tampak kemas dengan catatan kecil di tangannya yang berisikan list bahan yang harus dibeli. “Banyak sekali, Mas. Untuk stok istri di rumah ya?” cetus seorang pedagang sayur. Hendra tersenyum tipis, “Untuk calon, buk.” “Walah, semoga segera dihalalkan, ya.” “Amin. Ini total semuanya berapa?” “53 ribu semuanya.” Hendra merogoh kantongnya, “Ini, buk.” “Iya, ini kembaliannya. Makasi, ya.” “Sama-sama, mari buk.” Tangan dokter itu sudah tampak penuh dengan tentengan belanjaan, ia segera melangkah menuju mobil. “Hah, akhirnya. Bumbu-bumbu, sayuran, daging, ikan, penyedap semuanya emm … oke sudah lengkap semuanya.” Hendra lekas mengendarai mobilnya menuju ke rumah Aisyah “Assalamualaikum, Aisyah.” “Waalaikumsalam, eh … kamu!” Tak disangka yang membukakan pintu adalah pak Ahmad “Eh bapak.” Segera meraih tangan pak Ahmad untuk bersalaman “Ngapain kamu ke sini?” tanyanya ketus.
“Tapi … kamu tidak merasa kapok kan dengan sikap Bapak yang sedikit keras denganmu?” Hendra tersenyum tipis, “Sama sekali tidak bu.” “Syukurlah, terima kasih ya nak. Semenjak kamu datang ibu jadi penuh syukur karena masih bisa melihat anak ibu ceria lagi tidak murung, sejak kejadian itu Aisyah selalu menyalahkan dirinya dan ibu selalu khawatir dengan kondisi anak ibu ke depannya,” tuturnya berlinang air mata. “Bu, ibu tidak perlu berterima kasih pada saya karena sesungguhnya saya tidak berbuat banyak akan hal itu. Anak ibu Aisyah, adalah sosok yang kuat makanya dia bisa seperti sekarang ini.” Asih meraih tangan Hendra dan menggenggamnya erat, “Nak Hendra, tolong jagain Aisyah, ya … kalau memang nak Hendra serius dengan anak ibu tolong jangan pernah sakiti dia, Aisyah sudah terlalu capek jika harus melewati kondisi seperti itu lagi.” Hendra menatap bu Asih dalam, “Bu, saya pasti akan jaga anak ibu sebaik-baiknya saya menjaga diri saya sendiri, terima kasih sudah memberikan saya kep