Bu Siti melotot menatapku. Aku tak perduli. Tak gentar. Terlebih saat mengetahui alasan Dimas membatalkan rencana pernikahan kami.
"Ya sudah kalau begitu. Itu saja yang bisa kami sampaikan. Kami harap keluarga kalian legowo menerima ini ya. Untuk pelajaran juga. Lain kali harus tau diri" kata Bu Siti lagi. Ia bangkit dan beranjak dari tempat duduknya.
"Iya. Benar apa kata Bu Siti. Kita harus tau diri. Aruna yang hanya lulusan SMP, kok mau menikah dengan sarjana. Yang sarjana juga harus tau diri akan menikah dengan siapa," balas ibu.
Sebenarnya keluarga Dimas bukan keluarga yang kaya. Dimas bisa kuliah karena menjual sawah bapaknya yang telah meninggal.
"Aruna, apa tidak ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Bu Siti tiba tiba.
Aku menggeleng.
"Itu. Cincin yang kamu pakai, apa tidak ada niat untuk kamu kembalikan?" tegurnya lagi
Ya Tuhan, ia sampai ingat sekali tentang cincin ini
"Oh baiklah. Ini," ucapku sembari menyerahkan cincin yang melekat di jari manisku, kurang lebih lima bulan lamanya ini. Belum tau saja dia, bahwa cincin ini adalah cincin murahan. Tempo hari, Dimas tidak punya banyak uang. Gajinya sebagai guru honorer tidak seberapa. Bahkan kuranganya acara lamaramln juga pakai uangku.
"Sebentar. Saya ambilkan sesuatu."
"Ambilkan apa?"
"Semua yang pernah diberikan Dimas. Bu Siti minta lagi bukan?" tanyaku.
Bu Siti sejenak menatap Dimas. Laki laki itu hanya menggeleng.
Kenapa? Takut?
Aku tak menunggu apa reaksi mereka. Aku berlari kecil ke kamar. Tidak sampai tiga menit, aku sudah kembali lagi.
Bu Siti menatapku heran. Karena memang di tanganku tak membawa apapun.
"Duh maaf ya Bu Siti. Aku lupa kalau selama ini Dimas tidak memberikan apapun. Yang ada aku yang kadang memberikan kepada Dimas. Bahkan jika keluarpun, lebih banyak aku yang mengeluarkan uang.Ada sih yang Dimas beri, tapi belum sempat saya kembalikan." kataku dengan berani.
"Apa?"
"Janji janji manisnya."
Mendengar itu, Bu Siti melengos. Dimas hanya tertunduk.
"Buang buang waktu saja," keluhnya. Lalu mereka pergi tanpa pamit permisi. Apalagi salam.
"Fiuuhh. Akhirnya." ucapku lega.
Ibu kembali menatapku.
"Runa, kamu benar tidak sedih? Kalau mau menangis, menangis lah sekarang. Daripada kamu dibelakang ibu menangis diam diam."
Aku kembali menggeleng dengan cepat
"Air mataku terlalu berharga jika menangisi laki laki seperti Dimas, Bu. Justru aku bersyukur, ditunjukan siapa mereka sebenarnya sebelum aku melangkah jauh," ucapku penuh syukur
Kini bagiku yang harus aku lakukan adalah menata hidup. Berat itu pasti. Tapi hidup tetap harus berjalan. Dengan atau tanpa Dimas sekalipun.
Sore hari, bapak pulang. Wajahnya tampak sumringah. Entah apa yang dia bawa. Bapakku adalah tukang bangunan. Tapi ia seringkali menghabiskan waktu di kota.Karena orang kota sering memakai jasa beliau.
"Runa, Lula, Luna," teriak Bapak dari luar.
Kami semua berlari kecil mendekat. Bapak menyandarkan dirinya di kursi ruang tamu. Senyum tak pernah pudar dari wajah beliau.
"Ada apa Pak? Bawa oleh oleh ya? Buka dong Pak," rengek Luna dengan manjanya.
"Eits tunggu ibu dulu," pinta Bapak.
Terlihat kedua adikku begitu bersemangat ingin segera melihat bungkusan apa yang dibawa Bapak. Wajah tua, dan semakin hitam karena paparan sinar matahari terus saja menunjukan raut bahagianya.
Tak berselang lama, ibu datang. Membawa secangkir kopi. Dan ketela rebus.
"Ada apa sih Pak? Kok terdengar heboh sekali?" tanya ibu.
Dengan sumringahnya, bapak membuka bungkusan yang membuat kami semua penasaran.
Ternyata isinya adalah kain. Cukup banyak. Dan bagiku cukup mewah.
"Ini hasil dari tabungan Bapak. Di pernikahan Runa nanti, bapak ingin kita semua memakai seragam keluarga. Ya hal itu yang selalu bapak impikan dari dulu. Punya seragam keluarga." kata Bapak. Dari raut wajahnya terlihat sekali bahwa beliau bangga.
Aku hanya menatap ibu. Bagaimana menyampaikan ini semua ? Apa aku tega mengecewakan bapak berikut dengan harapannya?
Tapi aku juga bukan tipe orang yang pandai menyembunyikan sesuatu.
"Pak, maafkan Runa," ucapku. Kali ini aku bersimpuh di hadapan bapak. Dan air mataku tidak bisa dibendung lagi. Bukan karena menangisi laki laki itu. Karena aku merasa telah mengecewakan orang tuaku.
"Loh kenapa ini Run?" tanya Bapak yang kebingungan.
Aku menghentikan tangisku. Karena jujur saja aku tidak bisa berbicara saat menangis. Terasa engap.
"Aku batal menikah Pak. Keluarga Dimas lebih memilih menikahkan dia dengan seorang pengusaha. Daripada penjaga toko seprti aku," jawabku lirih
Bapak sejenak terdiam. Tampak ia mengatur nafas.
"Biarkan. Memangnya seorang laki laki ketika sudah menikah itu menafkahi atau untuk di beri nafkah? Kita lihat saja Runa. Sesuatu yang berawal tidak baik, tidak selalu berakhir dengan baik. Dan bapak adalah orang pertama yang tepuk tangan saat alam memainkan hukumnya."
Dimas berdiri kaku di depan Pak Wito, dadanya terasa sesak menahan malu dan amarah yang bercampur jadi satu. Kata-kata pria paruh baya itu menyakitkan, tapi Dimas tahu, ia tak berhak membantah.“Saya tahu saya banyak salah, Pak…” suaranya bergetar, tapi ia berusaha tetap tegar. “Tapi saya benar-benar butuh pekerjaan. Tolong kasih saya kesempatan.”Pak Wito menatapnya lama, ekspresinya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. “Kesempatan? Kamu pikir dunia ini gampang? Kamu udah buang kesempatan itu, Dimas. Kamu buang Aruna… dan sekarang kamu mau datang ke sini, minta belas kasihan saya?”Dimas mengepalkan tangannya erat-erat di sisi tubuhnya. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu terlalu benar. Ia memang sudah menyia-nyiakan semuanya — Aruna, kesempatan, dan mungkin… masa depannya sendiri.“Pak… saya nggak minta belas kasihan,” kata Dimas pelan. “Saya cuma minta kerja. Apa pun itu, saya siap.”“Kerja jadi kuli? Kamu yakin?” Pak Wito menyipitkan mata. “Kamu yang dulu begitu bangga sa
Suara meteran listrik yang berbunyi makin cepat, seperti menambah ketegangan yang sudah menumpuk di dalam rumah itu. Dimas hanya bisa duduk diam, menatap lantai dengan mata kosong. Dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk — tentang pekerjaan, tentang ibunya, dan sekarang, tentang listrik yang sebentar lagi mati.“Ya Allah, gimana ini…” keluh Bu Siti sambil mondar-mandir di ruang tamu. “Dimas! Kamu tuh ngapain aja seharian?! Cari kerja nggak dapat, listrik juga mau habis! Kamu nggak punya solusi apa?!”Dimas menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Aku udah nyoba, Bu… udah ke mana-mana. Tapi belum ada yang nerima.”“Alasannya itu lagi! Kalau kamu mau kerja apa aja, pasti udah dapat!” sergah Bu Siti, suaranya meninggi. “Tapi kamu tuh terlalu milih-milih, Dimas! Coba dari kemarin kamu mau kerja jadi kuli bangunan yang ditawarin Aruna, mungkin sekarang kita nggak kayak gini!”Dimas mengepalkan tangannya di atas lutut, berusaha keras menahan emosinya. “Aku nggak
Dimas duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Matahari mulai condong ke barat, tapi pikirannya masih terjebak dalam kekhawatiran yang sama sejak pagi tadi — mencari pekerjaan. Tumpukan koran dengan lingkaran merah di kolom lowongan kerja tergeletak di sampingnya, namun satu pun panggilan belum ia terima. Melamar menjadi guru kembali pun juga sulit.Pintu rumah terbuka dengan kasar, dan Bu Siti muncul dengan wajah kesal. “Dimas! Kamu di sini aja dari tadi? Udah dapat kerja belum?” suaranya tajam, menusuk telinga Dimas yang sudah cukup lelah.Dimas menghela napas pelan, mencoba menahan diri. “Belum, Bu. Aku udah coba cari, tapi belum ada panggilan.”“Alasannya itu terus! Kamu mau jadi pengangguran sampai kapan?” nada Bu Siti semakin meninggi. “Ibu ini baru keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah santai nggak jelas di rumah!”Dimas menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah dan rasa malu. “Aku nggak santai, Bu. Aku keliling seharian tadi nyari kerja. Tapi di mana-mana susah. Kala
“Bu!” Dyah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. “Ibu dengar nggak sih apa yang barusan Ibu katakan? Aruna sama sekali nggak minta dihormati atau disanjung, Bu. Dia cuma mau membantu kita! Kenapa Ibu selalu melihat dia dengan kebencian?”Bu Siti menggeleng, wajahnya mengeras. “Karena aku tahu siapa Aruna, Dyah. Dia itu sombong! Dulu dia sok jual mahal sama Dimas, dan sekarang aku yakin dia cuma mau pamer kalau dia lebih berhasil dari kita.”“Ya Allah, Bu...” Dyah menutup wajah dengan tangannya, berusaha menahan kekesalan yang semakin memuncak. “Sampai kapan Ibu mau kayak gini? Sampai kapan Ibu mau terjebak dengan kebencian yang nggak ada gunanya?”"kamu kenapa sih Dyah? Kenapa kamu justru membela si Aruna itu?" Tanya Bu Siti."Ya mau membela siapa lagi? Mayang? Bu, dia sudah tidak perduli dengan keluarga kita. Buat apa? Bahkan dia juga sudah membuang Dimas."Bu Siti mendengus pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Pokoknya Ibu nggak mau berterima kasih sama Aruna. Kalau perlu,
Andra menatap Aruna dengan pandangan tajam, namun tidak ada kemarahan di sana. Hanya sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya. Aruna yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Ia takut jika Andra berpikiran yang tidak-tidak tentang keputusannya membantu Dimas.“Aku tahu,” akhirnya Andra bersuara, suaranya datar namun tegas. “Aku tahu kamu bantu Dimas.”Aruna menelan ludah, sedikit salah tingkah. “Mas, aku cuma...”“Berapa yang kamu kasih ke dia?” potong Andra sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya.Aruna terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Sepuluh juta.”Andra terdiam sesaat, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, bukan karena Aruna memberi uang kepada Dimas, tapi lebih kepada nominal yang cukup besar.“Sepuluh juta?” ulangnya, menatap Aruna dengan sedikit tidak percaya. “Aruna, kalau kamu memang mau bantu, kenapa nggak sekalian?”Aruna mengernyit. “Maksud Mas?”Andra bangkit dari duduk
Dimas duduk gelisah di ruang tamu rumah Aruna. Tangannya menggenggam erat lututnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak menyangka harus kembali ke rumah ini dalam kondisi seperti ini. Dulu, ia meninggalkan Aruna tanpa ragu, dan kini, ia kembali sebagai seorang peminta-minta.Pak Wito, ayah Aruna, duduk di hadapannya dengan wajah keras. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia tahan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Dimas."Jadi, kau datang ke sini untuk meminjam uang?" suara Pak Wito rendah, namun penuh tekanan.Dimas menelan ludah. "Pak Wito, saya benar-benar dalam kesulitan. Ibu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saya butuh biaya untuk membayar pengobatannya."Pak Wito menghela napas, lalu menggeleng. "Kau tahu, Dimas? Aku sudah mendengar banyak tentang kehidupanmu sekarang. Kau meninggalkan Aruna, menikahi perempuan lain, lalu hidup dalam kemiskinan. Dan sekarang, kau kembali ke sini dengan tangan kosong, meminta bantuan?"Dimas m