SERANTANG RENDANG BASI part 72"Gila, ya, kamu. Tega menjual istri sendiri ke klien hanya demi uang!" teriak Meisha pada Pandu."Kamu pikir aku benar-benar masih mau menerimamu, setelah kamu membohongiku, hah? Aku tau semuanya bahwa anak yang sempat kamu kandung itu adalah bukan anakku!" tukas Pandu yang membuat Meisha seketika bungkam."Tidak usah sok suci dan menangis tersedu begitu. Bukankah kamu sendiri suka berganti-ganti pasangan dengan mencari laki-laki kaya? Sekarang aku berbaik hati dengan mencarikanmu laki-laki kaya!" Pandu tertawa puas.Meisha meruntuk kebodohannya sendiri karena begitu percaya dengan semua ucapan manis Pandu.Kini ia menyesali semuanya karena lebih memilih menjadi Pandu dibanding dengan David dulu."Gara-gara kamu aku dapat ancaman dari istri laki-laki itu Pandu!" teriak Meisha."Sebelumnya kamu juga merebutku dari Ayu bukan? Jadi sekarang kenapa kamu mengeluh? Bukankah sebutan pelakor itu memang pantas untuk dirimu, Meisha?" tegas Pandu dengan tangannya m
"Bu, Pak! Ini aku bawakan kalian makanan enak. Kan sudah lama kalian tidak makan enak."Mbak Ayu datang memberikan serantang makanan pada Ibu dan Bapak. Ibu dan Bapak menerimanya dengan senang."Apakah makanan ini masih layak dimakan oleh orang tua kita, Mbak?" sindirku."Maksudmu apa bertanya seperti itu?" Matanya melotot menatapku."Apa Ibu dan Bapak selama ini pernah memberikan makanan basi untukmu, Mbak? Sampai hati kamu ngasih makanan basi ke orang tua!"Aku mengeluarkan semua uneg-uneg ku yang selama ini selalu kupendam. Orang tuaku tak pernah berani memprotes apalagi menolak pemberian kakak-kakakku yang tak layak untuk diambil.Bapak memegang pundakku mencoba untuk menenangkanku. Sementara Ibu terdiam namun air matanya tergenang dan siap tumpah."Jaga bicaramu Arumi! Aku nggak pernah ngasih makanan basi ke Bapak dan Ibu. Makanan ini masih enak dan layak!" tukasnya dengan penuh amarah.Aku lantas merebut rantang makanan itu yang masih berada di genggaman Ibu. Lalu membukanya di h
"Bu, Pak. Tolong ajarkan Arumi untuk sopan sama mbaknya. Jangan menghina makanan!" ucap Mas Pandu penuh penekanan.Mas Pandu menantap tajam ke arahku, ia seperti sedang mengintimidasi Bapak dan Ibu."Jangan ajarkan aku untuk sopan santun sama manusia nggak ada akhlak kaya kalian! Mbak, apa kamu lupa dengan pengorbanan orang tua kita selama ini? Setelah kamu dewasa dan sukses kamu seperti ini membalas jasa orang tua?"Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya kasar."Sudahlah, Mas, kita pulang aja sekarang. Arumi membuat moodku hancur!"Mbak Ayu lantas menggandeng tangan suaminya dan mengajaknya untuk segera masuk ke dalam mobil."Tunggu! Ada yang ketinggalan!" teriakku seraya berjalan dengan cepat ke arah mobilnya."Mau apa lagi kamu?" bentak Mbak Ayu."Tuh, rendang basimu ketinggalan!"Aku melempar rantang yang berisikan rendang basi itu ke dalam mobil mereka. Wajah Mas Edi terlihat merah padam seakan ingin melahapku."Kamu tahu harga mobil ini berapa, hah?" bentaknya sambil m
Aku mencium punggung tangan Bapak dan Ibu dengan takzim. Setelah itu berpamitan untuk pergi bekerja.Aku bekerja di toko roti, selama tak punya kendaraan sendiri aku pergi menggunakan ojek. Pulangnya suka diantarkan temanku yang bernama Ratna.Jika Ratna tak bisa mengantarkan aku pulang, ya ... terpaksa harus menggunakan ojek lagi. Biaya ongkos pulang pergi dengan menggunakan ojek lumayan mahal. Tapi mau bagaimana lagi.Sedikit-sedikit aku menabung dari sisa uang gajiku untuk membeli motor bekas saja. Yang penting masih layak untuk dipakai.Hari ini gajian, aku akan membelikan Bapak dan Ibu rendang di warung Padang sebrang jalan sana.****"Kenapa melamun, Rum?" tanya Ratna."Nggak papa, cuma kurang enak badan aja.""Istirahat dulu sana. Biar aku yang lanjutin ngadonin," titahnya.Aku menurut, duduk di pojokan sambil memijit kening yang terasa berdenyut.Kuteguk air mineral di dalam botol hingga habis setengahnya. Dadaku kembali nyeri ketika mengingat perlakuan kakakku pada Bapak dan I
"Jangan menangis, lebih baik sekarang kita makan bersama."Bapak mengangguk setuju, kami duduk lesehan di bawah dengan beralaskan tikar. Rumah Bapak belum dikeramik, lantainya hanya dipelur saja."Dihabiskan ya, Pak, Bu, makanannya. Arumi juga beli lauknya lagi yang dipisah, takut nanti kalau malam Bapak sama Ibu lapar. Nanti habis ini Arumi akan masak nasi dan air panas."Aku juga tadi sempat mampir ke tukang buah membeli apel juga mangga untuk orang tuaku, dan membeli obat batuk untuk Bapak di Apotek."Arum, Bapak dan Ibu sudah tua. Tinggal kamu, si bungsu yang belum menikah. Semoga umur Bapak panjang agar bisa melihatmu menikah dengan laki-laki pilihanmu. Laki-laki yang baik, bertanggungjawab, saleh. Dan bisa menjadikanmu istri yang saleha.""Iya, Rum. Jangan terlalu memikirkan Bapak dan Ibu, jika kamu memang sudah ada calon dan ingin menikah. Bawa ke rumah calonmu, kenalkan pada kami," sambung Ibu.kuhela napas panjang dan menatap Ibu juga Bapak secara bergantian, setelahnya aku te
Hari minggu pun tiba, katanya mereka akan sampai di rumah siang kalau tidak sore. Masih tetap sama, meminta Ibu untuk masak makanan enak permintaan mereka."Bu, inget pesan Arumi. Masak sederhana aja, uang yang Arumi kasih jangan dipakai untuk beli seafood atau apapun itu untuk mereka. Kalau mereka nggak mau makan yasudah jangan dipedulikan," ucapku berpesan sebelum berangkat kerja pagi."Iya, Nduk. Tapi boleh nggak Ibu beli ayam satu ekor untuk anak-anak mereka?" tanya Ibu ragu."Boleh, Bu.""Makasih, Nduk."Aku lalu berpamitan pergi bekerja pada Ibu dan Bapak. Bapak badannya masih kurang sehat, ia hanya berbaring saja di atas ranjang dengan kasur kapuk."Nanti Arumi akan izin pulang lebih cepat, Bu," kataku sebelum benar-benar pergi.****"Rum, dengar-dengar toko kita akan gulung tikar," bisik Ratna."Hah, gulung tikar bagaimana? Kenapa begitu?" tanyaku terkejut.Toko roti ini lumayan ramai pembeli. Apalagi jika weekend seperti ini, pendapatan pun cukup banyak. Kenapa bisa sampai gul
"Kamu kenal sama pemiliknya? Atau orang yang bekerja di sana?" tanyaku."Aku kenal dengan atasannya. Kalau mau, hari senin langsung datang nanti aku antarkan kalian," ujar Refaldy."Alhamdulillah, makasih, ya. Rejeki emang nggak ke mana ya, Rum." Ratna tersenyum senang mendengar kabar baik itu, begitupun denganku. Allah memang baik, belum sejam aku berdoa tetapi sudah langsung diberi solusi."Boleh aku minta nomor barumu, Rum, buat nanti kabari soal kerjaan?" tanya Refaldy."Oh, iya. Aku lupa ngasih tau kamu kalau sudah ganti nomor."Refaldy tersenyum seraya memberikan ponselnya padaku untuk kucatat nomor baru."Terima kasih."Ia tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang rapih.b1daaaap1"Habis ini kalian mau ke mana?""Mau langsung pulang," jawab Ratna.Refaldy menoleh ke arahku dan bibirnya seperti ini berkata sesuatu. Namun ia tak jadi bicara, malah terlihat salah tingkah."Em, Arumi. Apa mau sekalian lagi aku antarkan pulang?" tanyanya terlihat gugup."Apa kamu mau main ke ruma
"Walaupun orang sederhana tapi Refaldy punya etika dan sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Nggak kaya kamu dan istrimu, Mas."Mungkin ucapanku ini sedikit lancang dan terlihat kasar untuknya. Tapi biarlah, biar mereka semua sadar."Rum, aku balik ya. Mas, Mbak, saya balik dulu. Assalamualaikum.""Iya, Waalaikumsalam. Maafkan keluargaku, ya."Refaldy berpamitan pulang, mungkin ia merasa tidak enak hati melihat pertengkaran antara adik dan kakak seperti ini."Kalau mau sama Arum harus kaya!" teriak Mbak Ayu dengan ketus yang sedaritadi hanya memantau perdebatan kami.Refaldy menoleh dan menatap Mbak Ayu dengan wajah datar, lalu menoleh ke arahku juga dengan tatapan kasihan. Mungkin ia kasihan dengan hidupku."Nggak hanya kaya, tapi juga berattitude, Mbak," sahut Refaldy.Setelahnya ia tancap gas dan pergi dari halaman rumahku. Aku pun masuk ke dalam rumah dan menemui Ibu juga Bapak.Kucium punggung tangannya dengan takzim lalu duduk di tengah-tengah Ibu dan Bapak.Sepertinya jang