"Bapak mau bicara soal formulir pend--"
"Nggak perlu, Pak. Saya nggak lanjut sekolah." Mika langsung memotong ucapan Janu.
Muka Janu agak terperangah. Wajar, sebab ini pertama kali Mika memotong ucapannya. Gadis berwajah datar ini memang dingin, tapi belum pernah sedingin ini.
"Ehm ..., maaf ya, tapi apa Bapak boleh masuk ke dalam? Apa ada orang tua kamu?" tanya Janu masih berusaha bersikap santai.
Mika berniat untuk menghalangi Janu masuk ke dalam rumahnya, tapi tiba-tiba saja ibunya muncul dari dalam rumah. "Heh! Mika! Ada wali kelas kamu kok kamu nggak panggil Bunda?! Pak Janu ..., silakan masuk, Pak. Silakan." Bunda Mika mempersilakan Janu masuk ke dalam rumah sederhana mereka.
Janu melihat-lihat sebentar kondisi ruang tamu rumah Mika yang sempit. Hanya ada sebuah sofa butut, meja kayu kecil, serta sebuah TV cembung keluaran lama.
Mika menyajikan segelas teh panas dan juga setoples kue kering kepada Janu. Setelah kondisi agak tenang, barulah Janu menyampaikan tujuan kedatangan dirinya.
"Di kelas 12 IPA 3, cuma Mika yang belum mengumpulkan formulir pendaftaran kuliah, Bu. Mika harus cepat mendaftar sebelum ditutup."
Bunda menarik napasnya panjang, dia menoleh memandang Mika dengan wajah murung. Mika pun tak kalah sedihnya. "Mohon maaf, Pak Janu. Tapi anak saya, Mika, sepertinya nggak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi."
"Loh. Kenapa, Bu? Mika punya potensi. Dia selalu masuk lima besar sejak kelas sepuluh. Walau di semester akhir ini prestasinya cuma sebatas cukup, tapi Mika sangat berpotensi untuk dapat SBMPTN." Janu tak bisa menutupi rasa kecewa di hati.
"Saya nggak akan sanggup menguliahkan Mika, Pak. Saya sudah menyiapkan pilihan lain untuk Mika." Bunda menarik napas lagi.
"Pilihan lain? Kerja? Atau ... kursus?" selidik Janu.
Bunda menggeleng. Mika mulai menggosok kedua tangannya dengan gugup. Dia tak ingin ibunya membuka masalah pribadi keluarga mereka yang cukup memalukan.
"Saya akan menikahkan Mika." Bunda membeberkan rencananya.
"Mika? Nikah?" Janu terbata-bata. "Ta-tapi, Bu ..., Mika ini masih muda sekali. Berapa umur kamu tahun ini, Ka?"
"Delapan belas tahun, Pak." Mika menjawab malu.
"Delapan belas tahun, Bu. Dengan siapa Mika menikah?" tanya Janu lagi.
"Seorang tuan tanah di kampung halaman ibu saya."
Jawaban dari Bunda menohok Janu. Kepalanya seakan disambar kilat kuat. "Hah? Kenapa, Bu? Kenapa harus sejauh itu? Apa Mika mau?" Janu menatap Mika.
Mika sengaja buang muka, dia tak mau menunjukkan penolakan dirinya secara terang-terangan.
Tak ada pilihan selain membuka semuanya kepada Janu, pikir Bunda pasrah. "Sebetulnya ..., suami saya, ayahnya Mika ... sudah setengah tahun menghilang. Dia kabur entah ke mana, dan sejak empat bulan yang lalu, rentenir terus datang ke rumah kami. Rupanya dia kalah judi, nominalnya lebih dari seratus juta. Kebun warisan ayah saya sudah saya jual. Nggak ada lagi yang kami punya. Kali ini yang bisa membantu kami cuma ... cara seperti ini, yaitu menikahkan Mika." Bunda menahan laju air matanya.
Janu berpikir keras. Dia tak mungkin membiarkan mimpi buruk ini menimpa Mika. Sekalipun dia adalah orang luar, tapi dia merasa masa depan muridnya juga adalah bagian dari tanggung jawabnya.
"Masih ada cara lain, Bu. Saya akan ikut membantu melunasi utang Ibu, yang penting Mika tetap kuliah. Kalau Mika kuliah, kesempatan kerjanya akan lebih luas. Untuk jangka panjang, saya rasa pilihan itu lebih baik. Kalau Mika bisa dapat beasiswa, uang kuliah dari saya bisa dia pakai untuk mencicil utang juga. Misal Mika dapat kerja yang lebih bagus, sisa utang juga bisa cepat selesai."
Bunda tampak masih ragu, sekilas dia melirik Mika. Wajah Mika tampak begitu berharap, dia masih ingin kuliah.
"Jadi ..., Pak Janu mau membiayai kuliah Mika? Dan membantu kami melunasi utang?" Bunda mengulang.
Janu mengangguk mengiyakan. Yakin tanpa ada keraguan. Masa depan cemerlang Mika terlalu sayang untuk dia lepaskan.
"Kalau begitu, saya punya permintaan lebih. Kalau memang Pak Janu mau membantu kami, tolong nikahi Mika."
Nyaris saja Janu terbatuk-batuk mendengar permintaan itu. Tubuh Mika pun tak kalah tegangnya. Permintaan semacam ini tak pernah dia kira akan terlontar dari mulut bundanya.
"Bunda?!" seru Mika hendak protes.
"Supaya jangan ada fitnah. Ambillah Mika sebagai istri Bapak. Bapak kan masih muda juga. Jujur, saya pun rasanya sudah nggak sanggup lagi membiayai hidup kami berdua. Mika juga pasti setuju." Bunda membujuk.
"Bunda ngomong apa? Siapa bilang Mika setuju?" protes Mika.
"Jadi kamu pilih apa, Mika? Nikah sama Pak Broto? Jadi istri ketiganya? Kamu mau itu? Bunda nggak mau timbul fitnah, Mika. Bunda mau kamu ada yang jaga. Kalau kamu dikuliahkan sama Pak Janu sebagai istrinya, kan itu rasanya sah-sah aja. Bunda juga jadi nggak merasa berutang."
Mika kehabisan kata-kata dengan perkataan ibunya. Janu terdiam, pikirannya kacau. Mungkinkah dia menerima tawaran ekstrem begini? Sebetulnya, dia tak punya rencana untuk menikah sama sekali. Tapi sekarang, dia malah ditawari menikah dengan Mika. Dengan Mika! Murid yang paling kaku dan tidak akrab dengannya.
"Bagaimana, Pak?" Bunda bertanya sekali lagi.
"Bisa kita bicara bentar?" tanya Janu lagi, mulai mendesak.Rossa melirik om dan tantenya lagi. "Sebentar ya, Om," katanya."Jangan lama. Sebentar lagi jadwal penerbangan kita!" tegas sang Om.Rossa mengangguk pelan lalu ikut berjalan bersama Janu menuju pintu keluar bandara. Untuk beberapa lama mereka hanya berdiri berhadapan saling memandang seolah menunggu siapa yang akan bicara lebih dulu."Kamu harus betul-betul pergi sekarang?" tanya Janu akhirnya."Ya. Kayak yang aku bilang kemarin di rumah Bapak, om aku pindah tugas ke Kalimantan.""Kamu nggak akan kembali lagi?"Helaan napas Rossa menjadi lebih panjang. "Aku nggak tau soal itu, belum aku pikirkan.""Bukannya kamu bilang kamu mau lepas dari jerat om kamu? Terus kenapa kamu ikut pergi?"Alih-alih terharu dengan perhatian yang diberikan Janu, amarah Rossa justru meninggi. "Emangnya ada pilihan lain buat aku?! Emangnya aku udah lulus?! Selama aku masih di bawah peng
Hampir satu menit lamanya Mika terdiam memandang pintu rumah bundanya dengan mata kosong. Apa yang terjadi terakhir kali mereka jumpa masih membebani hati, tapi dia kuatkan juga niatnya lantas mengetuk pintu kemudian."Bun ... Bunda ..." sapa Mika ragu-ragu.Ternyata sang Bunda tengah memasak di dapur ketika pintu dibuka oleh Mika sebab tak dikunci. "Mika! Bunda kira kamu nggak akan ke sini lagi ..." ucap Bunda terlihat agak canggung."Ya Bunda juga nggak berusaha untuk menghubungi aku," sahut Mika sambil duduk di sofa tua.Kompor yang masih menyala dipadamkan lebih dulu untuk kemudian Bunda ikut bergabung dengan Mika di ruang depan. "Mika ..." Suara bunda Mika terdengar lesu. "Bunda malu," ungkapnya sambil duduk di depan Mika."O, Bunda masih bisa ngerasa kayak gitu? Wajarlah," sahut Mika agak sinis, amarahnya belum padam sepenuhnya."Kamu ke sini mau ngomel-ngomel lagi? Bunda kan udah mengakui kesalahan ...""Nggak, kok. Aku juga ud
"Mas baru pulang?" sapa Mika yang sedang menuruni tangga untuk ke dapur, dan tepat saat itu pintu utama terbuka dan Janu masuk dengan muka datar.Sesaat Janu cuma terdiam, menatap Mika dengan wajah tanpa ekspresi. Yang terbayang di pikirannya hanya pengakuan Rossa tadi. Perlukah untuk menanyakannya langsung kepada Mika? Janu sendiri tak tahu mesti berbuat apa sekarang."Mas kenapa? Mau makan? Aku siapkan dulu ya." Mika yang kebingungan pun bergegas untuk mencairkan suasana yang kaku.Setelah Mika sampai di pantri, Janu ikut menghampiri. Dia kumpulkan nyali untuk membuka keresahan yang tertimbun di dadanya. "Ka ...""Hm?" toleh Mika terheran-heran. "Mas mau minum teh?"Janu menggeleng. "Ada sesuatu yang serius yang harus Mas tanyakan ke kamu,""Apa? Ngomong aja, Mas. Ada apa?" Mika menunggu dengan perasaan tak nyaman dan was-was."Kamu ada hubungan sama Raga?" tanya Janu tepat pada sasaran.Seketika wajah Mika memucat, tangannya
Rossa sedang asyik membaca sebuah novel ketika pintu kamarnya dibuka oleh tantenya."Kamu nggak belajar, Ros?" tanya tante Rossa pelan."Udah tadi. Mau rehat sebentar, Tan," sahut Rossa tanpa beralih dari novel yang dia pegang.Tante Rossa menarik napas sebentar lalu duduk di tepi tempat tidur Rossa. "Ros ... Tante mau ngomong sesuatu sama kamu, om kamu belum cerita ya?""Hm?" toleh Rossa penasaran."Itu ..." Tante Rossa menggaruk tengkuknya ragu-ragu. "Om kamu pindah tugas, Ros. Kayaknya kita bakal pindah bulan depan."Novel di tangan Rossa otomatis berpindah ke atas kasur, sejenak tubuh Rossa membeku. "Hah?! Pindah gimana? Ke mana?!" Matanya melotot, mukanya mulai pucat."Ya ke luar kota," jawab Tante dengan entengnya. "Ke Kalimantan.""Kalimantan?! Jauh banget!" pekik Rossa panik. "Terus sekolah aku gimana, Tan?!""Ya mau nggak mau kamu harus ikut pindah. Ini om kamu nanti mau ke sekolah kamu buat ngurus perpindahan."
Air muka Raga sedikit berubah mendapat pertanyaan bernada seperti itu dari Mika. "Kenapa kamu penasaran?""Jangan salah paham, ya! Bukan ada maksud aku buat ... menggoda kamu! Jangan mikir ke arah sana!" ujar Mika langsung membuat klarifikasi."Hm, siapa juga yang bilang kamu menggoda aku? Nggak ada yang bilang begitu, berarti kan kamu yang ngarep aku mikir ke arah sana.""Heh! Enak aja! Maksud aku tuh ... kamu kan udah ditinggal sama mantan tunangan kamu, apa iya kamu nggak pernah terpikir tentang dia?"Ekspresi Raga terlihat menjadi lebih murung ketimbang sebelumnya, wajah milik seseorang terbayang di benaknya, seseorang yang sudah setengah mati dia coba untuk lupakan."Nggak perlu dibahas," tandas Raga tegas."Kenapa?" Mika masih penasaran."Kalau kamu cuma penasaran doang, jangan ditanya. Kecuali kamu mau bantu aku buat melupakan dia."Mika tertohok mendengar serangan mendadak dari Raga, maka tak dia lanjutkan lagi rasa ing
Menjelang mendekati rumah ibunya, langkah Mika perlahan melambat sebab dia sadari ada sesuatu yang lain di depan pintu rumah ibunya, terdapat sepasang sepatu asing di teras. Sepasang sepatu laki-laki.Kayak bukan sepatu Ayah, dan kalaupun Ayah, ngapain dia di sini?batin Mika terheran-heran. Dia melangkah lebih dekat, dan dia dengar suara dari dalam. Sayup-sayup mulanya, tapi lama-lama kian keras."Kamu bilang mau kasih uang itu secepatnya buat aku!"Suara seorang laki-laki, hati Mika berdegup ganjil. Suara itu tidak dia kenali."Kamu tau kan? Anak aku juga perlu kuliah, dia nggak bisa minta uang dari suaminya terus ..."Kenapa cara bicara Bunda lain banget?batin Mika lagi."Itu bukan urusan aku! Kamu kira uang lima ratus ribu aja cukup?!"Mendengar suara pria itu meninggi dan menjadi lebih intens, Mika langsung membuka pintu tanpa pikir panjang. Seketika dia membeku tatkala dilihatnya ibunya sedang berdua
Dan meski Janu sudah lelah mengomeli Rossa, tapi dia tetap pada akhirnya melunak. "Ayo, kita pergi sekarang."Mata Rossa sedikit membulat. "Pergi? Pergi ke mana?""Toh jam terakhir tinggal lima menit lagi, apa guna kamu masuk kelas sekarang? Sudah jam makan siang juga, saya lapar."Secara tak langsung, Janu menawarkan makan siang kepada Rossa. Maka, dengan antusias Rossa menyahut, "Iya! Oke! Oke aku ikut!"Senyum miring yang samar melengkung di sudut bibir Janu, entah mengapa dia merasa lucu melihat antusiasme Rossa, seperti seekor anak anjing terlantar yang mengikuti siapa saja di jalan agar dibawa pulang. Tragis, tapi manis.***"Kamu yakin nggak mau pesan ice cream bowl?"Habis makan siang, Janu memesan kopi panas untuknya sedang Rossa ragu-ragu. Meski tak diungkapkan, Janu bisa membaca mimik muka Rossa yang sejak tadi memandangi ice cream bowl di buku menu. Air ludahnya sampai sulit dia telan saking kepenginnya d
Langkah Rossa tertahan sebab tiga gadis bertubuh tinggi kini menghadang di hadapannya. Sorot mata dan wajah Rossa langsung berubah, dia mesti waspada. Saat ini dia tengah berada di toilet perempuan, bersama tiga gadis paling kejam di kelasnya."Mau balik ke kelas? Kok buru-buru banget, sih." Gadis yang berdiri di tengah melipat tangan di depan dada."Apa mau kalian? Minggir!" Rossa memberanikan diri membentak."Wah, wah ... jagoan kita udah punya nyali sekarang." Gadis di sebelah kanan ikut menimpali."Aku nggak punya urusan sama kalina, awas!" Rossa berusaha untuk menyingkir, tapi tangan dua gadis di hadapannya langsung menarik dirinya dan mendesaknya sampai dia terpojok di samping cermin besar toilet."Sadar diri dong anak napi!!" teriak gadis yang berada di tengah.Rossa menggigit bibirnya sendiri, sudah kesekian kali dia mendapat hinaan seperti itu. Tidak akan dia biarkan harga dirinya terus terinjak-injak. "Dengar kalian, anak manja. In
Minggu pagi dengan sisa embun akibat hujan deras semalaman. Janu tengah sibuk memotongi rumput di halaman depan sepetak ketika sebuah mobil pick up berhenti di depan jalan, tepat di depan rumah yang ada di seberang rumahnya. Rumah itu memang sudah sekitar dua bulan tak berpenghuni. Pemilik terdahulu adalah seorang perempuan tua, janda. Dia kini menetap di desa bersama anak tertuanya, entah rumah itu dia sewakan atau sudah dijual, baik Janu maupun Mika tak pernah punya hasrat ingin tahu."Mas, kita sarapan dulu, yuk. Aku bikin roti panggang." Mika membawa nampan ke teras lalu meletakkannya di atas meja.Mata Mika sebentar menoleh pula ke depan, melihat perabot-perabot mulai diturunkan dari pick up. "Kita punya tetangga baru?" Mika mendekati Janu yang sekarang sedang membilas tanah dari tangannya."Ya. Kayaknya sih." Janu menyahut cuek. Dia segera duduk di teras, menyeruput segelas kopi panas yang juga baru dibuatkan Mika. Tanpa pikir pan