Aku pergi ke klinik terdekat diantar Bi Narti. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi kami harus menggunakan taksi untuk ke sana karena kondisiku yang masih lemas. Kuminta perempuan itu menunggu di luar sementara dokter memeriksa.
Sesuai prediksi, asam lambungku naik dibarengi dengan anemia yang keduanya memang sering berkencan dengan tubuh ini jika terlalu lelah atau stres."Kamu ada masalah apa, Nda?" tanya Dokter Fahira. Dia tetangga dekat rumah, sekaligus temanku satu-satunya setelah menikah dengan Mas Arsya. Memang baru sekitar empat bulan kami saling mengenal, tapi kami sering berbincang saat aku mengajak jalan-jalan Arumi di sekitar kompleks setiap sore sambil menunggu Mas Arsya pulang. Meskipun tidak setiap hari, tapi itu membuat kami dekat."Nggak ada, Ra. Aku—""Kalau nggak ada apa-apa, cek sekarang. Aku juga mau lihat hasilnya," desak dokter berjilbab putih itu."Nanti aku cek di rumah saja. Kasihan Bi Narti nungguin. Berikan resep sesuai diagnosismu saja," bantahku cepat."Baiklah kalau itu yang kamu mau, tapi tolong kabari aku apa pun hasilnya." Dokter Fahira menatapku tajam.Aku hanya mengangguk, lalu pamit setelah dia memberikan resep obat. Namun, Dokter Fahira berusaha menahan dan mengulangi perkataannya tadi.***Bi Narti langsung menghampiri saat aku keluar dari ruangan dokter. Kami lalu berpindah ke apotek yang berada di sebelah klinik untuk menebus obat.Bi Narti sangat perhatian kepadaku seperti Ibu sendiri. Dia merawatku dengan sangat baik. Bubur hangat selalu dia sediakan tanpa kuminta. Bahkan, minum obat pun, dia yang terus mengingatkan.Sempat aku berpikir jika Mas Arsya akan sedikit luluh saat aku sakit. Namun, lagi-lagi itu menjadi harapan kosong. Laki-laki itu justru pergi entah ke mana bersama adik iparnya. Entah mereka masih berdua sampai malam selarut ini atau tidak.Untuk memani sepi, aku sering sekali membuka aplikasi W******p untuk sekadar melihat foto profil Mas Arsya. Jari-jari ini sebenarnya gatal untuk mengetik sesuatu dan mengirim pesan untuk ayah Arumi itu, tapi keberanianku tidak ada. Cukup membaca lagi pesan-pesan kami terdahulu yang tidak pernah kuhapus, itu sudah membuat rasa rindu sedikit terpupus.Baru saja, terlihat nomor Mas Arsya sedang online. Pukul sebelas malam, dia belum tidur. Satu hal yang membuatku tidak percaya, tulisan online di bawah nama Mas Arsya, berubah menjadi 'mengetik'. Apa dia juga sedang membuka laman pesan W******p-ku?Ada debar bahagia yang tiba-tiba menelusup pada hati ini. Mas Arsya mengingatku dan sedang menulis pesan untukku. Namun, cukup lama menunggu, tidak ada satu pun pesan masuk darinya. Bahkan, nomornya sudah offline.Hah, aku terlalu berharap.***Aku mendengar suara derit pintu diikuti sinar menerobos masuk kamar yang gelap ini. Kebiasaanku memang mematikan lampu sebelum tidur. Samar, tapi kulihat sosok laki-laki melangkah pelan masuk kamar ini. Buru-buru aku menutup mata kembali saat yakin jika sosok itu adalah Mas Arsya. Entah jam berapa ini, tapi dari situasi, sepertinya masih belum pagi.Sesuatu yang dingin menyentuh dahiku diikuti suara pelan. "Masih demam."Hanya itu, lalu kurasakan selimut yang tadinya hanya menutup pinggang sampai kaki, bergeser menutup hingga leher.Sekarang aku tahu, Mas Arsya juga tersiksa dengan keadaan ini. Hanya saja, rasa kehilangannya terhadap Arumi menutup cinta untukku.Setelah laki-laki itu keluar dari kamar ini, aku langsung membuka mata. Sungguh, kesabaran pasti akan mendapatkan imbalan sesuai takarannya dan pada waktu yang tepat. Aku hanya perlu berusaha mempertahankan dan memupuk kesabaran agar berbuah manis nantinya.Jam baru menunjukkan pukul tiga, aku pun beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudu. Berkencan dengan Allah akan menjadi obat paling mustajab pastinya. Dan setelah itu, hati ini menjadi lebih tenang. Apa pun yang akan terjadi setelah ini, aku siap menghadapi. Apalagi, melihat perhatian kecil dari Mas Arsya tadi, membuat harapan besar untuk hubungan pernikahan kami.Kembali aku berkutat di dapur selepas salat Subuh. Aku akan memasak makanan kesukaan Mas Arsya untuk sarapan nanti. Dia pasti sangat rindu dengan masakan yang sering kubuat setelah kami menikah.Bi Narti yang membantu memasak pun kebingungan karena senyumku terus mengembang. Bahkan, kondisi tubuh yang semalam masih begitu lemas, kini terasa begitu bugar."Mbak Manda jangan capek-capek dulu. Baru juga baikan," tegur perempuan paruh baya itu."Aku sudah sehat, Bi," sanggahku tetap dengan senyum.Setelah semua siap di meja makan, aku kembali ke kamar untuk mandi dan sedikit berdandan. Penampilanku sebelumnya pasti membuat Mas Arsya jengah, dan kali ini aku ingin membuatnya terpesona.Tepat saat aku keluar dari kamar, Mas Arsya juga keluar dari kamarnya. Dia tampak sudah rapi dan sangat tampan. Sembari mengulas senyum, aku menghampirinya. Semoga penampilan ini tidak mengecewakan."Sarapan sudah siap, Mas. Ayo—""Siapa yang menyuruhmu memasak?" ucapnya sambil memalingkan wajah dariku."Itu ... aku—""Aku akan melamar Jihan secepatnya. Jadi, tidak perlu lagi kamu memasak di rumah ini." Mas Arsya memutus ucapanku sekaligus memutus harapan yang belum lama kubangkitkan."A–apa maksud, Mas Arsya? Itu nggak bener, 'kan?" tanyaku gemetar. Ribuan batu besar seperti runtuh dan jatuh tepat di kepala ini."Buat apa aku berbohong. Memang seharusnya aku menuruti permintaan Haura untuk turun ranjang dan Arumi pasti masih bersamaku sekarang."Panas, sangat panas hati ini mendengar pengakuan Mas Arsya. Lalu, apa maksud perhatiannya semalam? Apakah itu hanya sandiwara?"Lalu, untuk apa Mas Arsya menahanku di sini? Harusnya Mas biarkan aku pergi, bukan?" Dengan sesegukan aku berusaha bicara."Kamu harus tetap di sini untuk mengurus segala keperluan pernikahanku dengan Jihan. Setelah itu, silakan pergi.""Kalau Mas Arsya hanya ingin menyiksaku, jangan seperti ini caranya." Tubuh ini kembali melemas dan menyandar di dinding.Mungkinkah kemarin Mas Arsya dan adik iparnya itu sedang merencanakan pernikahan? Begitu polosnya aku sampai tidak menyadari hal itu. Namun, mungkin pernikahan mereka bisa menjadi jalan kebebasanku. Untuk Ibu dan Ayah, aku akan memikirkannya cara untuk memberitahu mereka nanti.***Saat orang yang menjadi harapan kebahagiaan sudah berbalik arah, mungkin saat itu aku harus menyerah. Namun, satu hal membuatku sulit membuat keputusan. Aku masih saja memikirkan ucapan Dokter Fahira. Apakah mungkin?Kubuka laci nakas dan mengambil satu benda pemberian dokter cantik itu. Ragu-ragu kubuka bungkusnya dan berusaha meyakinkan diri. Namun, aku masih saja dilema dengan apa yang harus dilakukan setelah tahu hasilnya.Tok-tok-tok!"Mbak Manda, ada tamu!" Suara Bi Narti memanggil setelah pintu kamar ini diketuk.Secepat kilat aku memasukkan benda di tangan ke laci nakas. Kemudian, segera menuju pintu."Siapa, Bi?" tanyaku setelah membuka pintu."Bu Dokter, Mbak. Tetangga kompleks sini," jawabnya, lalu pamit ke dapur untuk membuat minum.Aku melangkah perlahan menuju ruang tamu. Dokter Fahira berdiri sambil melihat ke arah foto yang terpajang di dinding. Kuhela napas panjang sebelum mendekatinya."Wah, ada tamu spesial!" seruku setenang mungkin."Kamu sudah sehat, Nda? Gimana? Sudah cek? Aku tungguin dari kemaren, tapi kamu nggak ngabarin juga," cerocos dokter itu sampai aku belum sempat menjawab."Apa, sih, Ra? Duduk juga belum, main tembak aja," jawabku sambil menyalaminya. Kemudian, kami duduk bersebelahan.Dokter Fahira mulai bercerita. Dia mengatakan jika melihat Mas Arsya ada di butik milik kakaknya bersama seorang perempuan. Bahkan, Dokter Fahira menanyakan apa yang dibeli Mas Arsya kepada sang kakak. Suamiku rupanya sedang membeli baju pengantin.Kutarik napas dalam untuk menahan air yang hampir keluar dari mata. Sepertinya, semua yang dikatakan Mas Arsya memang benar. Dia sungguh-sungguh akan menikahi Jihan, adik iparnya."Nda, apa yang terjadi dengan rumah tangga kalian? Cepat cek supaya nggak terlambat. Aku yakin kalau—""Negatif, Ra. Sebelum menikah, aku memang sering telat haid. Itu wajar buatku." Kusela ucapan Dokter Fahira.Dia menggeleng kasar. "Aku dokter, Nda. Kamu jangan bohong. Kamu belum cek, 'kan?""Sudah, kok. Negatif," sanggahku lagi.Dokter Fahira tidak percaya begitu saja. Dia mendesak melihat hasilnya sendiri hingga aku pun kesulitan menjawab.Aku benar-benar tidak ingin mengetahui hasilnya setelah Mas Arsya dengan jelas mengungkapkan rencananya menikah lagi. Apa pun hasilnya, pasti tidak akan mengubah pendirian laki-laki itu."Nda!"Aku tersentak karena tepukan di pundak. Dokter Fahira menatapku tajam."Negatif, Ra. Percayalah," ucapku pelan."Matamu nggak bisa bohong, Nda. Tapi, aku nggak bisa maksa. Aku cuma nggak mau orang sebaik kamu disakiti. Kepergian Arumi itu takdir. Nggak seharusnya Arsya terus menyalahkanmu."Perkataan Dokter Fahira justru membuatku menertawakan diri sendiri. Mungkin jika aku yang berada di posisi Mas Arsya, aku akan melakukan hal sama.Setelah cukup lama aku selalu menyanggah ucapan Dokter Fahira, perempuan itu pun pamit. Namun, kembali pertanyaan beruntun harus kudengar. Bi Narti rupanya menguping pembicaraanku dengan Dokter Fahira."Apa yang dibilang Bu Dokter tadi bener, Mbak?" tanya Bi Narti mendesak."Apa, sih, Bi? Emang Bibi denger apa?" Aku pura-pura tidak tahu. Kemudian, berjalan cepat meninggalkan Bi Narti setelah memberikan dua gelas kosong kepadanya.Remuk sudah perasaan ini. Angin besar seperti baru saja mengamuk hingga asa kian terpuruk. Pertahananku ambruk karena cinta yang mulai lapuk.Apakah aku harus mendengarkan saran Dokter Fahira? Atau meyakini pendirian?Dua garis merah terlihat sangat jelas bersanding pada alat berwarna putih yang kubawa. Air mata pun luruh tak terbendung lagi. Haruskah bibir ini melengkungkan senyum atau justru menarik garis turun dengan hasil ini. Namun, nyatanya justru luka sayat hati ini makin lebar dan begitu perih. Apalagi jika mengingat akan ada madu yang menyiram luka itu. Aku seperti daun yang mengering dan sudah tidak ada gunanya. Lantas, tertiup angin dan tidak tahu akan berakhir di mana. Jika mengingat Ayah dan Ibu, aku makin rapuh. Mereka berharap besar kepada Mas Arsya untuk kebahagiaanku, tapi nyatanya janji Mas Arsya dulu tidak bisa ditepati karena keteledoranku. Gugenggam erat benda kecil di tangan. Apakah Mas Arsya akan luluh saat tahu ada keturunannya di rahimku? Ataukah dia tidak akan peduli dan tetap melanjutkan rencana pernikahan dengan Jihan? Dua kemungkinan itu membuatku ragu untuk bercerita. "Mbak Manda!" seruan Bi Narti diikuti ketukan pintu membuatku tersenta
Aku buru-buru berlari ke toilet dan terpaksa harus melewati meja tempat Mas Arsya dan Dokter Fahira. Semoga saja mereka tidak mengenali karena aku sudah menggerai rambut dan menutupkan ke sisi wajah yang bisa saja mereka lihat. Sampai di toilet, aku benar-benar mengeluarkan isi perut meskipun hanya air. Aku memang belum makan sejak pagi dan kini tersisa rasa pahit di lidah. "Kamu masih mau mengelak, Nda?"Aku sontak menoleh. Dokter Fahira sudah berdiri di samping cermin dengan kedua tangan bersedekap. Aku bergegas membasuh muka setelah berkumur. "Kamu di sini juga, Ra? Kok, aku nggak lihat tadi?" Aku tersenyum meskipun terpaksa. "Aku duluan, ya. Lagi makan sama temen," pamitku sembari melangkah menuju pintu. Namun, dokter itu menahan lenganku. "Kamu hamil, Nda. Jujur sekarang, atau aku panggil Arsya ke sini?" ancamnya dan membuatku sedikit takut. "Bu Dokter yang cantik dan baik hati, aku hamil atau enggak, itu bukan urusanmu
Kelvin berlari menghampiri saat aku masih di halaman rumah. Bocah laki-laki itu langsung memeluk kakiku dan menangis. Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya, lalu mencium kedua pipinya. Aku merasa nyaman saat berdekatan dengan Kelvin. Mungkin karena kerinduan terhadap Arumi dan itu bisa sedikit terobati saat bersama Kelvin. Kugendong anak tampan itu, membawanya menuju mobil Pak Adam yang suara mesinnya masih terdengar. "Sudah siap?" tanya Pak Adam saat aku dan Kelvin sudah duduk di sisi kiri kemudi. "Siap, Om!" seru Kelvin semangat. Saat mobil mulai melaju perlahan, Mas Arsya tiba-tiba mengadang di depan mobil. Apa -apaan dia? Itu sangat bahaya kalau saja Pak Adam tidak sigap menginjak rem. Pak Adam pun keluar dan dua laki-laki dewasa itu bicara cukup serius. Bisa kulihat dari sorot mata keduanya. Namun, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat, Pak Adam kembali dan langsung melajukan mo
Kejadian semalam membuatku sedikit lega karena bisa meluapkan emosi yang bercokol di hati selama dua bulan terakhir. Aku juga melakukan gerakan tutup mulut sejak semalam. Aku benar-benar tidak membuka mulut kecuali saat berwudu. Lemas memang tidak bisa dielakkan karena aku sama sekali tidak makan ataupun minum sejak kemarin. Vitamin dan obat dari dokter juga belum berkurang. Berbaring di tempat tidur menjadi hal paling kubutuhkan saat ini meskipun beberapa kali harus ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat dan saat akan menyucikan diri. Beriak angin yang menggoyangkan tirai terdengar begitu merdu. Kolase indah dari sinar mentari pagi kian menambah rasa tenang yang kuinginkan. Dua kotak jendela terbuka itu memberikan aroma pagi yang menyejukkan. Ya, hampir sama seperti hidupku. Jika angin dan sinar matahari tidak berkolaborasi, maka hanya akan menghasilkan bencana. Tidak akan ada hujan, tidak akan ada sejuk, juga tidak akan ada pelangi. Saat aku sendirian seperti i
"Yah, Bu, itu sepertinya temen kerja saya datang. Saya pamit dulu sebentar. Titip Manda, ya." Mas Arsya masuk ke kamar, lalu dia keluar membawa kunci mobil. Sebelum meninggalkan rumah, dia sempat menciun tangan Ayah dan Ibu, serta mencium keningku. Sangat jelas dia berbohong kali ini kepada Ayah dan Ibu. Aku tahu siapa orang yang mengucap salam tadi. Dia Jihan dan Mas Arsya pergi dengan perempuan itu tanpa peduli perasaanku. Baiklah, dia sukses menjadikanku mainan. Setelah Mas Arsya pergi, aku justru leluasa bermanja dengan Ibu. Ayah yang melihat pun hanya geleng kepala. Beliau tahu bagaimana aku jika sudah bertemu dengan Ibu. Kami seperti tidak bisa terpisahkan. "Kalau sudah ketemu kamu, Ayah disisihkan," gerutu Ayah. Beliau kemudian menyalakan televisi dan pas sekali acara favoritnya, sepak bola. "Hayo, Ayah jagoin mana?" tanyaku menggoda. "Indonesia, dong!" jawabnya antusias. "Oke, yang menang, dapet ciuman dari Ibu!" se
Saat Mas Arsya sudah tidur, aku memulai rencana, yaitu mengecek ponselnya. Ya, bisa dibilang lancang, tapi sebelum kami bersitegang, Mas Arsya tidak pernah bermain kucing-kucingan. Bahkan, terkadang dia yang menyuruhku untuk membalaskan pesan di ponselnya. Sama sekali tidak ada yang dia tutupi. Aku mendekat pada sofa tempat Mas Arsya tidur, lalu mengambil ponselnya yang ada di samping bantalnya. Syukurlah, kata sandi ponselnya masih sama seperti dulu, tanggal ulang tahun Arumi. Setelah kunci layar terbuka, tujuan pertamaku adalah aplikasi Whatsapp. Semoga bisa kutemukan sesuatu dari chat di dalamnya. Pesan dari Jihan ada di deretan paling atas. Tanpa pikir panjang, kubuka pesan perempuan itu. Pada pesan terakhir, terpampang kalimat manja dari Jihan yang berisi ucapan selamat malam diikuti emoticon cium begitu banyak. Hati yang awalnya kukuatkan, rupanya sangat rapuh. Napas ini tiba-tiba sesak dan air mata pun menetes tanpa kuperintah. Dengan gemetar, aku men-scroll laman pesan Mas
"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku setelah kami memasuki area parkir apartemen. "Kamu ikut saja," jawabnya santai setelah motor berhenti. Aku pun turun dan Adam membenarkan posisi parkir sepeda motorku. Setelah itu, dia menarik tanganku perlahan. Terpaksa aku mengikutinya karena ingin tahu apa yang akan dia bicarakan. Namun, aku mulai ragu saat Adam membawaku masuk lift dan dia menekan angka lima belas. "Nggak, aku nggak bisa ikut." Kutekan lagi tanda buka hingga lift yang hampir tertutup kembali terbuka. Namun, kondisi yang cukup sepi dan tidak ada orang lain di lift, membuat Adam leluasa. Dia dengan cepat menarik tanganku, lalu menahan tubuh ini dengan satu tangan dan satu gangan yang lain digunakan untuk membekap mulutku. Kemudian, dia menggunakan siku untuk menekan tombol lift. Kotak besi ini pun membawa kami ke lantai lima belas.Aku mulai ketakutan. Adam seperti penculik yang sangat lihai. Siapa dia sebenarnya? Bukankan dia berasal dari keluarga kaya? Namun, kenapa dia har
Aku rasanya kembali hidup setelah mendengar cerita Mas Arsya tadi siang. Namun, beberapa hal masih membuatku ragu untuk percaya sepenuhnya. Dia masih belum menceritakan tentang isi pesan Whatsapp dengan Jihan yang begitu mesra. Apa iya pesan seperti itu hanya untuk mengecoh Dokter Fahira? Aneh, bukan? Jika ditilik, mana mungkin orang lain yang jarang bertemu akan mengecek pesan Whatsapp pribadi. Bahkan, aku saja jarang membuka ponselnya. Namun, aku tidak mau banyak bertanya karena pastinya jawabannya akan membela diri. Dengan hubungan yang cukup membaik ini, akan kugunakan untuk mencari tahu sendiri. Aku sekarang sendirian di apartemen yang tidak terlalu besar. Jika aku perkirakan, mungkin luasnya hanya sekitar enam kali enam meter persegi. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Bukan masalah besar kecilnya tempat ini, hanya saja, aku merasa seperti tahanan. Entah kenapa, dia juga tidak mengizinkanku kembali ke rumah saja. Satu