Luna beserta beberapa orang yang ikut ke kantor polisi tiba di gedung tinggi pencakar langit, sekitar pukul tiga sore. Reza yang mendengar cerita dari beberapa orang tentang sang Bos yang diserang oleh Andrew membuat Reza cemas dan menunggu di depan ruang kerja Luna. Sampai akhirnya, Luna bersama sekretarisnya tiba di lantai 7 tempatnya berkantor, sedangkan Reza sendiri bersama beberapa staf bagian marketing berada di lantai 8.
“Sore Bu Luna, bagaimana kondisi Ibu?” tanya Reza berdiri dari kursi yang berada di depan ruang kerja Luna.“Baik,” ucap Luna singkat.“Syukurlah..., untung saja saya nggak jadi menghubungi Pak Subroto. Karena beberapa kali saya hubungi Ibu nggak di angkat,” ujar Reza selaku HRD pada perusahaan tersebut.“Pak Reza, lain kali jangan punya pikiran untuk hubungi Pak Subroto..., Bapak tau sendiri kan, kondisi Pak Subroto lemah,” pinta Luna tanpa memandang ke arah Reza masuk ke dalam ruang kerjanya.Tak lama kemudian, sekretaris Luna yang ikut masuk ke ruang kerja Luna memanggil HRD dan sekuriti yang masih berada di depan ruang kerja Luna.Kedua lelaki yang bekerja pada perusahaan tersebut pun, masuk ke dalam ruangan kerja Luna yang telah tampak rapi. Karena usai penetapan tersangka dan garis polisi dilepas, cleaning service merapikan ruang kerja yang agak berantakan usai terjadi peristiwa di dalam ruangan tersebut.“Silakan duduk,” pinta Luna dari meja kerjanya mempersilakan kedua stafnya duduk pada bangku khusus tamu.Setelah itu, Luna beranjak dari tempat duduknya berjalan menuju ruang tamu pada ruang kerjanya dan duduk di sofa tunggal bagian tengah. Sementara, sekretaris Luna, menyiapkan minuman untuk ketiganya setelah itu keluar dari ruangan tersebut untuk menghubungi beberapa kolega yang batal bertemu dengan Luna, selalu CEO perusahaan tersebut“Baiklah..., di sini akan saya sampaikan pada Pak Imron, untuk lebih berhati-hati lagi menerima tamu yang akan bertemu dengan saya. Jadi, mulai sekarang ... Setiap tamu harus menyerahkan kartu identitas diri. Lalu, hubungi sekretaris saya. Jangan biarkan tamu tersebut masuk sebelum ada konfirmasi kepastiannya. Paham yaa?” tanya Luna memandang ke arah Reza selaku HRD dan Imron selaku sekuriti.“Siap Bu,” jawab Imron sambil menganggukkan kepalanya. Begitu juga dengan Reza.“Untuk Pak Reza, tolong dibuatkan aturan baru untuk penerimaan tamu pada setiap bagian,” perintah Luna pada HRD.“Siap Buu...,” jawab Reza kembali.Tak lama kemudian, terdengar dering ponsel Luna yang diletakkan di meja kerjanya. Luna meninggalkan tempat duduknya dan melangkah panjang menuju meja kerjanya dan meraih ponselnya. Terlihat nama Subroto pada bagian depan layar ponselnya. Kemudian, Luna pun menjawab panggilan tersebut.“Halo ... Pa...,” sapa Luna pada sambungan ponselnya.“Luna, apa yang terjadi sama kamu? Tadi Om kamu cerita, kalau lelaki jahanam itu ke kantor dan buat keributan di sana. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Subroto dalam sambungan telepon dengan intonasi panik dan terdengar suaranya tampak melemah.“Luna baik-baik aja, jadi Papa tenang aja..., malah sekarang ini Luna sama Pak Reza dan sekuriti lagi membahas masalah keamanan di kantor,” tutur Luna meyakinkan Subroto yang terdengar panik atas kondisi dirinya.“Oh, syukurlah..., apa bisa Papa bicara dengan Reza sebentar?” tanya Subroto berbicara dengan suara pelan.Mendengar permintaan Subroto, Luna memberikan ponselnya pada Reza yang duduk bersebelahan dengan Imron.“Pak Reza, ini Pak Subroto mau bicara,” ujar Luna memberikan ponselnya. Setelah itu, Reza pun berbicara dengan Subroto dalam sambungan ponsel Luna.“Sore Pak, apa kabar?” sapa Reza.“Reza..., aku saat ini sedang menuju rumah sakit bersama Dicky. Tapi ... Tolong jangan katakan hal ini pada Luna, karena aku kasihan pada dia yang baru merasakan shock berat. Apalagi saat ini aku merasa bagian pinggangku terasa sangat sakit. Tolong, segera temui aku di rumah sakit Bhakti Rahayu,” ujar Subroto pelan.“Baik Pak...,” jawab Reza menutup ponsel tersebut dan memberikannya pada Luna.Setelah itu, Reza yang diminta untuk tidak mengatakan pada Luna atas sakitnya Subroto dan sedang dibawa ke rumah sakit, mematuhi permintaan sang bos besarnya. Kemudian lelaki tampan itu, meminta izin pada Luna untuk keluar dari ruang kerjanya.“Maaf Buu ... Saya permisi dulu. Ada pekerjaan penting yang harus saya kerjakan,” izin Reza sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.“Silakan Pak Reza. Tolong nanti segera buat peraturannya. Biar saya bisa lihat dan kalau perlu di revisi agar bisa secepatnya di revisi,” pinta Luna.Setelah itu Reza pun beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruang kerja Luna. Dan dengan berlari kecil Reza menuju lift untuk membawanya ke lantai dasar.Sesampai di Lobby, Reza tergesa-gesa keliar dari pintu kaca menuju tempat parkir. Sesaat kemudian, mobil yang dikendarai oleh Reza pun keluar dari area gedung bertingkat 21 menuju rumah sakit Bhakti Rahayu.Selama dalam perjalanan, Reza selalu berdoa dan berharap kalau keluhan Subroto atas bagian pinggangnya yang sangat terasa sakit itu, bukan suatu penyakit yang mematikan. Karena, selama ini Subroto telah begitu banyak membantu kehidupan Subroto dan keluarganya.Satu jam kemudian, Reza pun sampai di rumah sakit Bhakti Rahayu dan mencari Subroto yang tengah ditangani di ruang UGD ditemani oleh Dicky yang menjadi ajudannya sejak Subroto menjabat sebagai CEO dari perusahaan yang saat ini dipegang oleh Luna.“Bagaimana Pak? Apa semua baik-baik saja?” tanya Reza saat bertemu dengan Subroto.Dengan wajah pucat, Subroto pun berucap, “Semua tidak baik-baik saja Reza. Hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan aku gagal ginjal. Maka aku harus melakukan cuci darah terus menerus,” urai Subroto dengan suara lemah.“Ya Allah...,” ucap pelan Reza dengan wajah sedih memegang tangan Subroto yang telah berjasa bagi kehidupan keluarga mereka.***Selama tiga bulan, Subroto bolak balik ke rumah sakit untuk menjalani cuci darah dan mencari donor ginjal yang cocok dengannya. Walaupun Luna ingin mendonorkan ginjalnya, namun tidak ada kecocokan dengan Subroto sehingga, Luna yang mengetahui kondisi Subroto yang kian melemah kian kuatir atas jiwa papanya.“Papa..., kita coba berobat keluar negeri saja ya?” bujuk Luna pada saat Subroto harus masuk ruang ICU untuk ke sekian kalinya.“Sayang..., Papa nggak mau wafat di luar negeri. Biar Papa tetap di sini,” lirih Subroto.“Papa ... Jangan bicara seperti itu. Jangan tinggalkan Luna, Pa...,” tangis Luna saat melihat kondisi Subroto yang kian melemah.Lalu, di saat kondisi Subroto kian melemah, lelaki berusia 60 tahun itu pun, berbicara pada putrinya dengan suara lemah.“Luna ... Papa ingin melihat kamu menikah, sayang. Papa ingin ada lelaki baik yang kelak akan melindungi kamu dan Papa juga ingin kelak, ada penerus atas apa yang ” ucap Subroto lirih.“Papa ... Bagaimana Luna bisa menikah? Sampai saat ini aja Luna belom punya teman dekat. Luna juga takut kalau sampai salah memilih,” ujar Luna di antara tangisnya.Lalu, di antara sadar dan tidaknya, Subroto yang masih di ruang ICU pun, berucap pada putrinya, “Luna..., apa kamu keberatan jika menikah dengan Reza? Memang Reza telah beristri. Tapi, kalau saja istrinya setuju Papa ingin dia jadi pendamping hidup kamu. Papa lihat, dia adalah lelaki baik, Luna. Kelak kamu akan punya anak yang baik juga, karena bibit kebaikan Reza akan menjadikan anak-anak kalian baik juga.”Mendengar permintaan Subroto yang tak masuk akal, Luna hanya terdiam. Luna berpikir sangat mustahil jika Reza yang telah beristri dan punya anak akan menerima permintaan papanya. Sekalipun, Luna tahu kalau Subroto sangat baik dan memberi perhatian lebih pada lelaki jujur seperti Reza. Namun, masalah hati tidak akan bisa dibeli, pikir Luna.“Luna ... Jika ternyata Reza menerima tawaran Papa, apa kamu mau menikah dengan Reza?” tanya Subroto kembali.“Ya Pa ... Tapi, Papa harus sehat yaa...,” jawab Luna dalam kebingungan.“Papa janji akan berjuang melawan penyakit ini, asal kamu menikah sayang...,” pinta Subroto kembali.Setelah itu, kesepakatan antara Subroto dan Luna pun terjadi di ruang ICU di saat Subroto sedang berjuang dari kondisi kritisnya. Luna yang yakin jika Reza menolak permintaan Subroto mengiyakan apa yang jadi keinginan papanya. Di samping itu, Luna juga percaya kalau Reza adalah lelaki baik yang telah dipantau selama ini oleh Subroto. Hanya saja yang jadi kendala adalah istri Reza yang belum tentu menyetujui keinginan dari Subroto.Bab 51 : Sentuhan Devan Devan yang merasa ada kejanggalan pada pertemuannya dengan Silvi langsung menarik tangan Regina adiknya. “Kamu yang sengaja minta Silvi ke sini kan?” “Apa sih maksud Kakak? Aku nggak ada hubungi kak Silvi. Memang nggak boleh kalau orang ke Mal dan ketemu sama Kakak?!” tanya Regina kesal.“Dengar! Kakak tahu kalau kamu nggak suka sama Luna. Tapi, bukan berarti kamu bertindak seperti ini!” bentak Devan pada adiknya.Silvi yang melihat Regina terus dibentak di muka umum langsung meraih tangan Regina dan memeluknya seraya berucap, “Devan..., kamu itu memfitnah adimu di depan umum. Memang salah kalau aku bertemu kamu di tempat umum? Jangan salahkan Gina dong.”Devan memandang tajam ke arah Silvi dan berkata, “Ya bisa jadi kamu yang minta adikku untuk melakukan pertemuan yang nggak jelas seperti ini. Karena adikku nggak punya pemikiran picik seperti kamu!” tuding Devan yang saat ini tengah stres menunggu keputusan Luna dan merasakan kerinduan pada diri Luna.“Kamu
Regina yang punya rencana untuk mempertemukan Devan dan Silvi, tampak telah berdandan rapi. Regina keluar dari kamarnya dan mengetuk pintu Devan. Tok ... Tok ... Tok ... “Kak Devan ... Kak, jadi kita keluar kan? Kak...,” panggil Regina diluar kamar Devan. Tidak mendapat tanggapan dari sang kakak, membuat Regina membuka pintu kamar Devan dan mendapati sang kakak tertidur pulas hingga Regina pun membangunkan Devan. “Kakak! Bangun...! Gimana sih..., ngomongnya mau jalan keluar,” rajuk Regina mengguncang-guncangkan tubuh Devan. Dengan memicingkan matanya dan menggeliat kan tubuhnya Devan memandang ke arah sang adik yang duduk disisi tempat tidurnya dan bertanya padanya. “Ada apa sih, Gina...” “Tadi Kakak ngomong mau jalan keluar. Ayolah Kak..., sekarang udah jam 6 sore. Cepatlah Kak...,” ujar Regina memandang wajah tampan sang kakak yang sesekali menguap. “Udahlah besok aja Gina..., Kakak lagi malas nih,” jawab Devan menolak ajakan adiknya. Mendengar jawaban Devan jelas mem
Devan yang pulang ke rumahnya, disambut oleh Amrita dan diberondong oleh banyak pertanyaan perihal hubungan putranya dengan Luna yang kini telah hamil. “Gimana kondisi Luna, Devan...? Apa dia baik-baik aja? Apa dia muntah-muntah?” Tanya Amrita ketika melihat Devan dan duduk di meja makan. “Luna baik Ma. Dia sudah pulang ke rumahnya. Hmmm..., sepertinya dia ingin tenang dan katanya Dev nggak usah ke rumahnya. Kalau ada apa-apa nanti dia yang akan hubungi Devan,” ucap Devan terdengar sedih. “Kok begitu? Apa dia marah sama kamu? Bukankah selama ini kamu terus yang menjaga dia?” tanya Amrita. “Dia nggak marah. Mungkin ingin lagi sendiri aja...,” jawab Devan kembali. Amrita menganggukkan kepalanya sementara adik Devan yang bernama Regina, menyambut kedatangan sang kakak ke rumah dengan bahagia karena, Regina yang sejak awal tidak setuju sang kakak menikahi Luna, diam-diam mencuri nomor telepon Silvi dan beberapa kali bertemu di luar dengan teman kampus kakaknya. Bagi Regina, Luna
Luna berjalan menuju kamar Subroto. Perlahan ia membuka pintu kamar sang papa. Terlihat Dicky sang ajudan duduk pada sebuah kursi di sebelah tempat tidur Subroto. Dengan langkah pelan, Luna menghampiri Dicky yang terlihat tertidur dalam duduknya. Namun, saat Luna kian mendekati tempat tidur Subroto, secara refleks Dicky langsung berdiri dan sigap memandang ke arah langkah Luna yang perlahan. “Maaf Non Luna, saya pikir siapa,” tutur Dicky mengangguk kecil dan menarik kursi yang tadi didudukinya saat berada di sisi Subroto. “Gimana kondisi Papa, Pak?” tanya Luna menatap lurus pada Subroto yang menggunakan selang oksigen dan terlelap dalam tidurnya. “Dua hari ini Tuan agak sesak napas. Sepertinya Tuan terlalu berpikir keras atas diri Nona. Semalam sama sekali Tuan tidak bisa tidur. Karena itu, mengalami sesak napas.” Dicky melaporkan kondisi Subroto. Luna yang melihat kondisi Subroto kian melemah duduk di sisi tempat tidur sang papa dan memegang jemari tangan yang kian tak berisi
Hari ini adalah hari terakhir, Luna berada di rumah sakit. Wanita cantik yang tengah hamil muda itu telah pulih dan sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Devan dengan keluguannya bertanya pada Luna.“Luna, lebih baik kamu jangan turun dari tempat tidur. Aku takut terjadi sesuatu hal dengan dirimu,” pinta Devan.“Dev, santai aja. Kalau infus ditangan sudah dilepas berarti aku udah bisa jalan dan semua akan baik-baik saja,” ucap Luna yang bangun dari tempat tidur.Namun saat kaki jenjangnya akan menyentuh tanah, Devan lalu mencegahnya, “Stop. Kamu mau kemana? Luna ... Serius aku nggak akan membiarkan kamu jalan kemana pun.”“Ya ampun Dev. Aku mau ke kamar mandi. Aku udah diperbolehkan jalan. Udah, kamu tenang aja,” jawab Luna tetap menurunkan kakinya.Namun, tiba-tiba Devan meraih tubuh Luna dan membawanya ke kamar mandi di rumah sakit tersebut dan meletakkan wanita cantik tersebut tepat di depan kloset kamar mandi.“Dev! Kamu ini terlalu lebay!” sungut Luna saat Devan telah menurunkann
Setelah dua minggu berlalu, Luna yang tengah mengisi waktu dengan kedua sahabatnya, Arumi dan Cyntia di sebuah pusat perbelanjaan terbesar itu tiba-tiba terkulai lemah, hingga membuat dua orang sekuriti untuk membopong tubuh Luna, yang tampak antara sadar dan tidak serta nyaris ambruk jatuh ke lantai Mal tersebut. Untung saja seorang lelaki muda dan menyadari Luna yang terjatuh, secara refleks meraih tubuh Luna dan menahannya untuk tidak sampai terjerembap ke lantai Mal tersebut. Seketika suasana Mal yang ramai pengunjung tersebut ramai. Dan salah seorang pengunjung lainnya yang baik memberitahu sekuriti di Mal tersebut hingga mereka dengan cepat tanggap mengevakuasi tubuh Luna yang lemas.“Pak! Tolong bawa ke Lobby! Sekarang saya akan ambil mobil!” teriak Arumi meminta tolong dan berlari menuju lift untuk ke tempat parkir mobil.Sementara Cyntia memegang tas Luna dan mengikuti langkah kedua orang sekuriti dan seorang anak muda yang membantu Luna saat akan terjatuh menuju lift dengan
Satu bulan kemudian, Devan pun menepati janji dengan mengemasi pakaiannya ke dalam tas gendong. Kala itu jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Terlihat, Luna masih tertidur nyenyak usai pergumulan hari ketiga puluh antara ia dan Devan. Dan lelaki muda tampan itu memberikan kenikmatan berulang kali hingga jam menunjukkan pukul 2 dini hari.‘Sebaiknya, aku tinggalkan aja sepucuk surat untuk Luna sebagai salam perpisahan terakhirku. Semoga saja, bulan depan Luna hamil,’ bisik Devan dalam hati.[Teruntuk Luna : Terima kasih untuk 30 hari yang indah bersama kamu. Terima kasih untuk bantuannya pada keluargaku. Kelak, aku akan jadi lelaki yang membanggakan keluargaku dan dirimu. Luna, tolong kabari aku jika, akhirnya kamu hamil, harapku]Diletakkannya kertas yang telah ditulisnya di meja rias Luna. Kemudian, Devan keluar dari kamar Luna. Sesampai diluar kamar, dilihat Darsi pembantu di rumah mewah itu tengah membersihkan ruang keluarga. Kemudian Devan bertanya pada pembantu rumah tangga terseb
Sesampai di rumah, Luna yang kesal dengan sikap Devan yang tak jujur padanya langsung masuk ke dalam kamarnya, usai bertandang ke kamar Subroto sang papa yang dilihatnya tengah terlelap. Di dalam kamarnya, Luna sejenak termangu dan memikirkan hubungan yang telah hampir dua minggu berjalan bersama Devan.Dalam hati Luna berbisik lirih, ‘Apa sebaiknya aku lepas aja Devan ya? Uhm..., sepertinya aku harus ikuti cara Cintya untuk punya anak. Bukankah, untuk memiliki anak yang punya karakter baik dan cerdas, tergantung dari benih aku? Seperti yang aku baca, bibit kecerdasan dan kebaikan dari anak yang akan dilahirkan 80 persen, tergantung dari ibunya. Berarti, semua tergantung aku dong? Ya sudahlah ... Setelah, aku bantu lunasi hutang kak Rita. Aku putuskan untuk berpisah dengan Devan.’Tok ... Tok ... Tok ... “Luna ... Luna ...,” panggil Devan dari luar kamar Luna.“Ya, ada apa?” tanya Luna terkejut dengan ketukan pintu dari luar kamarnya.“Luna, tolong buka pintunya. Aku mau bicara,” pin
“Kak ... Tunggu! Kak!” Pekik kembali wanita muda dengan menghalangi langkah Luna bersama kedua sahabatnya menuju mobil mereka.Arumi dan Cintya yang melihat wanita muda yang sejak awal bersama Devan dan berbicara serius di parkir sepeda motor lelaki tampan itu pun langsung merespons ucapan wanita cantik jelita tersebut.“Awas! Cantik-cantik kok gatel sih? Asal lo tau ya, lelaki yang tadi sama elo, laki teman gue! Paham lo?!” hardik Cintya yang lebih judes dari Luna ataupun Arumi.“Kak, aku paham ... Karena itu, aku mau jelaskan salah paham ini,” ujar wanita cantik itu dengan mencakupkan kedua tangannya memohon waktu pada Luna.“Eh! Nggak usah ya lo menjelaskan apa yang udah gue liat pakai mata kepala kita. Napa sih, elo pakai susah-susah menjelaskan yang usah terlihat? Udah sana jangan halangi langkah teman gue!” sengit Arumi menarik tangan wanita muda yang menghalangi langkah Luna.“Aduh! Sakit kak tanganku...,” keluh wanita muda tersebut memegangi lengannya dan kembali bergeming di