Baim bergeming. Kata-kata sang ibu begitu membekas di hatinya. Baim tak menyangka jika ibunya masih sematrealistis itu, padahal berbagai ujian sudah datang di saat mereka hanya mengejar materi dan kekayaan. Andai dulu tak mendzalimi Meira dan mengusirnya dari rumah hanya demi Vonny yang kaya, tentu dia benar-benar memiliki besan kaya raya. Namun, begitulah balasan Allah. DIA membuktikan jika keserakahan dan kedzaliman hanya akan menciptakan kesengsaraan. Sayangnya, sudah diberi teguran seperti itu pun mereka belum sadar juga. Masih saja licik dan mencari segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. "Mau kemana, Im?" tanya Soraya saat melihat Baim keluar kamar dengan kopernya. "Mau jenguk Pak Wicaksono sama Vonny, Bu. Sekalian minta maaf karena sudah mempermalukan mereka. Sekalipun aku sudah minta maaf sama Vonny lewat WhatsApp, tapi nggak ada salahnya minta maaf langsung. Rasanya benar-benar nggak tenang saat tahu Vonny kecelakaan bahkan sekarang masih koma," ujar Baim l
Baim menginap di hotel yang tak jauh dari mall ternama di Jogja. Dia sengaja menginap di sana agar tak terlalu jauh saat ingin ke rumah Vonny, sekalian bertemu dengan Aldo karena sudah cukup lama tak bertemu dengan anak semata wayangnya itu. Selama berpisah dengan Meira, Baim tak pernah memberi nafkah pada anaknya karena dia merasa jika keluarga Meira sudah punya segalanya. Uang satu atau dua juta yang dia berikan tentu tak ada apa-apanya dibandingkan kekayaan yang Adrian punya. Awalnya Baim juga ingin mengirimkan nafkah bulanan, hanya saja lagi dan lagi ibunya melarang. Soraya selalu membujuk dan mengompori Baim agar tak ikut campur masalah Aldo karena dia sudah memiliki kakek sultan, katanya. Soraya lantas membandingkan Aldo dengan Angga, anak semata wayang Rumi. Angga yang tak mendapatkan jatah bulanan dari bapaknya dan Rumi yang harus berjuang sendirian untuk anak lelakinya. Soraya meminta Baim untuk memberikan jatah Aldo pada Angga saja karena dia jauh lebih membutuhkan, pada
Dua hari sudah Wicaksono dan Vonny sama-sama dirawat di rumah sakit. Vonny masih koma, sementara Wicaksono mulai membaik meski masih terlihat shock. Setelah membaca pesan dari Raka kemarin, Wicaksono tak banyak bertanya dan bicara. Dia lebih banyak diam dan murung seolah ada beban berat yang dipikulnya. Berulang kali Sundari mencoba bertanya dan menawarkan makanan, tapi Wicaksono selalu menggeleng pelan. Laki-laki itu masih memikirkan Vonny dan almarhum istri keduanya. Wicaksono bingung bagaimana status Vonny yang sebenarnya. Dia masih tak percaya jika Vonny bukanlah darah dagingnya. Tak ingin menduga-duga, akhirnya Wicaksono mengambil keputusan terberat dalam hidupnya. "Ka, tolong panggilkan dokter. Papa ingin minta tolong padanya," lirih Wicaksono saat melihat istri dan kedua anak lelakinya duduk tak jauh dari ranjang. "Iya, Pa. Biar kupanggilkan dulu," balas Raka tanpa membantah. Laki-laki itu beranjak dari kursi lalu keluar kamar. Sundari hanya bergeming meski dalam hati berta
"Papa sudah membaik, salah satu dari kalian bisa mengantar mama pulang. Raka saja yang antar, sekalian istirahat sebentar di rumah. Kasihan Dee pasti kangen sama papanya. Mama juga butuh istirahat karena dari kemarin sudah jaga papa di sini. Biar Ken yang jagain Vonny," pinta Wicaksono kemudian. "Mama nggak apa-apa, Pa. Nanti papa sendirian di sini," ujar Sundari cemas. "Nggak sendirian, Ma. Ada perawat juga kan? Nanti kalau papa butuh sesuatu tinggal tekan bel saja. Nggak masalah kok. Mama harus istirahat. Jangan sampai kita dirawat ramai-ramai di sini," balas Wicaksono dengan senyum tipis. Sundari masih bersikukuh ingin menjaga suaminya, tapi Raka dan Ken sama-sama membujuk mama mereka untuk mengikuti permintaan papanya. Tak ingin membuat Wicaksono cemas akhirnya Sundari mengiyakan. Dia pamit pulang setelah menyiapkan camilan dan sebotol air mineral di meja. Tak lupa meminta Wicaksono untuk segera memanggil perawat jika membutuhkan sesuatu. Sundari terlalu mengkhawatirkan keadaa
Baim bergeming di kamar hotel setelah pulang dari rumah sakit menjenguk Vonny yang masih koma. Sundari benar, kaki Vonny cidera cukup parah sampai membuatnya lumpuh. Meski nggak lumpuh permanen, tapi membutuhkan waktu cukup lama untuk mengembalikannya seperti semula. Itu pun kalah Vonny benar-benar semangat terapi dan optimis sembuh. Jika tidak, kelumpuhannya dipastikan akan semakin lama. Bukan soal itu yang membuat Baim berpikir ulang. Namun, ucapan Sundari saat bertemu dengannya pagi tadi membuat Baim berpikir lagi dan lagi. Benarkah Vonny bukan anak kandung Wicaksono? Jika memang begitu, lantas dia anak siapa? Apakah Vonny tak akan mendapatkan warisan seperti yang pernah dijanjikan Wicaksono dulu? Bagaimana dengan rumah dan perusahaan yang pernah diceritakan Vonny, apakah semua akan ditarik kembali? Berbagai pertanyaan itu lalu lalang di benak Baim. Laki-laki itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah pertunangannya dengan Vonny yang batal beberapa bulan lalu. Sepertinya me
Seminggu sudah Vonny dirawat di rumah sakit. Dia sudah sadar di hari ketiga. Tangis dan jeritan tak pernah sepi dari kamarnya. Tiap kali mengingat soal kakinya yang cidera, tiap itu pula dia kembali histeris. Dia berusaha menggerakkan kaki kanannya, tapi semua sia-sia. Kakinya benar-benar tak bisa berfungsi secara normal. Dia lumpuh. Kursi roda sudah disiapkan Wicaksono di samping ranjang untuk memudahkan Vonny jika ingin keluar kamar sesekali. Tiap kali melihat kursi roda itu, tiap itu pula dia kembali tergugu. Dia kembali menyalahkan Meira atas semua yang dialaminya. Padahal semua terjadi karena kesalahan dan keegoisannya sendiri. Sundari selalu berusaha menenangkan, tapi yang dia dapatkan hanya makian. Akhirnya wanita bermata teduh itu menyerah. Dia malas membujuk Vonny agar lebih tenang dan menerima segala takdirNya. Sundari mulai enggan apalagi saat mengingat golongan darah Vonny yang kemungkinan besar tak sesuai dengan golongan darah kedua orang tuanya."Mama keluar saja, biar
"Mau ngapain ke sini?" tanya Vonny ketus saat Sundari menjenguknya. Vonny masih saja tak terima dan merasa Wicaksono lebih mencintai Sundari dibandingkan maminya yang telah pergi. "Mau ajak papa kamu ke ruangan dokter," balas Sundari ramah dengan senyum tipisnya. Sundari masih saja sabar menghadapi anak tirinya yang terlalu liar dan susah diatur. Meski tak pernah dianggap, tapi Sundari masih tetap berusaha mencuri hati Vonny. Dia tak menyerah sekalipun disakiti berkali-kali. Berusaha menjadi ibu tiri yang baik meski Vonny selalu menganggap kebaikan Sundari hanya sandiwara belaka. "Kalian mau bahas soal kondisiku kan?" tebak Vonny dengan wajah cemas. Sundari menggeleng. Dia berusaha mengusap lengan Vonny perlahan untuk menenangkan, tapi ditepisnya kasar. Wicaksono menatap istrinya dengan mata berkaca. Dia berusaha menasehati Vonny, tapi lagi-lagi hanya jeritan yang terdengar. Vonny tak ingin melihat Sundari berada di kamarnya bahkan di hadapannya. "Pergi dari sini!" sentak Vonny s
"Menurut tes DNA yang dilakukan minggu lalu, hasilnya memang menyatakan begitu, Pak," balas Dokter Ismail sembari memeriksa berkas di tangannya lagi. "Maksudnya gimana, Dok? Berarti memang benar kalau Vonny bukan anak kandung saya?" tanya Wicaksono begitu gugup. Dokter mengangguk pelan lalu menghela napas panjang. "Benar, Pak. Berdasarkan tes DNA ini, Mbak Vonny memang bukan darah daging bapak." Penjelasan Dokter Ismail bagai petir di siang bolong bagi Wicaksono. Meski sejak awal dia sudah menebak hasil tes itu, tapi mendengar ucapan dokter Ismail benar-benar membuatnya shock. Wicaksono bergeming beberapa saat mendengar kenyataan yang ada tentang status anak kesayangannya. Dia semakin tak menyangka jika Susi tega berselingkuh di belakangnya, padahal selama ini Wicaksono sudah berusaha adil dan memberikan fasilitas mewah untuk kedua istrinya. Tak ingin melihat suaminya shock di depan dokter, Sundari pamit keluar ruangan setelah berterima kasih pada lelaki berlesung pipit itu. Sund
"Apa maksudmu ngomong begitu? Oh, kamu juga seperti mereka yang mengira kakakmu gila? Perlu obat penenang, perlu ke psikiater atau psikolog segala, begitu, Num?!" sentak Mawar membuat Hanum mundur selangkah. Meski tanpa suara, Ken semakin mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Hanum. "Kamu senang kan sekarang lihat Rena seperti itu? Puas sudah membuatnya seperti ini?!" tukas Mawar lagi. "Membuat Mbak Rena seperti ini, Bu? Maksud ibu apa menuduh Hanum begitu?!" Hanum membela diri. Dia tak terima difitnah sedemikian rupa oleh ibu tirinya itu, apalagi di depan banyak orang. "Bukannya Mbak Rena yang awalnya membuat hidup Hanum hancur? Dia yang berkhianat. Kenapa sekarang ibu justru menyalahkan Hanum? Nggak salah sasaran kan, Bu?" Hanum mulai berani membela dirinya lagi. Ken menoleh, lalu mengangguk pelan. Dia mendukung keberanian istrinya. Sudah cukup lama diam dan mengalah, waktunya untuk unjuk gigi karena mengalah pun percuma, mereka tak pernah peduli akan hal itu. "Lih
"Kenapa kamu bisa begini, Ren?!" Mawar setengah berteriak saat melihat anak kesayangannya mengobrak-abrik beberapa barang di ruang tamu. Para tetangga tak berani mendekat karena Rena begitu kesetanan setelah motor dan mobilnya diangkut dealer. Azziz pun memilih pergi entah kemana. Sepertinya dia benar-benar malas melihat istrinya yang sulit diatur dan kelewat batas. "Menantu kesayangan ibu itu sudah menghancurkan hidupku. Apa laki-laki seperti itu yang menurut ibu terbaik dan layak dipertahankan?!" sentak Rena dengan mata memerah. Dia mengusap kasar kedua pipinya yang basah air mata. "Tak ada asap kalau tak ada api, Rena! Azziz begitu setelah melihatmu--Mawar tak melanjutkan kalimatnya. Di melirik sekitar yang masih banyak tetangga. Sekesal dan semarah apapun pada anaknya, Mawar masih berusaha menutupi aibnya di depan banyak orang. Dia juga tak ingin nama baik anak perempuannya makin tercemar. "Bukannya ibu bilang kalau tak ada asal kalau tak ada api? Sama halnya denganku, Bu. Ak
"Oh, ternyata kalian di rumah?!" tukas Rena saat melihat Ken dan Hanum duduk santai di teras belakang. Hanum menoleh, begitu pula dengan Ken. Mereka sengaja keluar kamar karena tak ingin terus mendengarkan pertengkaran Rena dan Azziz. Namun, sepertinya Rena tetap salah paham."Iya, Mbak. Kami memang di rumah sejak--"Sengaja menguping pertengkaranku dengan Mas Azziz? Sengaja nggak bawa mobil supaya aku nggak tahu kalau kalian di rumah?!" tuduhnya berapi-api. "Apaan sih, Mbak! Jangan asal nuduh. Ngapain juga aku sengaja nguping obrolan kalian. Nggak penting banget dan kaya kurang kerjaan!" Hanum tak mau kalah. Sekarang dia memang mulai berani membela diri bahkan tak segan menangkis tangan Rena jika dia mulai berani macam-macam. Hanum tak selemah dulu. "Halah! Kamu pasti senang kan lihat rumah tanggaku hancur berantakan? Bangga kamu ya, Num! Sekarang kamu bisa hidup mapan, sementara aku malah seperti ini," sindir Rena sembari melipat tangan ke dada. Hanum beranjak dari kursi. Ken b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem