Share

8 – Bergelora

Penulis: NHOVIE EN
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-07 10:00:24

“Sekar, buka pintunya!” gema suara terdengar. Suara yang sangat khas yang selama ini begitu dirindukan oleh Sekar. Namun kini pemilik suara itu balik menyakitinya.

Sekar segera bangkit, menyeka air matanya dan kini berdiri di depan daun pintu. Sekar menghela napas sejenak sebelum tangan kanannya benar-benar menekan gagang pintu lalu menariknya.

“Mas Wira, ada apa?” tanya Sekar.

“Kamu sudah makan?” tanya Wira.

Sekar menggeleng.

“Ayo makan bareng.”

Sekar mengangguk. Kali ini ia benar-benar tidak ingin ribut, jadi ia tidak membantah perintah Wira.

Terlihat Amara menggandeng Wira dengan manja menuju meja makan.

Lagi-lagi, Sekar hanya bisa menghela napas.

“Silakan duduk, Mas,” ucap Amara, memundurkan sebuah kursi makan untuk Wira.

“Terima kasih,” balas Wira.

Amara duduk tepat di samping Wira sementara Sekar duduk di depan suaminya. Tidak ada kata apa pun yang keluar dari bibir Sekar. Ia lebih banyak diam dan bersikap sangat hati-hati.

Sementara Amara, seolah sengaja menyakiti hati kakak madunya, ia memperlakukan Wira begitu istimewa. Mengambilkan makanan untuk Wira, menyiapkan minuman, bahkan tidak segan mencium pria itu di depan Sekar.

Untuk pertama kalinya mereka bertiga makan di satu meja makan. Amara makan dengan lahap, begitu juga dengan Wira. Sementara Sekar? Satu sendok nasi pun sulit ia telan.

“Mbak Sekar hebat banget ya masaknya. Tapi aku juga bisa lo masak ikan bakar seperti ini, bahkan lebih enak dari ini. Ya’kan, Mas?” ucap Amara di sela-sela kegiatan makan malam mereka.

Wira hanya mengangguk tanpa bersuara.

“Kalau begitu mulai besok kamu saja yang masak,” balas Sekar sedikit ketus.

Amara menghentikan suapannya. Menatap tajam ke dua mata Sekar yang masih tertuju kepadanya.

“Aku bukannya nggak mau, Mbak. Mbak tahu sendiri kalau aku sedang hamil dan aku sedang hamil muda. Mbak tahu kalau mas Wira sangat menanti-nantikan kehadiran seorang anak. Memangnya Mbak mau tanggung jawab kalau aku sampai kecapekan dan keguguran?” Nada bicaranya penuh penekanan.

“Sudah, jangan ribut di meja makan. Sekar, aku mohon jangan cari masalah. Kalau kamu tidak senang makan bersama kami, ya sudah. Silakan kamu pergi dari sini. Aku paling tidak suka dengan keributan ketika sedang makan.” Suara Wira menggema di ruang makan itu.

Sekar meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Nafsu makannya seketika hilang lenyap. Ia pun berdiri dan pergi meninggalkan ruangan itu menuju kamarnya.

“Mas, maaf kalau aku sudah bikin kamu nggak enak. Aku nggak berniat ribut sama mbak Sekar. Kamu dengar sendirikan kalau aku dari tadi memuji masakan dia.” Lagi-lagi suara manja Amara meluluhlantakkan hati Wira.

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Lagi pula itu memang tanggung jawab Sekar sebagai istri pertama. Ia juga punya kewajiban menjaga kehamilan kamu. Sekarang makanlah, makan yang banyak agar kamu dan bayi kita sehat.” Wira mengelus lembut perut datar Amara, menciumnya sesaat lalu melanjutkan acara makan malam mereka.

***

Pukul sembilan malam.

Lagi-lagi, naluri Sekar bergejolak ketika melihat ruang makannya berantakan. Sementara dapurnya sudah ia bersihkan sebelum makan malam ia hidangkan.

Enggan rasanya Sekar melangkah, merapikan ruang makan itu. Namun wejangan sang ibu memaksanya untuk tetap melangkah menuju ruang makan dan mulai merapikan satu per satu piring bekas makanan dan memindahkannya ke westafel pencucian piring.

Ketika Sekar mulai menyapu piring demi piring dengan spons berisi sabun, tiba-tiba sebuah derap langkah kaki menghampirinya.

Sekar sama sekali tidak memedulikan langkah kaki itu. Ia tetap mengerjakan pekerjaannya, memastikan semuanya bersih sebelum ia melangkah tidur.

Namun tiba-tiba sepasang tangan kekar melingkar di pinggangnya. Sekar terkejut, namun ada sebuah perasaan senang yang sulit ia akui di dalam hatinya.

Momen seperti itu sangat ia rindukan.

Ya, itu memang salah satu kebiasaan Wira sebelum Amara datang ke kehidupan mereka.

“Malam ini aku menginginkanmu, di sini, seperti biasanya,” bisik Wira tepat di depan daun telinga Sekar.

“T—tapi, bagaimana kalau Amara melihat?” Sekar tergagap. Ia meletakkan piring dan spons di atas westafel lalu segera mencuci tangannya.

“Apa salahnya? Lagi pula aku tidak peduli. Malam ini aku menginginkanmu, di sini,” ulang Wira lagi.

Perlahan Wira memutar tubuh Sekar, menyandarkan wanita itu ke westafel, lalu mulai mengarahkan wajahnya semakin dekat ke wajah Sekar.

Aliran darah Sekar seketika menjadi deras, jantungnya berpacu lebih cepat ketika bibir suaminya mulai menyentuh bibirnya. Sekar merasakan kehangatan yang luar biasa mulai menjalar di setiap nadi dan persendiannya.

Wira mencumbu Sekar dengan penuh gairah. Ia lumat bibir manis itu hingga ke dua tangan Sekar pun refleks mengelus kulit punggung suaminya.

Sesakit-sakitnya Sekar, ia tetap punya naluri dan cinta. Ia sangat mencintai Wira dan ia pun berkobar ketika suaminya mencumbunya dengan mesra.

“Aaahhh....” Sebuah erangan panjang terdengar ketika Wira mulai menyapu leher Sekar dengan lidahnya. Meninggalkan bekas di sana yang membuat Sekar menahan hasrat seraya menggigit bibir bawah.

Ke dua tangan Wira mulai mencari ujung baju Sekar. Ketika sudah menemukannya, ia menarik ke atas hingga pakaian Sekar terlepas, menyisakan tubuh polos yang hanya tertutup be-ha pengaman.

Wira mulai melepaskan benda itu, mencumbu Sekar dengan tanpa ampun seolah ia juga sangat merindukannya.

“Mas, aaahhh....” Suara erangan Sekar semakin kuat. Memejamkan mata, menggigit bibir bawah karena sangat menikmatinya hingga ia sendiri tidak sadar kalau sepasang mata tengah memerhatikan dirinya dan aktifitas tersebut.

Terlebih ketika Wira berhasil melepaskan celana yang dikenakan Sekar dan mulai bermain-main dengan miliknya di balik segitiga pengaman, Sekar semakin dibuat bergejolak hingga tiba-tiba...

“AUCH!!” Sebuah teriakan menghentikan aktivitas tersebut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DIMADU TANPA RESTU   83 – Rencana Ke Depan

    Langit Jakarta mulai memerah saat mobil yang ditumpangi Wira, Raka, dan Suryo memasuki halaman rumah. Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, namun suasana rumah sudah tampak hidup. Bau cat menyambut dari balik pagar, bercampur dengan semilir angin sore yang membelai lembut wajah mereka. Beberapa pekerja tukang tampak sibuk merampungkan bagian luar rumah yang masih dalam proses pengecatan, menambahkan nuansa rumah yang sedang dibenahi demi menyambut lembaran baru dalam kehidupan mereka.Sekar membuka pintu lebih dulu, disusul Dian yang melambaikan tangan dari ruang tamu."Assalamualaikum!" seru Raka antusias, berlari kecil sambil membawa miniatur katalog ranjang dari toko perabotan."Waalaikumsalam, Sayang!" Sekar menyambut dengan pelukan hangat, menunduk dan mengecup kening putranya yang kini terlihat sangat semangat. "Seru ya, hari ini?""Seruuuu banget, Ma! Tadi Raka pilih sendiri ranjang buat kamar Raka. Papa sempat enggak setuju, tapi akhirnya Raka menang!" jawabnya penuh semangat.

  • DIMADU TANPA RESTU   82 – Pertemuan Tidak Terduga

    Usai menikmati sarapan lezat yang disiapkan dengan penuh cinta, Wira pun bersiap pergi ke toko perabotan bersama Raka dan ayahnya—Suryo. Raka terlihat sangat antusian. Ia sudah mengenakan setelan kaos warna maroon bergambar dinosaurus kesukaannya."Papa, hari ini kita jadi beli kasur dan lemari, kan?" tanyanya sambil memasang tali sepatu.Wira tertawa pelan. "Jadi dong. Udah rapikan. Kalau sepatunya sudah terpasang dengan benar, kita langsung berangkat."Setelah semuanya siap, Wira, Raka dan Suryo pun duduk manis di dalam mobil, melaju menuju pusat toko perabotan dan properti ternama di bilangan Jakarta Selatan. Raka duduk di kursi belakang, menempelkan wajahnya ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang. Hari itu ia terlihat lebih dewasa dari biasanya, mungkin karena ia merasa akan memiliki ruang pribadinya sendiri untuk pertama kalinya.Sesampainya di toko, Raka langsung menarik tangan papanya. "Papa, lihat! Yang ini keren banget! Ranjangnya ada lampu di bawahnya. Keren

  • DIMADU TANPA RESTU   81 – Sop Buatan Chef Hebat

    Aroma tumisan bawang putih dan lada hitam menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Sekar berdiri di depan kompor, mengenakan apron biru muda yang dulu sempat dibelikan Wira tapi tak pernah sempat ia pakai. Di sampingnya, Wira tengah sibuk mengaduk kuah sup udang sambil sesekali mencuri pandang ke wajah istrinya yang terlihat begitu tenang pagi ini."Kamu yakin ini garam, bukan gula?" tanya Wira sambil mengangkat sendok kecil dan mencicipi kuah sup.Sekar menoleh dengan senyum menggoda. "Itu garam, Pak Koki. Tapi kalau kamu mau sup udang rasa kue ulang tahun, silakan tambahkan gula sekalian. Kalau perlu tambahkan keju dan cokelat."Wira tertawa. Tawanya ringan dan jujur, seperti laki-laki yang sedang menikmati kebahagiaan kecil yang selama ini dirindukannya."Lucu ya," ucap Sekar sambil membalik stik daging di atas wajan. "Dulu, waktu aku bangun pagi buat masak, kamu masih meringkuk di kasur. Kadang aku udah selesai masak pun kamu masih belum bangun."Wira terkekeh, lalu melirik ke arah jam

  • DIMADU TANPA RESTU   80 – Kembali Ke Rumah Lama

    Langit pagi di Depok tampak cerah. Matahari baru saja muncul dari balik pepohonan, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat. Di halaman rumah kecil itu, suara koper yang digeser dan tawa ringan Raka mengiringi keheningan pagi. Hari ini, Wira mengajak Sekar dan Raka untuk kembali ke Jakarta. Menempati kembali rumah yang dulu pernah mereka tinggali, sebelum semuanya runtuh karena pengkhianatan dan luka.Wira berdiri di depan pintu, memandangi aktivitas kecil keluarganya. Sekar tengah melipat pakaian terakhir, memastikan tak ada yang tertinggal. Sementara Raka sibuk memeriksa mainan-mainan yang akan dibawa. Matanya berbinar, meskipun raut wajahnya tampak menyimpan haru."Kita beneran pindah ke Jakarta, Ma?" tanya Raka lirih, memeluk boneka dinosaurusnya erat.Sekar menunduk, mengusap kepala anak itu lembut. "Iya, Sayang. Kita akan tinggal di rumah Raka lagi. Rumah yang dulu pernah mama tinggali berdua sama papa, sebelum Raka lahir ke dunia. Tapi sekarang, kita mulai dari awal. Dengan hati

  • DIMADU TANPA RESTU   79 – Lebih Enak Dari Biasanya

    Fajar belum menyingsing sempurna ketika Raka terbangun dari tidurnya. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi cahaya samar dari lampu malam di sudut ruangan. Namun, matanya langsung terbuka lebar, tidak karena mimpi buruk atau suara gaduh, melainkan karena kehangatan yang luar biasa menyelubunginya. Di sisi kanan tidurnya, ada Mama Sekar. Di sisi kiri, ada Papa Wira. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka terbangun di antara dua orang yang paling ia cintai dalam satu ranjang yang sama.Ia menatap wajah Wira dengan mata berbinar, lalu menoleh pelan ke arah Sekar. Mulut mungilnya tersenyum kecil. Tangannya yang kecil terulur, menyentuh pipi Wira, lalu pipi Sekar. Gerakan lembut itu membuat keduanya menggeliat pelan dan membuka mata."Mama... Papa... Raka sayang banget sama Mama dan Papa..." bisiknya lirih namun penuh makna.Sekar tersenyum mengantuk, matanya masih setengah terbuka. "Sayang Mama juga, Nak..."Wira yang mulai sadar, menoleh dan menatap ana

  • DIMADU TANPA RESTU   78 – Sekali Lagi, Di Hadapan Allah

    Beberapa hari setelah Wira menyampaikan niatnya kepada orang tua dan melamar Sekar untuk kedua kalinya kala itu, segalanya bergerak cepat, namun dalam suasana yang tenang dan penuh pertimbangan. Bukan lagi seperti dua orang muda yang terburu-buru oleh nafsu dan ego, kali ini Wira dan Sekar melangkah dengan kepala dingin dan hati yang terlatih oleh luka.Mereka sepakat: tidak perlu pesta besar. Tak perlu gaun pengantin mewah, panggung pelaminan, apalagi daftar undangan panjang. Mereka hanya ingin saksi, doa, dan keberkahan. Pernikahan kali ini bukan untuk dunia, tapi untuk memperbaiki takdir yang sempat retak. Ijab kabul akan dilangsungkan di ruang tamu rumah Sekar di Depok, sederhana, hangat, dan sakral.Selama beberapa hari, mereka sibuk mengurus dokumen. KTP, KK, surat pengantar RT/RW, hingga surat rekomendasi dari KUA. Sekar sempat merasa gugup saat mendatangi kantor kelurahan. Petugas mengenalnya dan menatapnya penuh tanya. Tapi ia sudah siap. Ia tidak merasa harus menjelaskan apa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status