Home / Romansa / DIMADU TANPA RESTU / 4 - Malam Ini Dengan Sekar

Share

4 - Malam Ini Dengan Sekar

Author: NHOVIE EN
last update Last Updated: 2025-01-02 05:47:28

“Mas, aku lapar. Mau makan nasi goreng. Tapi kepalaku masih sakit, belum kuat untuk masak,” ucap Amara dengan nada lembut, mendayu sepeninggal Sekar.

Wira menghela napas. “Ya sudah, kita delivery saja. Kamu istirahat saja di kamar. Aku akan pesankan makanan untuk kita. Sekalian nanti aku mau bawa kamu ke dokter.”

Mendengar kata “dokter”, raut wajah Amara langsung berubah.

“Ke dokter? Nggak usah, Mas. Aku masih punya obat yang diberikan dokter kandungan tempat aku memeriksakan diri beberapa hari yang lalu. Kata dokter, kondisi seperti ini wajar terjadi. Di awal kehamilan, ibu memang lebih sering mual, muntah dan sakit kepala. Aku hanya butuh vitamin, istirahat dan perhatian.”

Amara terlihat manja. Ia rekatkan tubuhnya pada Wira, lalu ia daratkan sebuah ciuman manis ke bibir pria itu.

Sayangnya, Sekar harus menyaksikan semua itu dari balik daun pintu. Rasa penasaran dan sakit hati, membuat rasa keingintahuannya memuncak.

Sekar segera merapatkan kembali pintu kamar, membalik tubuhnya dan terduduk di lantai kamar seraya menyandarkan punggungnya ke daun pintu.

Sekar memegang dada, mencoba menenangkan diri, namun rasa sakit terlalu menusuk jantungnya.

***

Pukul delapan malam dan Sekar masih mengurung diri di dalam kamar.

Wira yang baru saja menikmati makan malam yang ia pesan lewat sebuah aplikasi, berjalan meninggalkan ruang makan, mendekati kamar Sekar.

“Sekar, mau sampai kapan kamu akan mengurung diri di kamar? Ayo makan, ini makanan yang aku belikan dari siang tidak kamu sentuh sama sekali. Memangnya kamu mau mati?” ucap Wira dengan nada tegas dari balik daun pintu.

Sekar yang masih berbalut mukena, segera menyeka air matanya. Ia tenggak air mineral yang sudah ia siapkan ketika Wira dan Amara tidak di rumah tadi siang. Ada beberapa bungkusan roti juga di kamar itu yang belum dimasukkan Sekar ke bak sampah, karena terlalu malas untuk meninggalkan sajadahnya.

“Sekar, buka pintunya. Aku tidak tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apa pun padamu di dalam sana. Kau tahu, jika kau sakit, aku juga yang akan repot!”

Kembali terdengar suara Wira yang jelas terdengar marah.

Perlahan, Sekar pun bangkit. Tangannya yang lemah pun mulai membuka gagang pintu.

Amara yang berdiri bersedekap di belakang Wira, bisa melihat dengan jelas wajah sembab dan mata merah Sekar.

Wira menyodorkan sebuah kantong kresek bermerek berisi makanan siap saji yang ia pesan lewat online.

“Aku tidak lapar,” ucap Sekar seraya menolak makanan itu. Suaranya lemah, nyaris tidak terdengar. Terlihat tidak ada perlawanan di dirinya.

Wira meraih tangan Sekar, lalu meletakkan kantong itu di tangan kanan Sekar.

“Jangan keras kepala. Kau itu istriku dan sampai kapan pun kau akan tetap jadi istriku. Malam ini aku ingin tidur di sini,” ucap Wira. Pria itu berusaha masuk ke dalam kamar.

Sekar tidak bisa berkata apa pun. Ia hanya bisa pasrah dan membiarkan Wira masuk ke dalam kamarnya.

“Amara, malam ini aku ingin di sini. Jadi kamu tidur sendiri dulu. Jika tidak ada hal yang mendesak, jangan ganggu aku,” ucap Wira tegas.

Amara terlihat tidak senang, namun ia pun mengangguk pasrah. Dengan langkah gontai, wanita itu pun berjalan menuju kamar yang kini diperuntukkan oleh Wira untuknya.

“Apa lagi yang kau tunggu, Sekar? Tutup pintunya dan segeralah ke sini,” perintah Wira.

Sekar menurut begitu saja. Ia tidak punya tenaga untuk berdebat karena sudah berjam-jam ia habiskan tenaganya dengan menangis dan bersimpuh di hadapan Rabb-nya.

Sekar meletakkan kantong kresek berisi makanan siap saji di atas meja riasnya. Perlahan, ia buka mukenanya, lalu melipat kain itu dengan baik dan menggantungnya di tempat yang sudah ia sediakan di dalam kamar.

Ketika Sekar baru meraih ujung sajadah dan berniat melipatnya, Wira malah menarik tangan Sekar dengan keras hingga tubuh itu jatuh dalam pelukan Wira.

“M—mas… apa yang kamu lakukan?” tanya Sekar terbata, terlalu terkejut dengan aksi pria itu.

“Apa yang aku lakukan? Kenapa kau masih bertanya? Kau istriku dan aku suamimu, jadi aku berhak atas dirimu.”

Wira mulai menekan kuat pinggang Sekar hingga menempel ke tubuhnya.

“T—tapi, Mas.” Sekar berusaha menjauhkan wajahnya ketika Wira berniat menciumnya.

Harusnya Sekar senang karena suaminya menginginkan dirinya malam ini, namun ia malah tidak nyaman. Ia merasa sangat jijik, apalagi ketika tubuhnya berada dalam dekapan Wira dan jarak wajahnya dengan wajah suaminya hanya beberapa sentimeter saja.

Setiap melihat wajah Wira, kembali terngiang di benaknya ekspresi penuh kenikmatan yang diperlihatkan Wira ketika ditindih dan menindih Amara.

Itu adalah rasa sakit yang luar biasa bagi Sekar.

Wira menyeringai sesaat, lalu membalik tubuh Sekar. Dengan cepat, ia lepas baju kaos dan celana panjang ia kenakan. Pria itu hanya menyisakan boxer untuk menutupi bagian inti tubuhnya.

Dengan pergerakan lambat namun pasti, Wira pun mulai melepas satu demi satu kancing piyama Sekar.

Sekar berusaha menahan tangan suaminya, namun Wira sepertinya berada di puncak birahi, hingga pria itu tidak memedulikan tangan lembut Sekar yang berusaha menahan tangannya.

“Kenapa tidak dengan Amara saja, Mas? Bukankah kamu lebih menyukainya? Bukankah ia lebih panas di ranjang dibanding diriku?” ucap Sekar dengan suara tercekat, ketika Wira hendak menarik celana panjang yang ia kenakan.

Tangan Wira seketika terhenti, sorot matanya tajam menatap istri pertamanya itu.

“Apa maksudmu, Sekar?”

Sekar tidak menjawab, ia hanya menangis. Kata-kata Wira yang ia dengar tadi subuh, semakin bergelora di telinganya.

“Apa kau ingin menolakku? Apa kau ingin jadi istri durhaka?” gertak Wira dengan nada sedikit tinggi.

Sekar masih diam seraya memalingkan wajah. Ia terlalu jijik melihat wajah tampan suaminya itu.

“Malam ini aku menginginkanmu, titik!” tegas Wira.

Dengan cepat, ia tarik celana panjang Sekar, lalu ia lempar sembarangan ke lantai.

Tidak ada kelembutan dalam sentuhannya. Wira terlihat lebih brutal dan kasar.

Sekar berusaha memberontak, tapi Wira malah semakin kasar. Pria itu seolah sangat menikmati sikap Sekar. Seakan punya imajinasi bermain yang baru.

Sekar hanya bisa menangis. Ia sama sekali tidak bisa menikmati. Yang ada hanya rasa sakit dan perih yang ia rasakan.

“Mas, ampun… ini sakit,” lirih Sekar. Ia menendang Wira dengan kuat hingga sedikit menjauh dari tubuhnya.

“K—kamu… kamu melukaiku,” kata Sekar, menahan rasa sakit dan ngilu.

“Kau itu istriku, Sekar. Jangan mau kalah dari Amara. Amara saja bisa membuatku puas, kenapa kamu tidak?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIMADU TANPA RESTU   83 – Rencana Ke Depan

    Langit Jakarta mulai memerah saat mobil yang ditumpangi Wira, Raka, dan Suryo memasuki halaman rumah. Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, namun suasana rumah sudah tampak hidup. Bau cat menyambut dari balik pagar, bercampur dengan semilir angin sore yang membelai lembut wajah mereka. Beberapa pekerja tukang tampak sibuk merampungkan bagian luar rumah yang masih dalam proses pengecatan, menambahkan nuansa rumah yang sedang dibenahi demi menyambut lembaran baru dalam kehidupan mereka.Sekar membuka pintu lebih dulu, disusul Dian yang melambaikan tangan dari ruang tamu."Assalamualaikum!" seru Raka antusias, berlari kecil sambil membawa miniatur katalog ranjang dari toko perabotan."Waalaikumsalam, Sayang!" Sekar menyambut dengan pelukan hangat, menunduk dan mengecup kening putranya yang kini terlihat sangat semangat. "Seru ya, hari ini?""Seruuuu banget, Ma! Tadi Raka pilih sendiri ranjang buat kamar Raka. Papa sempat enggak setuju, tapi akhirnya Raka menang!" jawabnya penuh semangat.

  • DIMADU TANPA RESTU   82 – Pertemuan Tidak Terduga

    Usai menikmati sarapan lezat yang disiapkan dengan penuh cinta, Wira pun bersiap pergi ke toko perabotan bersama Raka dan ayahnya—Suryo. Raka terlihat sangat antusian. Ia sudah mengenakan setelan kaos warna maroon bergambar dinosaurus kesukaannya."Papa, hari ini kita jadi beli kasur dan lemari, kan?" tanyanya sambil memasang tali sepatu.Wira tertawa pelan. "Jadi dong. Udah rapikan. Kalau sepatunya sudah terpasang dengan benar, kita langsung berangkat."Setelah semuanya siap, Wira, Raka dan Suryo pun duduk manis di dalam mobil, melaju menuju pusat toko perabotan dan properti ternama di bilangan Jakarta Selatan. Raka duduk di kursi belakang, menempelkan wajahnya ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang. Hari itu ia terlihat lebih dewasa dari biasanya, mungkin karena ia merasa akan memiliki ruang pribadinya sendiri untuk pertama kalinya.Sesampainya di toko, Raka langsung menarik tangan papanya. "Papa, lihat! Yang ini keren banget! Ranjangnya ada lampu di bawahnya. Keren

  • DIMADU TANPA RESTU   81 – Sop Buatan Chef Hebat

    Aroma tumisan bawang putih dan lada hitam menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Sekar berdiri di depan kompor, mengenakan apron biru muda yang dulu sempat dibelikan Wira tapi tak pernah sempat ia pakai. Di sampingnya, Wira tengah sibuk mengaduk kuah sup udang sambil sesekali mencuri pandang ke wajah istrinya yang terlihat begitu tenang pagi ini."Kamu yakin ini garam, bukan gula?" tanya Wira sambil mengangkat sendok kecil dan mencicipi kuah sup.Sekar menoleh dengan senyum menggoda. "Itu garam, Pak Koki. Tapi kalau kamu mau sup udang rasa kue ulang tahun, silakan tambahkan gula sekalian. Kalau perlu tambahkan keju dan cokelat."Wira tertawa. Tawanya ringan dan jujur, seperti laki-laki yang sedang menikmati kebahagiaan kecil yang selama ini dirindukannya."Lucu ya," ucap Sekar sambil membalik stik daging di atas wajan. "Dulu, waktu aku bangun pagi buat masak, kamu masih meringkuk di kasur. Kadang aku udah selesai masak pun kamu masih belum bangun."Wira terkekeh, lalu melirik ke arah jam

  • DIMADU TANPA RESTU   80 – Kembali Ke Rumah Lama

    Langit pagi di Depok tampak cerah. Matahari baru saja muncul dari balik pepohonan, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat. Di halaman rumah kecil itu, suara koper yang digeser dan tawa ringan Raka mengiringi keheningan pagi. Hari ini, Wira mengajak Sekar dan Raka untuk kembali ke Jakarta. Menempati kembali rumah yang dulu pernah mereka tinggali, sebelum semuanya runtuh karena pengkhianatan dan luka.Wira berdiri di depan pintu, memandangi aktivitas kecil keluarganya. Sekar tengah melipat pakaian terakhir, memastikan tak ada yang tertinggal. Sementara Raka sibuk memeriksa mainan-mainan yang akan dibawa. Matanya berbinar, meskipun raut wajahnya tampak menyimpan haru."Kita beneran pindah ke Jakarta, Ma?" tanya Raka lirih, memeluk boneka dinosaurusnya erat.Sekar menunduk, mengusap kepala anak itu lembut. "Iya, Sayang. Kita akan tinggal di rumah Raka lagi. Rumah yang dulu pernah mama tinggali berdua sama papa, sebelum Raka lahir ke dunia. Tapi sekarang, kita mulai dari awal. Dengan hati

  • DIMADU TANPA RESTU   79 – Lebih Enak Dari Biasanya

    Fajar belum menyingsing sempurna ketika Raka terbangun dari tidurnya. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi cahaya samar dari lampu malam di sudut ruangan. Namun, matanya langsung terbuka lebar, tidak karena mimpi buruk atau suara gaduh, melainkan karena kehangatan yang luar biasa menyelubunginya. Di sisi kanan tidurnya, ada Mama Sekar. Di sisi kiri, ada Papa Wira. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka terbangun di antara dua orang yang paling ia cintai dalam satu ranjang yang sama.Ia menatap wajah Wira dengan mata berbinar, lalu menoleh pelan ke arah Sekar. Mulut mungilnya tersenyum kecil. Tangannya yang kecil terulur, menyentuh pipi Wira, lalu pipi Sekar. Gerakan lembut itu membuat keduanya menggeliat pelan dan membuka mata."Mama... Papa... Raka sayang banget sama Mama dan Papa..." bisiknya lirih namun penuh makna.Sekar tersenyum mengantuk, matanya masih setengah terbuka. "Sayang Mama juga, Nak..."Wira yang mulai sadar, menoleh dan menatap ana

  • DIMADU TANPA RESTU   78 – Sekali Lagi, Di Hadapan Allah

    Beberapa hari setelah Wira menyampaikan niatnya kepada orang tua dan melamar Sekar untuk kedua kalinya kala itu, segalanya bergerak cepat, namun dalam suasana yang tenang dan penuh pertimbangan. Bukan lagi seperti dua orang muda yang terburu-buru oleh nafsu dan ego, kali ini Wira dan Sekar melangkah dengan kepala dingin dan hati yang terlatih oleh luka.Mereka sepakat: tidak perlu pesta besar. Tak perlu gaun pengantin mewah, panggung pelaminan, apalagi daftar undangan panjang. Mereka hanya ingin saksi, doa, dan keberkahan. Pernikahan kali ini bukan untuk dunia, tapi untuk memperbaiki takdir yang sempat retak. Ijab kabul akan dilangsungkan di ruang tamu rumah Sekar di Depok, sederhana, hangat, dan sakral.Selama beberapa hari, mereka sibuk mengurus dokumen. KTP, KK, surat pengantar RT/RW, hingga surat rekomendasi dari KUA. Sekar sempat merasa gugup saat mendatangi kantor kelurahan. Petugas mengenalnya dan menatapnya penuh tanya. Tapi ia sudah siap. Ia tidak merasa harus menjelaskan apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status