Amara memijat pelipisnya yang mulai terasa berat. Ia menguap lebar, terlihat sangat mengantuk.“Ada apa, Amara? Kamu baik-baik saja?” tanya Sekar sambil memerhatikan wajah pucat adik tirinya itu.Amara berusaha mengusir kantuk yang menyerang. “Entahlah. Kenapa aku tiba-tiba ngantuk banget, ya?”“Kamu begadang semalam? Kalau memang lelah, istirahat saja dulu. Aku nggak masalah kok merayakan ulang tahun sendirian,” ucap Sekar mencoba tersenyum, meski senyum itu terasa getir bagi dirinya sendiri.Amara mengangguk lemah. Ia mencoba berdiri dan berjalan menuju kamarnya, namun langkahnya terlihat limbung, seperti orang mabuk.“Kamu kelihatan nggak sehat. Mau aku antar ke rumah sakit?” tawar Sekar, memasang raut khawatir yang nyaris sempurna.Amara menggeleng pelan. “Enggak, cuma lelah dan ngantuk.”Setelah tiba di kamarnya, Amara langsung merebahkan diri di atas ranjang. Sekar berdiri mematung di depan pintu kamar selama beberapa menit, memastikan bahwa Amara benar-benar terlelap.Begitu na
Jam istirahat siang ini, Sekar tampak sibuk di depan laptopnya. Ia duduk tegak di meja kerja, pandangannya fokus ke layar yang memantulkan cahaya biru samar ke wajahnya. Tangan kanannya menggerakkan mouse, sementara tangan kirinya menopang dagu. Di layar itu, ia tengah memantau pesan-pesan dari ponsel Amara yang sudah berhasil ia sadap.Dengan seksama, Sekar membaca satu per satu isi chat. Ia mencari bukti—apapun yang bisa mengonfirmasi dugaannya tentang kehamilan Amara, juga ke mana saja wanita itu pergi selama Wira tidak berada di rumah.“Sekar, kamu kelihatan serius sekali,” sapa sebuah suara lembut dari belakang.Sekar tersentak. Dengan gerakan cepat, ia meminimalkan jendela sadapan dan membuka file presentasi sebagai kamuflase.“Eh, Bu Aisyah! Iya, saya sedang memeriksa laporan beberapa siswa,” jawab Sekar dengan senyum yang dipaksakan.“Maaf kalau mengganggu. Aku cuma khawatir, kamu akhir-akhir ini terlihat berbeda. Tapi ya sudah, aku lanjut ngajar dulu, ya.” Aisyah tersenyum han
“Mas… Mas, tolong aku…,” rintih Amara sambil menatap layar ponselnya dengan wajah panik dan suara bergetar.Wira, yang sedang berada di luar kota untuk urusan proyek, langsung terdiam. Tatapan cemasnya terpaku pada layar. “Ada apa, Amara? Kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi?”“Mas, lihat ini…” Amara mengangkat tangannya ke layar ponsel, menunjukkan noda merah yang menempel di jemarinya. Ia kemudian menggeser kamera ke lantai, tempat cairan merah seperti darah terlihat berserakan. Napasnya memburu, tangisnya pecah.“Astaga… Itu darah? Amara, kamu kenapa?” suara Wira terdengar panik dan serak.“Aku nggak tahu, Mas… barusan Mbak Sekar dorong aku. Perutku terbentur sudut meja, terus pas aku sampai kamar, tiba-tiba keluar darah ini. Aku takut, Mas… Aku takut banget. Jangan-jangan… aku keguguran,” ujarnya di antara isak tangis yang mengiba.“Apa?! Sekar mendorongmu? Kenapa bisa sampai segitunya?”“Tadi aku cuma nggak sengaja nyenggol mangkuk lauk dan jatuh ke lantai, Mas. Terus dia marah
PLAK!!Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sekar.Sekar jelas kaget. Ia memegang pipinya yang panas seraya perlahan mengangkat wajah, menatap wajah Wira.“Mas, kamu menamparku?” lirihnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi padanya.“Itu memang pantas untukmu, Sekar! Aku tidak menyangka kalau kau sekeji ini. Kau tahu kalau aku sangat mendambakan seorang anak, tapi kau telah membunuhnya.” Wira menatap Sekar dengan tatapan penuh amarah dan tuduhan yang menyesakkan dada.Sekar tidak mampu menahan air matanya. Tidak hanya pipinya saja yang panas, tapi hatinya juga. Bahkan hatinya jauh lebih pedih dibandingkan rasa sakit yang kini ia rasakan di pipinya.“Mas…,” ucap Sekar dengan suara gemetar. “Selama ini aku masih mencoba untuk bertahan karena aku masih percaya ada cinta di hatimu untukku. Tapi jangankan cinta, kepercayaanmu pun kini sudah punah. Bahkan kau begitu percaya pada Amara
“Jadi bagaimana rencana kamu?” tanya Vania setelah yakin Sekar sudah lebih baik dari sebelumnya.“Aku nggak tahu, Van. Aku ingin ke rumah Bude dulu. Aku pikir, suasana kampung mampu membuatku damai,” jawab Sekar, yakin.“Lalu bagaimana tanggung jawab kamu sebagai guru?” Vania benar-benar terlihat khawatir.Sekar menatap wajah Vania, tatapannya sayu penuh kelelahan. “Kebetulan anak-anak baru selesai ujian. Aku akan minta cuti untuk beberapa saat. Kalau sekolah tidak memberi izin, aku akan mengundurkan diri. Perkara nilai, bisa aku kerjakan dari Depok.”Vania menghela napas berat. Ia bisa merasakan betapa beratnya ujian hidup Sekar saat ini. Selain pengkhianatan yang datang tiba-tiba, ia juga kehilangan kepercayaan dan cinta dari suaminya.“Kalau menurutmu itu memang yang terbaik, aku mendukung, Sekar. Hanya saja aku sarankan, jangan buru-buru mengambil keputusan. Maksudku, jangan buru-buru menuntut cerai,” ucap Vania, penuh pertimbangan.Sekar mengangguk pelan. “Aku sudah pikirkan masa
Suasana nyaman, syahdu, dan udara sejuk kini menyambut kedatangan Sekar. Mobilnya berhenti di halaman sebuah rumah yang sudah cukup lama ia tinggalkan. Terakhir kali ia menginjakkan kaki di sana adalah saat Lebaran tahun lalu, sekitar tujuh bulan silam. Itu pun hanya sebentar, tanpa sempat menginap.Sekar menghela napas panjang sebelum turun dari mobil dan melangkah mendekati pintu.“Lho, Sekar? Kapan datang?” Suara yang tak asing menggema dari belakang.Sekar membalikkan tubuh. Sosok paruh baya menyambutnya—seorang wanita dengan daster batik dan jilbab instan, tangan kanannya menenteng kantong belanjaan berisi sayur-mayur. Sepertinya ia baru saja pulang dari pasar.“Bude, apa kabar?” sapa Sekar ramah, lalu memeluk wanita itu. Dia adalah istri dari kakak kandung almarhum ayahnya.“Alhamdulillah, Bude baik. Kamu sendiri bagaimana, Nak?” tanya wanita bernama Nunung itu, menyentuh pipi Sekar dengan lembut. Ada kekhawatiran di matanya, seakan merasakan sesuatu yang tak beres.“Wira mana?”
Jakarta, kediaman Wira.“Benar kalau Sekar pergi?” tanya Dian dengan nada penuh emosi.Wira yang masih kaget dengan kedatangan orang tuanya yang tiba-tiba, berusaha bersikap tenang.“Dia pergi atas kemauannya sendiri, Bu. Lagi pula, Sekar sudah membuat kesalahan yang fatal.”“Kesalahan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat Sekar hingga ia harus pergi dari rumahnya sendiri?” Suara Dian bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.Mendengar suara itu, Amara keluar dari kamar. Ia langsung mengubah sikap, berjalan dengan anggun, lalu mengulurkan tangannya ke arah Dian dan Suryo.“Ibu dan Bapak kok nggak ngomong dulu kalau mau ke sini? Maaf, rumah agak berantakan. Soalnya aku lagi sakit, nggak bisa beresin,” ucap Amara dengan canggung, berusaha tersenyum meski wajahnya pucat.Dian yang awalnya tak memperhatikan keadaan rumah, akhirnya mengedarkan pandangannya.Benar saja, matanya membelalak menyaksikan kondisi ruang tamu, meja makan, dan dapur yang kacau. Selama Sekar tinggal di sini, rumah ini
Depok, kediaman orang tua Sekar.Suara mesin mobil membuat Sekar menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke arah jendela, dan matanya melebar ketika melihat mobil orang tua Wira berhenti tepat di depan rumah. Detik berikutnya, dadanya langsung bergemuruh. Apa yang mereka lakukan di sini?Meski hatinya sempat gugup, Sekar tetap menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat dan langkah yang ringan.“Assalamu’alaikum…” sapa Dian dan Suryo bersamaan, ramah namun berwibawa.“Wa’alaikumussalam… Ibu, Bapak, kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” Sekar menyambut keduanya dengan takzim, mencium tangan mereka penuh hormat. “Lagi pula… darimana Bapak dan Ibu tahu kalau Sekar ada di sini?”Wajah Dian tersenyum, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak diucapkan. “Nanti saja ceritanya, ya. Kita masuk dulu.”Sekar mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. Ia pamit sebentar ke dapur, menyiapkan minuman sambil mencoba menenangkan diri. Pertemuannya dengan mertua di momen seperti ini sungguh d
"Ibu, apa kabar?" sapa Amara dengan suara lembut dan senyum ramah saat melihat Dian berdiri di depan pintu rumah."Baik, Amara. Wira ada?" tanya Dian dengan nada bersahabat, meski matanya tajam mengamati wajah menantu yang mulai berhasil merebut hati anaknya itu."Mas Wira lagi kerja, Bu. Ibu masuk dulu, ya. Aku buatkan minum sebentar." Ucapan Amara terdengar sangat tulus, senyum manisnya seolah ingin mengatakan bahwa dirinya pantas menggantikan posisi Sekar.Namun Dian menolak halus. "Tak usah, Amara. Ibu ke sini bukan untuk bertamu. Ibu mau minta tolong. Boleh?"Amara langsung menghentikan langkahnya menuju dapur dan kembali mendekat. "Minta tolong apa, Bu?""Hari ini ibu ada jadwal kontrol rutin. Ibu ada gejala stroke ringan, jadi harus kontrol setiap bulan. Bapak nggak bisa temani karena sedang ada urusan pekerjaan di luar kota. Wira juga nggak bisa karena kerja. Dulu biasanya Sekar yang suka menemani ibu ke rumah sakit, tapi sekarang… y
Jakarta, Kediaman Orang Tua WiraSuryo dan Dian tampak terpaku di ruang tamu. Mereka saling berpandangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh Sekar. Kata-katanya mengguncang hati mereka, menyisakan rasa kecewa yang mendalam terhadap putra mereka, Wira, yang begitu mudah mempercayai Amara tanpa menyelidiki lebih jauh.“Jadi... selama ini kehamilan Amara itu palsu?” tanya Dian dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah berharap jawabannya tidak seperti yang ia duga.Sekar mengangguk perlahan. Matanya menatap lurus, suaranya tenang namun tegas. “Yang pasti, Amara tidak pernah memeriksakan diri di klinik tempat dia mengaku berobat. Kedua surat keterangan yang ia berikan terbukti palsu. Soal dia pernah hamil atau tidak, satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan memeriksakannya langsung ke dokter kandungan.”Dian mengernyitkan dahi. “Tapi bagaimana caranya, Nak? Selama ini dia tidak pernah mau dibawa
Sekar berdiri terpaku di ambang pintu ruang tamu. Pandangannya tajam, namun matanya menyiratkan kelelahan. Dua pria asing di hadapannya ikut membeku, tampak sama terkejutnya melihat kehadiran perempuan itu yang tiba-tiba muncul di tengah sore yang sunyi.Tidak ada yang bicara. Hening menggantung di udara, seolah waktu berhenti sejenak. Mereka saling memandang dalam kebingungan, seakan masing-masing mencoba menebak siapa yang paling berhak berada di tempat itu.Suara langkah tergesa memecah keheningan. Amara muncul dari lorong kamar, mengenakan daster longgar dengan rambut tergerai acak-acakan. Ketika matanya menangkap sosok Sekar, ia langsung menghentikan langkah, tapi wajahnya cepat pulih dalam ekspresi congkak yang biasa.“Kamu kembali?” ucap Amara, suaranya tinggi dengan nada mengejek. Ia menegakkan dagunya. “Kupikir kamu tidak akan berani datang lagi ke rumah ini.”Sekar tidak terintimidasi sedikit pun. Ia berdiri tegak, dingin, dan mantap.“Ini rumahku, Amara. Aku lebih punya hak
Depok, kediaman orang tua Sekar.Suara mesin mobil membuat Sekar menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke arah jendela, dan matanya melebar ketika melihat mobil orang tua Wira berhenti tepat di depan rumah. Detik berikutnya, dadanya langsung bergemuruh. Apa yang mereka lakukan di sini?Meski hatinya sempat gugup, Sekar tetap menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat dan langkah yang ringan.“Assalamu’alaikum…” sapa Dian dan Suryo bersamaan, ramah namun berwibawa.“Wa’alaikumussalam… Ibu, Bapak, kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” Sekar menyambut keduanya dengan takzim, mencium tangan mereka penuh hormat. “Lagi pula… darimana Bapak dan Ibu tahu kalau Sekar ada di sini?”Wajah Dian tersenyum, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak diucapkan. “Nanti saja ceritanya, ya. Kita masuk dulu.”Sekar mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. Ia pamit sebentar ke dapur, menyiapkan minuman sambil mencoba menenangkan diri. Pertemuannya dengan mertua di momen seperti ini sungguh d
Jakarta, kediaman Wira.“Benar kalau Sekar pergi?” tanya Dian dengan nada penuh emosi.Wira yang masih kaget dengan kedatangan orang tuanya yang tiba-tiba, berusaha bersikap tenang.“Dia pergi atas kemauannya sendiri, Bu. Lagi pula, Sekar sudah membuat kesalahan yang fatal.”“Kesalahan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat Sekar hingga ia harus pergi dari rumahnya sendiri?” Suara Dian bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.Mendengar suara itu, Amara keluar dari kamar. Ia langsung mengubah sikap, berjalan dengan anggun, lalu mengulurkan tangannya ke arah Dian dan Suryo.“Ibu dan Bapak kok nggak ngomong dulu kalau mau ke sini? Maaf, rumah agak berantakan. Soalnya aku lagi sakit, nggak bisa beresin,” ucap Amara dengan canggung, berusaha tersenyum meski wajahnya pucat.Dian yang awalnya tak memperhatikan keadaan rumah, akhirnya mengedarkan pandangannya.Benar saja, matanya membelalak menyaksikan kondisi ruang tamu, meja makan, dan dapur yang kacau. Selama Sekar tinggal di sini, rumah ini
Suasana nyaman, syahdu, dan udara sejuk kini menyambut kedatangan Sekar. Mobilnya berhenti di halaman sebuah rumah yang sudah cukup lama ia tinggalkan. Terakhir kali ia menginjakkan kaki di sana adalah saat Lebaran tahun lalu, sekitar tujuh bulan silam. Itu pun hanya sebentar, tanpa sempat menginap.Sekar menghela napas panjang sebelum turun dari mobil dan melangkah mendekati pintu.“Lho, Sekar? Kapan datang?” Suara yang tak asing menggema dari belakang.Sekar membalikkan tubuh. Sosok paruh baya menyambutnya—seorang wanita dengan daster batik dan jilbab instan, tangan kanannya menenteng kantong belanjaan berisi sayur-mayur. Sepertinya ia baru saja pulang dari pasar.“Bude, apa kabar?” sapa Sekar ramah, lalu memeluk wanita itu. Dia adalah istri dari kakak kandung almarhum ayahnya.“Alhamdulillah, Bude baik. Kamu sendiri bagaimana, Nak?” tanya wanita bernama Nunung itu, menyentuh pipi Sekar dengan lembut. Ada kekhawatiran di matanya, seakan merasakan sesuatu yang tak beres.“Wira mana?”
“Jadi bagaimana rencana kamu?” tanya Vania setelah yakin Sekar sudah lebih baik dari sebelumnya.“Aku nggak tahu, Van. Aku ingin ke rumah Bude dulu. Aku pikir, suasana kampung mampu membuatku damai,” jawab Sekar, yakin.“Lalu bagaimana tanggung jawab kamu sebagai guru?” Vania benar-benar terlihat khawatir.Sekar menatap wajah Vania, tatapannya sayu penuh kelelahan. “Kebetulan anak-anak baru selesai ujian. Aku akan minta cuti untuk beberapa saat. Kalau sekolah tidak memberi izin, aku akan mengundurkan diri. Perkara nilai, bisa aku kerjakan dari Depok.”Vania menghela napas berat. Ia bisa merasakan betapa beratnya ujian hidup Sekar saat ini. Selain pengkhianatan yang datang tiba-tiba, ia juga kehilangan kepercayaan dan cinta dari suaminya.“Kalau menurutmu itu memang yang terbaik, aku mendukung, Sekar. Hanya saja aku sarankan, jangan buru-buru mengambil keputusan. Maksudku, jangan buru-buru menuntut cerai,” ucap Vania, penuh pertimbangan.Sekar mengangguk pelan. “Aku sudah pikirkan masa
PLAK!!Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sekar.Sekar jelas kaget. Ia memegang pipinya yang panas seraya perlahan mengangkat wajah, menatap wajah Wira.“Mas, kamu menamparku?” lirihnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi padanya.“Itu memang pantas untukmu, Sekar! Aku tidak menyangka kalau kau sekeji ini. Kau tahu kalau aku sangat mendambakan seorang anak, tapi kau telah membunuhnya.” Wira menatap Sekar dengan tatapan penuh amarah dan tuduhan yang menyesakkan dada.Sekar tidak mampu menahan air matanya. Tidak hanya pipinya saja yang panas, tapi hatinya juga. Bahkan hatinya jauh lebih pedih dibandingkan rasa sakit yang kini ia rasakan di pipinya.“Mas…,” ucap Sekar dengan suara gemetar. “Selama ini aku masih mencoba untuk bertahan karena aku masih percaya ada cinta di hatimu untukku. Tapi jangankan cinta, kepercayaanmu pun kini sudah punah. Bahkan kau begitu percaya pada Amara
“Mas… Mas, tolong aku…,” rintih Amara sambil menatap layar ponselnya dengan wajah panik dan suara bergetar.Wira, yang sedang berada di luar kota untuk urusan proyek, langsung terdiam. Tatapan cemasnya terpaku pada layar. “Ada apa, Amara? Kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi?”“Mas, lihat ini…” Amara mengangkat tangannya ke layar ponsel, menunjukkan noda merah yang menempel di jemarinya. Ia kemudian menggeser kamera ke lantai, tempat cairan merah seperti darah terlihat berserakan. Napasnya memburu, tangisnya pecah.“Astaga… Itu darah? Amara, kamu kenapa?” suara Wira terdengar panik dan serak.“Aku nggak tahu, Mas… barusan Mbak Sekar dorong aku. Perutku terbentur sudut meja, terus pas aku sampai kamar, tiba-tiba keluar darah ini. Aku takut, Mas… Aku takut banget. Jangan-jangan… aku keguguran,” ujarnya di antara isak tangis yang mengiba.“Apa?! Sekar mendorongmu? Kenapa bisa sampai segitunya?”“Tadi aku cuma nggak sengaja nyenggol mangkuk lauk dan jatuh ke lantai, Mas. Terus dia marah