"Jangan pernah berpikir untuk pergi atau selamanya tidak ada maaf dan ridaku untukmu."
Ucapan Mas Arsya membuat mata yang memejam ini langsung terbuka. Dia sudah ada di ambang pintu kamarku. Dia menghadap ke luar sehingga terlihat punggung yang sangat kurindukan itu.Kepala ini pun mendongak, memuaskan diri untuk menikmati pemandangan yang sangat jarang bisa kutemui. Dia suamiku, tapi seperti orang asing.Setelah beberapa saat dia mematung, langkahnya berderap menjauh. Pintu kamar yang masih terbuka itu membuatku ingin sekali menyusul Mas Arsya dan memeluknya. Namun, hal itu tidaklah mungkin bisa terlaksana.Tadi, aku sempat berpikir jika Mas Arsya akan memberikan tamp*ran atau mungkin pukulan. Namun, prasangka itu tidaklah benar. Aku melihat tangan kanannya membawa kunci motorku yang tadinya menggantung di dinding, tepat di belakangku. Ya, aku mengenali gantungan kuncinya karena motor itu satu-satunya harta milik sendiri yang kubeli sebelum menikah. Mungkin Mas Arsya tahu jika motor itu akan kugunakan untuk pergi.Setelah terdengar suara pintu ditutup dari arah kamar samping, kakiku melemas hingga tubuh merosot ke lantai. Aku menangis dalam diam dan berusaha menahan suara isak agar tidak terdengar oleh Mas Arsya.Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi sepertinya aku harus bertahan di rumah ini entah sampai kapan. Apalagi, mendengar ucapannya tadi, seolah-olah aku adalah istri durhaka. Lagi pula, aku juga tidak bisa mengabarkan kepada Ayah dan Ibu tentang dinginnya rumah tanggaku.Dulu, sebelum menikah, aku meyakinkan Ayah dan Ibu jika Mas Arsya akan membuat putri mereka bahagia. Awalnya, mereka sangat menentang hubunganku dengan Mas Arsya karena laki-laki itu seorang duda satu anak. Namun, lambat laun, mereka pun luluh karena memang Mas Arsya begitu menyayangiku karena mampu membuat Arumi kembali ceria. Hingga cinta itu tumbuh, dia melamarku menjadi istrinya.Pekerjaanku sebagai salah satu karyawati sebuah daycare membuat jalan pertemuan dengan Mas Arsya. Dia selalu menitipkan Arumi di pagi hari, dan menjemput gadis kecil itu di sore hari. Arumi yang sulit beradaptasi dan sering rewel saat bersama pengasuh yang lain, justru anteng saat bersamaku. Bahkan, anak itu lama kelamaan, enggan berpisah denganku.Semua kenangan itu makin menyiksaku karena sampai saat ini, cinta untuk Mas Arsya masih begitu dalam. Namun, bersamaan dengan itu, rasa bersalah karena kepergian Arumi makin menghunjam hingga dasar hati."Aku harus apa, Mas? Aku kangen sama Mas Arsya yang dulu."***Sayup suara azan membangunkanku dari lelap. Perlahan, aku bangkit dari lantai karena tubuh ini sudah menggigil. Rupanya, aku tertidur tanpa berpindah tempat setelah cukup lama menangis. Mata yang cukup berat ini kupaksa terbuka karena sudah waktunya aku melaksanakan salat Subuh.Gigil tubuh ini makin terasa saat kulit bersentuhan dengan air yang dinginnya seperti es. Meskipun begitu, berwudu inilah yang akan membuatku lebih segar.Usai salat, aku menuju ke dapur dengan sempoyongan. Kepala yang begitu pening tidak lantas membuatku berdiam diri. Biarpun Mas Arsya melarangku memasak, tapi hal itu tetap kulakukan. Tak apa masakan itu dianggap sebagai buatan Bi Narti, setidaknya hati ini terasa lega saat melihat Mas Arsya memakannya."Mbak Manda sakit? Pucat gitu wajahnya. Tangannya pegang pisau juga bergetar begitu. Mbak istirahat saja, biar bibi yang masak pagi ini." Bi Narti datang dan langsung mengambil alih tugasku.Aku pun langsung duduk di kursi ruang makan dan menyandarkan kepala di meja beralaskan kedua tangan. Tubuhku memang tidak bisa diajak kompromi saat ini. Pandangan serasa berputar-putar dan rasa mual mengentak-entak perut. Sepetinya, asam lambungku naik karena memang tidak terisi sejak kemarin pagi. Ditambah lagi, aku semalaman tidur di lantai dalam keadaan AC menyala."Nanti akan ada tamu, siapkan makanan istimewa!" Suara Mas Arsya membuatku sontak menegakkan punggung."Ba–baik, Mas. Aku akan menyiapkan semuanya. Kira-kira, jam berapa tamunya datang?" tanyaku setelah berdiri, menghadap laki-laki berwajah tegas itu.Mas Arsya lantas meletakkan beberapa lembar uang berwarna merah di meja, lalu masuk kembali ke kamarnya setelah mengatakan satu angka. "Sembilan."Air mataku kembali mengalir saat melihat punggungnya. Tidak ada lagi ucapan selamat pagi yang lembut, bahkan ciuman sayang di kening. Semua sudah tidak seperti dulu."Bi, Bibi saja yang belanja, ya. Aku nggak kuat buat jalan jauh. Biar aku yang siapin bumbu." Kuserahkan semua uang dari Mas Arsya kepada Bi Narti setelah mengatakan apa saja yang harus dia beli.Beberapa saat setelah Bi Narti pergi, aku mendengar suara pintu dibuka. Aku menoleh, rupanya Mas Arsya keluar dari kamar. Terlihat, dia berjalan menuju ruang depan. Tak lama, suara gaduh mengisi pendengaran. Entah apa yang dilakukan Mas Arsya di depan.Karena penasaran, aku menengok ke depan. Mas Arsya menurunkan foto pernikahan kami yang terpajang di dinding ruang tamu, lalu menggantinya lagi dengan foto pernikahannya dengan mamanya Arumi.Setidakberhaganya lagi aku di mata laki-laki itu. Lalu, kenapa dia ingin aku tetap tinggal? Mungkinkah untuk menjadi pelampiasannya saja?Gegas aku kembali ke dapur sebelum Mas Arya melihat. Aku tidak ingin ada pertengkaran saat tubuh sedang drop seperti ini.***Sekitar pukul sembilan, semua masakan sudah siap. Namun, tamu yang dikatakan Mas Arsya masih belum datang. Aku lantas pamit kepada Bi Narti untuk membersihkan diri di kamar. Namun, saat sampai di kamar, aku justru menjatuhkan diri di tempat tidur. Rasa lemas yang sedari tadi kutahan, kini mencapai puncaknya."Ya Allah, Mbak Manda badannya panas banget!" seru Bi Narti.Aku yang memang memejam, langsung membuka mata. Entah kapan perempuan ini masuk, aku tidak mengetahuinya."Ada apa, Bi?" tanyaku pelan."Mbak Manda kayaknya harus periksa ke dokter," ucap Bi Narti tanpa menjawab pertanyaanku."Aku nggak apa-apa, Bi. Ada apa?" Aku berusaha untuk duduk dengan menggunakan kedua tangan sebagai penyangga."Anu ... itu ... tamunya Mas Arsya dateng. Mas Arsya nyuruh bibi manggil Mbak Manda." Bi Narti sepertinya gugup."Aku akan keluar, Bi." Aku tersenyum kepada Bi Narti, lalu beranjak dari tempat tidur.Bi Narti membantuku berjalan karena memang kaki ini kesulitan menopang tubuh. Namun, setelah sampai di ruang tamu, seseorang yang kutahu adalah adik dari istri pertama Mas Arsya, sedang bercengkrama dengan suamiku. Bahkan, laki-laki itu terlihat begitu bahagia dengan senyum dan sesekali tertawa.Ada yang kembali mencubit hati ini dengan keras. Mungkinkah Mas Arsya sedang mengujiku? Entahlah."Mas panggil aku?" tanyaku pelan setelah menyuruh Bi Narti melepas pegangannya."Siapkan meja makan," jawabnya singkat.Aku pun berbalik dan bergegas menuju ruang makan. Namun, satu kalimat yang diucapkan adik ipar suamiku itu membuat jantung ini hampir berhenti berdetak. Bahkan, jawaban Mas Arsa lebih menyakitkan lagi."Kenapa perempuan yang udah bunuh keponakanku masih dipelihara, Mas?""Aku hanya ingin dia merasakan apa yang aku rasakan."Belum sempat kaki ini melangkah sampai ruang makan, aku ambruk dengan pandangan yang mulai buram.Aku masih sedikit sadar meskipun mata ini tidak dapat melihat jelas. Bi Narti terdengar panik, lalu kurasakan tubuh yang melayang. Hingga tiba-tiba, aku tersentak karena bau menyengat. Aku mengerjap sejenak dan menyadari jika ini sudah ada di kamar."Bawa dia ke dokter, Bi. Aku nggak mau ddiangap menyiksanya." Itu suara Mas Arsya. Dia berdiri di samping tempat tidur.Sementara Bi Narti yang duduk di tepi tempat tidurku, hanya menjawab 'iya' tanpa protes.Aku pergi ke klinik terdekat diantar Bi Narti. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi kami harus menggunakan taksi untuk ke sana karena kondisiku yang masih lemas. Kuminta perempuan itu menunggu di luar sementara dokter memeriksa. Sesuai prediksi, asam lambungku naik dibarengi dengan anemia yang keduanya memang sering berkencan dengan tubuh ini jika terlalu lelah atau stres. "Kamu ada masalah apa, Nda?" tanya Dokter Fahira. Dia tetangga dekat rumah, sekaligus temanku satu-satunya setelah menikah dengan Mas Arsya. Memang baru sekitar empat bulan kami saling mengenal, tapi kami sering berbincang saat aku mengajak jalan-jalan Arumi di sekitar kompleks setiap sore sambil menunggu Mas Arsya pulang. Meskipun tidak setiap hari, tapi itu membuat kami dekat. "Nggak ada, Ra. Aku—""Kalau nggak ada apa-apa, cek sekarang. Aku juga mau lihat hasilnya," desak dokter berjilbab putih itu. "Nanti aku cek di rumah saja. Kasihan Bi Narti nungguin. Berikan re
Dua garis merah terlihat sangat jelas bersanding pada alat berwarna putih yang kubawa. Air mata pun luruh tak terbendung lagi. Haruskah bibir ini melengkungkan senyum atau justru menarik garis turun dengan hasil ini. Namun, nyatanya justru luka sayat hati ini makin lebar dan begitu perih. Apalagi jika mengingat akan ada madu yang menyiram luka itu. Aku seperti daun yang mengering dan sudah tidak ada gunanya. Lantas, tertiup angin dan tidak tahu akan berakhir di mana. Jika mengingat Ayah dan Ibu, aku makin rapuh. Mereka berharap besar kepada Mas Arsya untuk kebahagiaanku, tapi nyatanya janji Mas Arsya dulu tidak bisa ditepati karena keteledoranku. Gugenggam erat benda kecil di tangan. Apakah Mas Arsya akan luluh saat tahu ada keturunannya di rahimku? Ataukah dia tidak akan peduli dan tetap melanjutkan rencana pernikahan dengan Jihan? Dua kemungkinan itu membuatku ragu untuk bercerita. "Mbak Manda!" seruan Bi Narti diikuti ketukan pintu membuatku tersenta
Aku buru-buru berlari ke toilet dan terpaksa harus melewati meja tempat Mas Arsya dan Dokter Fahira. Semoga saja mereka tidak mengenali karena aku sudah menggerai rambut dan menutupkan ke sisi wajah yang bisa saja mereka lihat. Sampai di toilet, aku benar-benar mengeluarkan isi perut meskipun hanya air. Aku memang belum makan sejak pagi dan kini tersisa rasa pahit di lidah. "Kamu masih mau mengelak, Nda?"Aku sontak menoleh. Dokter Fahira sudah berdiri di samping cermin dengan kedua tangan bersedekap. Aku bergegas membasuh muka setelah berkumur. "Kamu di sini juga, Ra? Kok, aku nggak lihat tadi?" Aku tersenyum meskipun terpaksa. "Aku duluan, ya. Lagi makan sama temen," pamitku sembari melangkah menuju pintu. Namun, dokter itu menahan lenganku. "Kamu hamil, Nda. Jujur sekarang, atau aku panggil Arsya ke sini?" ancamnya dan membuatku sedikit takut. "Bu Dokter yang cantik dan baik hati, aku hamil atau enggak, itu bukan urusanmu
Kelvin berlari menghampiri saat aku masih di halaman rumah. Bocah laki-laki itu langsung memeluk kakiku dan menangis. Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya, lalu mencium kedua pipinya. Aku merasa nyaman saat berdekatan dengan Kelvin. Mungkin karena kerinduan terhadap Arumi dan itu bisa sedikit terobati saat bersama Kelvin. Kugendong anak tampan itu, membawanya menuju mobil Pak Adam yang suara mesinnya masih terdengar. "Sudah siap?" tanya Pak Adam saat aku dan Kelvin sudah duduk di sisi kiri kemudi. "Siap, Om!" seru Kelvin semangat. Saat mobil mulai melaju perlahan, Mas Arsya tiba-tiba mengadang di depan mobil. Apa -apaan dia? Itu sangat bahaya kalau saja Pak Adam tidak sigap menginjak rem. Pak Adam pun keluar dan dua laki-laki dewasa itu bicara cukup serius. Bisa kulihat dari sorot mata keduanya. Namun, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat, Pak Adam kembali dan langsung melajukan mo
Kejadian semalam membuatku sedikit lega karena bisa meluapkan emosi yang bercokol di hati selama dua bulan terakhir. Aku juga melakukan gerakan tutup mulut sejak semalam. Aku benar-benar tidak membuka mulut kecuali saat berwudu. Lemas memang tidak bisa dielakkan karena aku sama sekali tidak makan ataupun minum sejak kemarin. Vitamin dan obat dari dokter juga belum berkurang. Berbaring di tempat tidur menjadi hal paling kubutuhkan saat ini meskipun beberapa kali harus ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat dan saat akan menyucikan diri. Beriak angin yang menggoyangkan tirai terdengar begitu merdu. Kolase indah dari sinar mentari pagi kian menambah rasa tenang yang kuinginkan. Dua kotak jendela terbuka itu memberikan aroma pagi yang menyejukkan. Ya, hampir sama seperti hidupku. Jika angin dan sinar matahari tidak berkolaborasi, maka hanya akan menghasilkan bencana. Tidak akan ada hujan, tidak akan ada sejuk, juga tidak akan ada pelangi. Saat aku sendirian seperti i
"Yah, Bu, itu sepertinya temen kerja saya datang. Saya pamit dulu sebentar. Titip Manda, ya." Mas Arsya masuk ke kamar, lalu dia keluar membawa kunci mobil. Sebelum meninggalkan rumah, dia sempat menciun tangan Ayah dan Ibu, serta mencium keningku. Sangat jelas dia berbohong kali ini kepada Ayah dan Ibu. Aku tahu siapa orang yang mengucap salam tadi. Dia Jihan dan Mas Arsya pergi dengan perempuan itu tanpa peduli perasaanku. Baiklah, dia sukses menjadikanku mainan. Setelah Mas Arsya pergi, aku justru leluasa bermanja dengan Ibu. Ayah yang melihat pun hanya geleng kepala. Beliau tahu bagaimana aku jika sudah bertemu dengan Ibu. Kami seperti tidak bisa terpisahkan. "Kalau sudah ketemu kamu, Ayah disisihkan," gerutu Ayah. Beliau kemudian menyalakan televisi dan pas sekali acara favoritnya, sepak bola. "Hayo, Ayah jagoin mana?" tanyaku menggoda. "Indonesia, dong!" jawabnya antusias. "Oke, yang menang, dapet ciuman dari Ibu!" se
Saat Mas Arsya sudah tidur, aku memulai rencana, yaitu mengecek ponselnya. Ya, bisa dibilang lancang, tapi sebelum kami bersitegang, Mas Arsya tidak pernah bermain kucing-kucingan. Bahkan, terkadang dia yang menyuruhku untuk membalaskan pesan di ponselnya. Sama sekali tidak ada yang dia tutupi. Aku mendekat pada sofa tempat Mas Arsya tidur, lalu mengambil ponselnya yang ada di samping bantalnya. Syukurlah, kata sandi ponselnya masih sama seperti dulu, tanggal ulang tahun Arumi. Setelah kunci layar terbuka, tujuan pertamaku adalah aplikasi Whatsapp. Semoga bisa kutemukan sesuatu dari chat di dalamnya. Pesan dari Jihan ada di deretan paling atas. Tanpa pikir panjang, kubuka pesan perempuan itu. Pada pesan terakhir, terpampang kalimat manja dari Jihan yang berisi ucapan selamat malam diikuti emoticon cium begitu banyak. Hati yang awalnya kukuatkan, rupanya sangat rapuh. Napas ini tiba-tiba sesak dan air mata pun menetes tanpa kuperintah. Dengan gemetar, aku men-scroll laman pesan Mas
"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku setelah kami memasuki area parkir apartemen. "Kamu ikut saja," jawabnya santai setelah motor berhenti. Aku pun turun dan Adam membenarkan posisi parkir sepeda motorku. Setelah itu, dia menarik tanganku perlahan. Terpaksa aku mengikutinya karena ingin tahu apa yang akan dia bicarakan. Namun, aku mulai ragu saat Adam membawaku masuk lift dan dia menekan angka lima belas. "Nggak, aku nggak bisa ikut." Kutekan lagi tanda buka hingga lift yang hampir tertutup kembali terbuka. Namun, kondisi yang cukup sepi dan tidak ada orang lain di lift, membuat Adam leluasa. Dia dengan cepat menarik tanganku, lalu menahan tubuh ini dengan satu tangan dan satu gangan yang lain digunakan untuk membekap mulutku. Kemudian, dia menggunakan siku untuk menekan tombol lift. Kotak besi ini pun membawa kami ke lantai lima belas.Aku mulai ketakutan. Adam seperti penculik yang sangat lihai. Siapa dia sebenarnya? Bukankan dia berasal dari keluarga kaya? Namun, kenapa dia har