Semua perbuatan ada resikonya ya. Bantu GEMnya ya kak. Terimakasih pada kak RubiMan yang pecah telur kasih Kinarsih Gem. Spesial thank u. Semoga rezki pembaca semua dilipatgandakan. Aamiin
"Sudah Wak! Wak Er, mungkin benar Arsih menjual diri, tapi siapa yang menjual Arsih? Bukannya Wak yang mendapatkan keuntungan dari hasil jualannya Arsih?!" teriakku tak tertahan. Mungkin sudah penuh isi dadaku ini, jadinya aku memiliki kekuatan dan keberanian untuk menimpalinya. "Heh, anjing jaga ucapanmu ya!" Wak Erni memucat. "Iya, anjing ini sudah habis terjual oleh Uwak nya sendiri!" "Apa maksudmu?" Wak Yanto terlihat bingung menatapku. "Jangan dengarkan wanita gila ini, Kak!" "Diam kau Erni!" Suara Wak Yanto menyalang. "Jelaskan padaku apa arah pembicaraan kalian, Arsih!" "Arsih ... Arsiih ...." Rasanya tenggorokanku tak mampu mengeluarkan suara. "Apa Arsih? Bicaralah. Jangan buat Wakmu ini kebingungan." Wak Yanto melemahkan suaranya. "Arsih ha ...." Aku susah bernafas. "Arsih ... tenanglah, Nak." "Arsih haa ... haamil, Wak," isakku menyeruak memenuhi halaman yang terbuka. Terasa seratus pisau menusuk tubuhku ketika kumenyampaikan kebenaran itu di depan orang yang s
"Kurang ajar sekali mulutmu itu!!!" Haryanto menampar dan menarik leher Badai sampai pemuda itu tersungkur. "Aaaaakhhh sakit, Paman!" Badai berteriak dan meringis. Kedua orang tuanya hanya mampu melihat dan menahan nafas. Haryanto memiliki alasan yang kuat untuk tak terkendali. "Kau sudah merenggut kehormatan putriku, dan kau menghinanya seolah dia juga bersama laki-laki lain! Kubunuh kau sekarang!" Haryanto menekan leher Badai dengan kuat sehingga wajah pemuda itu memerah pertanda ia butuh oksigen. "Hentikan! Tolonglah ... mari kita bicarakan baik-baik! Badai pasti akan mempertanggungjawabkan perbuatannya," tangis Nining memegang lengan Haryanto. Berharap, adik iparnya itu melemah. "Menurut kalian, apa aku harus diam saja ketika keponakanku dihina begini, hah?!" Haryanto mengalihkan pandangannya kepada kedua pasangan itu. "Tidak, Yan. Tapi tolong kasihi Badai. Kalau ada apa-apa dengannya, bagaimana bisa ia menikahi Kinarsih?" Nining masih berusaha melepaskan cengkraman di leher
Byuuuur!!! Tiba-tiba air yang begitu dingin mengguyur tubuhku. Aku yang mengerang seketika hanya bisa terhenyak. Menggigil tanganku mengusap mataku agar jelas kulihat sosok di depanku itu. "Berisik! Sudah jam sebelas malam ini! Kamu kayak orang gila!" "Dingin ... wak ...," desisku menggigil. Wanita keriting itu sangat kejam. "Resikomu jadi perempuan murahan. Jangan harap aku mau mengurusmu. Merepotkan saja. Awas kalau kamu berisik lagi." Wak Er melempar centong yang ada di tangannya dengan sangat keras menghempas dinding. Aku masih tergugu dalam kaku. Sudah cukup. Aku sudah tak sanggup lagi. Aku harus pergi dari rumah ini. Akan kubuang diriku sejauh-jauhnya. Kutatap infus yang ada di tanganku. "Aaaaakhh!" teriakku menahan sakit saat jarum itu tercabut. Tubuhku sempoyongan saat berusaha berdiri. Aku segera melepas bajuku hingga aku tak berpakaian sama sekali. Aku masih kuyup. Wanita jahat itu luar biasa kejamnya. Hampir lepas rasa tulangku dari daging karena begitu dingin sek
Setelah memasak untuk makan siang, aku bergegas menuju kamarku. Kepalaku rasanya sangat pusing. Bahkan aku merasa memiliki dua jantung yang sedang berdetak. Sembari berjalan dengan pelan, aku mengelus perutku. "Pel rumah. Debu semua," ujar Wak Erni yang melewatiku. Dia membawa sebuah ponsel, seperti sedang menonton film. "Nanti sore, Wak. Arsih mau rehat dulu. Makan siang sudah siap," ujarku. "Manja. Pel dulu baru boleh ke kamar!" Wanita itu berlalu menuju dapur. Pastilah dia akan makan. Benar-benar manusia tak berhati nurani. Aku tidak peduli dengan perintahnya. Seandainya bukan Wak Yanto yang ikut makan, aku tidak akan mau masak. Sekarang perutku sudah kenyang, karena aku lebih dulu makan. "Mak! Aku pergi dulu!" seru Ana. "Oke. Salam sama dokter ganteng itu, ya! Aduh, calon mantu!" timpal Wak Erni dari dapur. Aku tercengang. Apa itu artinya, Ana akan menemui Rian? Aku segera mengejar Ana yang sedang memanasi motornya. "An ... apa kamu mau ketemu, Rian?" tanyaku lemah lembu
"Arsih! Beli daging lima kilo!" teriak Wak Er. "Maaf Wak, Arsih malu," ucapku setelah membuka masker di wajahku. Aku harus menggunakan masker selama di dapur untuk mengurangi aroma perbumbuan yang menyengat sampai ke otak. "Kamu beli, bukan minta!" serunya lagi melotot. "Bukan begitu, Wak. Arsih malu karena ...." Aku memegangi perutku yang terasa mulai sering berkedut. Kebetulan memang ada tempat jagal sapi dua ratus meter dari rumah Wak Yanto. Itu artinya aku akan melewati banyak orang yang akan menatapku sinis. Aku benar-benar masih belum siap. "Jangan banyak alasan kamu. Orang hamil harus sering jalan biar gampang pas lahiran. Pemalas! Sudah, antarkan kopi Wak-mu lalu beli daging. Ini uangnya. Besok sore ada arisan di sini!" Jantungku makin berderab kencang. Akan banyak orang yang datang ke rumah ini dan tentu saja, aku yang hamil di luar nikah adalah topik terhangat dan terseru untuk digibahkan. Ya Allah, hatiku makin nelangsa. Ingin rasanya aku menghilang, pergi sejauh mun
Sejak siang itu sampai malamnya, aku tidak keluar. Kuhabiskan waktuku untuk tidur. Tak peduli beberapa kali Wak Er menggedor pintu kamarku, aku pura-pura tidak mendengarnya. Sampai jelas kudengar lemparan batu di pintu kamarku, malah wanita gila itu melempar kerikil melalui pentilasi kamarku. Dia memang sinting dan aku tidak peduli. Aku ingin istirahat. Jam satu dini hari, aku keluar karena perutku lapar sekali. Rupanya masih ada beberapa biji bakso bersama kuahnya. Segera kuambil sisa kerak nasi di rice cooker. Aku makan lahap sekali sampai bersih nasi yang lengket di dasar panci. Air mataku tiba-tiba menetes bercampur dengan kuah bakso dalam panci yang sedang kumakan. Begini rasanya menumpang. Entah sampai kapan, aku pasrah. Cucian piring dan mangkok jelas menumpuk. Haram tangan Nyonya rumah dan Sang Putri mencucinya. Otakku ingin meninggalkan cucian itu tapi entah kenapa hatiku memutuskan untuk mencucinya. Setidaknya agar esok, kerjaanku lebih ringan. Aku berkutat di dapur samp
"Baiklah. Pergilah. Marni. Jaga Kinarsih dengan baik. Aku akan mencari kalian nanti." Wak Yanto tetap menahan istrinya. "Terimakasih banyak, Wak," ucapku mengusap air mata. Aku lalu berlari ke kamar. Tak ada yang bisa kubawa dalam situasi genting seperti ini. Kuisi baju-bajuku seadanya bahkan baju bagus dari Badai sama sekali tak kusentuh lagi. Biarlah menjadi abu bersama masa lalu yang ditinggalkannya untukku. Kotak hitam kecil itu, berisi cincin nikah itu, aku berlalu meninggalkannya. Namun ketika kakiku selangkah di luar pintu, aku berbalik arah mengambilnya. Entahlah. "Ehh ... berhenti kamu, Kinarsih?! Mau kemana kamu ha?!" tanya Wak Erni dengan wajah garangnya. "Sudah jelas kan, Wak. Arsih mau ikut Bi Mar pulang. Maaf, Arsih sudah banyak salah." Terlihat wajah Wak Erni pias. Mungkin dia mengira tadi bibiku hanya menggertak dan aku tak serius. Pastilah dia takut kehilangan pembantu gratisannya. Dibayar pun, takkan ada yang sanggup kerja padanya. Buruk sikap dan mulutnya. S
Setelah perutku terasa lebih baik, aku melangkah perlahan, keluar menuju halaman rumahku. Rasa mual tentu saja masih tapi suasana di desaku benar-benar asri. Udara segar terasa mampu menyegarkan rongga hidung dan kerongkonganku. Bi Marni ternyata semalaman membersihkan dan merapikan beberapa benda usang. Aku ingin segera beraktivitas menata gubuk kayu ini, tapi dadaku masih bergemuruh bersama jantungku berdebar-debar. "Ya Allah, kalung itu peninggalan ibu dan cincin itu pemberian Bi Marni. Kalau sudah diambil Wak Er, sudah habislah aku," gumamku sendirian. Kuedarkan pandanganku. Masih sama saat kakiku meninggalkan rumah ini. "Kinarsih?" sapa salah seorang wanita paruh baya yang lewat jalan kecil depan rumah. Biasanya jalan pintas menuju sawah, jadi agak ramai lalu lalang para petani. "Nggih, Bi Wat. Gimana kabar?" sambutku bangkit dari balai-balai, ranjang dari bambu yang sudah dicuci bersih Bi Marni semalam. "Sehat. Kamu kapan pulang? Kamu sakit?" tanya Bi Wati yang mendor