"Soalnya kenapa, Bi?" tanya Meira sedikit cemas. Dia takut jika kehadiran anaknya akan memperkeruh suasana di tempatnya bekerja. Jika memang itu terjadi, Meira memilih pindah kerja karena nggak mungkin meninggalkan Aldo sendirian di kontrakan. Meira akan mengambil pekerjaan yang bisa pulang tiap sore agar bisa menemani Aldo di kontrakan."Nggak apa-apa sih, Mei. Cuma takutnya bapak sama Den Raka bertanya-tanya kenapa kerja sambil bawa anak gitu. Soalnya Den Raka itu susah-susah gampang orangnya. Pendiam dan dingin." Penjelasan Sumi membuat Meira sedikit banyak mengerti bagaimana karakter penghuni rumah itu. "Iya, Bi. Saya akan di kamar saja. Lagipula sudah ada tivi di sini. Jadi, bisa nonton tivi saja sambil menunggu bunda selesai bekerja." Kedua mata Meira kembali berkaca saat mendengar jawaban Aldo yang terdengar begitu peka dan dewasa. Lagi-lagi Meira minta maaf dalam hati karena harus melibatkan Aldo sejauh itu. Dia yang secara tak langsung memaksa buah hatinya untuk berpikir d
'Aku harus menyusul Meira ke Jogja. Dia belum pernah kerja apalagi ke luar kota. Mengurus dirinya sendiri saja belum bisa, apalagi mengurus Aldo segala.' Baim menggumam sembari menyiapkan kopernya. Beberapa baju dia siapkan untuk jaga-jaga bila menginap lebih lama. Dia juga sudah mengajukan cuti tiga hari untuk mencari keberadaan istri dan anaknya itu. "Mau kemana, Im?" Soraya sedikit bingung melihat anak lelakinya keluar kamar dengan kopernya. "Cari Meira sama Aldo, Bu. Pikiranku kacau gara-gara masalah ini." Baim menjatuhkan bobotnya di sofa lalu menyugar rambutnya sedikit kasar. "Kamu mau cari istrimu yang selingkuh itu?!" Soraya shock lalu buru-buru duduk di samping anak lelakinya. "Aku bingung, Bu. Kasihan Aldo kalau sampai dia kelaparan dan nggak punya tempat tinggal di luar sana.""Bukannya kamu bilang dia pergi ke Jogja? Siapa tahu di sana ada teman lelakinya yang ngasih tempat tinggal atau biaya hidup. Sudahlah, Im. Jangan pikirin Meira terus, nanti dia bakal ngelunjak. F
[Mas, kamu ke Jogja buat cari mantan istri dan anakmu? Kenapa nggak ajak aku, bisa sekalian kukenakan sama orang tuaku di sana. Aku susul ke Jogja ya, Mas? Aku telepon Om Adrian dulu mau izin tiga hari. Nanti kita ketemu di rumah ya?] Pesan dari Vonny membuat Baim kembali pening. Dia pasti sudah bertemu dengan ibu dan mendengarkan ceritanya soal kepergian Baim kali ini. Dia sengaja tak memberitahu pada Vonny karena merasa tak penting juga dia tahu. Baim tak ingin ada orang lain mencampuri masalahnya. [Nggak usah, Von. Aku cukup sibuk dan nggak lama di Jogja. Kita bisa ketemu di Jakarta saja] Baim menolak tegas. Dia tak ingin berkenalan dengan orang tua Vonny karena tak ingin memberikan harapan apapun pada perempuan itu. Vonny memang cantik, tapi bagi Baim, Meira tetap yang tercantik di hatinya. Dia belum bisa tenang sebelum memperjelas kekisruhan rumah tangganya. [Kok gitu sih, Mas. Aku cuma kenalin kamu sama papa mama sebagai teman kantor kok. Nggak lebih. Mau ya?] Baim hanya me
"Nanti bunda mau cari sekolah yang nggak terlalu jauh dari sini buat kamu ya, Sayang. Kamu harus cepat sekolah supaya nggak ketinggalan pelajaran." Meira mengusap puncak kepala Aldo yang masih tiduran di kasur. "Iya, Bun. Kangen juga sama suasana sekolah." Meira mengangguk pelan lalu mencium kening buah hatinya itu. "Kalau Aldo mau makan, bunda sudah ambilkan nasi sama lauknya di meja. Misal bosen di kamar, boleh keluar kok. Main di taman atau lihat ikan koi. Yang penting jangan pegang-pegang barang di rumah ini, takutnya jatuh atau rusak. Aldo mengerti kan?" Anak lelaki itu kembali mengangguk lalu tersenyum tipis. Jarum jam menunjuk angka enam, setelah selesai mencuci baju Dee, Meira memasak sayur sop dan membuat perkedel kentang untuk anak asuhnya. Dia masih sibuk di dapur saat terdengar langkah kaki dari area tangga. "Kamu asisten baru?" Pertanyaan itu mengalihkan kesibukan Meira. Kedua mata Meira dan laki-laki itu saling bertemu beberapa saat lalu saling mengalihkan pandangan.
[Aku ke rumah ibu sekarang, Din. Kamu tak perlu risau, oke? Kalau sudah sampai sana, nanti aku kabari]Sedikit gemetar, Meira membalas pesan Dina dan berusaha menenangkannya. Setidaknya agar Dina tak terlalu mengkhawatirkan ibunya sebab dia masih bekerja. Setelah menerima balasan dari Dina, Meira gegas ke kamar. Dia ingin pamit pada Aldo yang masih rebahan di tempat tidur karena memang masih cukup pagi. "Aldo, kamu di kamar dulu ya, Nak. Bunda ada urusan sebentar ke luar. Kalau sudah selesai, bunda lekas ke sini lagi. Jangan bikin gaduh ya, Nak. Nggak enak sama ibu dan bapak yang sudah mempekerjakan bunda di sini." Meira mengusap punggung anaknya pelan. "Bunda mau kemana?" tanya Aldo yang masih di depan jendela kamarnya. "Ke rumah Tante Dina sebentar. Barusan tante kirim pesan minta bunda ke sana sekarang. Makanya bunda buru-buru. Pokoknya kalau urusan sudah selesai, bunda langsung pulang ya?" Meira tersenyum meski dalam hatinya berdegup kencang, takut jika Baim berbuat macam-maca
"Assalamualaikum. Kamu nggak perlu mencariku ke sana sini, Mas. Aku sudah datang," ujar Meira dengan nada tegas. Dia tak ingin terlihat lemah di mata Baim yang kini sudah sangat berbeda di matanya. Baim yang dulu dia kenal seolah menghilang dan menjadi sosok lain yang tak dikenalnya. "Wa'alaikumsalam, Mei. Kamu datang?" Suara Lasmi sedikit gemetar. Wanita paruh baya itu beranjak dari kursi ruang tamu lalu memeluk Meira yang masih berdiri di ambang pintu. Dia merasa tak enak hati melihat wajah Lasmi yang cukup pucat dan ketakutan. Meira yakin jika pesan yang dikirimkan Dina tadi ada benarnya. Baim memang mengancam Lasmi agar membocorkan keberadaan Meira dan Aldo. Meira yakin itu. "Ibu maafkan saya." Meira berkaca-kaca melihat ekspresi Lasmi yang tak baik-baik saja di matanya. "Nggak apa-apa, Nduk. Selesaikan masalah kalian berdua. Jangan saling sembunyi. Memang sebaiknya begini supaya lebih jelas dan lega. Ibu ke dalam sebelntar mau buat teh ya? Selesaikan baik-baik karena kalian s
"Mei ... siapa dia?!" Baim menoleh pada Meira yang masih tak percaya jika laki-laki itu menyusulnya sampai rumah Lasmi. "Dia majikanku. Kenapa? Mau menuduhku macam-macam, Mas? Jaga bicaramu, aku nggak mau malu di depannya!" balas Meira pelan, tapi penuh penekanan. "Majikan?" Baim membulatkan kedua matanya. "Sudahlah. Kita sudah bercerai dan kamu nggak perlu mencampuri hidupku lagi, Mas. Silakan urus perceraian kita di pengadilan. Tanpa kehadiranku, bukannya semua lebih cepat diselesaikan?" Meira kembali menoleh. Dia menatap Baim beberapa saat yang masih ternganga seolah tak percaya apa yang Meira ucapkan. "Kamu lebih memilih dia dibandingkan-- "Dee menangis dan kamu malah asyik berduaan di sini, Meira?" Pertanyaan laki-laki yang bersama Ujang itu menghentikan ucapan Baim. "Ma-- maaf, Pak. Tadi saya sudah izin sama ibu." "Kamu lupa ucapan saya kemarin kalau-- "Saya masih ingat kok, Pak. Saya pamit Bu Lasmi sebentar." Meira buru-buru ke belakang untuk menemui Lasmi yang masih t
"Mas! Apa dia bisa membuktikan kalau dia tak berselingkuh? Apa kalian benar-benar mau rujuk?" Sedikit gugup Vonny mulai mengorek kehidupan Baim. Dia sangat berharap jika kata rujuk tak ada dalam kamus lelaki yang dicintainya kini. "Nggak ada bukti. Dia hanya bilang nggak pernah berselingkuh." "Orang yang berselingkuh memang selalu memiliki alibi macam-macam, Mas. Kalau kamu percaya dan memaafkannya lagi dan lagi. Bisa jadi kamu akan kecewa kesekian kalinya karena selingkuh nggak akan sembuh. Itu penyakit yang bisa kambuh kapan saja. Percaya sama aku deh." Vonny kembali mengompori, sementara Baim tak membalas. Dia hanya terdiam mendengarkan Vonny yang kembali bicara ini dan itu, persis apa yang disampaikan ibu dan kedua saudara perempuannya. "Jangan-jangan sekarang dia sudah punya gebetan baru. Masa iya dia berani pergi begitu saja dari Jogja kalau nggak ada backingan sih?!" tuduh Vonny lagi, membuat pikiran Baim semakin tak menentu. Laki-laki itu menghela napas kembali lalu memij
"Apa maksudmu ngomong begitu? Oh, kamu juga seperti mereka yang mengira kakakmu gila? Perlu obat penenang, perlu ke psikiater atau psikolog segala, begitu, Num?!" sentak Mawar membuat Hanum mundur selangkah. Meski tanpa suara, Ken semakin mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Hanum. "Kamu senang kan sekarang lihat Rena seperti itu? Puas sudah membuatnya seperti ini?!" tukas Mawar lagi. "Membuat Mbak Rena seperti ini, Bu? Maksud ibu apa menuduh Hanum begitu?!" Hanum membela diri. Dia tak terima difitnah sedemikian rupa oleh ibu tirinya itu, apalagi di depan banyak orang. "Bukannya Mbak Rena yang awalnya membuat hidup Hanum hancur? Dia yang berkhianat. Kenapa sekarang ibu justru menyalahkan Hanum? Nggak salah sasaran kan, Bu?" Hanum mulai berani membela dirinya lagi. Ken menoleh, lalu mengangguk pelan. Dia mendukung keberanian istrinya. Sudah cukup lama diam dan mengalah, waktunya untuk unjuk gigi karena mengalah pun percuma, mereka tak pernah peduli akan hal itu. "Lih
"Kenapa kamu bisa begini, Ren?!" Mawar setengah berteriak saat melihat anak kesayangannya mengobrak-abrik beberapa barang di ruang tamu. Para tetangga tak berani mendekat karena Rena begitu kesetanan setelah motor dan mobilnya diangkut dealer. Azziz pun memilih pergi entah kemana. Sepertinya dia benar-benar malas melihat istrinya yang sulit diatur dan kelewat batas. "Menantu kesayangan ibu itu sudah menghancurkan hidupku. Apa laki-laki seperti itu yang menurut ibu terbaik dan layak dipertahankan?!" sentak Rena dengan mata memerah. Dia mengusap kasar kedua pipinya yang basah air mata. "Tak ada asap kalau tak ada api, Rena! Azziz begitu setelah melihatmu--Mawar tak melanjutkan kalimatnya. Di melirik sekitar yang masih banyak tetangga. Sekesal dan semarah apapun pada anaknya, Mawar masih berusaha menutupi aibnya di depan banyak orang. Dia juga tak ingin nama baik anak perempuannya makin tercemar. "Bukannya ibu bilang kalau tak ada asal kalau tak ada api? Sama halnya denganku, Bu. Ak
"Oh, ternyata kalian di rumah?!" tukas Rena saat melihat Ken dan Hanum duduk santai di teras belakang. Hanum menoleh, begitu pula dengan Ken. Mereka sengaja keluar kamar karena tak ingin terus mendengarkan pertengkaran Rena dan Azziz. Namun, sepertinya Rena tetap salah paham."Iya, Mbak. Kami memang di rumah sejak--"Sengaja menguping pertengkaranku dengan Mas Azziz? Sengaja nggak bawa mobil supaya aku nggak tahu kalau kalian di rumah?!" tuduhnya berapi-api. "Apaan sih, Mbak! Jangan asal nuduh. Ngapain juga aku sengaja nguping obrolan kalian. Nggak penting banget dan kaya kurang kerjaan!" Hanum tak mau kalah. Sekarang dia memang mulai berani membela diri bahkan tak segan menangkis tangan Rena jika dia mulai berani macam-macam. Hanum tak selemah dulu. "Halah! Kamu pasti senang kan lihat rumah tanggaku hancur berantakan? Bangga kamu ya, Num! Sekarang kamu bisa hidup mapan, sementara aku malah seperti ini," sindir Rena sembari melipat tangan ke dada. Hanum beranjak dari kursi. Ken b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem