“Sekar, buka pintunya!” gema suara terdengar. Suara yang sangat khas yang selama ini begitu dirindukan oleh Sekar. Namun kini pemilik suara itu balik menyakitinya.
Sekar segera bangkit, menyeka air matanya dan kini berdiri di depan daun pintu. Sekar menghela napas sejenak sebelum tangan kanannya benar-benar menekan gagang pintu lalu menariknya.
“Mas Wira, ada apa?” tanya Sekar.
“Kamu sudah makan?” tanya Wira.
Sekar menggeleng.
“Ayo makan bareng.”
Sekar mengangguk. Kali ini ia benar-benar tidak ingin ribut, jadi ia tidak membantah perintah Wira.
Terlihat Amara menggandeng Wira dengan manja menuju meja makan.
Lagi-lagi, Sekar hanya bisa menghela napas.
“Silakan duduk, Mas,” ucap Amara, memundurkan sebuah kursi makan untuk Wira.
“Terima kasih,” balas Wira.
Amara duduk tepat di samping Wira sementara Sekar duduk di depan suaminya. Tidak ada kata apa pun yang keluar dari bibir Sekar. Ia lebih banyak diam dan bersikap sangat hati-hati.
Sementara Amara, seolah sengaja menyakiti hati kakak madunya, ia memperlakukan Wira begitu istimewa. Mengambilkan makanan untuk Wira, menyiapkan minuman, bahkan tidak segan mencium pria itu di depan Sekar.
Untuk pertama kalinya mereka bertiga makan di satu meja makan. Amara makan dengan lahap, begitu juga dengan Wira. Sementara Sekar? Satu sendok nasi pun sulit ia telan.
“Mbak Sekar hebat banget ya masaknya. Tapi aku juga bisa lo masak ikan bakar seperti ini, bahkan lebih enak dari ini. Ya’kan, Mas?” ucap Amara di sela-sela kegiatan makan malam mereka.
Wira hanya mengangguk tanpa bersuara.
“Kalau begitu mulai besok kamu saja yang masak,” balas Sekar sedikit ketus.
Amara menghentikan suapannya. Menatap tajam ke dua mata Sekar yang masih tertuju kepadanya.
“Aku bukannya nggak mau, Mbak. Mbak tahu sendiri kalau aku sedang hamil dan aku sedang hamil muda. Mbak tahu kalau mas Wira sangat menanti-nantikan kehadiran seorang anak. Memangnya Mbak mau tanggung jawab kalau aku sampai kecapekan dan keguguran?” Nada bicaranya penuh penekanan.
“Sudah, jangan ribut di meja makan. Sekar, aku mohon jangan cari masalah. Kalau kamu tidak senang makan bersama kami, ya sudah. Silakan kamu pergi dari sini. Aku paling tidak suka dengan keributan ketika sedang makan.” Suara Wira menggema di ruang makan itu.
Sekar meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Nafsu makannya seketika hilang lenyap. Ia pun berdiri dan pergi meninggalkan ruangan itu menuju kamarnya.
“Mas, maaf kalau aku sudah bikin kamu nggak enak. Aku nggak berniat ribut sama mbak Sekar. Kamu dengar sendirikan kalau aku dari tadi memuji masakan dia.” Lagi-lagi suara manja Amara meluluhlantakkan hati Wira.
“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Lagi pula itu memang tanggung jawab Sekar sebagai istri pertama. Ia juga punya kewajiban menjaga kehamilan kamu. Sekarang makanlah, makan yang banyak agar kamu dan bayi kita sehat.” Wira mengelus lembut perut datar Amara, menciumnya sesaat lalu melanjutkan acara makan malam mereka.
***
Pukul sembilan malam.
Lagi-lagi, naluri Sekar bergejolak ketika melihat ruang makannya berantakan. Sementara dapurnya sudah ia bersihkan sebelum makan malam ia hidangkan.
Enggan rasanya Sekar melangkah, merapikan ruang makan itu. Namun wejangan sang ibu memaksanya untuk tetap melangkah menuju ruang makan dan mulai merapikan satu per satu piring bekas makanan dan memindahkannya ke westafel pencucian piring.
Ketika Sekar mulai menyapu piring demi piring dengan spons berisi sabun, tiba-tiba sebuah derap langkah kaki menghampirinya.
Sekar sama sekali tidak memedulikan langkah kaki itu. Ia tetap mengerjakan pekerjaannya, memastikan semuanya bersih sebelum ia melangkah tidur.
Namun tiba-tiba sepasang tangan kekar melingkar di pinggangnya. Sekar terkejut, namun ada sebuah perasaan senang yang sulit ia akui di dalam hatinya.
Momen seperti itu sangat ia rindukan.
Ya, itu memang salah satu kebiasaan Wira sebelum Amara datang ke kehidupan mereka.
“Malam ini aku menginginkanmu, di sini, seperti biasanya,” bisik Wira tepat di depan daun telinga Sekar.
“T—tapi, bagaimana kalau Amara melihat?” Sekar tergagap. Ia meletakkan piring dan spons di atas westafel lalu segera mencuci tangannya.
“Apa salahnya? Lagi pula aku tidak peduli. Malam ini aku menginginkanmu, di sini,” ulang Wira lagi.
Perlahan Wira memutar tubuh Sekar, menyandarkan wanita itu ke westafel, lalu mulai mengarahkan wajahnya semakin dekat ke wajah Sekar.
Aliran darah Sekar seketika menjadi deras, jantungnya berpacu lebih cepat ketika bibir suaminya mulai menyentuh bibirnya. Sekar merasakan kehangatan yang luar biasa mulai menjalar di setiap nadi dan persendiannya.
Wira mencumbu Sekar dengan penuh gairah. Ia lumat bibir manis itu hingga ke dua tangan Sekar pun refleks mengelus kulit punggung suaminya.
Sesakit-sakitnya Sekar, ia tetap punya naluri dan cinta. Ia sangat mencintai Wira dan ia pun berkobar ketika suaminya mencumbunya dengan mesra.
“Aaahhh....” Sebuah erangan panjang terdengar ketika Wira mulai menyapu leher Sekar dengan lidahnya. Meninggalkan bekas di sana yang membuat Sekar menahan hasrat seraya menggigit bibir bawah.
Ke dua tangan Wira mulai mencari ujung baju Sekar. Ketika sudah menemukannya, ia menarik ke atas hingga pakaian Sekar terlepas, menyisakan tubuh polos yang hanya tertutup be-ha pengaman.
Wira mulai melepaskan benda itu, mencumbu Sekar dengan tanpa ampun seolah ia juga sangat merindukannya.
“Mas, aaahhh....” Suara erangan Sekar semakin kuat. Memejamkan mata, menggigit bibir bawah karena sangat menikmatinya hingga ia sendiri tidak sadar kalau sepasang mata tengah memerhatikan dirinya dan aktifitas tersebut.
Terlebih ketika Wira berhasil melepaskan celana yang dikenakan Sekar dan mulai bermain-main dengan miliknya di balik segitiga pengaman, Sekar semakin dibuat bergejolak hingga tiba-tiba...
“AUCH!!” Sebuah teriakan menghentikan aktivitas tersebut.
“Malam ini aku ingin bersama Sekar,” ucap Wira.Amara tidak senang, namun ia berusaha sembunyikan perasaan itu dari Wira.“Tentu saja, Mas. Bukankah Sekar adalah istri pertama kamu dan wajar saja kalau kamu juga menginginkannya. Aku tidak keberatan,” balas Amara.Wira keluar dari kamar. Langkah kakinya membawanya ke ruang dapur, di mana saat ini Sekar sedang membereskan bekas makanan dirinya dan Amara. Sementara Sekar? Ia tidak makan malam sama sekali.Diam-diam, Amara mengintip aktivitas suaminya dengan Sekar di ruang dapur. Ada yang membara di hatinya. Terlebih ketika melihat Wira memperlakukan Sekar dengan sangat lembut.Melihat Wira mencumbu Sekar dengan penuh nafsu, Amara pun tidak tahan. Ia tidak ingin membiarkan Sekar menikmati malam ini dengan Wira. Bagaimanapun juga, ia harus menguasai hati, jiwa, tubuh dan harta Wira. Itulah tujuan utamanya.“AUCH!!” Amara berteriak. Kakinya memijak pecahan kaca yang sudah ia siapkan sendiri hingga berdarah.Suara teriakan itu seketika membua
Pukul sepuluh pagi, di kediaman Sekar.Sebuah mobil minibus berhenti perlahan di halaman rumah sederhana itu. Dari dalamnya turun sepasang paruh baya—berpakaian rapi dan membawa sebuah bungkusan kecil. Wajah mereka tampak cerah, menyimpan senyum lebar seolah membawa kabar bahagia. Mereka berjalan perlahan menuju pintu rumah, langkah mereka penuh semangat.Sementara itu, Sekar baru saja kembali dari halaman belakang. Di tangannya tergenggam sebuah gembor kosong yang hendak ia isi ulang, karena belum semua tanaman yang ia siram.Saat pandangannya jatuh pada sepasang paruh baya yang sangat ia kenali itu, Sekar langsung menghentikan langkah. Ia meletakkan gembor di pinggir teras dan segera berjalan cepat menghampiri mereka.“Ibu, Bapak, kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau datang?” sapanya dengan suara penuh kehangatan, seraya mengulurkan tangan. Ia menyalami keduanya dengan takzim dan penuh hormat.“Kamu apa kabar, Nduk?” sang Ibu membuka suara, masih dengan senyum lebar. “Ibu dan Bapak
Wira duduk di kursi samping ayahnya. Matanya tak henti melirik ke arah kamar tempat Amara bersembunyi. Gelas teh yang sejak tadi ia pegang sudah dingin, tapi belum juga disentuh. Di hadapannya, Sekar duduk berseberangan, pura-pura sibuk menyusun camilan di meja. Ia menyadari kegelisahan suaminya, namun memilih bungkam. Ia tahu, badai bisa datang sewaktu-waktu.“Ibu lihat kamu kok agak aneh, Wira?” tanya sang Ibu tiba-tiba, memecah keheningan yang menggantung di udara.Refleks, Wira menegakkan punggung. “Aneh gimana, Bu?”“Kelihatan tegang. Biasanya kalau kami datang, kamu santai. Tapi ini dari tadi kayak orang ketakutan.”Wira terkekeh kecil, meski terasa kaku. “Wira cuma kaget aja, Bu. Nggak nyangka Bapak dan Ibu datang mendadak. Padahal akhir pekan ini rencananya Wira mau beresin beberapa kerjaan.”“Kerjaan bisa diatur, Wira. Tapi keluarga itu tetap nomor satu,” ujar sang Ayah dengan nada lembut, sembari menepuk bahu anaknya.Sekar berdiri dengan senyum canggung. “Sekar ambilkan bua
Sekar masih terpaku di sudut kamarnya. Matanya menatap kosong ke dinding, tubuhnya terasa berat untuk sekadar berdiri. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan kedua orang tua Wira di ruang tamu. Namun yang pasti, hatinya semakin rapuh, nyaris tak mampu menanggung beban kenyataan yang menghimpit.Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Jantung Sekar berdetak kencang, menimbulkan dentuman cemas di dadanya. Ia enggan beranjak, tapi suara ketukan kembali terdengar, kali ini disertai dengan suara yang ia kenali: Dian, ibunda Wira.Dengan langkah pelan dan berat, Sekar mendekat. Ia menarik engsel pengunci pintu, lalu memutar gagangnya perlahan hingga pintu terbuka.“Ibu ingin bicara,” ucap Dian tanpa basa-basi.Sekar mengangguk, memberikan jalan agar wanita paruh baya itu bisa masuk ke dalam kamarnya.“Silakan duduk, Bu,” katanya pelan, seraya menarik sebuah kursi kayu mendekati ranjang.Dian duduk di kursi, sementara Sekar memilih duduk di tepi ranjang, menjaga jarak yang tetap terasa meny
Malam ini terasa asing. Ruang makan yang dulu penuh kehangatan, kini dingin sedingin es. Baru kali ini Sekar duduk di meja makan yang sama dengan Wira dan Amara. Bahkan Dian dan Suryo pun ada di sana. Atmosfernya kaku, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—tajam, menusuk.Makanan tersaji di atas meja, aromanya menggoda. Siapa lagi yang memasak kalau bukan Sekar?Ya, selain karena tanggung jawabnya sebagai istri, Sekar memang jago masak. Tidak pernah sekalipun Wira mengeluh soal masakannya. Apa pun yang ia buat, selalu cocok di lidah Wira. Selalu.“Tunggu apa lagi? Ayo makan,” ucap Suryo memecah keheningan yang mencekam.Sekar yang sedari tadi termenung, tersentak. Ia duduk di samping Wira, mengambil piring, dan seperti biasa menuang nasi secukupnya lalu menyerahkannya kepada suaminya. Gerakan yang telah ia lakukan ratusan kali selama bertahun-tahun. Dian pun melakukan hal serupa untuk Suryo.Sementara Amara? Ia terlihat canggung, seperti orang yang salah kostum di pesta resmi.
Usai mencuci piring, Amara meninggalkan dapur dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah ringan. Namun, langkah itu terhenti seketika saat suara Dian memanggilnya dari ruang keluarga.“Amara, ke sini. Kami ingin bicara,” ucap Dian, tegas namun masih terdengar tenang.Amara menoleh, menahan napas sejenak, lalu melangkah mendekati Dian, Suryo, Sekar, dan Wira yang telah menunggunya di ruang keluarga. Suasana di ruangan itu terasa berat, seperti ada kabut tak kasatmata yang membebani udara.“Ada apa, Bu?” tanyanya ramah, meski sorot matanya menyiratkan kewaspadaan.“Duduk. Kami ingin berbicara baik-baik,” balas Dian.Tanpa banyak komentar, Amara menuruti. Ia duduk bersimpuh di atas karpet tebal yang empuk, bergabung dengan yang lain. Tatapan Wira sesekali mencuri pandang ke arah Sekar, lalu kembali menatap Amara dengan gelisah.“Amara, kamu tahu kalau rumah ini adalah milik Sekar,” Suryo memulai pembicaraan dengan nada datar namun tajam.Amara mengangguk lemah, menunduk dalam.“Rumah in
Malam ini, seperti biasa, Wira tidur di kamar Amara. Ia membiarkan Sekar sendiri, terkurung dalam sepi dan luka yang kian dalam di relung hatinya.“Mas, aku nggak peduli. Pokoknya aku nggak mau pergi dari rumah ini,” kata Amara lirih, tapi nada suaranya penuh ketegasan. Di dalam kamarnya, matanya menatap tajam pada Wira.“Kenapa kamu begitu keras kepala, Amara? Bukankah kamu sendiri yang bilang, kamu rela tinggal terpisah dari Sekar asal aku bersamamu? Aku penuhi itu. Lalu, kenapa kamu berubah pikiran sekarang?” Wira mencoba bersikap tenang, meski hatinya mulai panas.“Enggak, Mas. Aku tetap mau tinggal di sini. Lagi pula, apa salahnya aku dan Sekar tinggal satu atap? Kamu nggak akan ada terus untuk aku dua puluh empat jam, Mas. Bagaimana kalau kamu kerja? Atau harus dinas ke luar kota? Nanti aku sama siapa?” Amara kini terlihat seperti anak kecil yang menolak kenyataan.“Sekar juga mengajar siang hari. Jadi, kamu akan tetap sendiri di rumah ini.” Wira berusaha menjelaskan dengan suar
“Sekar, aku mau bicara,” ucap Wira sesaat setelah kedua orang tuanya menghilang dari pandangan.Sekar mengangguk tanpa menjawab, lalu mengikuti langkah kaki Wira menuju ruang tamu rumah itu.“Duduk,” ucap Wira tegas.Sekar menuruti tanpa kata. Ia duduk dengan hati waspada.“Sekar, aku sudah putuskan. Setuju atau tidak, Amara akan tetap tinggal di sini bersama kita. Aku tidak bisa membiarkannya tinggal seorang diri dalam kondisi seperti ini. Aku harap kamu mengerti.”Nada suara Wira begitu kokoh, seolah tidak bisa digugat. Sekar terdiam, bangkit dari tempat duduknya tanpa berkata apa pun. Ia melangkah menuju kamar. Namun baru beberapa langkah, langkahnya terhenti. Amara sudah berdiri di hadapannya.“Jangan kira kamu menang hanya karena dapat pembelaan dari orang tuanya Mas Wira,” bisik Amara dengan nada mengancam.Sekar menahan napas, mencoba mengendalikan gejolak amarah di dadanya. Namun
“Apa Ibu baik-baik saja?” Suara Wira menggema di lorong rumah sakit. Napasnya menderu, terdengar seperti orang yang habis berlari. Matanya cemas, menyapu wajah-wajah di sekitarnya hingga berhenti pada sosok Amara.Amara langsung menoleh, terkejut melihat kehadiran Wira. “Mas? Bukannya Mas kerja?” tanyanya, bingung sekaligus gugup.Namun sebelum Wira sempat menjawab, suara petugas rumah sakit terdengar lewat pengeras suara, memanggil nama Amara. Kini gilirannya masuk ke ruang poli kebidanan, tempat pertemuan dengan dokter spesialis kandungan.“Nanti saja bicaranya. Kita masuk dulu,” ucap Dian tegas. Ia berdiri dari bangku tunggu dan menggenggam tangan Amara dengan lembut namun mantap.Wira yang masih kebingungan akhirnya hanya bisa mengikuti langkah ibunya. Ia berjalan masuk ke ruang periksa, didampingi dua wanita yang wajahnya menyiratkan kegelisahan masing-masing.Seorang dokter kandungan menyambut mereka dengan
"Ibu, apa kabar?" sapa Amara dengan suara lembut dan senyum ramah saat melihat Dian berdiri di depan pintu rumah."Baik, Amara. Wira ada?" tanya Dian dengan nada bersahabat, meski matanya tajam mengamati wajah menantu yang mulai berhasil merebut hati anaknya itu."Mas Wira lagi kerja, Bu. Ibu masuk dulu, ya. Aku buatkan minum sebentar." Ucapan Amara terdengar sangat tulus, senyum manisnya seolah ingin mengatakan bahwa dirinya pantas menggantikan posisi Sekar.Namun Dian menolak halus. "Tak usah, Amara. Ibu ke sini bukan untuk bertamu. Ibu mau minta tolong. Boleh?"Amara langsung menghentikan langkahnya menuju dapur dan kembali mendekat. "Minta tolong apa, Bu?""Hari ini ibu ada jadwal kontrol rutin. Ibu ada gejala stroke ringan, jadi harus kontrol setiap bulan. Bapak nggak bisa temani karena sedang ada urusan pekerjaan di luar kota. Wira juga nggak bisa karena kerja. Dulu biasanya Sekar yang suka menemani ibu ke rumah sakit, tapi sekarang… y
Jakarta, Kediaman Orang Tua WiraSuryo dan Dian tampak terpaku di ruang tamu. Mereka saling berpandangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh Sekar. Kata-katanya mengguncang hati mereka, menyisakan rasa kecewa yang mendalam terhadap putra mereka, Wira, yang begitu mudah mempercayai Amara tanpa menyelidiki lebih jauh.“Jadi... selama ini kehamilan Amara itu palsu?” tanya Dian dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah berharap jawabannya tidak seperti yang ia duga.Sekar mengangguk perlahan. Matanya menatap lurus, suaranya tenang namun tegas. “Yang pasti, Amara tidak pernah memeriksakan diri di klinik tempat dia mengaku berobat. Kedua surat keterangan yang ia berikan terbukti palsu. Soal dia pernah hamil atau tidak, satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan memeriksakannya langsung ke dokter kandungan.”Dian mengernyitkan dahi. “Tapi bagaimana caranya, Nak? Selama ini dia tidak pernah mau dibawa
Sekar berdiri terpaku di ambang pintu ruang tamu. Pandangannya tajam, namun matanya menyiratkan kelelahan. Dua pria asing di hadapannya ikut membeku, tampak sama terkejutnya melihat kehadiran perempuan itu yang tiba-tiba muncul di tengah sore yang sunyi.Tidak ada yang bicara. Hening menggantung di udara, seolah waktu berhenti sejenak. Mereka saling memandang dalam kebingungan, seakan masing-masing mencoba menebak siapa yang paling berhak berada di tempat itu.Suara langkah tergesa memecah keheningan. Amara muncul dari lorong kamar, mengenakan daster longgar dengan rambut tergerai acak-acakan. Ketika matanya menangkap sosok Sekar, ia langsung menghentikan langkah, tapi wajahnya cepat pulih dalam ekspresi congkak yang biasa.“Kamu kembali?” ucap Amara, suaranya tinggi dengan nada mengejek. Ia menegakkan dagunya. “Kupikir kamu tidak akan berani datang lagi ke rumah ini.”Sekar tidak terintimidasi sedikit pun. Ia berdiri tegak, dingin, dan mantap.“Ini rumahku, Amara. Aku lebih punya hak
Depok, kediaman orang tua Sekar.Suara mesin mobil membuat Sekar menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke arah jendela, dan matanya melebar ketika melihat mobil orang tua Wira berhenti tepat di depan rumah. Detik berikutnya, dadanya langsung bergemuruh. Apa yang mereka lakukan di sini?Meski hatinya sempat gugup, Sekar tetap menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat dan langkah yang ringan.“Assalamu’alaikum…” sapa Dian dan Suryo bersamaan, ramah namun berwibawa.“Wa’alaikumussalam… Ibu, Bapak, kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” Sekar menyambut keduanya dengan takzim, mencium tangan mereka penuh hormat. “Lagi pula… darimana Bapak dan Ibu tahu kalau Sekar ada di sini?”Wajah Dian tersenyum, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak diucapkan. “Nanti saja ceritanya, ya. Kita masuk dulu.”Sekar mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. Ia pamit sebentar ke dapur, menyiapkan minuman sambil mencoba menenangkan diri. Pertemuannya dengan mertua di momen seperti ini sungguh d
Jakarta, kediaman Wira.“Benar kalau Sekar pergi?” tanya Dian dengan nada penuh emosi.Wira yang masih kaget dengan kedatangan orang tuanya yang tiba-tiba, berusaha bersikap tenang.“Dia pergi atas kemauannya sendiri, Bu. Lagi pula, Sekar sudah membuat kesalahan yang fatal.”“Kesalahan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat Sekar hingga ia harus pergi dari rumahnya sendiri?” Suara Dian bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.Mendengar suara itu, Amara keluar dari kamar. Ia langsung mengubah sikap, berjalan dengan anggun, lalu mengulurkan tangannya ke arah Dian dan Suryo.“Ibu dan Bapak kok nggak ngomong dulu kalau mau ke sini? Maaf, rumah agak berantakan. Soalnya aku lagi sakit, nggak bisa beresin,” ucap Amara dengan canggung, berusaha tersenyum meski wajahnya pucat.Dian yang awalnya tak memperhatikan keadaan rumah, akhirnya mengedarkan pandangannya.Benar saja, matanya membelalak menyaksikan kondisi ruang tamu, meja makan, dan dapur yang kacau. Selama Sekar tinggal di sini, rumah ini
Suasana nyaman, syahdu, dan udara sejuk kini menyambut kedatangan Sekar. Mobilnya berhenti di halaman sebuah rumah yang sudah cukup lama ia tinggalkan. Terakhir kali ia menginjakkan kaki di sana adalah saat Lebaran tahun lalu, sekitar tujuh bulan silam. Itu pun hanya sebentar, tanpa sempat menginap.Sekar menghela napas panjang sebelum turun dari mobil dan melangkah mendekati pintu.“Lho, Sekar? Kapan datang?” Suara yang tak asing menggema dari belakang.Sekar membalikkan tubuh. Sosok paruh baya menyambutnya—seorang wanita dengan daster batik dan jilbab instan, tangan kanannya menenteng kantong belanjaan berisi sayur-mayur. Sepertinya ia baru saja pulang dari pasar.“Bude, apa kabar?” sapa Sekar ramah, lalu memeluk wanita itu. Dia adalah istri dari kakak kandung almarhum ayahnya.“Alhamdulillah, Bude baik. Kamu sendiri bagaimana, Nak?” tanya wanita bernama Nunung itu, menyentuh pipi Sekar dengan lembut. Ada kekhawatiran di matanya, seakan merasakan sesuatu yang tak beres.“Wira mana?”
“Jadi bagaimana rencana kamu?” tanya Vania setelah yakin Sekar sudah lebih baik dari sebelumnya.“Aku nggak tahu, Van. Aku ingin ke rumah Bude dulu. Aku pikir, suasana kampung mampu membuatku damai,” jawab Sekar, yakin.“Lalu bagaimana tanggung jawab kamu sebagai guru?” Vania benar-benar terlihat khawatir.Sekar menatap wajah Vania, tatapannya sayu penuh kelelahan. “Kebetulan anak-anak baru selesai ujian. Aku akan minta cuti untuk beberapa saat. Kalau sekolah tidak memberi izin, aku akan mengundurkan diri. Perkara nilai, bisa aku kerjakan dari Depok.”Vania menghela napas berat. Ia bisa merasakan betapa beratnya ujian hidup Sekar saat ini. Selain pengkhianatan yang datang tiba-tiba, ia juga kehilangan kepercayaan dan cinta dari suaminya.“Kalau menurutmu itu memang yang terbaik, aku mendukung, Sekar. Hanya saja aku sarankan, jangan buru-buru mengambil keputusan. Maksudku, jangan buru-buru menuntut cerai,” ucap Vania, penuh pertimbangan.Sekar mengangguk pelan. “Aku sudah pikirkan masa
PLAK!!Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sekar.Sekar jelas kaget. Ia memegang pipinya yang panas seraya perlahan mengangkat wajah, menatap wajah Wira.“Mas, kamu menamparku?” lirihnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi padanya.“Itu memang pantas untukmu, Sekar! Aku tidak menyangka kalau kau sekeji ini. Kau tahu kalau aku sangat mendambakan seorang anak, tapi kau telah membunuhnya.” Wira menatap Sekar dengan tatapan penuh amarah dan tuduhan yang menyesakkan dada.Sekar tidak mampu menahan air matanya. Tidak hanya pipinya saja yang panas, tapi hatinya juga. Bahkan hatinya jauh lebih pedih dibandingkan rasa sakit yang kini ia rasakan di pipinya.“Mas…,” ucap Sekar dengan suara gemetar. “Selama ini aku masih mencoba untuk bertahan karena aku masih percaya ada cinta di hatimu untukku. Tapi jangankan cinta, kepercayaanmu pun kini sudah punah. Bahkan kau begitu percaya pada Amara