Home / Romansa / DIMADU TANPA RESTU / 3 - Permintaan Amara

Share

3 - Permintaan Amara

Author: NHOVIE EN
last update Last Updated: 2025-01-02 05:46:52

Pukul sembilan pagi.

Sinar matahari menembus celah jendela, menyinari lantai yang masih dingin. Sekar melangkah keluar dari kamarnya dengan raut wajah tanpa ekspresi.

Ia sudah mandi, berusaha menyegarkan tubuhnya yang lelah, tapi tak ada air yang mampu membersihkan luka batinnya.

Langkahnya terhenti di tengah ruangan. Matanya menyapu seluruh isi rumah. Berantakan. Sama seperti hatinya.

Piring-piring kotor masih berserakan di meja makan. Pemandangan yang masih sama seperti yang ia lihat subuh tadi.

Sekar menghela napas panjang.

“Ini rumahku. Aku yang membangun rumah ini, aku yang membersihkannya, aku yang menjaga kenyamanannya,” lirih Sekar.

Tapi kenapa ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri?

Sekar menutup matanya sejenak. Ia mengingat pesan ibunya dulu.

“Jangan biarkan rumahmu kotor, Nak. Jangan biarkan suamimu kelaparan. Jangan biarkan suamimu menunggu jika ia membutuhkan kehangatan.”

Sekar menggigit bibirnya.

Ia ingin mengabaikan semuanya. Ingin membiarkan rumah ini dalam keadaan berantakan, membiarkan Wira dan perempuan itu hidup dengan kekacauan yang mereka buat sendiri. Tapi didikan ibunya telah tertanam begitu kuat.

Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah ke dapur, menggulung lengan bajunya, mengenakan celemek lalu mulai membereskan meja makan. Sekar melakukannya semuanya dengan sangat telaten.

Meja makan sudah rapi, Sekar pun mulai mencuci piring-piring kotor yang sudah ia susun di atas bak cuci piring.

Saat itu, terdengar langkah ringan mendekat.

Sekar melirik sekilas. Amara masuk ke dapur dengan pakaian santai, wajahnya tampak segar meski masih ada bekas kantuk di matanya. Dengan suara lembut yang terdengar seperti duri bagi Sekar, Amara menyapanya.

“Selamat pagi, Mbak Sekar.”

Sekar tidak menjawab. Tangannya tetap sibuk membersihkan piring.

“Mbak Sekar sudah bangun dari tadi? Wah, rajin sekali. Rumah jadi rapi kalau ada Mbak Sekar, ya.” Amara bersedekap seraya memperhatikan kondisi dapur.

Sekar masih diam.

Amara tidak menyerah. Ia melangkah lebih dekat, lalu berdiri di samping Sekar.

“Mbak... boleh minta tolong?” tanyanya dengan nada lembut.

Sekar mengeratkan rahangnya.

“Aku lagi ngidam nasi goreng buatan Mbak Sekar. Katanya dulu Mas Wira sering dibuatin, ya?” ucap Amara.

Tangan Sekar yang memegang spons berhenti bergerak.

“Aku mau banget coba nasi goreng buatan istri pertama suamiku,” lanjut Amara dengan nada lembut yang menggelitik amarah.

BRUKK!

Sekar membanting spons cuci piring dan sebuah gelas melamin ke dalam bak cuci.

Suara itu menggema di dapur.

Amara tersentak, tapi hanya sebentar. Setelah itu, ia tetap memasang wajah manisnya.

Sekar mengangkat wajah, menatap Amara dengan tatapan tajam.

“Dengar baik-baik, Amara.” Suaranya rendah, tetapi ada bara dalam setiap katanya. “Aku bukan pembantu di rumah ini. Kalau kau lapar, masak sendiri.”

Amara mengerjapkan mata.

“Tapi aku masih pusing, Mbak. Aku lelah, semalaman aku sibuk melayani suamiku sampai subuh...”

Kalimat itu seperti belati yang ditancapkan ke jantung Sekar. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Nafasnya memburu, matanya mulai memanas.

Di saat yang sama, suara pintu kamar terbuka.

Wira keluar dengan wajah mengantuk, rambutnya sedikit berantakan, tapi tatapannya langsung waspada saat melihat Sekar dan Amara di dapur.

“Ada apa ini?” tanyanya sambil berjalan mendekat.

Amara langsung memanfaatkan momen itu. Ia memegang lengannya, menatapnya dengan wajah pura-pura sedih.

“Mas...” suaranya terdengar gemetar, “Mbak Sekar marah sama aku. Aku cuma minta dibuatkan nasi goreng, tapi dia membentakku dan membanting sesuatu ke arahku.”

Sekar tersentak.

Matanya membulat, tak percaya dengan kebohongan yang baru saja keluar dari mulut perempuan itu.

Wira langsung menatapnya dengan tatapan tajam.

“Sekar, kamu bentak Amara?” tanya Wira.

Sekar tertawa sinis. “Kamu benar-benar menanyakan itu ke aku, Mas?” suaranya terdengar getir. “Perempuan ini datang ke rumahku, tidur dengan suamiku di ranjangku, dan sekarang dia minta aku buatkan sarapan untuknya? Dan kamu malah membelanya?”

Wira menghela napas, mengusap wajahnya seolah lelah dengan situasi ini.

“Sekar, sudahlah. Aku nggak mau bertengkar pagi-pagi begini.”

“Kamu nggak mau bertengkar?” Sekar mendekat, menatap suaminya dengan mata yang mulai basah. “Tapi kamu sudah mengkhianati aku!”

Amara memeluk lengan Wira lebih erat, menempelkan kepalanya ke bahu pria itu.

“Mas... aku takut...” suaranya terdengar seperti gadis kecil yang ketakutan. “Aku nggak bermaksud bikin Mbak Sekar marah. Aku cuma pengin nasi goreng...”

Sekar mengetatkan rahang. “Kalau kamu mau makan, masak sendiri, Amara. Jangan berharap aku akan melayani perempuan yang menghancurkan rumah tanggaku.”

Ia melepas celemek yang sempat ia kenakan.

“Sekar, kamu kan bisa ngomong baik-baik ke Amara. Lagipula, cuma bikin nasi goreng, apa susahnya?”

Sekar menatap Wira tak percaya, berharap ia salah dengar. Tapi pria itu hanya menatapnya datar.

Tanpa mengatakan apapun lagi, Sekar meninggalkan dapur.

Di belakangnya, Wira tidak mengejar. Sementara Amara kini memasang senyum kecil penuh kemenangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIMADU TANPA RESTU   83 – Rencana Ke Depan

    Langit Jakarta mulai memerah saat mobil yang ditumpangi Wira, Raka, dan Suryo memasuki halaman rumah. Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, namun suasana rumah sudah tampak hidup. Bau cat menyambut dari balik pagar, bercampur dengan semilir angin sore yang membelai lembut wajah mereka. Beberapa pekerja tukang tampak sibuk merampungkan bagian luar rumah yang masih dalam proses pengecatan, menambahkan nuansa rumah yang sedang dibenahi demi menyambut lembaran baru dalam kehidupan mereka.Sekar membuka pintu lebih dulu, disusul Dian yang melambaikan tangan dari ruang tamu."Assalamualaikum!" seru Raka antusias, berlari kecil sambil membawa miniatur katalog ranjang dari toko perabotan."Waalaikumsalam, Sayang!" Sekar menyambut dengan pelukan hangat, menunduk dan mengecup kening putranya yang kini terlihat sangat semangat. "Seru ya, hari ini?""Seruuuu banget, Ma! Tadi Raka pilih sendiri ranjang buat kamar Raka. Papa sempat enggak setuju, tapi akhirnya Raka menang!" jawabnya penuh semangat.

  • DIMADU TANPA RESTU   82 – Pertemuan Tidak Terduga

    Usai menikmati sarapan lezat yang disiapkan dengan penuh cinta, Wira pun bersiap pergi ke toko perabotan bersama Raka dan ayahnya—Suryo. Raka terlihat sangat antusian. Ia sudah mengenakan setelan kaos warna maroon bergambar dinosaurus kesukaannya."Papa, hari ini kita jadi beli kasur dan lemari, kan?" tanyanya sambil memasang tali sepatu.Wira tertawa pelan. "Jadi dong. Udah rapikan. Kalau sepatunya sudah terpasang dengan benar, kita langsung berangkat."Setelah semuanya siap, Wira, Raka dan Suryo pun duduk manis di dalam mobil, melaju menuju pusat toko perabotan dan properti ternama di bilangan Jakarta Selatan. Raka duduk di kursi belakang, menempelkan wajahnya ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang. Hari itu ia terlihat lebih dewasa dari biasanya, mungkin karena ia merasa akan memiliki ruang pribadinya sendiri untuk pertama kalinya.Sesampainya di toko, Raka langsung menarik tangan papanya. "Papa, lihat! Yang ini keren banget! Ranjangnya ada lampu di bawahnya. Keren

  • DIMADU TANPA RESTU   81 – Sop Buatan Chef Hebat

    Aroma tumisan bawang putih dan lada hitam menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Sekar berdiri di depan kompor, mengenakan apron biru muda yang dulu sempat dibelikan Wira tapi tak pernah sempat ia pakai. Di sampingnya, Wira tengah sibuk mengaduk kuah sup udang sambil sesekali mencuri pandang ke wajah istrinya yang terlihat begitu tenang pagi ini."Kamu yakin ini garam, bukan gula?" tanya Wira sambil mengangkat sendok kecil dan mencicipi kuah sup.Sekar menoleh dengan senyum menggoda. "Itu garam, Pak Koki. Tapi kalau kamu mau sup udang rasa kue ulang tahun, silakan tambahkan gula sekalian. Kalau perlu tambahkan keju dan cokelat."Wira tertawa. Tawanya ringan dan jujur, seperti laki-laki yang sedang menikmati kebahagiaan kecil yang selama ini dirindukannya."Lucu ya," ucap Sekar sambil membalik stik daging di atas wajan. "Dulu, waktu aku bangun pagi buat masak, kamu masih meringkuk di kasur. Kadang aku udah selesai masak pun kamu masih belum bangun."Wira terkekeh, lalu melirik ke arah jam

  • DIMADU TANPA RESTU   80 – Kembali Ke Rumah Lama

    Langit pagi di Depok tampak cerah. Matahari baru saja muncul dari balik pepohonan, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat. Di halaman rumah kecil itu, suara koper yang digeser dan tawa ringan Raka mengiringi keheningan pagi. Hari ini, Wira mengajak Sekar dan Raka untuk kembali ke Jakarta. Menempati kembali rumah yang dulu pernah mereka tinggali, sebelum semuanya runtuh karena pengkhianatan dan luka.Wira berdiri di depan pintu, memandangi aktivitas kecil keluarganya. Sekar tengah melipat pakaian terakhir, memastikan tak ada yang tertinggal. Sementara Raka sibuk memeriksa mainan-mainan yang akan dibawa. Matanya berbinar, meskipun raut wajahnya tampak menyimpan haru."Kita beneran pindah ke Jakarta, Ma?" tanya Raka lirih, memeluk boneka dinosaurusnya erat.Sekar menunduk, mengusap kepala anak itu lembut. "Iya, Sayang. Kita akan tinggal di rumah Raka lagi. Rumah yang dulu pernah mama tinggali berdua sama papa, sebelum Raka lahir ke dunia. Tapi sekarang, kita mulai dari awal. Dengan hati

  • DIMADU TANPA RESTU   79 – Lebih Enak Dari Biasanya

    Fajar belum menyingsing sempurna ketika Raka terbangun dari tidurnya. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi cahaya samar dari lampu malam di sudut ruangan. Namun, matanya langsung terbuka lebar, tidak karena mimpi buruk atau suara gaduh, melainkan karena kehangatan yang luar biasa menyelubunginya. Di sisi kanan tidurnya, ada Mama Sekar. Di sisi kiri, ada Papa Wira. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka terbangun di antara dua orang yang paling ia cintai dalam satu ranjang yang sama.Ia menatap wajah Wira dengan mata berbinar, lalu menoleh pelan ke arah Sekar. Mulut mungilnya tersenyum kecil. Tangannya yang kecil terulur, menyentuh pipi Wira, lalu pipi Sekar. Gerakan lembut itu membuat keduanya menggeliat pelan dan membuka mata."Mama... Papa... Raka sayang banget sama Mama dan Papa..." bisiknya lirih namun penuh makna.Sekar tersenyum mengantuk, matanya masih setengah terbuka. "Sayang Mama juga, Nak..."Wira yang mulai sadar, menoleh dan menatap ana

  • DIMADU TANPA RESTU   78 – Sekali Lagi, Di Hadapan Allah

    Beberapa hari setelah Wira menyampaikan niatnya kepada orang tua dan melamar Sekar untuk kedua kalinya kala itu, segalanya bergerak cepat, namun dalam suasana yang tenang dan penuh pertimbangan. Bukan lagi seperti dua orang muda yang terburu-buru oleh nafsu dan ego, kali ini Wira dan Sekar melangkah dengan kepala dingin dan hati yang terlatih oleh luka.Mereka sepakat: tidak perlu pesta besar. Tak perlu gaun pengantin mewah, panggung pelaminan, apalagi daftar undangan panjang. Mereka hanya ingin saksi, doa, dan keberkahan. Pernikahan kali ini bukan untuk dunia, tapi untuk memperbaiki takdir yang sempat retak. Ijab kabul akan dilangsungkan di ruang tamu rumah Sekar di Depok, sederhana, hangat, dan sakral.Selama beberapa hari, mereka sibuk mengurus dokumen. KTP, KK, surat pengantar RT/RW, hingga surat rekomendasi dari KUA. Sekar sempat merasa gugup saat mendatangi kantor kelurahan. Petugas mengenalnya dan menatapnya penuh tanya. Tapi ia sudah siap. Ia tidak merasa harus menjelaskan apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status