"Pak? Gimana?" Bunda Mika membuyarkan Janu dari lamunannya yang sempat membuatnya hilang dari situasi nyata di depan matanya.
"Ah ..., maaf, Bu. Saya kaget dapat permintaan mendadak seperti itu." Janu menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebenarnya.
Sambil menahan rasa malu, Mika menepuk tangan ibunya. "Bunda apa-apaan sih? Kesannya kayak menjual aku aja," protesnya.
"Bunda cuma mau yang terbaik buat kamu, Mika. Mana tau ..., Pak Janu bersedia. Kecuali Pak Janu sudah punya pacar atau bahkan calon istri ..."
Janu langsung menggoyangkan tangan di depan mukanya. "Oh, nggak ada, Bu. Nggak ada."
"Kalau gitu ..., harusnya nggak ada masalah dong, Pak?" Bunda terdengar mendesak.
"Saya pikir soal ini lebih dari sekedar mau atau nggak, Bu. Menikah kan bukan persoalan gampang." Janu tersenyum kecut.
Sebelum bundanya kembali membicarakan hal yang tak masuk akal, Mika langsung bersuara kembali, "Ya sudahlah ya, Pak! Kan saya juga nggak ada niat untuk kuliah. Lebih baik obrolannya sampai sini aja. Saya akan cari cara juga supaya saya nggak menikah."
Situasi berubah menjadi super canggung. Janu sampai kesulitan untuk pamit. "Niat Ibu nanti bisa saya pikirkan dulu, tapi harapan saya tetap sama. Saya mau Mika melanjutkab studinya. Jangan dibiarkab gitu aja. Sayang." Janu menatap Bunda dengan mata memohon.
Sebelum pamit, Janu menyalamkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah kepada Bunda. Tanpa malu, Bunda menerima pemberian Janu, meskipun Mika mencoba untuk menghalangi.
"Ayo, Pak. Saya antar sampai depan gang." Mika tetap kukuh berusaha untuk membuat Janu segera pulang.
Makin lama di rumahnya, tingkah Bunda cuma akan menjadi-jadi.
***
"Boleh Bapak tanya, apa kamu benar-benar nggak punya keinginan untuk kuliah?" Janu bertanya saat dia dan Mika berjalan menuju persimpangan gang rumah Mika. Mobil Janu terpaksa diparkir di halaman salah satu ruko yang berada di depan gang.
Air muka Mika sedikit berubah. Dia bingung mesti jujur atau menutupi perasaannya sendiri.
"Kalau kamu nggak mau jawab nggak apa-apa, Bapak nggak akan maksa." Janu menambah.
"Kalau hati saya ..., saya pingin lanjut, Pak," aku Mika malu-malu.
"Boleh tau jurusan apa yang kamu minati? Kamu mau jadi apa di masa depan?"
Mika mengulum senyum ragu-ragu. "Pengacara ... atau jaksa," jawabnya pelan.
Janu terperangah. Ini pertama kali dia mengetahui impian Mika. Selama ini dia kira Mika minat dengan bidang sains.
"Kamu mau masuk bidang hukum ..., tapi ambil Ilmu Pengetahuan Alam?"
Mika mengangguk setengah tersipu. "Saya pilih IPA karena saya pikir kesempatannya lebih banyak, Pak. Tapi ... kalau untuk karier, saya pingin banget kerja di bidang hukum." Tiba-tiba wajah Mika murung.
Langkah keduanya makin melambat, untuk melewati beberapa meter saja rasanya butuh waktu sekian menit. "Sejak kecil ..., hidup saya hanya tentang ketidak-adilan. Kami selalu punya masalah dengan hukum. Semua itu karena kesalahan ayah saya. Rumah kami, dan apapun yang tersisa, bisa habis kapan aja. Bunda juga bisa dipenjara kapan aja. Karena itu saya pikir ..., saya harus paham hukum untuk bisa melindungi Bunda. Seenggaknya saya mau menjaga Bunda tetap aman, jauh dari orang-orang jahat yang mau menzolimi kami."
Sekali lagi Janu terperangah. Mungkin setelah tiga tahun mengenal Mika, ini pertama kali dia mendengar Mika bicara sebanyak ini. Dia bisa merasakan semangat Mika. Ketegaran sekaligus kelembutan yang jarang dia jumpai di diri anak-anak muda pada umumnya.
"Kamu harus kuliah kalau gitu. Kamu harus berhasil jadi pelindung buat bunda kamu." Janu berhenti melangkah.
Mika ikut berhenti. Mereka berhadap-hadapan. Agak kikuk. "Apa ... kamu mau menikah sama bapak-bapak itu? Yang mau menjadikan kamu istri ketiganya. Itu yang kamu mau?"
Kepala Mika langsung nenggeleng.
"Kalau gitu jangan. Jangan nikah sama dia. Bapak yang akan menikahi kamu."
Mata Mika terbelalak seketika. "Bapak jangan ngaco! Saya ... saya ..."
"Tenang," potong Janu cepat. "Bapak juga tau diri, kok. Kamu jangan salah paham. Bapak lakukan ini supaya kamu bisa lanjut kuliah. Dengan status sebagai suami, Bapak bisa membiayai kuliah kamu, juga biaya hidup kamu. Bundamu nggak akan cemas lagi. Tapi ini bukan nikah sungguhan."
"Hah?" Mika melongo.
Kedua tangan Janu memegang bahu Mika lembut. "Setelah kamu lulus, kita akan bercerai. Bapak lakukan ini supaya bundamu percaya. Dia pasti nggak akan tenang kalau kita nggak punya ikatan resmi. Setelah emoat tahun, kamu lulus. Kamu bisa kerja, melunasi utang kamu. Bahkan biaya kuliah pun boleh kamu kembalikan kalau kamu nggak nyaman itu jadi utang." Janu menjelaskan niatnya.
Mika masih melongo. Di matanya sendiri, Janu adalah sosok guru pendiam dan misterius. Dia hampir tak pernah terlihat berbaur dengan guru-guru yang lain. Ini juga kali pertama dia melihat Janu begitu gigih dengan niatnya, sorot matanya sungguh-sungguh.
Mengetahui ada seseorang yang rela berkorban sebegini besar demi pendidikannya, hati Mika tiba-tiba menghangat. Ayahnya bahkan tak pernah peduli dengan nilai yang dia peroleh. Sekolah atau tidak, ayahnya tidak peduli.
Lantas mengapa, Janu yang bisa dibilang merupakan orang asing dalam hidupnya sebegitu keras mengkhawatirkan pendidikannya?
"Gimana? Kamu mau? Kita bisa bikin surat perjanjian kalau kamu ragu. Bapak nggak akan ambil keuntungan sedikit pun. Kamu akan dilindungi hukum. Bapak janji."
Selama satu jam lamanya Janu merenung di dekat jendela kamarnya yang sepi. Dia teringat kembali dengan keputusan nekadnya untuk menikahi Mika.Seakan tengah mempermainkan makna pernikahan, dia sedikit menyesali janji yang dia buat. Dia garuk kepalanya dengan gusar.Setelah menarik napas panjang, dia tebarkan pandangan ke sekitar apartemennya yang gelap gulita. Hanya terdapat bias cahaya lampu dari kamar mandi yang menjadi satu-satunya sumber pencahayaan.Pria penyendiri ini memang jarang menyalakan lampu di malam hari. Rumahnya yang berbau kayu dan penuh buku itu dia biarkan selalu tampak tak berpenghuni. Sisa kehangatan seorang wanita sudah memudar di dalam kegelapannya.Mendadak saja hati Janu terasa sesak, dia ingat lagi sosok yang telah membuatnya menjadi semuram ini. Dan hebatnya, wanita itu sudah menikah. Melanjutkan hidupnya. Tak seperti Janu yang sepertinya akan terus dihantui kenangan dan mimpi buruk."Brengsek ..." Tanpa bisa dikendalikan
Mata Mama membulat lebar kala melihat Mika untuk pertama kali. Sejenak dia tak sanggup berkata-kata. Respons yang cukup masuk akal mengingat Mika masih terlihat begitu muda. Sekilas dia memandang puteranya, matanya seolah hendak memastikan apakah benar yang dia lihat ini: Janu membawa seorang gadis muda sebagai kekasihnya."Ma, kenalin, ini Mika. Mika, ini mamaku. Kamu bisa panggil 'mama' juga." Janu memperkenalkan mereka kepada satu sama lain.Dengan gugup, Mika menyalim tangan ibunya Janu yang masih belum juga bisa berkata-kata. "Mika, Ma ..." sapa Mika kaku."Ah ..., ya. Ayo masuk, kita makan siang sekarang aja, ya. Mama udah lapar." Ibu Janu membukakan pintu lebih lebar untuk mereka berdua.Meski Mika agak ngotot ingin membantu, tapi Mama menahan dan meminta agar dia duduk santai saja di meja makan. Sedang Mama sendiri menarik Janu ke dapur dengan alasan untuk membantu membawakan peralatan makan.Namun, bukannya cuma diminta membawakan alat mak
Walau sempat kembali ragu, Mika memantapkan hatinya untuk menerima Janu dan menandatangani surat perjanjian pra-nikah mereka. Yang mana poin utamanya adalah ini hanya berlaku sementara, baik Mika maupun Janu tidak boleh mencampuri ranah pribadi terlalu dalam, tidak ada kontak fisik, tidak diperbolehkan untuk merasa cemburu pada satu sama lain, dan mereka bebas menjalin hubungan di luar pernikahan mereka.Mirip seperti kawin kontrak tapi tidak ada sistem pembayaran. Setelah bercerai pun, mereka tak akan meributkan harta gono-gini, soal harta bersama diatur oleh Janu.Pernikahan secepatnya diatur, bertepatan dengan waktu pendaftaran masuk universitas. Mika langsung diboyong ikut ke rumah Janu, tak lagi tinggal bersama bundanya. Janu pun tak merasa canggung sama sekali, berbalikan dengan Mika yang tiap detik jantungnya selalu nyaris meledak. Dengan santai, Janu mengambil sofa sebagai tempat tidurnya. Ranjang bisa dipakai sepenuhnya oleh Mika.Yang menjadi pusat uta
Mika duduk sendirian menatap ke luar kaca jendela bis dengan muka mutung dan lesuh. Janu sungguh tega. Tega. Pria itu serius membiarkan Mika ikutcity tourseorang diri. Bulan madu macam apa ini? Mika mendengus dalam hati. Memang sedari awal dia tak berharap apa-apa dari Janu, dia sadar betul hubungan mereka hanyalah perjanjian di atas kertas. Janu membantu Mika, pun sebaliknya. Tapi apakah etis meninggalkan istri seorang diri? Sedang sang suami entah pergi ke mana. Suara pemandu wisata membuyarkan lamunan Mika. Bis yang setengah penuh itu siap untuk berangkat dan memulai perjalanan tur mengelilingi kota Singapura. Namun, sebelum gas diinjak sang sopir. Seorang pria muda berlari masuk ke dalam bis. Tepat sekali. Nyaris dia tertinggal. Pria tinggi muda itu berjakethoodiegelap, wajahnya kusut, rambutnya agak berantakan, tampaknya baru saja terjaga dari tidur atau mungkin baru selesai menangis, matanya bengkak. "Pa
"Habis dari sini kamu mau ke mana?"Mika agak terkejut mendapati pertanyaan bernada agak posesif dari Raga saat kegiatan turing mereka sudah berakhir. Air muka Mika tampak agak kebingungan harus merespons bagaimana. Sejak tadi mereka secara alami menjadi lebih mengenal satu sama lain.Mereka makan bersama di meja yang sama, berfoto bersama. Sejujurnya Mika nyaman sebab rasanya jadi tak sepi, ada seseorang yang menjadi teman bicara di tur ini. Namun, untuk terus menjalin pertemanan lebih lanjut, rasanya Mika tak bisa. Selain karena ada Janu yang sudah menunggunya, dia juga takut kalau Raga punya niat lain. Bagaimana kalau laki-laki ini hanya mencari pelampiasan belaka?"Eh ..., aku harus balik ke hotel sekarang." Mika menjawab kikuk."Kita nggak bakal ketemu lagi?" tanya Raga yang terlihat agak menyayangkan perpisahan mereka."Soal itu ..., ah ..." Mika tergagap.Raga tiba-tiba menjulurkan tangannya. "Minta nomorhapekamu,
"Kamu kayaknya dekat sama cowok itu, ya. Padahal baru kenal."Janu mendadak mengungkit soal Raga saat dia dan Mika akan kembali ke Indonesia. Alis Mika langsung terangkat sedikit, "Tiba-tiba aja Mas bahas dia lagi. Bikin kaget aja." Mika tertawa kikuk.Aneh memang. Padahal selama minum kopi bersama tempo hari, Janu tak banyak bersuara. Justru di saat hendak pulang begini tiba-tiba saja dia berkomentar."Ya, tiba-tiba aja keingat lagi. Ada enaknya kan kamu ikut acara tur itu? Jadi dapat teman baru. Orangnya juga keliatan asyik. Mungkin nanti bisa jumpa lagi pas kita udah balik.""Aku nggak ada maksud lain, kok.""Emangnya aku bilang apa? Jangan salah paham, Mika. Justru aku senang kok. Kamu kira aku cemburu, ya?" balas Janu setengah tertawa."Heh? Cemburu? Ya nggaklah, Mas! Nggak mungkin juga Mas Janu cemburu. Ha ha. Apaan sih!"Keduanya terdiam lebih canggung. "Maaf, ya. Kayaknya aku salah ngomong, nggak tepattiming&nbs
"Hei! Oi! Oi!"Mika mempercepat langkah menuju gedung fakultas hukum, menghindari suara familier yang dia yakini memanggilnya. Sial benar, gara-gara perpustakaan dekat dengan gedung fakultas ekonomi, dia terpaksa sering berjumpa dengan momok yang dia benci.Bahkan setelah masa ospek telah berlalu sekalipun, buat apa River masih merongrong dirinya? Demi Tuhan! Mika menggeretakkan gigi dengan jengkel. Namun, langkahnya tiba-tiba dihadang oleh orang yang dia maksud. Mata Mika langsung berputar sebal."Kamu menghindar, ya?!" sergah River tak percaya."Eh ... Nggak kok, Kak. Aku cuma ..., aku lagi agak buru-buru." Mika berbohong."Halah, nggak mungkin kamu nggak dengar aku tadi manggil kamu!" River membentak. "Lagi nggak ada kelas, kan? Tolong belikan roti, dong." River mengeluarkan dompet dari tas sandang kulitnya.Jelas-jelas permintaan River ini sama sekali tak masuk akal. Kenapa dia tak beli sendiri saja? Terlebih, cuma untuk membeli sepotong
Wajah Mika agak terperangah sewaktu mendapati sesosok gadis berseragam tengah berdiri di depan gerbang rumahnya. Gadis itu memegang tas sekolah di depan roknya, senyum manis campur gugup tersungging di bibirnya yang ranum."Kamu siapa? Ngapain di sini?" tanya Mika agak kebingungan."Kak Mika! Halo, Kak!" Gadis manis berambut bob itu menyapa Mika balik dengan hangatnya.Mika mengernyit. "Kamu kenal aku dari mana?""O, maaf, Kak ... nama aku Rossa. Aku adik kelas Kakak. Pasti Kakak nggak kenal aku, tapi aku kenal sama Kakak. Ya ... siapa juga yang nggak bakal kenal sama Kak Mika? Kak Mika kan istrinya Pak Janu. He he."Senyum Rossa entah mengapa cukup membuat Mika agak bergidik. Apa maunya cewek ini? pikirnya. "O gitu ya, jadi ada urusan apa? Cari Pak Janu?""Iya, Kak. Sebetulnya aku ada janji buat les privat sama Pak Janu. Tapi entah kenapa, Pak Janu nggak bisa dihubungi." Rossa memasang air muka murung."Kalau gitu masuk dulu ayo. Mun