Selesai acara lamaran dengan memberikan balasan seserahan kepada keluarga Ryan berupa makanan, buah-buahan serta kebutuhan calon mempelai laki-laki, Kini gue lagi tiduran sambil cerita-cerita sama Winda yang memang sengaja menemani sambil membahas konsep acara pernikahan yang akan diadakan dua bulanan lagi.
“Gue pengin sewa gedung RT aja deh, tapi Ryan pengin di ballroom hotel. Menurut lo gimana, Win?”
“Yaudah turutin aja kemauan dia selagi ada modal sih.”
“Sayang Win buang-buang duit buat pesta sehari doang. Gue merasa kaum biasa aja jadi agak peritungan nih, kalau sultan mah terserah di mana tempatnya gue jabanin deh.”
“Kan yang bayar Ryan, Ki, ngapain sih lo pusing-pusing amat.”
“Nah justru itu gue nggak enak lha, masa yang nikah berdua yang biayain dia semua sih. Gue penginnya bareng-bareng gitu, Win.”
“Yaudah lo entar ngomong aja sama dia. Mau jalan kan lo nanti? Ja
Makan kali ini benar-benar beda menurut gue. Ryan lebih banyak diam setelah gue tanya tentang cinta pertamanya itu. Ada apa sih emangnya? Gue padahal mau kenal baik-baik tapi Ryan suruh kenalannya habis nikah aja. Bawaan gue penginnya suuzon ke dia tapi nggak ada bukti apa-apa. Tanya Kak Doni pun dia jawab nggak tahu kabarnya setelah lulusan SMA waktu itu. Jadi yang benar-benar tahu kondisi Rena hanya Ryan aja. Kata Kak Doni juga si Rezvan suami Nasya juga nggak tahu kabar Rena. Ih, kok bawaan gue curiga mulu begini sih.“Jangan mikir yang macam-macam,” kata Ryan seolah-olah tahu isi pikiran gue.“Enggak.”Tak mau memperpanjang masalah akhirnya gue mencoba berbaik sangka sama dia. Gue mencoba percaya sama Ryan.Selesai makan, Ryan langsung ngantar gue pulang dan katanya dia mau kumpul sama teman-temannya di kelab malam. Pengin banget ngelarang tapi gue takut nanti Ryan nggak terima atau marah. Mungkin pelan-pelan aja nanti, ngubah
Pondok Labu, Jakarta.Setelah habis dari percetakan undangan tadi, kini giliran gue buat istirahat karena jujur aja tubuh gue merasa capek banget yang benar-benar capek.Bahkan saking capeknya gue sampai meminta tolong mama buat pijetin kaki barusan. Dan sekarang pun sudah pukul dua belas malam tapi mata gue belum mau terpejam juga. Padahal udah capek tapi susah tidur gini gitu, kalian pernah merasakan hal seperti ini nggak sih? Capek tapi nggak bisa tidur.Gue pun mengambil hape yang tergeletak di atas nakas. Gue duduk sambil bengong seperti orang bingung. Dan, akhirnya pun gue hubungi Ryan.Tut. Tut. Tut.Gue pun menunggu panggilan teleponnya diangkat sambil menggigit bibir bawah. Dalam deringan ke tiga panggilan gue pun diangkat dan dijawab dengan suara serak orang khas bangun tidur.“Halo.”“Kamu udah tidur?”“Hmm, capek banget dari kemarin nggak tidur.”“Maaf ganggu tidur ka
Ballroom Hotel Poin Square, Jakarta.Keluarga gue sama keluarga Ryan sepakat buat melakukan acara akad nikah pagi hari dan dilanjut dengan resepsi pukul sebelas siang.Saat ini gue seperti pada pengantin umumnya, gue lagi dimake-up secantik mungkin supaya orang-orang bisa pangling lihat wajah gue nanti.Demi apapun rasanya benar-benar gemeteran apalagi dua jam kedepan acara akad akan segera dimulai. Mana hampir dua bulan gue sama Ryan nggak ketemu sama sekali. Baru akan ketemu entar pas di depan penghulu pula. Kita berdua hanya mengandalkan hape sebagai kekuatan hubungan di saat LDR dan dilarang ketemu seminggu sebelum nikah. Katanya sih pingit gitu. Gue sendiri hanya nurut-nurut aja apa kata orang tua.“Win, keluarga pihak cowok udah turun ke ballroom?”“Udah, mereka lagi dimake-up semua.”Lega rasanya karena pihak keluarga Ryan udah datang dan lagi dimake-up. Gue dan keluarga pun semalam nginap di hotel supaya
Kiki dan Ryan tengah berganti pakaian untuk melakukan serangkaian prosesi adat Jawa setelah ini. Mereka berdua pun masih tampak malu-malu namun itu berlaku bagi Kiki aja. Ryan sendiri selalu menatap Kiki yang saat ini statusnya sah menjadi istrinya.“Hadap sini dulu, Mas,” kata sang tata rias.Kiki yang mendengar Ryan ditegur seperti itu langsung terkekeh geli. Ia pun langsung pura-pura tak melihat saat Ryan memberikan isyarat melalui cermin besar di depannya itu.Melihat tatapan Ryan pun, dalam hati Kiki tahu apa yang tengah dipikirkan oleh laki-lakinya itu. Sudah pasti membahas yang tak jauh-jauh dari adegan dewasa.“Selesai,” kata tata rias yang memegang Ryan.Kiki pun masih dimake-up kembali karena tadi sedikit berantakan akibat adegan nangis yang tak disengaja. Padahal Kiki sudah mewanti-wanti dirinya sendiri untuk menahan air mata tapi tetap saja nggak bisa.“Cantik banget istriku,” puji Ryan.
Kiki pun tersenyum ramah kepada para tamu yang memberikan ucapan selamat. Tapi, di saat Ryan mengajaknya bicara mulutnya langsung diam seribu bahasa.“Sayang.”Kiki tetap teguh dengan pendiriannya saat ini. Ia tetap bungkam sampai akhirnya benar-benar terkejut dengan kedatangan seseorang yang membuat hatinya dag dig dug.“Kamu undang Panji?” akhirnya Kiki pun mulai mengeluarkan suaranya meski dengan nada yang terbilang begitu jutek.“Enggak.”“Kok dia datang? Kita kan ngundang orang dikit aja. Dia nggak ada data kan? Kok bisa masuk?”“Pasti Abangku nih, siapa lagi yang ngundang dia ke sini. Apalagi yang nggak bawa undangan kan nggak bisa masuk,” kata Ryan.Benar apa kata Ryan, kita berdua sepakat jika tak ada surat undangan yang dibawa tidak bisa masuk ke acara resepsi pernikahan ini. Tapi, Panji benar-benar hebat menggunakan orang dalam di saat seperti ini. Sial. The power o
Sepanjang acara tadi Kiki merasa kesal dengan Ryan. Sepertinya habis ini akan terjadi perang badar deh antara Kiki sama Ryan. Apalagi Kiki yang selalu mendiamkan Ryan di atas panggung. Kiki hanya membalas ucapan dari para tamu undangan saja pertanyaan Ryan pun dijawab sesekali aja.“Sayang kamu kenapa sih?”“Gapapa.”“Marah?”“Pikir aja sendiri.”“Aku berbuat salah apa sih?”“Nggak ada.”Kiki tetap melanjutkan aktifitasnya saat ini. Ia ingin mandi dan membersihkan diri kemudian makan dan istirahat tidur karena merasa lelah seharian sudah berdiri untuk melakukan serangkaian acara ditambah menyalami para tamu yang jumlahnya lumayan bagi Kiki.“Tapi kamu diam aja sejak habis salaman sama si Joko,” ceplos Ryan.“Oh nyadar? Sukur deh.”“Emang Joko berbuat salah?”“Bukan Joko tapi kamu.”
Decapan demi decapan kini menggema di kamar hotel yang menjadi saksi bisu antara Kiki dan Ryan. Mereka berdua masih saja bercumbu di atas ranjang dengan posisi Ryan yang menumpu beban tubuhnya di atas Kiki.“Ryan.”“Hmm.”“Tahan dulu.”“Kenapa?”“Aku pengin ngelakuin begituan pertama kali di Swiss nanti.”“What?”Ryan benar-benar sangat terkejut dengan permintaan istrinya itu. Yang benar saja ditahan sampai Swiss. Wong edan.Kini Kiki langsung bangkit dari posisi tiduran yang membuat Ryan mau tak mau menyingkir ke samping. Kiki tersenyum geli melihat wajah nelangsa sang suami.“Sabar ya, aku pengin di sana melakukan begituan-nya. Kamu mau kan?” Kiki pun mengedipkan matanya di depan Ryan yang tengah mencoba menetralkan kondisi tubuhnya yang sudah panas itu. Terlebih si junior udah tegak banget masa ditunda sampai Swiss. Tega benar is
Ryan saat ini tengah bingung sendiri menghadapi istrinya yang tengah marajuk itu. Apalagi setelah permainan onet selesai mood Kiki langsung berubah mendadak bete.Kalau seperti ini Ryan lama-lama mendadak gila deh, kadang ia tak paham sama makhluk berjenis perempuan itu. Dia yang ngajakin main onet sendiri, kalah sendiri, terus ngambek sendiri, kalau udah begini harus gimana? Mau salahin siapa coba? Masa salahin Pak Satpam depan sih.“Sayang udah dong jangan bete-bete terus.”“Ngeselin, masa aku kalah terus sama kamu.”“Ya, aku kan nggak tahu kalau kamu kalah.”“Harusnya kamu ngalah dong sebagai laki-laki, nyebelin.”‘Tuhkan kaum perempuan emang ngeselin tingkat dewa, rasanya pengin gue sleding banget dah kalau begini,’ batin Ryan.“Ryan, nyebelin.” Suara Kiki terdengar begitu kesal bahkan bibirnya sudah ia manyun-manyunkan karena merasa tak terima kalah dua kali
Adeeva menatap bingung ke arah pria itu. Bahkan saat pria itu telepon dengan seseorang menggunakan bahasa sunda membuat Adeeva hanya mengerutkan kening bingung. Pasalnya ia tidak tahu arti yang diucapkan pria yang entah siapa namanya.Setelah selesai berbicara. Pria itu langsung berbalik badan dan menatap Adeeva sengit. Karena ia sudah pasti akan menang dari cewek tengil di depannya ini.“Kita tunggu sebentar lagi pemilik kafe ini akan datang,” ucapnya dengan gaya watados-nya.Adeeva semakin mengerutkan kening bingung kala mendengar ucapan ngawur pria itu. Pemilik kafe-nya ia sendiri. Memangnya menunggu siapa? Apa menunggu ayah Ryan?“Oh ya? Memang siapa nama pemilik kafe ini?” tantang Adeeva, jemawa.“Tentu Pak Ryan Anggara.”“Hahaha, itu Ayah saya.”“Halah, ngaku-ngaku kamu. Bawahan aja bisa belagu begini, ya. Anaknya Pak Ryan itu di luar negeri ikut suaminya. Masa anaknya
Mau tidak mau saat ini Adeeva maju sendiri untuk melayani customer aneh itu. Adeeva sudah siap mendengarkan semua menu pesanan dari mulutnya. Namun, sudah berdiri sekitar sepuluh menitan tidak ada ucapan apapun dari mulut pria itu yang membuat Adeeva dongkol.“Bapak mau pesan apa?” tanya Adeeva kemudian.Tetap saja Adeeva hanya didiamkan oleh pria itu. Dia lebih sibuk membolak-balik buku menu dan dilakukannya berulang yang membuat kepala Adeeva terburu mengebul mengeluarkan asap putih.“Ekhem! Bapak ingin pesan apa? Dari tadi saya perhatikan kalau Bapak hanya membolak-balik buku menu tanpa mau memesan.”Adeeva terkejut kala pria itu justru menaruh buku menu dan berdiri menghadap ke tubuh Adeeva yang tingginya benar-benar lumayan. Adeeva saja sedada pria itu hingga membuatnya langsung mendongak.“Pelayan cerewet! Kemarin-kemarin saja tidak ada kamu suasana kafe ini aman. Saya pikir kamu dipecat hingga saya merasa lega.
Selesai berdiskusi soal harta warisan milik Marinka. Kini Adeeva sudah memutuskan dengan sangat bulat jika seluruh harta yang dimilikinya akan ia sumbangkan ke sebuah yayasan. Awalnya, pengacara itu terus membujuk Adeeva untuk terus meneruskan dan mengelola, namun mengingat kata-kata Leonel yang menyakitkan membuatnya benar-benar bulat untuk menyerahkan ke tempat yang tepat. Lagipula jika harta itu diberikan pahala akan mengalir ke Marinka bukan? Dan, Adeeva akan hidup tenang di negaranya sendiri.Selesai urusan harta warisan selesai, Adeeva segera mengurus tiket penerbangan ke Indonesia. Ia tidak sudi menghadiri acara pernikahan sang mantan itu. Adeeva ngeri nanti di sana harga dirinya akan diinjak-injak oleh Leonel ataupun Elizabeth.Entah kenapa sejak pertemuan terakhirnya di depan pintu kamar hotel dengan Alex, pria itu mendadak tidak bisa dihubungi. Padahal Adeeva hanya ingin pamit pergi pulang ke Indonesia. Entah kenapa pria-pria di sini semuanya membuat hati Ade
Alex tersenyum miring kala melihat Leonel meneleponnya. Pria itu segera mengambil dan mengangkat ponselnya dengan gayanya yang sangat santai.“Halo,” sahut Alex dengan santai.“Alex, apa maksudmu pergi bersama Adeeva ke toko tas? Apa emang kalian sengaja membuntutiku?”Mendengar itu sontak Alex langsung tertawa terbahak-bahak, dan cerdiknya Alex telah meloudspeaker panggilan telepon dengan Leonel hingga Adeeva bisa mendengarnya dengan jelas.Alex melihat jika Adeeva ingin menyahuti ucapan Leonel. Namun, Alex menggelengkan kepalanya kepada Adeeva untuk memberikan tanda jika tidak usah terpancing ucapan Leonel yang memang selalu mencari perhatian dirinya—khususnya Adeeva.“Kau benar-benar sangat percaya diri sekali Leon! Aku datang ke toko tas karena memang ingin menjemput kekasihku.”“Apa! Kau sengaja berkata seperti ini agar aku cemburu? Hahaha, itu tidak akan bisa kalian lakukan.”
Alex terkekeh sendiri melihat wajah Adeeva yang tampak menggemaskan itu. Alex pun berdeham sebelum menjawab ucapan Adeeva barusan.“Ya, semoga saja nanti kau mau menerimaku agar bisa menjadi tambatan hatimu,” ujar Alex yang membuat Adeeva langsung bungkam seribu bahasa. Bahkan wajahnya terasa sudah panas karena jawaban dari Alex barusan. Adeeva tersipu malu mendengarnya.“Maksudmu apa mengatakan begitu?” tanya Adeeva malu-malu.“Maksudku jika kau menerima cintaku kembali otomatis kau lah yang menjadi tambatan hatiku.”Adeeva tersenyum malu, pipinya benar-benar sudah merah akibat ucapan Alex yang membuatnya benar-benar salah tingkah kali ini.Bahkan mereka berdua sudah keluar dari toko tas dan berjalan bersama menyusuri trotoar untuk mencari restoran. Adeeva merasa gerogi sendiri saat tangannya digenggam erat oleh Alex. Bahkan Adeeva benar-benar tidak kuasa untuk tersenyum. Ia dari tadi mengulum senyumnya sekuat m
Hari ini Ryan harus kembali ke Indonesia meninggalkan Adeeva sendirian. Ada rasa khawatir di relung hatinya. Ryan takut jika Adeeva disakiti lagi oleh begundal Leonel.“Kamu yakin sendirian? Biar nanti Ayah telepon asisten Ayah buat ubah jadwal lagi.”“Adeeva yakin kok, Yah. Jadi tenang saja, ya.” Adeeva terus menyakinkan Ryan jika dirinya baik-baik saja sendirian di sini. Terlebih Adeeva tidak takut jika harus menghadapi Leonel lagi. Lagian kalau Adeeva amati jika Leonel hanya pria rapuh yang terkejut mengetahui berbagai berita mendadak terus menerus. Adeeva bisa memaklumi.Ryan mengembuskan napas dengan kasar. Ia pun akhirnya pamit pergi dari hotel. Adeeva niatnya ingin mengantar sampai bandara, tapi Ryan menyuruhnya untuk istirahat saja agar tidak terlalu capek.Saat sudah pamitan dan pelukan cukup lama dengan Ayahnya. Kini, Adeeva pun keluar hotel menuju ke salah satu toko tas untuk membeli koper kecil. Apalagi saat menuj
Tiba di Barcelona, baik Adeeva dan Ryan sama-sama diam saja meski dalam hati tak karuan melihat Leonel yang datang bersama Elizabeth. Bahkan dalam hati Ryan ingin menonjok pria bule itu yang sudah tega dan jahat mempermainkan perasaan anaknya sampai separah ini. Dulu meski ia playboy tapi tidak sejahat Leonel. Gonta-ganti pasangan sebelum memiliki status itu hal yang sangat wajar, tapi setelah memiliki komitmen dengan Kiki, ia berusaha setia dan menjaga komitmen itu sendiri.Lain hal dengan Adeeva yang tampak masa bodoh dengan kehadiran mantan suaminya. Tujuan Adeeva ke sini hanya untuk menjalankan wasiat mendiang Marinka. Terlebih pemakaman akan dilakukan setelah Adeeva dan Leonel bisa hadir.Mengingat kedua orang itu sudah hadir membuat prosesi pemakaman segera dilakukan. Saat tiba di sana, Adeeva meletakkan foto Marinka, dan disusul dengan Leonel yang menaruh bunga di atas batu nisan.“Mom, kuyakin kau perempuan baik. Pasti Tuhan akan menempatkanmu di s
Mendengar cerita sang anak membuat Ryan sedikit khawatir jika ada teroris yang masuk ke kafenya. Ia pun berniat akan ikut memantau kafe secara langsung, tapi kalau pagi ia harus bekerja.“Ayah dengar begitu jadi khawatir.”“Khawatir kenapa?”“Takut dia teroris.”“Makanya jangan keseringan nonton berita gitu ah, jadi parno sendirikan?” omel Kiki.Pasalnya akhir-akhir ini Ryan lagi suka nonton berita tentang terorisme hingga otaknya merasa ke distrak.Kiki yang melihat sang suami suka parno langsung mengomeli agar tidak memperkeruh suasana. Terlebih Adeeva baru saja sembuh dan mulai melupakan bayang-bayang mantan suaminya. Jika dibebankan berita berat seperti ini ngerinya akan menambah beban pikiran.“Kayaknya bukan, deh. Soalnya itu cowok kayak manusia galau gitu. Ngelamun aja seperti orang habis putus cinta gitu.”“Nah, kalau ini Bunda setuju. Siapa tahu itu cowo
Adeeva pun akhirnya maju, dan menyapa seramah mungkin kepada customernya. Adeeva tersenyum simpul yang membuat orang itu tetap menatap kosong dan mengabaikan keberadaannya.“Pagi, Kak. Kakak mau pesan apa?” tanya Adeeva, ramah.Merasa tidak dijawab membuat Adeeva merasa kesal sendiri karena keberadaannya dianggap hantu? Adeeva pun memejamkan mata dan menahan napasnya meski dalam hati kesal diabaikan seperti ini.“Kita ada menu spesial jika Kakak membeli dua por—““Buatkan semuanya.”“Hah! Apa, Kak?”“Kamu budeg, ya? Buatkan semua menu di sini. Tidak usah banyak tanya lagi. Kamu pasti pelayan baru di sini makanya tanya menu pesananku,” cerocosnya yang membuat Adeeva kesal sampai ke ubun-ubun.“Baik, Kak.”Adeeva langsung berlalu pergi dengan wajah masamnya. Ia melempar buku note kecil ke arah Zia. Adeeva langsung mendengkus sebal karena ini masih jam s