Share

Harus Disembunyikan

Dua garis merah terlihat sangat jelas bersanding pada alat berwarna putih yang kubawa. Air mata pun luruh tak terbendung lagi. Haruskah bibir ini melengkungkan senyum atau justru menarik garis turun dengan hasil ini. Namun, nyatanya justru luka sayat hati ini makin lebar dan begitu perih. Apalagi jika mengingat akan ada madu yang menyiram luka itu.

Aku seperti daun yang mengering dan sudah tidak ada gunanya. Lantas, tertiup angin dan tidak tahu akan berakhir di mana. Jika mengingat Ayah dan Ibu, aku makin rapuh. Mereka berharap besar kepada Mas Arsya untuk kebahagiaanku, tapi nyatanya janji Mas Arsya dulu tidak bisa ditepati karena keteledoranku.

Gugenggam erat benda kecil di tangan. Apakah Mas Arsya akan luluh saat tahu ada keturunannya di rahimku? Ataukah dia tidak akan peduli dan tetap melanjutkan rencana pernikahan dengan Jihan? Dua kemungkinan itu membuatku ragu untuk bercerita.

"Mbak Manda!" seruan Bi Narti diikuti ketukan pintu membuatku tersentak.

Segera kumasukkan benda kecil di tangan ke dalam saku baju tidur, lalu keluar dari kamar mandi setelah menarik napas panjang.

"Ada apa, Bi?" tanyaku setelah membuka pintu.

"Sudah waktunya sarapan, Mbak. Mbak Manda juga harus minum obat." Bi Narti begitu perhatian.

"Makasih, Bi, tapi aku lagi gak pengen makan. Nanti agak siangan aja, aku ambil sendiri," tolakku.

Asisten rumah tangga itu pun tidak memaksa dan berlalu ke arah dapur. Setelah perempuan paruh baya itu menghilang dari pandangan, aku bergegas menutup pintu kamar dan bersiap. Pagi ini, aku ingin pergi ke suatu tempat untuk menenangkan pikiran dan mencoba mencari solusi yang tepat. Aku juga harus memastikan apakah benar hasil dari alat yang kugunakan tadi.

Meskipun Mas Arsya mengambil kunci motorku, masih ada satu kunci cadangan yang selalu tersimpan dalam lemari. Kugunakan kunci cadangan dan bergegas pergi setelah memastikan Mas Arsya pergi. Untung saja, jendela kamarku menghadap ke halaman depan rumah. Jadi, aku bisa mengintip.

"Mbak Manda mau ke mana?"

Deg!

Aku terhenyak. Bi Narti tiba-tiba muncul dari pintu yang menghubungkan dapur dengan garasi. Apa yang harus kukatakan? Kenapa pas sekali momennya?

"Eh, itu, Bi. Aku mau ke minimarket, mau beli sesuatu," kataku sedikit gugup.

"Emang udah baikan, Mbak? Biar bibi saja yang belikan, Mbak Manda istirahat."

Kuhela napas sejenak, lalu berkata, "Aku udah baikan, Bi. Nggak enak ngerepotin Bibi terus. Cuma ke depan kompleks ini. Nggak lama, kok. Bibi mau titip beli apa gitu?"

"Nggak, Mbak. Penting Mbak Manda cepet pulang aja. Bibi khawatir sama keadaan Mbak."

Untungnya, Bi Narti percaya dan membiarkannku pergi. Aku melajukan motor matic merah ini perlahan menuju bidan yang agak jauh dari rumah untuk memastikan dulu apakah benar aku sedang hamil atau tidak. Kalau memang positif, anak inilah yang akan membuatku bertahan dan mempertahankan pernikahan dengan Mas Arsya.

Sungguh nikmat Allah yang harus disyukuri. Layar USG menunjukkan ada yang mengisi rahimku. Janin itu terlihat cukup jelas meskipun masih sangat kecil. Mungkin ini jawaban dari setiap doaku untuk mencairkan hubungan dengan Mas Arsya yang mulai beku.

"Usianya sudah sembilan minggu," kata bidan perempuan itu, lalu menjelaslan lagi panjang lebar tentang apa saja yang harus kulakukan dan makanan apa saja yang hatus dikonsumsi.

Sembilan minggu. Itu berarti, aku sudah hamil saat kecelakaan dengan Arumi saat itu. Sungguh keajaiban, janin yang baru sekitar dua minggu saat itu justru masih bertahan saat aku juga terluka.

Setelah selesai, aku melanjutkan perjalanan menuju satu tempat yang begitu membuat rindu. Daycare yang dulu menjadi tempatku bekerja.

Tiba di tempat bernuansa pink dan biru, aku disambut dengan begitu hangat. Semua teman-teman yang masih bekerja di daycare ini tidak melupakanku. Mereka bahkan mengizinkanku bermain dengan anak-anak yang dititipkan. Itu sangat membahagiakan karena sejak kepergian Arumi, aku begitu terpukul dan hampir kehilangan semangat hidup. Apalagi, dengan sikap Mas Arsya sekarang, sangat menyakitkan.

"Wah, pengasuh kesayangan bos datang!" seru Kaniya, salah satu karyawati daycare sekaligus temanku saat masih bekerja.

Aku tersenyum lebar melihat kawan satu itu. Dia orang yang menjadi tempatku bertukar pikiran dan mengeluarkan uneg-uneg dulu. Pun, kami tinggal dalam satu kamar kos yang sama.

"Yang sabar, ya," ucapnya saat memelukku. Tangannya mengusap punggungku pelan.

Aku langsung sesegukan karena perhatian Kaniya. Memang dia satu-satunya yang kuberitahu tentang kepergian Arumi. Bahkan, dia datang menjengukku di rumah sakit saat semua orang sibuk mengurus pemakaman anak sambungku itu.

"Sudah, jangan nangis. Dilihat banyak anak-anak itu," tegurnya pelan seraya melepas pelukan.

Gegas kuhapus wajah yang basah dengan telapak tangan. Malu dilihat teman yang lain, juga anak-anak.

Aku memuaskan diri bermain bersama anak-anak yang kebanyakan masih balita. Mereka sangat lucu dengan tingkah yang sangat menggemaskan. Ada satu anak laki-laki yang cukup menantang untuk ditaklukan. Kata Kaniya, usianya masih tiga tahun, tapi sering menjaili dan suka merebut mainan anak-anak lain.

"Namanya, Kelvin. Keponakannya bos," bisik Kaniya.

Sebenarnya sedikit lucu saat aku tahu pemilik daycare ini adalah seorang laki-laki, tapi hal itu terjawab setelah Pak Adam menjelaskan. Daycare ini milik ibunya, sementara Pak Adam adalah bungsu dari dua bersaudara dan kakaknya pun laki-laki. Jadi, saat ibunya meninggal, dialah yang harus meneruskan usaha karena sang kakak memilih menjadi public figure.

"Kok, bisa begitu sikapnya? Masih kecil, loh, Ni." Aku geleng kepala melihat Kelvin yang begitu kasar.

Kaniya hanya menggeleng sambil mengangkat bahu.

Aku lantas duduk sendiri di bagian yang tidak dimainkan, lalu mengambil lego dan menyusun mainan kotak-kotak itu menjadi dua buah robot. Setelah jadi, aku memainkan dua robot lego itu dan berbicara seolah-olah menjadi mainan itu.

Kelvin yang dari tadi sesekali kulirik, akhirnya mendekat. Dia duduk di depanku dan memperhatikan dengan saksama. "Tante, itu robot apa?" tanya bocah itu dengan suara khas anak-anak seusianya.

"Ini robot Kelvin dan robot Adam," kataku dengan senyum.

"Ih, kok, namanya kayak aku sama Om?" Kelvin menatapku lucu. Anak yang menggemaskan.

"Masa', sih? Padahal, kita belum kenalan, kan?" Aku pura-pura tidak tahu.

"Bener, Tante! Namaku Kelvin, terus Adam itu omnya aku," kata anak itu memperjelas.

"Kalau begitu, kita kenalan sekarang. Nama tante, Amanda. Panggil aja, Tante Manda." Kuulurkan tangan kanan, mengajak Kelvin bersalaman.

Semua pengasuh di daycare ini terkejut karena aku bisa langsung akrab dengan Kelvin. Kaniya pun mengacungkan jempol saat aku melihatnya. Dia juga sedang mengasuh satu anak perempuan.

***

Setelah memastikan Kelvin tidur, aku pamit kepada Kaniya dan teman yang lain. Ini sudah pukul dua siang dan masih ada satu tempat lagi yang ingin kukunjungi. Namun, Kaniya menahan dan mengajakku untuk makan siang. Memang aku belum makan sejak pagi dan belum sempat meminum vitamin.

Kusetujui ajakan Kaniya karena dia pun sedang istirahat. Kami menuju tempat makan di seberang daycare. Awalnya, Kaniya menolak karena tempat makan itu harga tiap menunya cukup mahal, tapi aku mengatakan jika akan mentraktirnya. Perempuan cantik berlesung pipit itu pun menurut.

Kami pun mengobrol banyak sambil menunggu pesanan datang. Kaniya pintar sekali membuatku tertawa. Tingkahnya yang absurd, tapi apa adanya itu membuatku bersyukur bisa mengenalnya.

Di tengah obrolan, pesanan kami pun datang dan saat itu, tanpa sengaja aku melihat Mas Arsya masuk ke tempat makan ini bersama Dokter Fahira. Entah kenapa, berbagai prasangka berjejalan di pikiran. Apakah Dokter Fahira akan mengatakan tebakannya tentang keadaanku kepada Mas Arsya?

Aku langsung berpindah tempat duduk di samping Kaniya yang membelakangi posisi dua orang itu sebelum mereka menyadari keberadaanku. Kaniya pun bingung dengan tingkahku, tapi alasan ingin bisa saling mencicip makanan membuat gadis itu percaya.

Akan tetapi, satu kesialan justru datang kepadaku. Saat mencicipi makanan Kaniya, perutku seperti dientak sangat kuat. Tiba-tiba saja aku mual setelah satu potong daging kambing tertelan. Tangan kanan ini pun berusaha menahan mulut, sedangkan tangan kiri menekan perut.

"Kenapa, Nda?" tanya Kaniya panik.

"Toilet di mana, ya, Ni?" ucapku tertahan.

"Sebelah sana." Kaniya menunjuk ke belakangku. Itu artinya, aku harus melewati Mas Arsya untuk ke toilet.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status