Dada Sekar bergemuruh hebat. Tapi ia tahu tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini.
Ia lantas masuk kembali ke dalam rumah dengan napas memburu.
Dengan kasar, ia membanting pintu kamar hingga bergetar, lalu menguncinya dari dalam. Ia bersandar di pintu, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Sepanjang malam itu, Sekar sama sekali tidak bisa tidur. Hatinya terlalu sakit.
Ia akhirnya memutuskan untuk mengambil air wudhu, mengenakan mukena, lalu berdiri di atas sajadah—menegakkan shalat tahajud dalam kesunyian malam.
Tangisnya kembali pecah saat ia bersujud.
Sekar menengadahkan tangan, berdoa dengan segenap hati. Ia percaya, Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya.
Usai berdoa, ia masih duduk bersimpuh di atas sajadah. Hatinya sedikit lebih tenang, meskipun pedih itu belum sepenuhnya hilang.
Lelah karena air mata yang terus mengalir, Sekar akhirnya tertidur begitu saja di atas sajadahnya, dengan mukena masih membalut tubuhnya.
Malam yang terasa panjang itu akhirnya membawanya ke dalam lelap, meski bukan dalam damai.
Di luar kamar, di ruang tamu rumahnya sendiri, Wira dan Amara duduk berdampingan, tenggelam dalam dunia mereka yang baru.
Dan Sekar, di balik pintu kamar yang tertutup, tetap berjuang sendirian.
***
Sekar terjaga dari tidurnya yang tidak benar-benar nyenyak saat azan subuh berkumandang dari masjid terdekat.
Kepalanya terasa berat, sisa tangisan semalam membuat kelopak matanya membengkak.
Ia bangkit perlahan, merasakan dinginnya lantai di bawah kakinya. Tubuhnya terasa lemas, belum ada sebutir nasi pun yang ia makan sejak kemarin.
Dengan langkah pelan, ia membuka pintu kamar, keluar menuju dapur. Rumah ini masih gelap, hanya diterangi cahaya remang dari lampu dapur yang dibiarkan menyala semalaman. Saat memasuki dapur, langkahnya terhenti.
Matanya langsung tertuju pada meja makan yang berantakan. Bekas piring kotor berserakan di atas meja, dengan sisa makanan yang mulai mengering di pinggir piring.
Lauk-pauk yang seharusnya disimpan, dibiarkan begitu saja terbuka, terancam basi sebelum matahari benar-benar muncul di ufuk timur.
Sekar terdiam.
Nafasnya terasa berat saat melihat sisa makanan yang sebenarnya ia siapkan untuk dirinya dan Wira, tetapi kini telah disantap oleh orang lain. Ia bahkan belum menyentuh sesuap pun dari makanan itu.
Sekar pun mengambil gelas di rak, menuang air mineral dari dispenser lalu meneguknya perlahan untuk menenangkan tenggorokannya yang kering. Tapi belum sempat rasa haus itu benar-benar hilang, telinganya menangkap sebuah suara samar.
Matanya melirik ke arah sumber suara itu—dari kamar yang kini ditempati Wira dan Amara.
Cahaya samar mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Hatinya mendadak berdebar, ada dorongan kuat untuk melangkah mendekat, meskipun bagian lain dari dirinya berteriak agar tidak melakukannya.
Namun langkah kakinya terus bergerak, pelan, seakan dituntun oleh sesuatu yang tidak bisa ia lawan.
Ia berhenti tepat di depan pintu itu, mengintip melalui celah yang sengaja dibiarkan terbuka.
“Mas, ouhhh…”
Erangan lembut Amara kini jelas terdengar. Tubuhnya yang tidak berbalut apa pun, sedang menindih tubuh kekar Wira yang selama ini menjadi sandaran jiwanya.
Wira pun terlihat sangat menikmati. Meraih leher Amara, merebahkan ke wajahnya lalu mencumbunya dengan penuh nafsu. Wajah Wira terlihat sangat puas ketika mencumbu gunung kembar Amara yang memang lebih besar dibanding miliknya.
Permainan semakin brutal ketika Wira membalik tubuh Amara tanpa melepaskan penyatuan. Pergerakannya sangat luar biasa, dan pusat permainannya tetap pada dada Amara yang seolah membuat Wira candu.
“Ini tidak aku dapatkan dari Sekar…,” lirih Wira seraya terus menggoyang tubuh Amara tanpa ampun.
“Dan aku akan berikan semua yang tidak kau dapatkan itu, Mas. Ahh….” balas Amara dengan napas memburu.
Pemandangan dan kata-kata itu menampar Sekar begitu keras.
Jantung Sekar terasa seperti diremas hingga nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya. Kakinya melemas, hampir membuatnya terjatuh di tempat.
Tangannya menutup mulutnya sendiri, menahan isak tangis yang mengancam pecah.
Mereka... di atas ranjang sedang melepaskan hasrat yang tampaknya sangat bergelora. Pergerakan yang luar biasa membuat ranjang itu bergetar, berdecit seolah menyerah menopang tubuh dua orang yang sedang dibalut birahi.
Ranjang yang dulu menjadi tempat ia dan Wira berbagi banyak kenangan, berbagi kehangatan, berbagi rencana masa depan sebelum akhirnya pindah ke kamar utama yang lebih besar.
Kini, tempat itu telah ternodai oleh pengkhianatan.
Amara, dengan rambut tergerai dan tubuh tanpa sehelai benang pun, terlihat tersenyum penuh kemenangan. Sedangkan Wira terlihat menikmati setiap inci tubuh Amara yang kini berstatus sebagai istri kedua.
Di rumahnya.
Di kamarnya.
Di ranjangnya.
Sekar menggigit bibirnya, mencoba menahan teriakan yang ingin ia lepaskan. Matanya panas, dadanya sesak, dan di saat yang sama, amarah berkecamuk di dalam dirinya.
Tetapi... apa yang bisa ia lakukan?
Mereka tidak menyadari keberadaannya. Mereka terlalu sibuk dalam dunia mereka sendiri, tanpa tahu bahwa ada seseorang di balik pintu yang hatinya tengah hancur untuk kesekian kalinya.
Air mata mengalir tanpa bisa ia tahan.
Perlahan, Sekar mundur, menjauh dari pintu itu, menjauh dari kenyataan yang terlalu kejam untuk ia hadapi.
Tangannya meremas kain mukena yang masih ia kenakan, tubuhnya bergetar hebat. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menghancurkan semuanya.
Tapi di saat yang sama, hatinya terasa hampa.
Kosong.
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyaksikan pengkhianatan dengan mata kepala sendiri. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyadari bahwa orang yang paling ia cintai, kini memilih untuk menghancurkannya tanpa ragu.
Sekar tidak lagi bisa berpikir jernih. Ia berbalik, melangkah pergi, kembali ke dalam kamarnya, dan menutup pintunya rapat-rapat.
Di luar, fajar mulai menyingsing.
Namun bagi Sekar, tidak ada cahaya di pagi ini.
“Raka! Nak… Raka, bangun, Sayang…!”Sekar panik bukan main. Napasnya tersengal-sengal. Jantungnya seperti akan meledak melihat tubuh mungil putranya terkapar tak sadarkan diri di atas tanah becek, basah kuyup oleh hujan yang belum juga reda. Darah mengucur deras dari kaki Raka yang tertimpa sebuah ranting pohon besar. Sekar terus menepuk pipi putranya, berusaha keras menyadarkan si kecil yang begitu dicintainya.“Ya Allah… tolong… Raka, bangun, Nak. Ini mama, Sayang. Tolong buka matamu, Nak...”Tangis Sekar pecah seketika. Seluruh tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena ketakutan yang tak mampu dijelaskannya dengan kata-kata.Sementara itu, mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan semampunya di tengah hujan deras yang mengguyur tanpa ampun.“Mas, tolong cepat! Anak saya pingsan!” serunya pada pria yang duduk di balik kemudi.“Sabar, Mbak S
“Raka...”Suara itu terdengar lirih namun penuh kerinduan dari balik pagar tempat les tahfidz. Wira berdiri di sana, memegangi jeruji besi yang dingin, wajahnya setengah basah oleh gerimis yang belum juga reda sejak sore tadi. Entah sudah berapa lama ia menunggu di sana, tapi sorot matanya tak pernah lepas dari seorang bocah yang sedang duduk di kursi tunggu.Raka menoleh pelan. Keningnya mengernyit ketika melihat pria asing yang menyebut namanya.“Raka kenal sama om itu?” tanya salah satu guru yang bertugas menjaga gerbang.Anak itu menggeleng cepat, lalu kembali menunduk, menanti jemputan seperti biasa.“Ustazah, maaf… Saya ini ayah kandung Raka,” ucap Wira dengan nada penuh harap. “Coba tanyakan padanya. Mungkin… mungkin dia masih marah karena saya meninggalkannya selama ini.”Guru itu melangkah mendekati Raka, menatap bocah itu dengan lembut. “Raka sayang… Benarkah om itu papa kandungmu? Tapi ingat, Nak, jangan berbohong. Allah tahu apa yang disembunyikan hamba-Nya.”Raka diam sej
Wira berdiri di luar pagar rumah yang kini ramai oleh tamu. Langkahnya tertahan. Ia mencoba masuk, namun kerumunan membuatnya tak mungkin menerobos ke dalam. Dengan dada sesak, ia melangkah ke sisi jendela, mengintip ke dalam dari balik kaca bening yang sedikit berembun akibat perbedaan suhu.Dari celah pandangan itu, ia melihat sosok Sekar. Duduk bersimpuh anggun dalam balutan kebaya biru muda yang manis. Wajahnya begitu cantik, memancarkan keanggunan yang menyesakkan dada Wira. Seketika, kenangan masa lalu membanjiri benaknya. Ingatannya melayang ke hari saat ia dan kedua orang tuanya datang melamar Sekar untuk pertama kali. Wajah itu... masih sama. Manis, lembut, dan menyejukkan. Tapi kini, perasaan yang ia simpan jauh lebih dalam dari masa lalu yang penuh keterpaksaan.Dulu, ia menikahi Sekar karena keinginan orang tuanya. Tapi kini, cinta itu tumbuh murni, membara dengan kesadaran yang menyakitkan.Sementara itu, di dalam rumah, suasana hening menegangkan.
Hari ini rumah Sekar tidak seperti biasanya. Warung ditutup sejak pagi, aroma masakan menyeruak dari dapur, dan beberapa tetangga dekat tampak sibuk membantu menyiapkan hidangan. Mereka datang bukan hanya sebagai tetangga, tapi juga sebagai keluarga yang turut mendukung momen penting dalam hidup Sekar.Ya, hari ini keluarga Ardi akan datang. Lamaran. Sebuah kata yang cukup sederhana, tapi berat maknanya bagi seorang perempuan yang pernah patah hati sekeras itu. Jika lamaran ini diterima, maka siang ini juga akan langsung dilakukan pertunangan sekaligus penentuan tanggal pernikahan.Semua itu adalah permintaan Sekar sendiri. Ia tidak ingin berlama-lama menggantungkan hati dalam ketidakpastian. Semakin hari, Wira semakin nekat. Kemarin saja pria itu kembali muncul, mencoba mendekati Raka dan menyentuh kembali hatinya yang dulu pernah dia abaikan.Namun Sekar tidak lagi sama. Ia menolak pria itu mentah-mentah. Kehadiran Wira tidak diterima, baik oleh hati maupun oleh rumah ini.Pukul dua
“Tante, Raka mana?” tanya Edo—salah satu teman dekat Raka—dengan napas sedikit terengah.Sekar yang sedang sibuk menata barang dagangan di warung, menoleh cepat, keningnya berkerut. “Raka? Bukannya tadi main sama kalian? Tante dari tadi nggak lihat dia. Tante sibuk di warung.”“Raka pulang duluan, Tante. Ini tadi barang-barangnya ketinggalan,” sahut Edo sambil menyerahkan kantong plastik berisi mainan. Seorang temannya menambahkan, “Ini juga bolanya, Tante.”Sekar menerima barang-barang itu dengan bingung. Ia membolak-balik isinya, merasa ada yang janggal. “Ini punya Raka? Kayaknya bukan deh. Tante nggak pernah lihat mainan ini.”“Itu memang punya Raka, Tante. Soalnya tadi Om yang ngasih.”Sekar menatap anak-anak itu dengan tatapan penuh tanya. “Om yang mana? Om Ardi?”“Bukan. Om yang mirip Raka. Katanya sih papanya Raka. Tapi kami nggak tahu juga.”NYESH!Perkataan itu menghantam hati Sekar seperti angin tajam yang menyayat. Sejenak ia membeku. Napasnya tercekat.Sekar benar-benar ti
“Raka …,” panggil Wira pelan, berusaha mendekati bocah empat tahun yang sedang bermain bola bersama teman-temannya di lapangan sore itu.Bocah kecil itu baru saja menendang bola ke arah gawang imajiner, namun suara Wira membuatnya menoleh. Matanya melebar sedikit, lalu wajahnya berubah waspada.“Om lagi?” gumam Raka. Ia mundur satu langkah, menjauh. Tatapannya tak lagi riang seperti beberapa saat sebelumnya.“Nak, jangan takut,” ucap Wira dengan suara selembut mungkin. Ia berjongkok agar sejajar dengan tinggi tubuh Raka. “Om ini bukan orang jahat. Nih … Om bawakan mainan. Banyak, semua buat Raka.” Ia menyodorkan kantong belanja berisi mainan mobil-mobilan, robot, dan beberapa camilan anak-anak.Namun Raka menggeleng cepat. “Om pasti orang jahat. Kalau nggak jahat, kenapa Mama marah banget waktu itu?”Teman-teman Raka yang melihatnya pun ikut mendekat. Mereka berdiri di dekat Raka, seolah bersiap menjaga jika Wira melakukan sesuatu yang mencurigakan.Wira berusaha tersenyum. Meski hati
Wira masih terpaku. Kata-kata ibunya terus terngiang-ngiang di telinganya, membekas seperti cambuk yang menghantam hati sekaligus menyulut semangatnya yang nyaris padam.“Kalau kamu memang mencintai Sekar, perjuangkan. Kamu tahu, dulu kamu sudah melukainya. Jadi wajar kalau sekarang kamu butuh usaha yang lebih besar untuk kembali mendapatkannya. Sebelum janur kuning terkembang, sebelum Sekar sah jadi istri orang, kamu masih punya kesempatan untuk merebutnya kembali.”Begitulah pesan dari Bu Dian, ibunya, sebelum Wira melangkah keluar dari rumah masa kecilnya. Ucapan yang sederhana, namun menyimpan ledakan makna dan dorongan yang dahsyat.Langkah Wira berat, tapi pasti. Ia berjalan sendiri menyusuri lorong rumah, menuju kamar yang selama ini disakralkan dalam diam—kamar Sekar.Sejak kepergian Sekar, tak ada satu pun yang diizinkan menyentuh kamar itu. Bahkan ketika Amara merengek dan memaksa ingin pindah ke kamar utama, Wira tetap tak luluh. Baginya, kamar itu milik Sekar. Dan akan sel
“Mama… Om yang datang tadi sore itu siapa, sih? Kayaknya kenal banget sama Mama. Terus… kenapa Mama marah-marah sama Om itu?”Pertanyaan itu meluncur polos dari bibir kecil Raka usai ia menyantap makan malam. Suaranya ringan, tapi penuh rasa ingin tahu yang mendesak.Sekar menoleh sejenak, jantungnya seolah tercekat. “Bukan siapa-siapa, Sayang…” jawabnya cepat sambil membereskan piring kotor. “Raka udah ngerjain PR belum? Mau Mama bantuin?”“Mama lupa, ya?” Raka mengernyit lucu. “Raka kan lagi liburan. Mana ada PR! Lagi pula, anak PAUD mana ada PR, Ma.”Sekar terdiam. Raka benar. Ia sedang libur sekolah, dan selama ini, gurunya memang tak pernah memberi pekerjaan rumah. Sekar meremas serbet di tangannya, menyadari betapa paniknya ia hingga mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal.“Oiya… Maaf, Sayang. Mama kelepasan.” Sekar memaksakan senyum. “Hhm… Gimana kalau liburan kali ini Raka pergi sama Mama, ya? Kita ke Bandung, main ke rumah Tante Sonya. Raka mau, nggak?”Raka tidak menjawab
Setelah menimbang berkali-kali dalam hati, akhirnya Wira memutuskan untuk bertamu ke rumah Sekar sore ini. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima, dan ia baru saja mengganti pakaian yang ia beli di Depok. Pakaian lamanya sudah kusut dan terasa tidak layak pakai setelah dipakai semalaman penuh pencarian dan kegelisahan.Sembari melajukan mobil menuju kediaman Sekar, pandangan Wira sesekali berpindah ke kantong-kantong belanja yang ia letakkan di kursi penumpang depan. Ada makanan, pakaian untuk Raka, dan beberapa oleh-oleh kecil. Wira tak mau datang dengan tangan kosong. Bukan demi pencitraan, melainkan sebagai bentuk itikad baik.Namun saat mobilnya memasuki halaman rumah, langkah Wira seketika terhenti. Matanya menangkap mobil SUV hitam yang terparkir rapi di depan rumah. Di teras, seorang pria sedang bercanda dengan Raka. Tawa anak itu begitu riang, seperti tak menyisakan sedikit pun luka masa lalu.Bukankah itu... pria yang aku temui di lift waktu itu? Wira membatin, jantungnya ber