"Kamu nggak ada hak mengurusi isi rekeningku, Lin. Karena apa? Nggak semua isinya dari kantong kakakmu. Paham?!" sentak Meira sengit. Lina kembali mencibir.
"Nggak tahu malu. Sudah ditalak dan diminta tak membawa uang sepeserpun masih saja-- "Bicara saja terus, sepuasmu. Sampai mulutmu berbusa. Aku nggak peduli. Maaf, aku bukan tipe perempuan yang doyan ngemis dan mengiba seperti kamu demi mendapatkan barang yang kusuka. Kita beda level, Lina. Jadi, jangan samakan aku dengan kamu! Sorry!" Meira tersenyum miring melihat ekspresi Lina yang begitu shock. Perempuan itu pasti tak mengira jika Meira yang lembut dan kalem itu bisa mengucapkan kalimat-kalimat menohok untuknya. Wajahnya mendadak merah padam antara malu, marah dan kesal. Campur aduk, tapi mendadak kehabisan kata untuk membalas hinaan kakak iparnya. Meira keluar rumah. Tak peduli suara Lina yang mulai memaki-maki dirinya dan menyebutnya perempuan tak tahu diuntung. Meira tak peduli. Dia melangkahkan kaki menuju sekolah Aldo yang tak jauh dari rumah suaminya. Hanya lima menitan dari rumah, Meira sudah sampai di sekolah yang baru dibangun delapan tahun belakangan itu. Sebelum bel pulang sekolah, Meira melangkah ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan kepindahan Aldo. Sebenarnya dia tak ingin menceritakan masalah keluarganya. Hanya saja, dia harus jujur pada pihak sekolah alasannya memindahkan Aldo dari sana. Beruntung Aldo baru dua minggu menginjak bangku kelas tiga. Jadi, Meira merasa masih bisa mengejar ketertinggalan saat pindah sekolah nanti. "Maaf sebelumnya kalau kami boleh tahu, apa alasan ibu Meira memindahkan Aldo dari sini? Apakah sekolah kami kurang nyaman atau kurang bagus menurut ibu? Jika memang iya, ibu bisa menjelaskan pada kami di mana titik kelemahannya agar kami bisa berbenah." Pak Sultan, kepala sekolah Aldo begitu santun menanyakan alasan keputusan Meira yang sudah bulat itu. "Bukan masalah kurang nyaman atau kurang bagus, Pak. Saya mohon maaf sekali kalau bapak berpikir sampai ke arah sana. Alasan saya memindahkan sekolah Aldo sebenarnya karena masalah keluarga. Jadi, saya akan mengajak Aldo pergi dari kota ini, Pak. Makanya sebelum pindah saya ingin mengurus semuanya dulu supaya nanti lebih tenang." Meira tersenyum tipis sembari mengangguk pelan. Dia berharap Sultan tak menanyakan detail masalah keluarganya karena Meira bingung menjelaskannya bagaimana. "Jadi, ibu Mei dan Pak Baim mau pindah ke Jogja makanya Aldo juga harus pindah sekolah. Begitu, Bu?" tanya Sultan lagi sembari mengisi berkas-berkas yang diminta Meira. "Saya sama Aldo saja, Pak. Ayahnya tetap tinggal di sini." Kali ini wajah Meira sedikit sendu. Dia mencoba tersenyum, tapi begitu ketara jika dia tak baik-baik saja. "Oh ... saya paham. Maaf kalau terkesan menyudutkan. Saya isi data-datanya dulu ya, Bu." Sultan pun mengerti apa maksud masalah keluarga yang sempat diucapkan wali muridnya tadi. Tak ingin bertanya lebih yang tentu akan membuat wali muridnya tak enak hati, Sultan lebih memilih mengikuti kemauannya. "Sekolah di sini atau di manapun tak jauh beda, Bu. Intinya mendidik anak-anak agar lebih pintar. Tak sekadar fokus memberikan nilai-nilai akademiknya, tapi juga membimbing dan mengajari anak-anak untuk bertingkah laku lebih baik. Agar mereka bisa mengontrol emosi, bersosialisasi dan mengenal Allah. Semoga Aldo bisa lebih baik di sekolah barunya nanti ya, Bu. Untuk ibu dan bapak, semoga diberi jalan terbaik. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk semuanya." Sultan kembali memberikan sedikit pesan dan pengertiannya pada Meira selalu wali anak didiknya. "Terima kasih banyak, Pak. Saya juga sangat berterimakasih karena bapak dan guru-guru di sini mau membimbing anak saya dengan baik dan sabar. Semoga dibalas dengan kebaikan yang berlipat oleh Allah. Aamiin." Keduanya sama-sama mengaminkan doa masing-masing. Setelah urusan dengan kepala sekolah dan pemilik yayasan beres, Meira pun melangkah tergesa ke kelas Aldo. Suasana mulai sepi karena beberapa siswa sudah keluar kelas. Tersisa empat siswa yang belum dijemput orang tuanya dan wali kelasnya saja. Tanpa membuang waktu, Meira pun berpamitan dan menceritakan rencana kepindahan Aldo ke Jogja. Dia juga memperlihatkan berkas-berkas yang sudah ditandatangani kepala sekolah dan disahkan pemilik yayasan untuknya. Meski dengan berat hati karena terlalu mendadak, wali kelas dan beberapa guru pun melepaskan Aldo untuk melanjutkan pendidikannya di tempat lain. "Bun, memangnya kita mau pindah? Kok mendadak begini?" tanya Aldo dengan polosnya. Meira memang mengurus semuanya lebih dulu sebelum menceritakannya pada Aldo. Selain karena memang mendadak ditalak dan diusir, Meira juga masih mencari cara untuk menjelaskan pada Aldo apa alasan kepindahannya. "Alasan pindah ini karena ayah ya, Bun?" tebak Aldo lirih seolah tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara bunda dan ayahnya. "Ayah dan bunda harus berpisah, Sayang. Kita akan hidup di Jogja dan ayah bisa sesekali menjenguk kita di sana. Kamu nggak apa-apa kan?" Meira mencoba meredam rasa sesak di dadanya. Air bening yang nyaris menyembul keluar dari kelopak matanya itu pun berusaha ditekan sedemikian rupa. Meira nggak mau Aldo melihat tangis pilunya. Dia ingin terlihat baik-baik saja di mata anak semata wayangnya itu. "Bunda dan ayah mau berpisah?" Suara Aldo sedikit terbata. Meira hanya menghela napas. Dia benar-benar kesulitan memberikan jawaban. Terlalu berat dan menyakitkan. "Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika. ***"Assalamualaikum." Salam terdengar dan semua yang duduk di ruang tamu itu pun membalas salamnya. Tak hanya Rudy yang kaget melihat tamu itu, tapi juga Ken dan Hanum. Mereka saling tatap lalu Rudy meminta Hanum duduk kembali saat menantunya itu akan menyambut tamunya. "Biar bapak saja. Kamu ajak ngobrol mama dan papa dulu, Num," pinta Rudy sembari beranjak dari sofa. Laki-laki itu menatap tajam ke arah tamunya lalu menarik pergelangan tangan perempuan itu untuk menjauh. Di bawah pohon mangga halaman rumah, Rudy menghempaskan tangan perempuan itu. "Aku sudah cukup sabar selama ini, War. Bahkan setelah kujatuhkan talak pun, aku masih mengurusi tempat tinggal dan jatah iddahmu. Jangan bikin aku semakin muak dan menjadi mantan suami yang tega. Mau apalagi datang ke sini?" sentak Rudy tak terima kedatangan mantan istrinya itu. Rudy yakin Mawar sengaja datang tepat di saat kedua orang tua Ken berkunjung. Entah apa rencananya, tapi Rudy yakin jika itu rencana yang buruk. "Kamu apa-apaan
"Kenapa, Ken?!" pekik Sundari yang spontan memeluk menantunya lebih erat. "Hati-hati, Mas. Ada apa?" Hanum ikut bertanya. "Astaghfirullah. Ada kucing nyebrang tiba-tiba. Maaf, Ma, Pa, Sayang. Itu kucingnya sudah diseberang," tunjuk Ken ke seberang jalan. Seperti yang lain, Ken pun berdebar tak karuan. Dia nyaris menabrak kucing itu kalau nggak mengerem mendadak tadi. Jantungnya berdegup kencang. Ken memilih menepikan mobilnya lebih dulu untuk menetralkan debar dadanya. "Atau papa yang gantiin nyetir?" Wicaksono menawarkan. "Nggak, Pa. Tadi memang aku agak kurang fokus, makanya sedikit oleng saat ada kucing." Ken kembali melajukan mobilnya perlahan. "Kenapa kurang fokus? Ada masalah di kantor?" tanya Wicaksono lagi. Sundari mengusap punggung Hanum beberapa kali untuk menenangkan. Tak lupa mengusap perut menantunya yang makin membuncit itu. "Sudah nggak apa-apa," ujar Sundari pada Hanum. Kedua perempuan itu pun saling tatap lalu sama-sama tersenyum. "Nggak ada masalah, Pa. Cuma
Jarum jam menunjuk angka tujuh pagi. Suasana di rumah Ken cukup berbeda kali ini. Kemarin sore, papa dan mamanya datang dari Jogja untuk menjenguk mereka, sekalian akan berkunjung ke rumah besan. "Akhirnya mama merasakan kembali masakan Hanum," ujar Sundari di ruang makan. Hanum tersenyum, sembari menuangkan air putih ke gelas mertuanya. Dia sengaja menyiapkan sarapan pagi untuk mereka hari ini. Ada soto, rawon dan ayam goreng. Dibantu Bi Santi membuat sate telur puyuh, perkedel dan beberapa gorengan. "Kangen ya, Ma?" Ken menimpali. "Kangen banget. Nggak cuma masakannya yang bikin kangen, tapi orangnya juga. Bulan depan mama sudah longgar, nggak banyak kegiatan. Makanya, pengin ajak Hanum keliling Jogja. Nanti kalian bareng mama sama papa ke Jogja ya? Kita adakan acara empat bulanan Hanum sama tujuh bulanan Mbak Meira sekalian di sana biar makin seru," ujar Sundari begitu bersemangat. Ken menatap Hanum beberapa saat lalu sama-sama tersenyum. "Iya, Ma. Kan sejak awal juga begitu
Malam ini langit terlihat lebih cerah dengan hiasan beragam bintang. Malam pertama setelah Mawar pergi dari rumah yang sudah lebih dari 10 tahun dia tinggali. Rudy baru keluar dari pintu dengan secangkir teh hangat dan pisang goreng yang dibelinya di warung tadi. Dia memilih duduk di teras sembari menikmati cerahnya langit dan lalu lalang kendaraan di depan rumah. Sesekali terdengar suara tawa dari pos ronda yang tak jauh dari rumahnya. Baru menyeruput tehnya, tiba-tiba terdengar dering handphonenya di ruang tengah. Perlahan Rudy bangkit dari kursi lalu melangkah ke sofa ruang keluarga. Handphone masih menyala dengan seringnya yang nyaris usai. Senyum pria lebih dari setengah abad itu pun tampak jelas di sudut bibir. Anak kesayangannya memanggil, membuatnya lebih tenang tiap kali mendengar suara merdunya. "Assalamualaikum, Pak. Bapak lagi ngapain? Sudah makan?" tanya Hanum terdengar semringah dari seberang. "Wa'alaikumsalam, Num. Bapak lagi ngeteh sama makan pisang goreng di teras.
Heboh. Ulah Mawar tak hanya membuat keluarga Rudy berantakan, tapi juga menimbulkan kehebohan di lingkungan rumahnya. Para tetangga mulai sibuk membicarakan mantan istri dan anak tirinya itu. Rudy masih cukup bertanggungjawab atas kepergian mantan istrinya itu. Dia mencarikan kontrakan selama tiga bulan untuk Mawar, setidaknya sampai masa iddahnya selesai. Rudy tak mau melepas tanggungjawab begitu saja. Dia cukup tahu agama. "Biaya sewa sudah kulunasi sampai tiga bulan ke depan. Kamu tak perlu memikirkan soal itu. Aku juga akan memberikan nafkah iddah satu juta lima ratus ribu selama tiga bulan ke depan. Tenang saja, aku nggak akan lalai dengan tanggung jawabku sendiri. Tapi, kalau selama iddah kamu kembali berhubungan dengan lelaki itu, otomatis tanggungjawab nafkah iddahku selesai," ucap Rudy sebelum Mawar meninggalkan rumahnya. Mawar cukup kaget dengan pernyataan mantan suaminya itu. Namun, di balik rasa kecewanya karena diceraikan, Mawar masih bersyukur Rudy bertanggungjawab at
Pagi ini begitu cerah dan bersinar, tapi tidak buat Mawar. Semalaman menangis ternyata tak membuat nasibnya berubah. Tetap saja mendung dan suram. Bahkan sepagi ini dia sudah menata semua barang-barang penting miliknya dan milik Rena. Wajahnya sembab karena kebanyakan menangis. Dia juga sudah mulai lelah merutuki diri sendiri, menyesali semua kekhilafannya dan memaki orang-orang yang menyakitinya. Namun, tak ada manfaat. Hatinya justru semakin pedih dan sakit. Jarum jam menunjuk angka enam dini hari. Suasana di sekitar rumah yang biasanya lengang, entah mengapa ini mulai berisik. Ada yang menyapu di halaman, dengan obrolan-obrolan yang benar-benar terdengar jelas di telinganya. Pagi hari yang dia harapkan sedikit lebih menenangkan, nyatanya membuat hati Mawar semakin panas. "Kalian tahu kan soal Jeng Mawar." Suara tetangga terdengar lagi. "Videonya viral di mana-mana.""Video apa? Saya belum tahu.""Dih, kamu mah jeng. Sibuk kerja makanya nggak tahu gosip terhot di kampung kita."