Tania. Selalu saja nama wanita itu yang ia sebut ketika kami bercinta. Nama yang ia racau di setiap lelapnya. Bahkan fotonya masih tersimpan rapi di dompetnya.
Sakit hati? Itu pasti. Hati wanita mana yang tidak akan terluka jika suaminya masih saja memikirkan masa lalunya. Tidak peduli walau kini ia telah menikah. Namun, setiap saat masih saja berhubungan dengan mantan. Bukan mantan karena menurut suamiku jalinan cintanya dengan sang kekasih masih terjalin begitu erat.
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Tanpa cinta, tanpa rayuan, apalagi cumbuan, dia kembali meminta haknya. Sebagai seorang istri tentu aku tidak berani menolak. Apalagi usia pernikahan kami baru berjalan tiga bulan.
Orang bilang sedang panas-panasnya. Memang benar hasrat Ega, suamiku begitu besar. Namun, lagi-lagi aku harus menelan kepedihan saat mendengar dia mengucap nama Tania.
Amarah yang memuncak membuat aku mendepak tubuhnya. Membuat ia terjengkang dan menatapku tajam. Aku sendiri lekas memunguti pakaian, lantas memakainya.
"Mau ke mana? Kita belum selesai dalam berperang," cekalnya ketika aku hendak beranjak ke kamar mandi. Dadanya terlihat naik turun dengan napas yang memburu.
Kutatap balik mata elang itu. Terasa dingin dan juga mematikan. Sebenarnya nyaliku agak menciut melihatnya. Namun, demi melihat sikap egoisnya aku harus berani.
"Lepas!" kata cukup datar. Aku tidak mau terpancing emosi.
"Kamu ingin sengaja menyiksaku? Berhenti di tengah-tengah permainan," tuduhnya tajam. "Jangan keterlaluan kamu!" Ega menggeram seraya menyentak lenganku kasar. Membuat aku kembali terjatuh duduk di ranjang.
"Kamu yang keterlaluan." Aku menyergah cepat. "Kamu pikir aku ini boneka yang tidak punya perasaan. Kamu menyentuh dan mencumbui aku, tapi otak dan matamu memikirkan Tania. Itu dosa Ega!" makiku mulai tersulut amarah.
Ega sendiri terkekeh mendengarnya. Lelaki yang masih polos itu mulai memunguti pakaiannya. "Kenapa harus marah? Toh kamu tahu aku menikahimu juga karena terpaksa. Jadi terima saja," ejeknya dengan senyuman miring. Sementara tangannya mulai menutupi diri dengan baju.
"Maka dari itu, jangan pernah menyentuhku jika kamu masih memikirkan Tania," putusku tegas.
Lagi-lagi Ega terbahak. Seakan ucapanku adalah lawakan yang sangat lucu baginya. "Siapa kamu berani-beraninya ngatur aku?" Kini tatapan Ega kembali menyorot kebencian.
"Aku istrimu, kenapa?" balasku dengan segenap keberanian yang ada.
"Jangan ngelunjak! Kamu itu tidak lebih dari sekedar pelayanku saja!" Ega menegaskan.
"Tapi, papamu yang menjadikanku nyonya Ega Baskara sekarang," tukasku tidak mau kalah. "Sudahlah! Aku mau mandi dan jangan ganggu aku!" perintahku tegas.
Tanpa membuang waktu lagi, aku gegas menuju kamar mandi dalam kamar.
"Aku belum selesai bicara Mikaaa!"
Tidak kugubris teriakan Ega. Kakiku terus melangkah masuk ke kamar mandi. Mengunci rapat dan lekas masuk ke bilik mandi.
Bibirku membaca niat membersihkan badan dari hadas besar. Walau permainan ini berhenti di tengah jalan. Aku harus tetap berjunub.
Gemercik air dingin yang mengalir dari shower membasahi rambut hingga seluruh tubuh. Sebenarnya ini sudah larut malam. Namun, rasa risih memaksaku lekas membersihkan diri.
Sembari menggosok badan dengan bisa sabun kelebatan berbagai memori melintas di mata. Kenangan saat pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini.
Namaku adalah Mika Thalita. Kata Ibu artinya Gadis kecil yang cerdas dan manis. Aku bekerja sebagai tenaga perawat. Kebetulan aku mendapat tugas untuk merawat mamanya Ega yang terkena stroke.
Berkat ketekunan dan kesabaranku, mamanya Ega bisa sembuh dari sakitnya. Wanita itu sudah mulai bisa melangkahkan kaki. Dan hidup normal seperti biasanya.
Keberhasilanku membuat bahagia hati Bapak Edi Baskara, papa Ega. Selain memberikan banyak bonus, beliau juga memintaku menjadi putrinya. Yaitu dengan menjadikanku istri dari putra semata wayangnya.
Tentu saja aku waktu itu aku menolak. Selain memang tidak saling mencintai, aku dan Ega sama-sama sudah punya pilihan hati masing-masing.
Namun, Bapak Edi dan Ibu Gina, mama Ega, terus membujuk. Di saat yang bersamaan adik kandungku terkena musibah. Dika adikku terjatuh dari motor dan koma. Kami memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam waktu yang cepat.
Sementara aku dan keluarga berasal dari keluarga yang sederhana. Ibuku sudah lama menjanda. Dia adalah seorang karyawan pencuci piring di sebuah rumah makan. Gajinya tidak cukup untuk membayar biaya pengobatan Dika.
Begitu juga dengan diriku. Tabungan yang selama ini kusimpan masih belum cukup untuk membayar operasi Dika. Alasan itulah yang membuatku memantapkan hati untuk menerima pinangan dari keluarga Baskara.
Demi menyelamatkan nyawa Dika, aku rela mengorbankan hubungan dengan kekasih hati yang sudah terjalin dari lima tahun lalu. Sampai sekarang Ghani masih belum terima diputus sepihak olehku.
Di sisi lain Ega juga sudah punya tambatan hati sendiri. Tania namanya. Aku pernah beberapa kali bertemu mantan Ega.
Sebelum menikah denganku, Ega pernah beberapa kali membawa gadis itu ke rumah. Kuakui Tania sangat cantik dan menarik. Tubuhnya tinggi semampai dan terlihat begitu dirawat. Berbeda denganku yang memang sedikit tomboi.
Ucapannya halus dengan sikap yang lemah lembut membuat Tania begitu pantas menjadi menantu idaman. Entah alasan apa yang membuat Bapak Edi menjatuhkan pilihannya padaku. Dan kutahu itu menyakiti hati Ega.
Jika di hadapanku Ega tampak begitu dingin dan kaku. Namun, tidak bila di depan kedua orang tuanya. Ega akan menjelma menjadi sosok putra kesayangan yang penurut.
Setelah ditelusuri ternyata Ega hanya putra angkat dari Bapak Edi. Beliau dan sang istri mengadopsi Ega dari panti asuhan sedari kecil. Pantas saja rasanya Bapak Edi terlalu tua untuk menjadi ayah Ega yang masih berusia dua puluh enam tahun. Mungkin karena alasan itulah, walau dia sangat tersiksa dengan perjodohan ini. Akan tetapi, Ega tak kuasa menentang.
Satu bulan menikah dengan Ega, Bapak Edi dan Ibu Gina memutuskan untuk menempati rumah mereka yang ada di Puncak. Keduanya beralasan ingin menghabiskan masa tua di sana. Bapak Edi juga sudah sepenuhnya menyerahkan tingkat bisnisnya pada Ega.
Tidak sadar sudah hampir satu jam aku membersihkan diri. Hawa dingin mulai menyergap juga. Handuk piama kusambar untuk membalut tubuh. Dengan badan yang segar, aku keluar kamar mandi.
Tampak kamar legang, aku membuka pintu. Seprai masih berantakan dengan bantal dan guling yang tercecer di lantai. Sosok Ega tidak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia membersihkan badan di kamar mandi bawah. Dan aku tidak peduli.
Usai mengeringkan rambut dengan hair dryer, aku siap merehatkan badan kembali. Tidak ada tanda-tanda Ega akan menyusul. Lagi-lagi aku masa bod*h. Mata yang berat membuatku menarik selimut hingga sebatas leher.
*
Pagi hari seperti biasa, usai menjalankan ibadah dua rakaat, aku gegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan menyeduh kopi. Asal kalian tahu, kopi ini kubikin untuk diri sendiri. Karena Ega tidak pernah mau dibuatkan olehku.
Ketika tengah menata sarapan di meja makan, Ega datang mendekat. Lelaki yang pada pagi hari ini tampak begitu menawan dengan kemeja putih berdasi senada celana yaitu hitam. Tanganku memindai koper kecil yang ia geret.
"Aku akan pergi ke Bandung selama tiga hari," laporan Ega seakan tahu maksud tatapanku pada kopernya.
"Oh."
Hanya itu saja sahutan yang terlontar dari bibirku. Tanpa memandang wajah Ega, tanganku sibuk memindahkan nasi goreng dari wadah ke piring.
Sikap kaku ini Ega yang mengajarkan. Aku cukup sadar diri dengan keadaan. Namun, sikap dan perangai tidak bersahabat Ega yang membuatku bersikap demikian.
Sepiring nasi goreng kuangsurkan untuk Ega. Seperti biasa, Ega hanya menerima tanpa mau berucap kata terima kasih. Seperti biasa pula, kami makan berdua tanpa suara. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring yang mengiringi sarapan ini.
"Aku ke Bandung untuk menikahi Tania."
UHUK
Aku tersedak. Gelas panjang berisi air putih di depan piring, lekas kuraih untuk di tenggak.
"Aku sangat mencintai Tania dan kamu pun tahu itu," lanjut Ega enteng sambil mengaduk-aduk nasi goreng ayam buatanku. "Dan aku juga tidak butuh persetujuanmu," imbuh Ega serius menatapku.
"Kalo begitu cepat ceraikan aku dulu, baru kamu menikahi Tania," putusku tegas.
"Kamu ingin membunuh mamaku?" Mata Elang Ega mulai mengintimidasi.
"Tidak ada pilihan lain! Kamu pikir cuma kamu yang tersiksa dengan pernikahan ini?" balasku mencoba tenang. "Seperti yang kamu tahu aku pun punya kekasih sebelum menikah denganmu.
Ega mendengkus kasar. "Aku tidak suka ditentang, Mika!"
"Coba saja sana kamu nikahi Tania, maka detik ini juga aku telpon papamu." Aku bangkit berdiri, kemudian beranjak pergi.
"Mikaaa!"
Next.
"Mika!"Tidak kugubris panggilan dari Ega. Kakiku terus melangkah menuju kamar. Walau perut masih dilanda lapar. Namun, selera makan seketika hancur setelah mendengar omongan Ega barusan.Memang benar pernikahan kami tidak dilandasi cinta. Hanya karena keterpaksaan baik dariku maupun Ega. Walau begitu aku tidak mau alasan itu ia gunakan untuk berlaku semena-mena.Ketika tengah membuka pintu lemari.Ponsel di nakas bergetar. Penasaran akan siapa yang mengirim pesan, lekas kusambar benda tipis warna putih tersebut. Rupanya Ibu yang mengirim pesan.Mika, datang ke rumah Ibu, ya! Hari ini Ibu ada banyak pesanan. Tolong bantu Ibu ya, Nak.Ibu tunggu!Sudut bibirku naik ke atas. Kebetulan sekali aku yang sedang ingin menyegarkan pikiran memang berniat mengunjungi Ibu. Sudah lebih dari dua pekan aku tidak bertandang ke sana.Sekarang Ibu sudah tidak bekerja menjadi buruh pencuci piring. Ayah mertua memberinya modal yang cukup lumayan untuk membuka usaha. Hobi masak Ibu ia salurkan dengan me
Kesepakatan telah dibuat dan Ega telah menyetujuinya. Aku berharap dia tidak akan ingkar. Karena jika Ega menjalankan kesepakatan, maka hubungan kami akan selangkah lebih maju.Pernikahan kami kemarin digelar cukup sederhana untuk seorang Bapak Edi Baskara. Walau pria berkharisma itu menginginkan pesta yang meriah. Ega menolak dengan berbagai alasan.Tidak banyak orang yang tahu jika Ega telah menikah. Apalagi dia memang jarang sekali mengajakku pergi. Hanya sesekali saja itu pun jika melibatkan acara keluarga.Setelah kata deal terucap, aku pergi meninggalkan Ega menuju kamar. Merilekskan tubuh dengan berendam. Menenggelamkan diri pada lautan busa wangi. Rasanya sungguh menyenangkan.Setelah cukup merasa segar, aku kembali ke kamar. Berganti pakaian, lalu turun ke dapur untuk membuat makan malam.Ketika sampai dapur sudah ada Ega yang tengah sibuk mengiris bumbu. Penampilannya terlihat segar dengan rambut basah dan kaos rumahan yang santai. Pastinya dia mandi di kamar mandi bawah.Se
Melihat kedatangan Tania, aku dan Ega sama-sama tercekat. Ega bahkan tiba-tiba menurunkan aku dari gendongan. Langkahnya tergesa menghampiri gadis berambut panjang sepinggang itu. Dengan rambut yang sudah terlihat sangat basah, penampilan Tania tampak begitu memprihatinkan."Ta-Tania?" sapa Ega cukup terdengar lirih. Namun, binar matanya menunjukkan kebahagiaan. "Ke mana saja kamu selama ini?" Ega bertanya penuh kepedulian. "Ga ... aku butuh tempat berteduh sekarang," ujar Tania tidak mengindahkan pertanyaan Ega. "Aku diusir dari kontrakan." Tania melapor dengan memasang wajah memelas."Kamu belum jawab pertanyaanku. Sebulan ini kamu ke mana saja?" desak Ega terus menunjukkan kepedulian."Aku-""Kita bicara di dalam. Ayuk!" Ega menyela dan langsung mengajak Tania masuk.EHEM!Aku berdaham cukup keras. Membuat kedua sejoli itu menoleh. Wajah pucat Tania bertambah pias menyadari keberadaanku. Sementara Ega terlihat tidak peduli."Apa maksudnya dengan berbicara di dalam?" tanyaku menunj
"Tania ... kamu gak papa?" Kudengar Ega bertanya dengan penuh kepedulian. Kuping yang lumayan panas menarik kakiku untuk mendekat. Di depan pintu kamar mandi aku berpapasan dengan mereka. Ega merangkul Tania yang lesu hingga ke sofa ruang tengah. Peluh tampak membasahi paras cantik Tania.Tangan Ega meraih tisu yang tersedia di meja. Seolah mengabaikanku penuh perhatian dia mulai mengelap butiran keringat pada wajah Tania. Sementara sang wanita terkulai lemas dengan kepala bersandar pada sandaran sofa."Kamu kenapa, Tania?" Way ada rasa panas menjalar di hati melihat kepedulian Ega pada gadis itu. Namun, demi kesopanan aku perlu berbasa-basi."Entahlah." Tania menjawab lemah disertai gelengan yang pelan pula. "Akhir-akhir ini setiap pagi aku selalu muntah-muntah," tutur gadis itu terdengar cukup lirih."Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah pernah periksa ke dokter?" berondong Ega tampak begitu cemas."Gak ada waktu dan gak uang, Ega," balas Tania meringis miris."Jangan seperti itu, Ta
"Kamu tahu kenapa aku akhir-akhir ini menghindarimu?" tanya Tania di sela sedu-sedannya. Ega refleks menggeleng, sedangkan aku masih diam mematung. "Aku sengaja menghindarimu karena yakin kamu pasti tidak akan percaya, Ega. Tapi sungguh ... ini benihmu, Ga." Tania kembali menangis pilu. Benar-benar menyayat hati bagi mereka yang mendengar."Iya. Aku percaya." Ega langsung merengkuh Tania ke dalam dekapan.Air mata yang sedari tadi sekuat mungkin kubendung, kini membludak membasahi pipi. Dadaku terasa sesak saat mendengar Ega berulang kali mengucap kata maaf dan cinta pada Tania."Apapun yang terjadi aku siap bertanggung jawab," janji Ega terdengar mantap."Tapi, Ga, kedua orang tua asuhmu pasti menentang. Apalagi kini kamu sudah ada Mika." Tania terdengar memperingatkan. Namun, di sisi lain sorot matanya menggambarkan kebahagiaan."Kita akan menghadapinya bersama, Tania." Lagi Ega memeluk wanita ramping itu tanpa memedulikan keberadaanku.Aku sendiri mendadak kelu. Entah kenapa aku ti
Telapak tangan dingin Ega terasa kuat mencengkeram. Membuatku harus mendongak padanya. Lelaki itu berkedip. Seakan hendak menyampaikan sesuatu lewat sorot matanya.Feeling-ku pasti dia meminta bantuan mengenai Mika. Ahhh ... biar saja! Dia yang berbuat kenapa aku harus repot juga? Bukankah tadi siang, dirinya begitu sombong hendak berbicara jujur kepada orang tuanya. Sekarang saja, nyalinya ciut begitu.Tanpa mempedulikan Ega, kulepas genggaman tangannya. Kepala yang pening mengharuskan aku tergesa sampai dalam mobil. Kepala berat ini langsung kusandarkan pada sandaran jok.Tidak lama kemudian kedua orang tua Ega ikut masuk mobil. Mereka duduk di belakang. Sementara itu, dari kaca mobil terlihat Ega tengah menelepon seseorang. Wajahnya tampak serius. Mungkin saja dia sedang mengabari Tania kalau kedua orang tuanya akan bertandang."Kenapa Ega lama sekali sih?" tegur Bu Gina terdengar kesal. "Pa, coba panggil anak itu! Suruh dia masuk! Kasihan Mika kelamaan nunggunya. Dia lagi sakit in
Acara makan pizza telah usai. Kami semua bergantian cuci tangan di wastafel. Bu Gina dan Bapak Edi pamit tidur lagi ketika mendengar jarum besar berdetang sekali."Mama sangat menginginkan cucu. Dan kamu tidak akan mampu mewujudkannya, karena aku selalu pake pengaman," tutur Ega begitu kedua orang tuanya berlalu. Wajah dinginnya kini mencairkan senyum kemenangan. "Aku akan cari waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua," lanjutnya tenang, "dan kamu!" Ega menatapku tajam, "bersiaplah menerima kenyataan bahwa Tania akan menggeser posisimu menjadi menantu kesayangan mama dan papa," imbuhnya percaya diri.Ega terkekeh lirih. Sungguh ia tengah mengejek. Namun, aku tidak mau terpancing."Coba saja kalo berani," tantangku ikut tersenyum miring, "yang ada kamu akan ditendang oleh kedua orang tua angkatmu tanpa membawa sepeserpun harta.""Jangan terlalu percaya diri, Mika!" Ega mengingatkan dengan mencondongkan tubuh. Dia merapat padaku. Wajah kami sudah begitu dekat. Bahkan hembusan napasnya
Ega merebut ponsel yang masih berbunyi. Lelaki itu melempar benda tipis berwarna silver itu ke ranjang. Kini kedua tangannya memegang pundakku."Kenapa? Kenapa kamu tega ngurung Tania di kamar?" cecar Ega dengan geram. Kini pegangannya berubah jadi cengkeraman."Awww! Sakit, Ga." Aku mendesis merasakan sakit yang menggerus pundak."Tania itu sedang hamil. Tidak kah kamu kasihan pada dia?" Mata Elang Ega menukik tajam."Justru karena aku kasihan makanya aku kurung dia," sergah seraya menepis cengkeraman Ega. Namun, sia-sia. Tenaga tidak cukup kuat melawannya. "Kamu mau Tania ketahuan mama papamu saat berkeliaran?""Tapi dia pengap berada di kamar terus. Tania butuh udara segar. Dia juga butuh ke toilet, Mika!""Itu urusan kamu!" Kembali aku menyergah, "jika kamu ingin Tania hidup bebas silahkan bawa pergi dia dari sini!"Napas Ega terdengar memburu. "Kamu ini ...."Mataku tertutup saat melihat tangan Ega terangkat. Aku harus kuat. Selain dingin, Ega juga sedikit kasar. Namun, hingga be