Share

Terdesak Kebutuhan

Bagi Sabrina, malam adalah waktu yang dingin lagi menyesakkan. Tiada lagi pelukan hangat sang suami yang senantiasa membisikkan kata-kata cinta. Malam menjelma menjadi gulita yang mengantarkan misteri demi misteri kepedihan esok hari.

Setelah Alifa tidur, Sabrina beranjak ke ruang depan. Di sana teronggok sebuah mesin jahit tua. Ada banyak kain perca dalam bungkusan plastik di sebelahnya. Dahulu, Sabrina pernah mengikuti kursus menjahit dasar. Dia sengaja membeli mesin jahit bekas untuk memperbaiki baju suami dan anaknya.

Karena sudah berjanji, Sabrina hendak begadang demi membuatkan baju untuk Alifa. Dia memilih beberapa lembaran perca polos ditambah sedikit perca motif bunga, lalu menjahitnya sesuai ukuran Alifa.

Suara khas mesin jahit menderu-deru, mengisi keheningan malam. Setelah potong, tempel, dan jahit sana-sini, jadilah sebuah kerudung biru muda dengan hiasan motif bunga di bagian ujung dan tali, juga hiasan renda di lingkar wajahnya.

Sabrina tersenyum. Dia membayangkan, esok hari anaknya akan mematut kerudung di depan cermin sambil berputar layaknya putri kerajaan.

Menyadari hasil jahitannya masih serapi dulu, terbersit keinginan untuk membuka jasa jahit di rumah. Di siang hari, dia akan menjadi driver ojol. Pesanan jahit dan permak baju akan dia kerjakan pada malam harinya.

Sabrina lagi-lagi tersenyum. Dia sadar, menjadi ibu tunggal tidak akan mudah. Namun, dia akan mengusahakan yang terbaik untuk anak semata wayangnya.

***

"Gimana, sih, Bu! Kok jahitannya enggak rapi?" protes salah satu pemakai jasa jahit Sabrina. Ia membentangkan baju kebaya seragaman yang rencananya akan dipakai pada pernikahan keponakannya.

"Bagian sini berkerut. Yang ini enggak lurus. Terus ini ada serabut benang juga," lanjutnya sambil menunjuk beberapa bagian yang menurutnya tidak sesuai ekspektasi.

Wanita berjilbab ungu tersebut mengamati bagian-bagian yang ditunjuk. Sebenarnya tidak terlalu parah, baju itu masih bisa dipakai karena bagian yang dikomplain letaknya tersembunyi. Namun, demi kepuasan pelanggan, Sabrina menawarkan itikad baik.

"Aduh ... Mohon maaf atas kelalaian saya, Bu Sinta. Saya coba perbaiki, ya."

Dia terlalu terburu-buru menyelesaikan pesanan itu karena terdesak kebutuhan. Jika jahitan itu selesai, dia akan mendapatkan bayaran yang bisa dipakai untuk melunasi hutang ke tukang sayur tempo hari.

"Enggak usah, deh. Waktunya udah terlalu mepet. Saya bawa ke tukang jahit langganan aja."

Dia merebut kebaya tersebut dengan kasar. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Sabrina makin merasa tak enak hati. Sekali dia mengecewakan pelanggan, seterusnya mungkin dia tidak akan mau memakai jasanya lagi.

"Begini saja, Bu. Karena ini kesalahan saya, saya kembalikan saja uang Ibu. Nanti bisa dipakai untuk bayar vermak di sana."

Pelanggannya itu menarik bibir ke satu sisi, seperti senyum meremehkan.

"Kalau saya tega, sih, sebenarnya saya mau mau aja terima uangnya. Tapi enggak usah lah, itung-itung sedekah buat anak yatim."

Hati Sabrina terasa perih. Dia tidak suka dikasihani. Dia ingin menafkahi anaknya dengan rezeki yang halal dan baik. Lagipula dia sudah menawarkan perbaikan, tetapi Bu Sinta sendiri yang menolak. Sabrina hanya bisa terdiam menyaksikan kepergian pelanggannya.

Alifa mendekati Sabrina dengan wajah murung. Meski tidak sepenuhnya memahami perkataan orang dewasa, dia tahu kalau ibunya sedang bersedih.

"Mama habis diomelin, ya?"

Sabrina mendongak sebentar untuk menahan air matanya jatuh.

"Enggak apa-apa, Sayang. Kamu sudah mandi? Yuk siap-siap berangkat ngaji."

Anaknya itu mengangguk dan menuruti perintah Sabrina untuk bersiap-siap. Sebelum berangkat, mereka salat Asar berjamaah di rumah. Memiliki buah hati yang penurut dan salihah membuat Sabrina merasa sangat bersyukur.

Mereka berjalan bersisian menuju masjid yang letaknya cukup jauh di depan, sekitar sepuluh menit jika berjalan kaki santai. Sabrina belum membawa sepeda motornya ke bengkel Adam karena memang belum memiliki cukup uang.

Saat melewati rumah Miskah, Sabrina melihat sekumpulan ibu-ibu muda yang sedang asyik mengobrol sambil makan rujak. Mengetahui keberadaan Sabrina, Miskah--sang pemilik rumah--segera menyuruh mereka diam lalu berbicara setengah berteriak, seperti disengaja agar Sabrina juga mendengar ucapannya.

"Eh, eh ... Kalian kalau mau jahit baju, gue punya kenalan penjahit bagus di kompleks sebelah. Orangnya ganteng, harganya miring, dan hasilnya dijamin rapi. Lumayan, kan, sekalian cuci mata. Enggak kayak jahitan tetangga sebelah. Udah mahal, asal-asalan lagi ngerjainnya!"

Pipi Sabrina terasa panas karena malu. Sudah pasti Miskah sedang menyindir dirinya. Namun, dia tidak boleh terpengaruh dengan umpan jebakan itu. Sejak tersiar kabar bahwa Pak Muklis melamar Sabrina, Miskah memang terang-terangan mengibarkan bendera perang.

Sejak saat itu, omongan miring terhadapnya semakin santer beredar. Sudah tak terhitung berapa kali Sabrina mendengar selentingan soal pelet dan guna-guna, tetapi dia diam saja. Membela diri pun rasanya percuma. Orang-orang hanya mempercayai apa yang ingin mereka percayai.

Dengan sikap santun, dia mendekati kumpulan ibu-ibu tersebut kemudian berbicara dengan lemah lembut.

"Sore, Ibu-ibu. Mumpung lagi pada kumpul, sekalian saya mau ngingetin. Besok jangan lupa ke Posyandu, ya. Ada penimbangan rutin, pengecekan tumbuh kembang, juga pemberian vitamin. Buku pink jangan lupa dibawa. Oh, ya, di masjid depan ada TPA, lho. Yuk, ajak anak-anaknya ngaji!"

Sabrina memang aktif sebagai petugas sukarela Posyandu di lingkungannya. Sekalian saja Sabrina mengajak mereka untuk mengantar anaknya mengaji agar tidak asyik bergosip terus. Perbuatan jahat Miskah harus dibalas dengan cara elegan agar wanita itu capek sendiri.

Miskah mengabaikannya. Ibu-ibu lain tampaknya terbagi menjadi dua kubu: mereka yang masih ingin lanjut bergosip dan mereka yang malu karena ditegur sedemikian rupa. Setelah Sabrina berlalu, beberapa dari mereka kemudian membubarkan diri.

Senyum kemenangan menghiasi bibir Sabrina tatkala dia menoleh ke belakang dan mendapati Miskah yang memelototi dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status