"Astagfirullahaladzim, Bu, kenapa malah menangis di sini, apa terjadi sesuatu sama Romi, Bu?"
Pulang-pulang belanja malah disuguhi pemandangan Ibu yang sedang jongkok di depan pintu sambil menangis. "Ndak ada yang terjadi sama adikmu, Ibu memang sengaja menunggu Kamu, Nak," kata Ibu berusaha berbicara, tapi tersedak isak tangisnya sendiri. Kuhapus air mata yang membanjiri pipinya yang putih, walaupun sudah di usia lanjut, gurat-gurat kecantikan masa muda Ibu masih terlihat jelas. "Kenapa malah menunggu Nirma di luar sambil menangis begini?" tanyaku pelan. Ibu adalah wanita yang tangguh, jarang sekali ada hal yang bisa membuatnya menangis, itulah kenapa aku khawatir dan menduga kalau terjadi sesuatu sama Romi, sebab jika bukan karena aku dan adikku, wanita kuat yang ada di depanku ini jarang sekali menitikkan air mata. Bahkan saat dulu bapak berpulang pun, Ibulah yang paling tangguh dan menasihatiku untuk mengikhlaskan kepergian sosok yang aku anggap pahlawan itu. "Nak, Buk Diah tadi datang mengantar sepiring pangsit, tapi ...." Ibu kelihatan tak sanggup melanjutkan kata-katanya, membuatku penasaran. "Tapi kenapa, Bu? Bik Diah bilang apa?" Setelah aku membalas perkataanya di warung tadi, Bik Diah memang langsung pergi dengan marah, ia tak jadi berbelanja, siapa yang tahu ternyata ia malah datang mencari masalah ke Ibu yang ada di rumah. Pasti Bik Diah mengatakan sesuatu yang bukan-bukan. Kurang lebih aku tahu bagaimana mulut wanita itu saat komat-kamit menyebar gosip dan fitnah, kalau sampai terbukti Ibu menangis begitu keras gara-gara dia, awas saja. Walau terkenal pendiam, aku juga punya batas sabar. "Apa sebenarnya yang Kamu bilang sama dia, Nak? Tadi Buk Diah datang sambil marah-marah dan mengatai Ibu sebagai orang tua yang gagal sebab ndak mampu mendidik cara bicaramu, dia juga menyumpahi yang tidak-tidak, bahkan sampai berdo'a supaya Kamu jadi perawan tua seumur hidup." "Wanita jahat itu!" Bik Diah tahu titik sakit Ibu, yaitu setiap kali anak-anaknya dijadikan bahan ejekan oleh orang lain. Aku yang jarang keluar rumah dan hanya mengurung diri di kamar sudah bukan jadi rahasia lagi, semua warga kampung hampir tahu, ada yang memberi pujian karena aku bukan tipe anak gadis yang nakal dan liar, tapi tak sedikit juga yang julid, mengatakan kalau aku akan jadi perawan tua selamanya kalau tak bisa bergaul. "Ibu," panggilku membuat wanita cantik itu mendongak. Kuhapus air mata yang masih menggenangi pipi dan netra ayunya. Aku menghela napas pelan dan berkata dengan senyuman. "Nirma masih ingat pesan Ibu untuk selalu menghormati yang lebih tua dan jangan menabur perselisihan, tapi Nirma juga ndak mungkin diam saja kalau diejek, kan?" Ibu mengangguk. "Apa Buk Diah mengungkit-ungkit soal Kamu yang tak kunjung menikah di depan orang banyak lagi?" Aku mengangguk, membuat cahaya di mata ibu meredup. "Nak, bukannya Ibu ingin mendesakmu, tapi kalau ada pria yang sudah cocok, segera beri tahu Ibu, kalau perlu suruh dia ke rumah dan perkenalkan sama keluarga kita." Aku tahu Ibu tak bermaksud mendesakku untuk segera menikah, ia hanya khawatir, sama seperti kebanyakan orang tua di luaran sana. Aku bukannya tak ingin segera menikah. Jujur saja, saat melihat teman sebaya yang rata-rata sudah membina keluarga, aku juga punya keinginan yang sama, tapi sepertinya jawaban dari Allah belum jua terlihat. Bukan tak ada yang datang melamar atau menyatakan perasaan suka, tapi aku selalu merasa tak sesuai dengan mereka, selalu saja ada yang membuatku ragu untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Ambil contoh Hasan, ia sebenarnya tak apa-apa, kalau saja dia bisa meninggalkan kebiasaan buruknya yang berjudi dan minum-minum. Masa depan seperti apa yang akan aku jalani di tangan lelaki seperti itu? Lalu ada Farhan, pria itu memang selalu menyempatkan diri untuk membantuku dan Ibu melakukan beberapa pekerjaan di sawah, tapi ia sama sekali tak jujur. Setiap kali aku ada di sawah, d ia datang membantu, tapi kalau aku tak ada, ia tak akan datang. Ibu bahkan bilang kalau menyapa saja lelaki itu tak mau. Percuma kalau Farhan hanya baik padaku, tapi malah mengabaikan Ibu. Juga, aku sering mendengar Ibu pemuda itu mengomel. "Sama pekerjaan orang saja Kamu ringan tangan, giliran membantu Ibu malah berat sekali." Begitulah kata-kata yang aku dengar dari Ibu Farhan. Kalau sampai aku menikah dengannya, tak menutup kemungkinan kalau ia akan tetap malas. Apalagi kalau sudah berhasil mendapatkanku seperti yang diinginkannya, nanti kalau sudah bosan, pasti sifat aslinya keluar. Hal-hal tersebut membuatku muak pada laki-laki, padahal aku tak punya banyak persyaratan, cukup peduli padaku, Romi, dan Ibu, itu saja. Masalah harta dan yang lain-lain nanti bisa dicari bersama. Tapi ternyata sulit sekali menemukan lelaki yang cocok. "Bu, masuk dulu yuk," kataku sambil menuntun Ibu ke dalam. Kuletakkan belanjaan tadi di atas meja. "Piring punya Bik Diah mana, Bu? Sini biar Nirma kembalikan." Sekilas bisa kulihat sorot khawatir di mata Ibu, ia pasti tak ingin aku terlibat cek-cok lagi dengan Bik Diah. "Ndak akan terjadi apa-apa, Bu, Nirma hanya akan mengembalikan piring itu," kataku menenangkan saat Ibu kelihatannya tak akan setuju. "Jangan lama-lama, Nak." "Iya." *** Aku berjalan dengan tergesa ke rumah seberang. Waktunya membuat perhitungan dengan wanita jahat itu, memangnya hanya ia saja yang bisa datang ke rumah orang dan marah-marah tak jelas. Ibu mungkin bisa sabar, tapi aku tidak. "Assalamualaikum." Walaupun pintu Rumah Bik Diah terbuka, aku tak berani nyelonong masuk. "Siapa itu?" Bukannya suara melengking khas Bik Diah yang menyahut, tapi yang terdengar malah suara nge-bass seorang pria. "Ternyata Dek Nirma." Ternyata ia adalah Mas Viki. "Iya, Mas, Bik Diah mana, ya?" tanyaku. "Masuk dulu, Dek Nirma, kita ngobrol berdua di dalam." "Ndak usah, Mas Viki, aku mau ketemu sama Bik Diah." "Makanya ayo ke dalam dulu." Perasaanku sudah tak enak waktu Mas Viki bilang begitu, ia bahkan sudah berdiri sangat dekat di hadapanku. Sambil mundur beberapa langkah, aku berkata. "Ndak perlu, Mas, aku nyari Bik Diah mau mengembalikan piring ini." "Ibu lagi keluar sama Mina, Dek. Kamu ke dalam sama aku dulu, yuk, taruh piringnya di dapur," kata Mas Viki sambil tersenyum genit. Amit-amit, ya Allah, mimpi apa aku sampai harus berhadapan sama buaya darat kayak dia. "Ndak usah, Mas, aku taruh di sini saja piringnya kalau memang ndak ada orang, Mas Viki saja yang tolong bawakan ke dalam." Ketika hendak meletakkan piring di teras, sebuah tangan tiba-tiba mencengkeram lenganku. "Ayolah, Nirma, jangan malu-malu kalau sama aku." Ya Allah, apa maksudnya lelaki ini. "Maksud Kamu apa, Mas?" Aku berusaha melepaskan cengkeraman kuatnya. "Jangan pura-pura polos, Nirma, Kamu kan sudah dewasa. Perempuan yang sudah matang, tapi belum menikah sepertimu pasti kesusahan mencari pelampiasan, maka dari itu aku siap sedia membantumu." Astagfirullah ya Allah, di mana letal otak lelaki ini? Apakah dia berpikir kalau aku ini wanita gampangan? Dasar lelaki be-jat, padahal sudah punya istri yang cantik seperti Mina, tapi tetap saja terang-terangan merayu wanita lain. "Kamu ndak lagi mabuk kecubung kan, Mas? Omonganmu itu melantur ke mana-mana. Aku adalah wanita terhormat yang belum menikah, perhatikan kata-katamu!" kecamku. Walaupun di dunia ini laki-laki cuman tinggal dia, aku tak akan sudi bersamanya. "Zaman sekarang mana ada wanita yang masih menjaga kehormatannya?" Mas Viki terlihat meremehkan. "Ndak semua wanita itu seperti yang Kamu pikirkan, ndak semua orang kelakuannya be-jat seperti Kamu. Sudahlah aku mau pulang, kali ini kata-kata ndak sopan Mas Viki masih aku maafkan, tapi lain kali ...." Aku mengangkat tangan kiriku yang tak memegang piring untuk membentuk kepalan, membuat pose seolah-olah akan meninju wajah lelaki hidung belang itu. "Ini piringnya," kataku. "Hahaha." Mas Viki tertawa nyaring, bukannya mengambil piring yang aku sodorkan, ia malah menarik tanganku dan berusaha untuk mencium. "Aku suka wanita pemberani sepertimu, lebih menantang." Ba-jingan ini! Mungkin karena rumah Bik Diah punya gerbang, ia tak takut kalau ada yang akan melihat dan mendengar perkataan be-jatnya. Aku mendorong tubuh Mas Viki sekuat tenaga, tapi tenagaku masih kalah darinya. Aku belingsetan seperti orang kesurupan, berusaha melepaskan diri dari pelukan lelaki keji ini. "Tol---hmmmph." Mulutku ia sumpal dengan tangannya, membuatku tak bisa berteriak. Di tengah aksi melepaskan diri itu, kurasakan sebuah tangan ingin menelusup ke bagian dadaku. Kurang ajar! Buk! Piring yang masih kupegang itu kuhantamkan ke arah Mas Viki, membuat dahinya berdarah. "Aarrgh, wanita sia-lan!" Dia mengerang kesakitan dan mengumpat. Tak ada rasa kasihan atau menyesal sedikit pun saat melihat mukanya berhias darah. "Apa Kamu ndak malu melakukan ham tercela di tempat terbuka seperti ini, ha? Apa Kamu mengira kalau semua wanita mau sama Kamu. Awas saja, akan aku adukan ke pak kadus kelakuanmu ini, ndak terima aku!" Berbalik dengan tergesa, aku melangkah sambil menghapus air mata yang entah sejak kapan sudah mulai berjatuhan. Masalah ini tak akan kubiarkan begitu saja. Bersambung."Apa?!"Yang barusan berteriak itu adalah Mina dan Buk Susi. Kengerian terpatri dengan jelas di wajah mereka."Saya ndak setuju, Pak Imron, saya ndak sudi kalau harus menampung Mina dan Buk Diah yang gila dan ... dan ... tak punya harta benda lagi ... a-anu ... maksud saya, Pak Imron kan tahu bagaimana kondisi keluarga kami. Akan jadi seperti apa keluarga kami di masa depan?""Aku juga ndak sudi kalau harus menikah dengan anakmu dan menjadi satu keluarga dengan Kalian, cuih!""Hihihihi, hore-horeeeee berantem."Buk Susi, Mina, dan Bik Diah bersahut-sahutan."Sekarang baru terpikir akibat dari perbuatan buruk Kalian, kan? Waktu merencanakan semua ini, apa pernah terlintas di pikiran Kalian bagaimana masa depan orang tak bersalah yang Kalian coba jebak?" Buk Nuri yang sedari tadi hanya diam menyimak pun angkat suara. Beliau berkata parau dan matanya terlihat berkaca-kaca, beliau mungkin teringat akan almarhumah putrinya, Sari Yuliati, yang meninggal sepuluh tahun silam.."Seorang pemuda
"Diaaaam! Semua ini gara-gara ibumu yang gila itu! Semua rencana kita gagal total karena dia!""Rencana?"Nada dingin tersebut membuat Farhan langsung membeku.Mau tak mau aku menoleh ke asal suara, di sana kulihat Edward tengah menatap Farhan seperti seorang jenderal yang akan mengeksekusi musuh di medan perang."Rencana apa? Jelaskan!" Edward menuntut."Kamu jelaskan, beberapa waktu lalu juga aku sempat mendengarmu merencanakan sesuatu dengan Mina, kan?" Aku juga turut menekan Farhan supaya menjelaskan.Aku merasakan firasat yang kuat kalau 'rencana' yang dibicarakan Farhan dan Mina itulah dalang di balik petaka yang menimpaku ini."Lanjutkan penjelasannya, rencana apa yang Kalian maksud?" tanya Pak Imron begitu melihat Farhan masih diam membatu.Aku geram sekali saat melihat Farhan duduk diam tak bersuara, beberapa waktu lalu ia seperti singa yang mengaum ganas dan siap menyerang siapa saja, sekarang ia terlihat seperti kura-kura mengkerut yang bersembunyi di dalam cangkangnya sepe
Allah tahu bagaimana aku berjuang melepaskan diri dari Edward. Allah tahu kalau aku berusaha sekuat tenaga melawan pria itu. Allah pasti tahu kalau aku telah sedaya upaya melakukan perlawanan padanya. Aku menendang, mencakar dan menggigit sebisanya. Semua bekas perlawananku tercetak jelas di tubuh tak berbusana pria itu. Adapun Edward yang beberapa saat lalu terlihat seperti binatang buas hilang kendali, sekarang akhirnya tersadar setelah naf-sunya terpenuhi. Aku beringsut ke sudut pabrik baru ini, sebisa mungkin menjangkau semua pakaian untuk menutupi badan yang tak pernah terlihat oleh lelaki mana pun sejak aku akil baligh. Kupasang satu per satu pakaian itu sambil menata perasaan campur aduk yang bergelora di hati: marah, malu, sedih, terhina. Semuanya campur aduk. Air mataku berlomba-lomba turun, semua perasaan gelisah itu sudah tak bisa kutahan lagi. Akan bilang apa aku pada Ibu nanti? Bagaimana perasaan wanita itu kalau tahu anak gadisnya sudah tak suci lagi? Akan seremu
Setelah beberapa hari yang damai dan tenteram, kampungku ternyata ribut lagi. Usut punya usut, ternyata tujuan Edward datang ke kampung adalah untuk membangun pabrik plastik di bekas sawah Bik Diah.Edward sudah tiga hari ini tinggal di rumah Pak Imron, dia menginap di sana lantaran tak ada kos-kosan di kampung, maklumlah karena kampungku masih termasuk daerah terpencil.Edward rupanya ingin segera membangun pabrik dan mendatangkan bahan konstruksi, tapi niatnya terhalang karena ada warga yang protes.Para warga yang sawahnya berdekatan dengan bekas sawah Bik Diah tak setuju kalau akan dibangun pabrik di sana. Meskipun tanah itu sudah dibeli oleh Edward dan resmi pindah tangan padanya, tapi warga tetap melarang, mereka khawatir kalau limbah pabrik nantinya akan mencemari sawah mereka dan mempengaruhi hasil panen.Informasi di atas aku dapatkan dari Pak Imron."Bukannya kami melarang, Nak Edward, karena sejatinya kan tanah itu sudah jadi milik Kamu, jadi terserah Kamu mau dibangun apa
"Heh, sini Kamu!"Aku sudah akan kabur, tapi urung sebab melihat kecepatan lari lelaki itu. Kalau pun aku memilih langsung lari, pasti akan terkejar."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki tinggi itu.Kalau tak sedang takut padanya, aku pasti akan mengagumi dan memberikan nilai sepuluh untuk penampilannya. Bagaimana tidak, lelaki tersebut tinggi, mancung, putih, dan memiliki mata biru cerah dan wajahnya dibingkai dengan rambut pirang berkilau."Gantengnya, kayak orang bule," lirihku."Hei, ditanya malah melamun, udik Kamu ya, enggak pernah liat orang ganteng apa!"Ish, walaupun dia ganteng, tapi kata-katanya kasar. Aku menarik semua pujianku padanya, percuma ganteng kalau minus tata krama."Ini sendal punya Kamu, kan?" tanya lelaki itu lagi."Iya.""Tanggung jawab, lihat dahi saya, nih!"Dahi pria itu memang merah dan tertutup sedikit lumpur akibat sendalku."Aku ndak sengaja, Om."Kupanggil ia dengan sebutan Om sebab pakaiannya terlihat mewah seperti om-om pengusaha yang ada di t
Karena banyak warga yang mendengar pertengkaran Mas Viki dan Mina kemarin, berita perselingkuhan Bik Diah tersebar dengan cepat. Saat ini mereka tengah disidang oleh Pak Imron, sayangnya hanya ada Mina dan Bik Diah, sementara Mas Viki sudah melarikan diri entah kemana."Itu semua karena lelaki be-jat itu, Pak, dia merayu saya lebih dulu!" Bik Diah berteriak kesetanan.Aku rasanya ingin tertawa kencang, kemarin-kemarin saja Bik Diah membela menantunya setengah mati."Saya percaya sama Ibu, ini pasti murni Mas Viki yang merayu, soalnya dia memang mata keranjang, sebagai istri saya kenal dia luar-dalam, Pak." Mina turut menimpali."Kalau memang kejadiannya seperti yang Kalian katakan, itu berarti Viki memang terbiasa melakukan hal-hal tidak senonoh. Dari sini kita bisa tahu kalau kejadian dengan Nirma pasti dalangnya si Viki." Pak Imron berkata dengan geraman rendah."Iya, Buk Diah dan Mina sudah menuduh yang bukan-bukan sama Nirma, ternyata yangba-jingan itu Viki!"Salah satu warga yan