"Kamu nggak ada hak mengurusi isi rekeningku, Lin. Karena apa? Nggak semua isinya dari kantong kakakmu. Paham?!" sentak Meira sengit. Lina kembali mencibir.
"Nggak tahu malu. Sudah ditalak dan diminta tak membawa uang sepeserpun masih saja-- "Bicara saja terus, sepuasmu. Sampai mulutmu berbusa. Aku nggak peduli. Maaf, aku bukan tipe perempuan yang doyan ngemis dan mengiba seperti kamu demi mendapatkan barang yang kusuka. Kita beda level, Lina. Jadi, jangan samakan aku dengan kamu! Sorry!" Meira tersenyum miring melihat ekspresi Lina yang begitu shock. Perempuan itu pasti tak mengira jika Meira yang lembut dan kalem itu bisa mengucapkan kalimat-kalimat menohok untuknya. Wajahnya mendadak merah padam antara malu, marah dan kesal. Campur aduk, tapi mendadak kehabisan kata untuk membalas hinaan kakak iparnya. Meira keluar rumah. Tak peduli suara Lina yang mulai memaki-maki dirinya dan menyebutnya perempuan tak tahu diuntung. Meira tak peduli. Dia melangkahkan kaki menuju sekolah Aldo yang tak jauh dari rumah suaminya. Hanya lima menitan dari rumah, Meira sudah sampai di sekolah yang baru dibangun delapan tahun belakangan itu. Sebelum bel pulang sekolah, Meira melangkah ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan kepindahan Aldo. Sebenarnya dia tak ingin menceritakan masalah keluarganya. Hanya saja, dia harus jujur pada pihak sekolah alasannya memindahkan Aldo dari sana. Beruntung Aldo baru dua minggu menginjak bangku kelas tiga. Jadi, Meira merasa masih bisa mengejar ketertinggalan saat pindah sekolah nanti. "Maaf sebelumnya kalau kami boleh tahu, apa alasan ibu Meira memindahkan Aldo dari sini? Apakah sekolah kami kurang nyaman atau kurang bagus menurut ibu? Jika memang iya, ibu bisa menjelaskan pada kami di mana titik kelemahannya agar kami bisa berbenah." Pak Sultan, kepala sekolah Aldo begitu santun menanyakan alasan keputusan Meira yang sudah bulat itu. "Bukan masalah kurang nyaman atau kurang bagus, Pak. Saya mohon maaf sekali kalau bapak berpikir sampai ke arah sana. Alasan saya memindahkan sekolah Aldo sebenarnya karena masalah keluarga. Jadi, saya akan mengajak Aldo pergi dari kota ini, Pak. Makanya sebelum pindah saya ingin mengurus semuanya dulu supaya nanti lebih tenang." Meira tersenyum tipis sembari mengangguk pelan. Dia berharap Sultan tak menanyakan detail masalah keluarganya karena Meira bingung menjelaskannya bagaimana. "Jadi, ibu Mei dan Pak Baim mau pindah ke Jogja makanya Aldo juga harus pindah sekolah. Begitu, Bu?" tanya Sultan lagi sembari mengisi berkas-berkas yang diminta Meira. "Saya sama Aldo saja, Pak. Ayahnya tetap tinggal di sini." Kali ini wajah Meira sedikit sendu. Dia mencoba tersenyum, tapi begitu ketara jika dia tak baik-baik saja. "Oh ... saya paham. Maaf kalau terkesan menyudutkan. Saya isi data-datanya dulu ya, Bu." Sultan pun mengerti apa maksud masalah keluarga yang sempat diucapkan wali muridnya tadi. Tak ingin bertanya lebih yang tentu akan membuat wali muridnya tak enak hati, Sultan lebih memilih mengikuti kemauannya. "Sekolah di sini atau di manapun tak jauh beda, Bu. Intinya mendidik anak-anak agar lebih pintar. Tak sekadar fokus memberikan nilai-nilai akademiknya, tapi juga membimbing dan mengajari anak-anak untuk bertingkah laku lebih baik. Agar mereka bisa mengontrol emosi, bersosialisasi dan mengenal Allah. Semoga Aldo bisa lebih baik di sekolah barunya nanti ya, Bu. Untuk ibu dan bapak, semoga diberi jalan terbaik. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk semuanya." Sultan kembali memberikan sedikit pesan dan pengertiannya pada Meira selalu wali anak didiknya. "Terima kasih banyak, Pak. Saya juga sangat berterimakasih karena bapak dan guru-guru di sini mau membimbing anak saya dengan baik dan sabar. Semoga dibalas dengan kebaikan yang berlipat oleh Allah. Aamiin." Keduanya sama-sama mengaminkan doa masing-masing. Setelah urusan dengan kepala sekolah dan pemilik yayasan beres, Meira pun melangkah tergesa ke kelas Aldo. Suasana mulai sepi karena beberapa siswa sudah keluar kelas. Tersisa empat siswa yang belum dijemput orang tuanya dan wali kelasnya saja. Tanpa membuang waktu, Meira pun berpamitan dan menceritakan rencana kepindahan Aldo ke Jogja. Dia juga memperlihatkan berkas-berkas yang sudah ditandatangani kepala sekolah dan disahkan pemilik yayasan untuknya. Meski dengan berat hati karena terlalu mendadak, wali kelas dan beberapa guru pun melepaskan Aldo untuk melanjutkan pendidikannya di tempat lain. "Bun, memangnya kita mau pindah? Kok mendadak begini?" tanya Aldo dengan polosnya. Meira memang mengurus semuanya lebih dulu sebelum menceritakannya pada Aldo. Selain karena memang mendadak ditalak dan diusir, Meira juga masih mencari cara untuk menjelaskan pada Aldo apa alasan kepindahannya. "Alasan pindah ini karena ayah ya, Bun?" tebak Aldo lirih seolah tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara bunda dan ayahnya. "Ayah dan bunda harus berpisah, Sayang. Kita akan hidup di Jogja dan ayah bisa sesekali menjenguk kita di sana. Kamu nggak apa-apa kan?" Meira mencoba meredam rasa sesak di dadanya. Air bening yang nyaris menyembul keluar dari kelopak matanya itu pun berusaha ditekan sedemikian rupa. Meira nggak mau Aldo melihat tangis pilunya. Dia ingin terlihat baik-baik saja di mata anak semata wayangnya itu. "Bunda dan ayah mau berpisah?" Suara Aldo sedikit terbata. Meira hanya menghela napas. Dia benar-benar kesulitan memberikan jawaban. Terlalu berat dan menyakitkan. "Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika. ***"Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika. "Tante Vonny?" ulangnya lirih. Aldo mengangguk pelan. "Iya, Bun. Ayah pernah memperkenalkan tante itu pada Aldo saat ngobrol di handphone nenek. Ayah bilang itu teman kantornya kok, Bun. Bukan siapa-siapa. Aldo harap bunda dan ayah tak marahan lagi. Jadi, Aldo tetap bisa sekolah di sini." Wajah polos Aldo tak kuasa membuat Meira menitikkan air mata. Dia bisa memendam rasa sakitnya sndiri, tapi melihat Aldo seperti saat ini membuat batin Meira semakin tersiksa. 'Apakah Mas Baim benar-benar memiliki wanita idaman lain sampai menjatuhkan talaknya begitu saja padaku? Apakah Tante Vonny yang dia perkenalkan pada Aldo itu adalah wanita idamannya? Jika memang iya, kepergianku rasanya bukanlah keputusan yang salah.' Berbagai pertanyaan dan pernyataan lalu lalang di benak Meira. Meira menghela napas panjang. Dia berusaha meyaki
Meira mengajak Aldo segera pergi dari rumah itu. Tak ada gunanya tinggal di sana. Yang ada semakin menyesakkan dada karena terus disakiti batinnya. Bocah berusia sembilan tahun itu cukup mengerti bagaimana perasaan bundanya. Tak banyak tanya dan mengeluh, dia mengikuti langkah sang bunda keluar dari area perumahan itu. "Bunda jangan sedih. Aldo akan selalu menemani bunda," lirihnya dengan mata berkaca saat menunggu taksi datang. Tak kuasa menahan haru, Meira memeluk anak lelakinya lagi dan lagi. Dia merasa begitu beruntung memiliki Aldo yang pengertian terhadap masalah yang kini menimpanya. Tak menuntut untuk lekas dijelaskan ini dan itu. Aldo memilih diam dan mengikuti apapun keputusan bundanya. "Makasih, Sayang. Kamu memang anak terbaik dan terhebat bunda. Apa kamu takut tinggal bersama bunda saja?" tanya Meira sembari membingkai wajah Aldo. Mereka saling tatap, menekuri wajah masing-masing yang jelas terlihat sendu. Aldo tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak, Bun. Aldo
"Meira sudah pergi, Im. Sesuai permintaanmu, dia pergi tanpa membawa barang apapun." Soraya tersenyum tipis sembari duduk di sofa ruang tengah. Baim yang saat ini baru menyelesaikan makan siangnya hanya mengiyakan. Ada rasa pilu yang menyusup dalam dada. Namun, rasa kecewa yang dia rasakan telah melampaui batas. Baim tak ingin menyesali keputusannya menjatuhkan talak itu pada Meira. Gadis sederhana yang dia nikahi sepuluh tahun silam. "Meira itu sombong. Sebelum pergi, kakakmu sempat memberinya uang saku, tapi ditolak mentah-mentah. Dia bilang nggak butuh uang dari kita. Ibu yakin dia bakal minta saku dari laki-laki itu. Pantas saja saat kamu jatuhkan talak, dia biasa saja. Mungkin memang itu yang dia tunggu, Im." Soraya terus mengompori anak lelaki satu-satunya itu. Selama ini, lebih tepatnya setelah suaminya tiada, Soraya memang lebih bersemangat mengadu domba anak dan menantunya agar tak akur. Beragam cara dia lakukan agar keduanya berpisah. Tak hanya dia, kedua anak perempuanny
"Beli apalagi dong, Mas? Aku nggak tahu makanan dan barang kesukaan ibu kaya apa," ucap Vonny setelah keluar dari toko kue. "Kamu bilang dong makanan dan barang favorit ibu itu apa. Biar aku bisa cari yang kira-kira pas buat ibu. Takutnya ibu nggak suka pilihanku, aku kan jadi nggak enak, Mas." Vonny terus saja berceloteh, sementara Baim hanya membalasnya sesekali. "Ambil saja yang sesuai hatimu, ibu akan tetap menerimanya dengan baik, Von. Jangan terlalu banyak dan jangan mahal-mahal," balas Baim kemudian. "Ngasih orang tua itu harus yang terbaik, Mas." "Iya, tapi-- "Sudah. Sudah. Aku mau beliin ibu gamis dulu di toko itu ya? Kalau kamu nggak mau ikut, boleh tunggu di mobil saja. Nggak lama kok, aku segera balik." Vonny menyerahkan dua kotak kue ke tangan Baim sebelum pamit ke toko busana yang ada di seberang jalan. Hari ini adalah hari pertama Baim mengajak Vonny ke rumah. Gadis itu terlalu heboh, ingin begini dan begitu. Padahal Baim hanya menuruti permintaan ibunya untuk mem
Baim bergeming di tepi ranjang. Dia malas keluar karena ibunya masih terus menyudutkan Meira di depan Vonny. Baim tahu Meira tak sepolos yang dia kira, tapi dia merasa tak sepantasnya ibu selalu menyudutkannya. Baim masih saja tak rela jika ibu kembali mengungkit asal usulnya yang memang terbuang di panti asuhan. [Selamat tinggal, Mas. Berbahagialah dengan dunia barumu. Aku dan Aldo juga akan bahagia dengan lembaran baru kami. Satu hal yang harus kamu tahu, aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita. Sepertinya justru kamulah yang mulai bermain mata] Baim cukup shock dengan pesan dan foto yang muncul di layar handphonenya. Meira. Kekhawatirannya benar-benar terjadi. Meira tahu kebersamaannya dengan Vonny di cafe tadi. "Aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita." Baim tersenyum miring saat mengulang kalimat itu. Kata-kata yang baginya terlalu bo doh dan tak pantas dipercaya. Dua kali Baim memergoki Meira diantar pulang oleh Arya dan dua kali pula dia memaafkan kesalahannya. Bera
Baim mulai gelisah. Berulang kali mencoba menghubungi Meira, tapi berulang kali pula nomornya tak aktif. Baim memang belum sepenuhnya bisa mengikhlaskan Meira. Rasa cinta itu masih ada di dalam hatinya. Begitu pula rasa khawatir yang kini mendadak begitu terasa. Baim ingat jika tiga hari lalu Meira sempat bilang uang bulanannya habis karena diminta ibu untuk melunasi cicilan gamisnya. Hanya tersisa lima ratus ribu saja sampai akhir bulan. Itu artinya Meira tak memiliki uang cukup untuk pegangan. "Pergi kemana kamu, Mei? Apa kamu benar-benar pergi jauh seperti yang kukatakan dalam pesan itu? Apa kamu sesakit itu sampai mematikan handphonemu?" Baim bermonolog. Rasa takut mulai menelusup dalam hatinya. Dia takut jika Meira kecewa dan frustasi hingga melakukan hal-hal yang tak diinginkan. Ada secuil penyesalan dalam hatinya karena sudah meminta Meira pergi sejauh mungkin agar tak bisa ditemukannya lagi. "Seharusnya aku tak seegois itu. Bagaimana mungkin aku membiarkan Meira pergi tanp
Baim mengerjap. Dibaca kembali pesan dari bunda untuk kedua kalinya. Jika bunda menanyakan Meira, itu artinya dia tak ada di panti. Jika tak balik ke panti, lantas kemana Meira pergi? Baim kembali bingung dan mulai menduga-duga. Baim tahu pasti jika Meira tak memiliki siapa-siapa selain bunda dan keluarganya. Pikiran buruk pun mulai menyesaki benak. Mungkinkah Meira pergi bersama Arya? Apakah Arya berdusta soal keberangkatannya ke Belanda? Atau mereka memang sengaja merencanakan ini semua? Baim melemparkan vas bunga di meja rias ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Rasa cemburu dan emosi itu kembali menyala setelah mendapatkan pesan dari bunda. Baim mulai menerka-nerka siapa yang datang ke panti asuhan itu. "Nggak mungkin Arya. Iya, nggak mungkin! Aku harus yakin jika dia memang sudah ke Belanda tiga hari lalu. Tiketnya pun aku tahu. Lagipula dia bukan paruh baya. Usianya saja sama denganku baru menginjak kepala tiga. Kalau memang Arya y
Baim keluar kamar setelah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam berkerah dan celana jeans di bawah lutut. Wajahnya tampak lebih segar setelah membersihkan badan. Vonny tersenyum tipis saat menatap lelaki itu sekilas. Soraya pun sempat melirik ke arahnya. Wanita itu sangat berharap jika Vonny benar-benar menjadi menantunya. Calon menantu yang selama ini diidam-idamkannya. "Sorry, Von. Agak kelelahan tadi, makanya istirahat di kamar. Gimana ibu? Pasti teramat cerewet kan?" Baim tersenyum tipis sembari melirik ibunya. "Kamu ini, sama ibu sendiri selalu dijelek-jelekkan." Soraya tersenyum kecut, sementara Vonny melebarkan senyumnya."Nggak kok, Mas. Ibu sangat ramah dan aku bersyukur bisa mengenal beliau. Sosoknya mengingatkanku pada mami yang telah tiada." Vonny menghela napas panjang lalu kembali menatap wanita paruh baya di depannya. Soraya dan Baim pun saling pandang. Keduanya tak tahu jika Vonny sudah tak memiliki ibu. "Oh, mami kamu sudah tiada?" Baim bertanya singkat. Vonny pun
"Apa maksudmu ngomong begitu? Oh, kamu juga seperti mereka yang mengira kakakmu gila? Perlu obat penenang, perlu ke psikiater atau psikolog segala, begitu, Num?!" sentak Mawar membuat Hanum mundur selangkah. Meski tanpa suara, Ken semakin mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Hanum. "Kamu senang kan sekarang lihat Rena seperti itu? Puas sudah membuatnya seperti ini?!" tukas Mawar lagi. "Membuat Mbak Rena seperti ini, Bu? Maksud ibu apa menuduh Hanum begitu?!" Hanum membela diri. Dia tak terima difitnah sedemikian rupa oleh ibu tirinya itu, apalagi di depan banyak orang. "Bukannya Mbak Rena yang awalnya membuat hidup Hanum hancur? Dia yang berkhianat. Kenapa sekarang ibu justru menyalahkan Hanum? Nggak salah sasaran kan, Bu?" Hanum mulai berani membela dirinya lagi. Ken menoleh, lalu mengangguk pelan. Dia mendukung keberanian istrinya. Sudah cukup lama diam dan mengalah, waktunya untuk unjuk gigi karena mengalah pun percuma, mereka tak pernah peduli akan hal itu. "Lih
"Kenapa kamu bisa begini, Ren?!" Mawar setengah berteriak saat melihat anak kesayangannya mengobrak-abrik beberapa barang di ruang tamu. Para tetangga tak berani mendekat karena Rena begitu kesetanan setelah motor dan mobilnya diangkut dealer. Azziz pun memilih pergi entah kemana. Sepertinya dia benar-benar malas melihat istrinya yang sulit diatur dan kelewat batas. "Menantu kesayangan ibu itu sudah menghancurkan hidupku. Apa laki-laki seperti itu yang menurut ibu terbaik dan layak dipertahankan?!" sentak Rena dengan mata memerah. Dia mengusap kasar kedua pipinya yang basah air mata. "Tak ada asap kalau tak ada api, Rena! Azziz begitu setelah melihatmu--Mawar tak melanjutkan kalimatnya. Di melirik sekitar yang masih banyak tetangga. Sekesal dan semarah apapun pada anaknya, Mawar masih berusaha menutupi aibnya di depan banyak orang. Dia juga tak ingin nama baik anak perempuannya makin tercemar. "Bukannya ibu bilang kalau tak ada asal kalau tak ada api? Sama halnya denganku, Bu. Ak
"Oh, ternyata kalian di rumah?!" tukas Rena saat melihat Ken dan Hanum duduk santai di teras belakang. Hanum menoleh, begitu pula dengan Ken. Mereka sengaja keluar kamar karena tak ingin terus mendengarkan pertengkaran Rena dan Azziz. Namun, sepertinya Rena tetap salah paham."Iya, Mbak. Kami memang di rumah sejak--"Sengaja menguping pertengkaranku dengan Mas Azziz? Sengaja nggak bawa mobil supaya aku nggak tahu kalau kalian di rumah?!" tuduhnya berapi-api. "Apaan sih, Mbak! Jangan asal nuduh. Ngapain juga aku sengaja nguping obrolan kalian. Nggak penting banget dan kaya kurang kerjaan!" Hanum tak mau kalah. Sekarang dia memang mulai berani membela diri bahkan tak segan menangkis tangan Rena jika dia mulai berani macam-macam. Hanum tak selemah dulu. "Halah! Kamu pasti senang kan lihat rumah tanggaku hancur berantakan? Bangga kamu ya, Num! Sekarang kamu bisa hidup mapan, sementara aku malah seperti ini," sindir Rena sembari melipat tangan ke dada. Hanum beranjak dari kursi. Ken b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem