Share

Terdesak Kebutuhan

Author: DV Dandelion
last update Last Updated: 2023-02-21 17:00:54

Bagi Sabrina, malam adalah waktu yang dingin lagi menyesakkan. Tiada lagi pelukan hangat sang suami yang senantiasa membisikkan kata-kata cinta. Malam menjelma menjadi gulita yang mengantarkan misteri demi misteri kepedihan esok hari.

Setelah Alifa tidur, Sabrina beranjak ke ruang depan. Di sana teronggok sebuah mesin jahit tua. Ada banyak kain perca dalam bungkusan plastik di sebelahnya. Dahulu, Sabrina pernah mengikuti kursus menjahit dasar. Dia sengaja membeli mesin jahit bekas untuk memperbaiki baju suami dan anaknya.

Karena sudah berjanji, Sabrina hendak begadang demi membuatkan baju untuk Alifa. Dia memilih beberapa lembaran perca polos ditambah sedikit perca motif bunga, lalu menjahitnya sesuai ukuran Alifa.

Suara khas mesin jahit menderu-deru, mengisi keheningan malam. Setelah potong, tempel, dan jahit sana-sini, jadilah sebuah kerudung biru muda dengan hiasan motif bunga di bagian ujung dan tali, juga hiasan renda di lingkar wajahnya.

Sabrina tersenyum. Dia membayangkan, esok hari anaknya akan mematut kerudung di depan cermin sambil berputar layaknya putri kerajaan.

Menyadari hasil jahitannya masih serapi dulu, terbersit keinginan untuk membuka jasa jahit di rumah. Di siang hari, dia akan menjadi driver ojol. Pesanan jahit dan permak baju akan dia kerjakan pada malam harinya.

Sabrina lagi-lagi tersenyum. Dia sadar, menjadi ibu tunggal tidak akan mudah. Namun, dia akan mengusahakan yang terbaik untuk anak semata wayangnya.

***

"Gimana, sih, Bu! Kok jahitannya enggak rapi?" protes salah satu pemakai jasa jahit Sabrina. Ia membentangkan baju kebaya seragaman yang rencananya akan dipakai pada pernikahan keponakannya.

"Bagian sini berkerut. Yang ini enggak lurus. Terus ini ada serabut benang juga," lanjutnya sambil menunjuk beberapa bagian yang menurutnya tidak sesuai ekspektasi.

Wanita berjilbab ungu tersebut mengamati bagian-bagian yang ditunjuk. Sebenarnya tidak terlalu parah, baju itu masih bisa dipakai karena bagian yang dikomplain letaknya tersembunyi. Namun, demi kepuasan pelanggan, Sabrina menawarkan itikad baik.

"Aduh ... Mohon maaf atas kelalaian saya, Bu Sinta. Saya coba perbaiki, ya."

Dia terlalu terburu-buru menyelesaikan pesanan itu karena terdesak kebutuhan. Jika jahitan itu selesai, dia akan mendapatkan bayaran yang bisa dipakai untuk melunasi hutang ke tukang sayur tempo hari.

"Enggak usah, deh. Waktunya udah terlalu mepet. Saya bawa ke tukang jahit langganan aja."

Dia merebut kebaya tersebut dengan kasar. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Sabrina makin merasa tak enak hati. Sekali dia mengecewakan pelanggan, seterusnya mungkin dia tidak akan mau memakai jasanya lagi.

"Begini saja, Bu. Karena ini kesalahan saya, saya kembalikan saja uang Ibu. Nanti bisa dipakai untuk bayar vermak di sana."

Pelanggannya itu menarik bibir ke satu sisi, seperti senyum meremehkan.

"Kalau saya tega, sih, sebenarnya saya mau mau aja terima uangnya. Tapi enggak usah lah, itung-itung sedekah buat anak yatim."

Hati Sabrina terasa perih. Dia tidak suka dikasihani. Dia ingin menafkahi anaknya dengan rezeki yang halal dan baik. Lagipula dia sudah menawarkan perbaikan, tetapi Bu Sinta sendiri yang menolak. Sabrina hanya bisa terdiam menyaksikan kepergian pelanggannya.

Alifa mendekati Sabrina dengan wajah murung. Meski tidak sepenuhnya memahami perkataan orang dewasa, dia tahu kalau ibunya sedang bersedih.

"Mama habis diomelin, ya?"

Sabrina mendongak sebentar untuk menahan air matanya jatuh.

"Enggak apa-apa, Sayang. Kamu sudah mandi? Yuk siap-siap berangkat ngaji."

Anaknya itu mengangguk dan menuruti perintah Sabrina untuk bersiap-siap. Sebelum berangkat, mereka salat Asar berjamaah di rumah. Memiliki buah hati yang penurut dan salihah membuat Sabrina merasa sangat bersyukur.

Mereka berjalan bersisian menuju masjid yang letaknya cukup jauh di depan, sekitar sepuluh menit jika berjalan kaki santai. Sabrina belum membawa sepeda motornya ke bengkel Adam karena memang belum memiliki cukup uang.

Saat melewati rumah Miskah, Sabrina melihat sekumpulan ibu-ibu muda yang sedang asyik mengobrol sambil makan rujak. Mengetahui keberadaan Sabrina, Miskah--sang pemilik rumah--segera menyuruh mereka diam lalu berbicara setengah berteriak, seperti disengaja agar Sabrina juga mendengar ucapannya.

"Eh, eh ... Kalian kalau mau jahit baju, gue punya kenalan penjahit bagus di kompleks sebelah. Orangnya ganteng, harganya miring, dan hasilnya dijamin rapi. Lumayan, kan, sekalian cuci mata. Enggak kayak jahitan tetangga sebelah. Udah mahal, asal-asalan lagi ngerjainnya!"

Pipi Sabrina terasa panas karena malu. Sudah pasti Miskah sedang menyindir dirinya. Namun, dia tidak boleh terpengaruh dengan umpan jebakan itu. Sejak tersiar kabar bahwa Pak Muklis melamar Sabrina, Miskah memang terang-terangan mengibarkan bendera perang.

Sejak saat itu, omongan miring terhadapnya semakin santer beredar. Sudah tak terhitung berapa kali Sabrina mendengar selentingan soal pelet dan guna-guna, tetapi dia diam saja. Membela diri pun rasanya percuma. Orang-orang hanya mempercayai apa yang ingin mereka percayai.

Dengan sikap santun, dia mendekati kumpulan ibu-ibu tersebut kemudian berbicara dengan lemah lembut.

"Sore, Ibu-ibu. Mumpung lagi pada kumpul, sekalian saya mau ngingetin. Besok jangan lupa ke Posyandu, ya. Ada penimbangan rutin, pengecekan tumbuh kembang, juga pemberian vitamin. Buku pink jangan lupa dibawa. Oh, ya, di masjid depan ada TPA, lho. Yuk, ajak anak-anaknya ngaji!"

Sabrina memang aktif sebagai petugas sukarela Posyandu di lingkungannya. Sekalian saja Sabrina mengajak mereka untuk mengantar anaknya mengaji agar tidak asyik bergosip terus. Perbuatan jahat Miskah harus dibalas dengan cara elegan agar wanita itu capek sendiri.

Miskah mengabaikannya. Ibu-ibu lain tampaknya terbagi menjadi dua kubu: mereka yang masih ingin lanjut bergosip dan mereka yang malu karena ditegur sedemikian rupa. Setelah Sabrina berlalu, beberapa dari mereka kemudian membubarkan diri.

Senyum kemenangan menghiasi bibir Sabrina tatkala dia menoleh ke belakang dan mendapati Miskah yang memelototi dirinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIPANDANG HINA KARENA JANDA   Takdir Kita (TAMAT)

    [2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma

  • DIPANDANG HINA KARENA JANDA   Ada Pelangi Selepas Hujan

    Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw

  • DIPANDANG HINA KARENA JANDA   Terima Kasih, Superman

    Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke

  • DIPANDANG HINA KARENA JANDA   Merdeka dari Utang

    Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi

  • DIPANDANG HINA KARENA JANDA   Rezeki Tidak Akan Salah Alamat

    Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.

  • DIPANDANG HINA KARENA JANDA   Resmi Mendaftar Jadi TKW

    "Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status