Hai readers >3 Sehat selalu ya! Terima kasih sudah membaca. Happy reading love >3
“Oke, kalau itu mau kamu. Kamu tinggal pilih aja, Mas mau bantuin biaya operasi Kiara atau tidak sama sekali dengan catatan kesepakatan dibatalkan dan tidak ada lagi perjanjian di antara kita dan satu lagi konsekuensi pelanggaran harus ditepati! Pilihan ada di tangan kamu Mas, gimana?” Bima tampak terdiam dalam waktu yang lama, ia berusaha mempertimbangkan keputusannya matang-matang. “O-oke, aku setuju! Kasi aku waktu sampai besok, sekarang kamu urus berkas administrasi yang kurang. Aku mau balik lagi lagi ke kantor karena tadi ada pekerjaan yang harus aku ambil tapi aku tinggal ke sini jadi aku nggak bisa nemenin kamu.” Jihan mengerinyitkan dahinya, “Tega kamu ninggalin aku sendirian jaga Kiara, Mas?” Bima mendengus, “Hah, kamu dalam situasi kayak gini masih mau nuntut aku buat ngelakuin semuanya? Kamu mikir dong, pekerjaan aku banyak dan sekarang harus mikirin biaya operasi anak kamu padahal aku lagi butuh juga! Kamu mikir nggak sampai ke sana gimana stres nya aku sek
Pak Ahmad berbisik pada Hendra, “Maafkan saya nak Hendra, saya salah. Kamu orang baik dan saya harap terus begitu selamanya untuk menjaga anak saya yang sebelumnya pernah menderita. Saya secara pribadi menitip anak saya sama kamu, tolong jaga Aisyah.” Tangan kanan Hendra meraih bahu pak Ahmad, “Saya pasti akan menjaga anak bapak sebaik-baiknya saya menjaga keluarga saya selama ini.” Pada akhirnya sang dokter yang tampan dan baik hati itu berhasil memenangkan hati pak Ahmad yang sebelumnya sangat keras kepala dan menentang hubungan antara Aisyah-anaknya dan dokter Hendra karena pak Ahmad menilai keluarga dokter itu hanya akan menjadikan Aisyah sebagai bahan olokan saja di tengah kondisinya menjadi seorang janda dan mempunyai seorang anak yang masih dalam kandungan dari mantan suaminya. “Gimana perasaan kamu setelah bertemu dengan keluarga saya?” Aisyah tersenyum, “Mereka baik terutama adik kamu sangat welcome dengan saya, saya berasa punya seorang adik peremp
“Kamu tidak usah khawatir soal itu, kamu dan anak kamu ini akan segera menjadi bagian dari keluarga kami yang akan disambut dengan sangat senang hati.” “Hendra … apa kamu yakin mau menerima saya? Ini masalah yang serius dan seumur hidup, apa kamu tidak malu dan takut?” “Malu? Takut? Untuk apa? Saya ini serius dengan kamu apa pun resiko ke depannya saya siap tanggung jawab atas rasa ini padamu, lagian apa yang akan membuat saya takut dan malu tidak ada yang salah dari kamu Aisyah,” tegasnya. “Aku ini seorang janda Hen.” “Kamu kenapa selalu mengatakan itu Aisyah? Saya tekankan sekali lagi sama kamu, tidak ada yang salah dengan status itu, itu bukan tindakan kriminal kan? Bukan juga perbuatan dosa, lantas apa masalahnya?” “Maaf kalau saya lancang dan selalu mengatakan ini tapi saya juga tidak bisa berbohong dengan rasa takut yang selalu saya rasakan Hen. Saya takut kamu dan keluargamu justru akan menemui kesulitan-kesulitan ke depannya karena saya, kamu tau kan masyarakat sekarang se
“Ditunda? Kenapa?” Semua orang terkejut mendengar pernyataan Aisyah. “Sebelumnya jangan salah sangka dulu, Aisyah ingin pernikahan ini ditunda karena Aisyah pikir akan lebih baik kalau pernikahannya ditunda sampai Aisyah melahirkan,” jelasnya ragu. “Aisyah tau lebih cepat akan lebih baik, namun ini hanya sebuah keinginan dan Aisyah tidak akan memaksakan juga jika kalian tidak setuju.” Hendra dan kedua orang tuanya saling beradu pandang. “E-e, kalau masalah itu kita sebagai orang tua tentunya akan mengembalikan keputusan akhir pada anak kami.” Kedua orang tua Hendra berusaha menyikapinya dengan bijaksana. “E kalau dari Hendra tetap mengedepankan kenyamanan bersama dan jika hal tersebut membuat Aisyah lebih nyaman, Hendra juga tidak masalah. Hal tersebut juga tentu akan lebih baik karena mengingat usia kandungan Aisyah yang sudah tidak muda lagi, Hendra juga minta maaf karena hal ini luput dari perhatian Hendra.” “Baiklah kalau begitu sekiranya semua sudah s
“Nggak sopan kamu ya, Bima! Bima! Mau ke mana kamu?” Bima pergi begitu saja setelah mengemasi barang-barang yang perlu dibawanya ke rumah sakit. “Hari ini aku nemenin kamu di sini jaga Kiara.” “Hah!” Jihan terkejut, “Kamu kesambet apa tadi di jalan? Tumben banget sikapnya kayak gini.” “Aku males di rumah, Mama marah-marah ke aku karena biayain operasi Kiara, aku capek kuping aku sumpek makanya aku di sini saja,” keluhnya kelelahan. “Emang Mama nggak pernah mau berusaha baik ya, terus sekarang Mama kamu tinggal sendirian gitu di rumah? Aku sih nggak papa selama aman-aman aja, tapi emang kamu yakin ninggalin Mama di rumah sendirian nggak makin nambah masalah kamu nanti?” “Kamu tenang aja, aku tadi minta tolong ke tante Siwi buat nemenin Mama karena dia emang ada rencana nginep ke rumah jadi ya sekalian aja.” Jihan mengerinyitkan dahinya, “Hah? Tante Siwi? Si tante-tante yang suka ngomentarin orang dengan kata-kata pedesnya itu! Kasian Mama pasti sekarang lagi dengerin
“Oh, bagus deh kalau kamu ngerti sama kondisi suami kamu yang sekarang harus susah payah ngumpulin tabungan lagi, karena tabungannya sekarang udah kosong gara-gara biayain operasinya Kiara anak kamu itu!” “Iya ih, kasian Bima,” timpal Siwi. “Maaf, maksud Mama apa ya ngomong gitu? Kiara kan anak Mas Bima juga jadi wajar dong kalau dia harus tanggung jawab juga,” tegasnya, ia sangat kesal. “Sejak kapan Kiara jadi anaknya Bima, kamu ngarah deh,” celoteh Siwi yang mulai turut campur. Jihan meradang, ia menatap tajam ke arah Bima. “Tante, udah ya! Ini urusan keluarga aku, lagian aku sama Jihan juga udah pulang tante bisa pergi sekarang.” Tangan Bima menunjuk ke arah pintu. Siwi mendengus, “Huh, saya juga sudah mau pulang dari tadi!” Menenteng tasnya dan beranjak pergi dengan rasa kesal. “Berani kamu ngusir teman Mama Bima!” “Ma! Udah ya, tante Siwi itu terlalu jauh ngurusin rumah tangga aku. Bima nggak suka!” “Tapi yang dibilang sama Siwi bener semua, kok!” kekehnya. “
“Makasi ya, jujur akhir-akhir ini gua capek banget. Menurut lu gua harus gimana sih?” “Gua juga bingung mau nyaranin kek gimana ke lu Bima, ya gua cuma bisa bilang lu harus banyak-banyakin sabar sih.” * “Kamu kenapa lagi Mas? Pulang-pulang muka udah ditekuk gitu?” tanya Jihan khawatir. “Aku di kantor habis dapet SP 1 dari atasan,” jawabnya lesu. “Hah SP 1! Memang kamu ada masalah apa sih di kantor?” “Kinerja aku menurun, bukan masalah di kantornya tapi masalah di rumah ini,” tegasnya, sembari melonggarkan dasi di lehernya. “Maksud kamu?” “Kamu tuh emang nggak peduli sama aku ya, dengan hal yang seperti ini aja kamu nggak peka. Kamu nggak sadar selama ini udah banyak nuntut aku harus gini, harus gitu, belum lagi Mama yang makin buat pikiran aku penuh tekanan dan hampir setiap hari kalian berdua berantem mulu. Capek aku!” “Loh, kok jadi nyalahin aku si Mas? Itu semua kan gara-gara Mama kamu itu suka nyari gara-gara duluan, omongannya nggak pernah dijaga, gimana aku mau tahan cob
“Tuh kan! Emang bener sampean dendam sama ya!” “Lah kok jadi ibu yang nyolot! Heran saya!” “Ibu duluan yang nyari gara-gara sama saya!” Keduanya saling adu nada tinggi, situasi semakin tak terkendali. Aisyah yang mendengar keributan itu lekas menghampiri mereka berdua. “Ibu sudah Bu! Nggak enak dilihat sama yang lain.” “Dia ngomongin kamu yang jelek-jelek Nak! Ibu nggak terima,” kekehnya yang masih emosi. “Bilangin sama ibu kamu itu jangan suka nyari gara-gara sama orang!” “Iya tante, maaf ya atas ketidaknyamanannya.” Aisyah membiarkannya pergi begitu saja. “Orang kayak begitu sekali-kali harus dikasi pelajaran Ya!” “Bu udah Bu udah, kalau Ibu kayak gini justru semakin memperkeruh suasana. Biarkan saja orang lain mau ngomong apa, selama mereka nggak main kekerasan Aisyah nggak apa-apa.” Bu Asih berusaha menenangkan dirinya dan meminum segelas air putih. “Huh, ma-maaf Ya Ibu tadi kepancing emosi, Ibu cuma nggak mau aja ada orang yang ngehina-hina anak ibu. Soalnya