Share

2. Kesepakatan

"Mika!"

Tidak kugubris panggilan dari Ega. Kakiku terus melangkah menuju kamar. Walau perut masih dilanda lapar. Namun, selera makan seketika hancur setelah mendengar omongan Ega barusan.

Memang benar pernikahan kami tidak dilandasi cinta. Hanya karena keterpaksaan baik dariku maupun Ega. Walau begitu aku tidak mau alasan itu ia gunakan untuk berlaku semena-mena.

Ketika tengah membuka pintu lemari.

Ponsel di nakas bergetar. Penasaran akan siapa yang mengirim pesan, lekas kusambar benda tipis warna putih tersebut. Rupanya Ibu yang mengirim pesan.

Mika, datang ke rumah Ibu, ya!

Hari ini Ibu ada banyak pesanan. Tolong bantu Ibu ya, Nak.

Ibu tunggu!

Sudut bibirku naik ke atas. Kebetulan sekali aku yang sedang ingin menyegarkan pikiran memang berniat mengunjungi Ibu. Sudah lebih dari dua pekan aku tidak bertandang ke sana.

Sekarang Ibu sudah tidak bekerja menjadi buruh pencuci piring. Ayah mertua memberinya modal yang cukup lumayan untuk membuka usaha. Hobi masak Ibu ia salurkan dengan membuat usaha katering.

Aku sendiri juga sedang butuh hiburan. Karena berdiam diri terus di rumah itu sangat membosankan. Apalagi tidak kawan untuk diajak berbincang. Rencananya tadi selain mengunjungi Ibu, aku sekalian mengajak Dika pergi untuk mencari hiburan.

Semenjak diangkat menjadi menantu, Bapak Edi Baskara menyuruhku resign dari pekerjaan. Hal itu ia lakukan agar hubunganku dengan Ega kian terjalin dekat. Sayangnya hingga detik ini kami masih saja seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu atap. Bahkan walaupun kami tidur dalam satu ranjang.

Ega tidak pernah mengajakku bicara jika bukan hal yang penting. Apalagi membawa ke luar sekedar untuk dikenalkan pada temannya. Kami terbiasa melakukan masalah pribadi sendiri-sendiri.

Urusan nafkah, Ega memang bertanggung jawab. Tiap bulan ia selalu mentransfer uang ke dalam rekeningku. Tidak pernah telat sekalipun.

Begitu juga dengan nafkah batin. Lelaki itu selalu memenuhi kewajiban itu. Di saat sedang tidak lelah, dia bisa menyentuhku lebih dari tiga kali dalam seminggu.

Hanya saja seperti yang kalian tahu. Sentuhan Ega padaku itu sangat hambar. Tidak ada cinta. Hanya napsu saja yang ia gunakan.

Ega bahkan terang-terangan tidak menginginkan anak dari rahimku. Dirinya kerap kali menggunakan kontrasepsi jika berhubungan guna mencegah aku hamil.

"Aku hanya ingin punya anak dari wanita yang kucintai," ucapnya santai saat ia menyuruhku untuk pasang KB.

"Kalo begitu kenapa harus menyentuhku jika tidak ingin aku hamil?" tanyaku ikut mencoba tenang. Walau di dalam sana hatiku gerimis.

"Itu bentuk tanggung jawabku sebagai seorang suami," balas Ega masih setia dalam kecongkakan. "Apalagi nafkah lahirmu sudah kupenuhi lebih dari cukup. Tugasmu adalah menjadi istri dan menantu yang baik di hadapan Mama-Papaku," titahnya tidak terbantahkan.

Mengingat percakapan itu hatiku menjerit lara. Bagi Ega aku tidak lebih dari boneka yang bisa ia mainkan sesukanya. Kadang hatiku sering dipenuhi tanya. Sampai kapan aku mampu mempertahankan ini semua?

Ponsel kembali kutaruh di nakas. Gegas kubuka kembali lemari. Sebuah blouse ungu pastel kupadukan dengan celana bahan model palazzo berwarna hitam. Rambutnya yang tadi digulung asal kini kugerai. Menyisir perlahan guna merapikan. Untuk menyegarkan wajah kusapukan bedak. Tidak lupa gincu tipis untuk menghidupkan bibir.

Ketika aku turun, Ega masih setia duduk di meja makan. Kedua tangan ia tumpu di atas meja untuk menutup badan. Sepertinya dia tengah kalut. Antara meneruskan niat untuk tetap maju menikahi Tania, atau mundur karena takut dengan ancamanku.

Sedikit ragu aku mendekati lelaki berkulit tembaga seksi itu untuk meminta izin pergi. Wejangan Ibu untuk selalu berbakti terus terngiang di telinga. Jangan pernah meninggalkan rumah jika suami tidak menghendaki. Jadi semalas apapun aku menghadapi Ega, aku harus pamit padanya.

"Eum ... aku mau pergi ke rumah Ibu," pamitku lirih.

Ega membuka kedua tangan. Menolehku sekilas. "Memangnya aku peduli." Balasan Ega lirih. Namun, cukup menusuk hati. Tahu begini tadi aku menyelonong pergi saja tanpa harus bermanis-manis meminta izin.

Sedikit menghentakkan kaki karena kesal, kutinggalkan lelaki tampan berjiwa kulkas itu. Motor matic hitam kesayangan kukeluarkan dari garasi. Ah ... rasanya ingin cepat menjumpai Ibu dan Dika.

Dengan kecepatan, sedang antara enam puluh menit perjam aku sampai di rumah Ibu lima belas menit kemudian. Pintu rumah tidak dikunci, walau begitu aku tetap mengucap salam. Ada jawaban dari dalam dan aku hapal suara itu. Itu suara Dika.

Langkahku ringan memasuki kamar pemuda tanggung berumur lima belas tahun itu. Seketika langkahku tercekat melihat ada sosok Ghani di kamar Dika. Pemuda itu tampak tengah serius mengutak-atik kipas angin berdiri yang terletak di sudut kamar Dika.

"Mbak Mika!" Dika yang menyadari kedatanganku berseru memanggil. Remaja kelas sepuluh SMA itu mendekat, lantas mengajakku bertos.

"Kenapa dengan kipasnya?" tanyaku pelan.

"Gak tahu. Tiba-tiba gak jalan. Nih lagi minta bantuan Mas Ghani," jawab Dika santai.

"Oh." Aku menyahut singkat.

Tidak sengaja mataku bertemu pandang dengan Ghani. Ada sekitar tiga menit kami saling bersitatap tanpa saling menyapa. Menit berikutnya kami sama-sama membuang muka.

Aku paham jika Ghani masih marah padaku. Aku dan dia tumbuh besar besar. Rumah kami saling bertetangga. Kami sama-sama terlahir dari keluarga sederhana.

Jika aku menjadi anak yatim dari lima tahun lalu. Ghani menjadi anak piatu dari sepuluh tahun terakhir. Ibunya meninggal saat melahirkan adik kembar perempuannya. Sementara sang Ayah yang seorang pelaut tidak pernah pulang semenjak ibunya tiada. Ghani dan keduanya tinggal bersama neneknya.

Lima tahun lalu Ghani menjadikanku kekasih hatinya. Kami berjanji akan menghalalkan hubungan jika usaha bengkel elektroniknya berkembang. Sayangnya impian itu hanya sebatas mimpi. Kecelakaan Dika membuatku memutuskannya secara sepihak.

Kutinggalkan kamar Andika segera. Langkahku menderap menuju dapur. Tatapan dingin dari Ghani tadi menghiasi mata.

Aku tahu Ghani terluka. Tapi tahukah dia, jika di sini aku pun sama tersiksanya. Pernikahan antara aku dan Ega memang menyisakan duka bagi banyak orang. Terutama Ghani dan Tania. Ahhh ... Andika tidak celaka mungkin aku masih merenda mimpi dengan Ghani.

"Mika." Ibu yang menyadari kedatanganku lekas menyapa. Tangannya yang kotor lekas ia cuci untuk memelukku hangat. "Apa kabarnya, Nak? Sehat? Bagaimana keadaan suamimu?" tanya Ibu usai melepas dekapan.

"Aku baik. Suamiku juga baik," jawabku pelan.

Senyum tipis kuukir untuk semua karyawan Ibu. Empat orang gadis sepantaran aku mengangguk sopan. Kemudian aku tahu apa yang mesti dikerjakan.

Selama tiga bulan menjadi menantu Bapak Edi Baskara, aku mengikuti kelas memasak. Lumayan, sekarang kepiawaianku hampir setara dengan Ibu.

Tiga jam aku ikut berkutat membantu Ibu membuat makanan pesanan katering. Kaki dan badan ini lumayan pegal-pegal juga. Untuk merilekskan tubuh, aku akan bawa Ibu dan Dika untuk bersenang-senang.

Kami akan pergi ke spa untuk dipijat. Jika Dika menolak kareba biar dia bermain di Timezone. Setelah itu aku dan Ibu lanjut berbelanja. Mengisi perut dengan makanan enak. Kemudian mencari hiburan dengan menonton film di bioskop.

Semua agenda itu berjalan dengan lancar. Ketika kami ke luar mall, hari sudah gelap. Karena sudah cukup malam, kuputuskan untuk langsung pulang ke rumah dengan menggunakan taksi. Motor yang dibawa sengaja ditinggal saja di rumah Ibu.

Mobil Ega sudah terparkir rapi di garasi. Lampu rumah pun sudah menyala semua. Pastinya Ega sudah tiba di rumah.

"Dari mana saja seharian pulang?" tegur Ega ketika aku melintas di depannya. Lelaki itu bertanya, terapi tatapannya tertuju pada layar televisi.

"Dari rumah ibu," jawabku santai.

"Tunggu aku belum selesai bicara!" Ega mencegah saat kakiku mulai menanjak anak tangga.

"Apa?" tanyaku seraya membalikkan badan. Kini mata kami saling beradu.

"Besok temani aku kondangan," pintanya terkesan susah mengutarakan.

"Tumben." Aku menyahut dengan sedikit melengkungkan bibir. "Biasanya enggan ngajak-ngajak," sindirku pelan.

"Besok acaranya sepupu jadi mama dan papa pasti akan datang. Dan aku gak mau hubungan kita dicurigai mereka," kilah Ega dingin.

"Kita lihat saja besok. Semoga aku gak sibuk," tuturku cuek. Kemudian kembali melangkahkan kaki.

"Mika!" Ega memanggil. Kembali aku membalikkan badan. "Jangan berlagak kamu!" Mata Ega mengintimidasi.

"Aku gak berlagak. Kan biasanya kamu yang gak mau ditemani aku," sahutku enteng.

"Kali ini lain. Sudah kubilang akan ada mama dan papa," tegas Ega mulai meninggi.

"Tidak perlu keras seperti itu! Aku gak tuli dan aku-"

"Oke, mau kamu apa sekarang?" Ega menyela cepat.

Dalam hati aku bersorak. Kena kamu. "Oke, aku mau nemenin kamu kondangan asal gak hanya hari ini saja. Tapi di setiap acara, kamu harus bawa aku dan mengenalkan pada teman-temanmu kalo aku ini istrimu. Eum ... juga jika aku butuh kamu untuk jadi pendamping, sibuk gak sibuk kamu harus mau. Deal?"

Ega mendengkus sebal. "Kenapa jadi banyakan kamu permintaannya?"

"Gak mau ya sudah."

"Iya, aku mau," tukas Ega cepat. Aku tersenyum. Ketika aku mengacungkan jari kelingking. Ogah-ogahan dia mengaitkan jari kecilnya. "Besok di hadapan keluarga kamu harus bersikap mesra kepadaku."

"Susah. Kan kamu ngajarin sikap kaku ke aku," balasku mengejek.

"Haruskah aku mengajarimu sekarang? Ayo kita ke kamar!"

"Tidak perlu jika otakmu masih dipenuhi wajah Tania," larangku tenang. Seanggun mungkin aku berlalu meninggalkan Ega yang menatapku sengit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status