Bunyi notifikasi whatsapp menghampiri. Kulihat foto profil seseorang yang dulu memblokir nomorku, mengirim pesan. 'Yas,' tulisnya. Duh, mau apa lagi sih si Refan. Bukannya dia bisa lihat sendiri kalau sekarang aku udah nikah. Jangan-jangan dia iri lagi, karena suamiku tuh lebih segala-galanya dari dia. Hahay... akhirnya kalah juga kamu kan, Re. Demi harga diri yang pernah terinjak-injak olehnya, aku pun mengabaikan pesan itu tanpa membalasnya. 'Kok nggak di balas? Kan udah di baca?' Pesan baru muncul. Bodo amat! Aku kembali mengabaikannya. Tak lama terdengar suara dering panggilan. Huft... "Apa sih? Nggak ada angin nggak ada ujan tiba-tiba nelpon? Kurang kerjaan, ya?" cerocos bibir seksiku setelah menerimanya. "Nanya kabar dulu kek, Yas," sahutnya dari seberang sana."Udah deh nggak usah basa-basi, mo ngapain kamu? Mo pamer, kalo istri kamu bunting lagi, atau kamu beli rumah baru lagi, naik jabatan? Dapet bonus? Pamer aja di sosmed, Re. Selalu lewat kok di berandaku. Jadi nggak
Zein? Duh, ngapain lagi dia di sini? Apa dia nggak punya uang lagi, buat bayar makan siang sendiri? Mana muka nya garang lagi. Zein pun semakin mendekat dan menyentuh lenganku. "Makan siang di kantin aja!" Dia menarik lenganku, dan nggak tau, kenapa aku nurut. Kami jalan beriringan dengan tangannya masih menggenggam tanganku hingga keluar dari kafe. So sweet banget nggak sih. Namun sejurus kemudian dia berhenti, begitu mendengar suara Refan. Oh, no. Mau apa dia?"Sopan dong, Bro. Main bawa-bawa aja. Punya tata krama, kan?" celanya. Oh, shit. "Kayanya yang nggak punya tata krama itu kamu. Berani-beraninya ngajak ketemuan istri orang." Ouch... good people!"Oh, jadi suaminya Tyas. Biasa aja dong. Nggak usah terlalu bangga," sindirnya. Oh, shit! Apa maksud si Refan ngomong kek gitu sama Zein? Apa dia mau membeberkan apa yang pernah kami lakukan dulu? Nggak boleh! Zein nggak boleh tau tentang kebobrokan sikapku dulu. Aku nggak mau nantinya dia membenci dan jijik melihat wanita kotor
Kami sampai di rumah dan masuk ke kamar masing-masing. Aku mengunci diri agar Zein nggak bisa ngeliat aku yang sedang menangis. Aku jadi menyesal karena tadi bersikap cuek sama dia, dan lebih memilih ketemuan sama Refan. Zein pasti udah mikir kalau ternyata aku ini bukan perempuan baik-baik. Sejak awal, Zein emang nggak pernah nanyak alasan kenapa aku harus menikah kontrak dengan dia. Mungkin karena emang lagi butuh uang, apapun alasannya dia pasti terima. Lagi pula, aku kan udah membayarnya. Harusnya masalah itu jadi urusanku dan bukan urusan dia. Ah, terserahlah. Perduli amat tentang pemikiran dia sama aku. Tuk tik tak tik tuk.Terdengar suara ketukan dari pintu. Aku lagi males ketemu sama Zein. Mending pura-pura tidur aja. "Yas... Makan malam yuk!" ucapnya lembut. Aku diam tak menjawab. Tak lama dia memanggil lagi. "Yas.""Tyas.""Istriku?"Hish... berisik amat sih. "Raden Roro Diningtyas?"Mau apa lagi sih dia. "Kamu udah tidur, Yas?""Udah," sahutku spontan. Lalu tersadar
Alarm kukkuruyukku kembali berbunyi. Aku terbangun dengan selimut masih menutupi tubuh polosku yang super aduhai ini. Beruntung sekali itu cowok bisa lihat dengan gratis. Maksa lagi. Kulihat Zein udah nggak ada di sampingku. Dasar cowok nggak ada akhlak. Main ngilang gitu aja, setelah apa yang dia lakukan. Awas aja, bakal aku laporin polisi dia, biar kapok. Aku keluar menuju dapur setelah merasakan segarnya keramas pagi-pagi. Kulihat Zein lagi-lagi telah selesai menyiapkan sarapan seperti biasa untuk kami nikmati. Aroma sampo dari rambutnya mengalahkan wangi teh melati yang ada dihadapanku kini. "Pagi, Sayang," sapanya, sok mesra. "Pagi, Seyeng... ," ucapku menirukan ucapannya dengan bibir bawah yang kumajukan biar tambah seksi. "Sinis amat. Masih kurang, yang tadi malam?""Hih, berisik tauk! Awas ye, tunggu aja pembalasanku," ancamku. "Lho, kamu mau balas menodai aku? Kapan?""Hish... Zeeiiin... Bisa diem nggak!" "Iya, iya. Aku diem. Nggak akan ngelawan," sahutnya sembari dud
Tapi udah lewat sepuluh menit, dia belum juga muncul. Apa, lagi banyak pekerjaan? Atau jangan-jangan, dia udah nggak perduli lagi gara-gara udah mendapatkan apa yang dia mau. Hish.. awas aja ya kalo sampek berani melanggar kontrak dan ninggalin aku. Aku bergegas keluar. Mencari-cari keberadaannya. Ini anak kok hobi nya menghilang terus sih. Cari-cari perhatian aja."Pak Zein mana, Gus?" tanyaku pada klining servis yang sedang berseliweran mungutin sampah."Barusan saya lihat di luar, Buk. Sama cewek. Eh," Dia spontan menutup mulutnya.Hatiku langsung terbakar, gosong. Baru aja pagi tadi dia mesra-mesraan, hari gini udah main gilak? Ou, mau macam-macam ya! Aku meninju telapak tanganku sendiri. "Udah, Gus. Nggak usah ditutup mulutnya. Saya udah denger. Percuma di tutupin. Mending kumur-kumur aja!" ucapku kesal. Aku bergegas menuju keluar. Dengan gaya rotasi, mataku berkeliling mencari jejak jejak keberadaannya. Dan di situlah dia. Ketemu juga kamu ya, Zein. Eiitt, tar dulu. Bukannya
"Kamu jangan marah ya, Yas?" pintanya, saat kami baru saja sampai di ruanganku. Aku menghentakkan bokong seksi berisi ke singgasanaku, dengan wajah kesal."Ngapain kamu ngasi tau dia, kalau kamu kerja di sini? Mo pamer? Kalau sekarang kamu kerja kantoran. Terus orang tuanya suka, dan nerima kamu lagi buat jadi mantunya. Gitu?" Aku membuang muka. Kesal. Benar-benar kesal! "Nggak mungkin lah. Buat apa?""Terus? Kok dia bisa tau? Ouh... masih telpon-telponan?""Jangan nuduh sembarangan, Yas. Mana mungkin aku kek gitu. Gini-gini, aku tipe setia tau!""Terus, dia tau dari mana?""Katanya dia main ke rumah. Ngobrol-ngobrol sama Ibuk dan Zahra. Pasti mereka yang ngasi tau, kalau sekarang aku kerja di sini.""O.. o o o... " Aku membulatkan bibirku. "Jadi udah akrab nih? Sering di ajak ke rumah?" Aku mulai sewot. Hareudang."Itu kan dulu, Yas. Waktu masih pacaran.""Ibuk sama adik kamu, suka sama dia?""Ya gitu deh. Bela langsung bisa dekat sama mereka, sejak pertama kali aku kenalin.""Oh,
Sebenarnya aku malas, tapi tentu aja aku nggak mau mantan pacar suamiku mengambil posisiku di rumah kumuh itu. Ibu dan adiknya harus tau, bahwa akulah menantu di rumah mereka. Duh, pasti begitu aku melangkahkan kaki di depan pintu, mereka langsung histeris dan menyambutku. Bisa-bisa, semua warga kampung di undang untuk merayakan kedatanganku. Mereka pasti bangga, dan sudah pamer sana sini, bahwa anaknya yang tampan, tapi kere ini menikahi seorang wanita cantik, terpelajar, dan keturunan ningrat pula. Pasti aku selalu dielu-elukan. Lain lagi adiknya yang bernama Zahra itu. Matanya pasti akan berbinar-binar melihat pakaianku yang sangat modis ini. Apalagi sepatu, tas dan asesoris yang kupakai saat ini begitu berkelas. Kujamin seribu persen, air liurnya akan menetes, dan merengek minta dibelikan. Hish, dasar benalu. Bisa-bisanya mau morotin kakak ipar aja. Sori-sori ye. Ibu atau adiknya Zein nggak akan dapat a-pa-a-pa.Tak lama, kami pun sampai di sebuah rumah sederhana. Ya, sederhan
Eh, kok kebalik?"Apa ini?" sahutku, menerima pemberiannya. "Hadiah buat Mbak Tyas. Kemarin mau Zahra kasi pas nikahan. Kata temen Zahra, ini kado terbaik buat pengantin baru. Eh, nggak taunya belum nyampek-nyampek pas hari H nya.""Kamu pesan online?""Iya, Mbak. Kirain habis nikah, Mbak Tyas sama Mas Zein mau main ke sini. Tapi kata Mas Zein, dianya agak sibuk. Makanya baru sempet ngasi sekarang. Diterima ya, Mbak?"Aduuuh...ini adek sama abang kok baik banget sih. Bukannya mau minta, malah ngasi. Eh, tapi ini bukan umpan supaya aku terpancing, kan? Tak lama Zein masuk."Ya udah deh, Mbak. Zahra keluar dulu, ya.""Makasih...." sahutku manja. Dia pun keluar meninggalkan aku dan Zein berduaan di kamar. Mana pintunya di tutup lagi. Bikin deg-degan aja."Apa itu, Yas?""Tauk! Dikasi Zahra nih.""Buka dong. Atau mau aku yang bukain?" ucapnya dengan nada menggoda. Iyyuh... cari kesempatan banget pas lagi berdua. "Jangan macem-macem deh Zein. Nanti aku teriak nih!" Aku pura-pura mengan