Home / Rumah Tangga / DITOLAK OM-OM / Sebuah Tantangan

Share

Sebuah Tantangan

Author: Lyra Vega
last update Last Updated: 2022-06-18 20:57:16

"Unboxing apaan? Jangan macam-macam kamu!" Uwuw, Om Bas gumushin kalau lagi panik. Takut yang dipegang bakalan lepas kalau nekat kuapa-apain.

Lelaki berambut setengah basah itu melipir nempel-nempel di dinding. Jalan ke samping selangkah demi selangkah saat aku berjalan mendekatinya sampai mentok ke meja rias. Langkahku makin dekat dan teramat dekat dengan mata tak beralih menatap area bawah.

"Dari luar aja udah lucu gitu bentuknya, apalagi dalamnya." Aku mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di bibir lalu menipiskan jarak dengan Om Bas.

"Sisy! Jangan kurang ajar sama suami."

Aku menyambar kotak kado merah muda dengan hiasan pita yang teronggok di meja rias, tepat di bawah pinggang Om Bas. Hadiah pernikahan yang telat dikirim salah satu teman yang kerja di luar kota.

"Wleee, ge'er!" Kujulurkan lidah pada pemilik wajah tegang-tegang menggemaskan itu saat berjalan melewatinya.

Sedikit menahan malu, Om Bas menyembunyikan wajah di balik pintu lemari. Pura-pura sibuk cari baju.

"Wah! Bajunya lucu banget, ya, Om. Pasti cocok dan pas di badan aku." Kutunjukkan isi kado pada pria berjenggot tipis yang sudah rapi pakai kaos oblong.

Satu kali menoleh, dia cuek. Pas noleh kedua kali, doi membelalak sampai bola matanya nyaris keluar.

"Baju model apa itu? Tipis kaya saringan tahu."

"Kata temenku ini mahal loh, Om. Namanya baju dinas di depan suami. Aku cobain, ya!"

"Eh, eh ... jangan coba-coba pakai itu di depan saya! Baru sembuh masuk angin sudah berani pecicilan."

Wastagaaah! Bukannya laki-laki normal itu malah suka dipancing-pancing begini. Kok ini kebalikannya, benar-benar ada yang gak beres.

"Kumat ngelamun, saru anak kecil membayangkan yang enggak-enggak. Mending kamu packing dari sekarang, besok pagi kita berangkat ke Surabaya."

Pasti kalian berpikir, kok ada suami yang betah membiarkan istrinya masih tersegel dengan rapat sampai sebulan lamanya? Ya ada, Om Bas orangnya. Terlepas dari cinta atau enggak, masa iya gak tergoda buat melepas keperjakaannya? Namun, sejauh ini memang banyak kendala.

Tepat di hari pernikahan, tamu bulananku datang. Otomatis absen semingguan. Minggu berikutnya Om Bas harus balik ke Surabaya karena banyak pekerjaan yang gak bisa diwakilkan. Selain itu mengurus rumah baru yang masih dalam proses finishing. Aku gak boleh ikut, nanti saja sekalian pindahan. Biar gak repot bolak balik sana sini. Terpaksa harus LDR dulu.

Barulah kemarin Om Bas datang lagi ke Malang sekaligus jemput aku. Mungkin karena masih malu tinggal bareng mertua. Jadi, ya, terpaksa anuan itu harus ditunda dulu. Padahal harusnya ada kangen-kangenan gitu, kan? Yang ada cuma bisa gigit jari setulang-tulangnya. Hiks, sakit.

Baiklah, Sisy akan bersabar. Masih bisa ditoleransi. Jangan memikirkan yang iya-iya dulu.

***

"Bapak dan Ibuk kelihatan seneng banget pisah sama aku."

Habis Subuh barang-barangku sudah masuk bagasi mobil semua. Tinggal pamitan, tapi heran aja sama pasangan paling uwuw dari era 90-an itu. Bukannya sedih melepas anak gadis semata wayang, ini malah semringah kaya Mak-emak yang baru gajian.

"Ooh jelas, dengan begini suasana rumah akan jauh lebih tenang. Tensi darah bapak dan ibumu akan menurun, dan tentunya bisa pacaran tanpa kamu isengin." Ibuk mengedipkan sebelah mata pada pujaan hatinya. Pantesan, bibit genitnya diwariskan sama aku.

Aku memang suka jail kalau lihat mereka mesra nonton TV berdua sambil suap-suapan kerupuk. Kan, itu gak adil buat anaknya yang jomlo. Ya, sudah, nyempil aja duduk di tengah-tengah mereka. Itu baru adil namanya.

"Pak, Buk ... saya dan Sisy pamit dulu." Suami siapa sih, itu? Dia mencium punggung tangan Bapak dan Ibuk bergantian. Sopan banget perilakunya di depan mertua. Sumpah! Jadi kepingin pukul-pukul dadanya, gumush.

"Iya, Nak Bas. Tolong jaga Sisy baik-baik, ya! Kalau bandel dan menyusahkan, gethok saja kepalanya!" Jiah. Pesan macam apa pula itu?

"Pak, Buk ... Sisy pasti bakalan kangen banget jailin kalian. Hiks!"

Pletak! Bukannya dielus-elus, kepalaku malah kena satu jitakan.

"Halah! Simpan saja air mata buaya betina kamu itu. Kaya Surabaya-Malang itu jauh saja. Kalau gak macet, dua jam juga sampai. Sudah berangkat sana! Gak usah banyak drama. Baik-baik di sana, jangan bikin susah suami."

Duh, ini yang anak kandung siapa sih, di sini? Kenapa diperlakukan berbeda? Pada tega.

***

Jalur utama non tol masih lengang, sisa-sisa gelap masih tampak di sepanjang jalan yang dilewati. Mau tidur lagi gak bisa, sudah terlanjur mandi dan dandan rapi. Apa pura-pura merem aja kali, ya! Siapa tahu diem-diem Om Bas apa-apain aku kaya di drama-drama gitu. Ah, otak-otak! Kenapa jadi gesrek gini sejak dimasukkan ke genk jaman SMA kemarin.

Jadi, aku punya tiga sahabat yang bisa dibilang satu frekuensi. Pokoknya habis lulus sekolah, resolusi kita gak cuma dapat ijazah, tapi ijab sah juga. Alasannya kaya yang kusebutkan kemarin. Males mikir, pinginnya dipikirin. Males kerja, pinginnya dikerjain.

Novi, Ratna dan Amel enak, dapat jodohnya hampir barengan. Paling telat ya, aku ini. Makanya sering jadi obat nyamuk atau bahan bully di grup W* teman se-genk. Paling ngenes kalau mereka pada bahas tema 21 plus, aku cuma bisa nyengir. Jangankan 21, umur aja baru genap 20 tahun. Cuma, ada untungnya juga, sih. Dari obrolan mereka itu ternyata bisa kuterapkan sekarang. Gak sia-sia pernah nimbrung.

"Kamu gak berubah, ya!" Om Bas membuka obrolan setelah satu jam kaya orang gak saling kenal.

"Dari kapan gak berubah?"

"Dari sepuluh tahun lalu."

"Pakai kaca pembesar dulu, Om. Sepuluh tahun lalu, Sisy masih kecil. Sekarang Om gak lihat, aku tumbuh dewasa dan cantik begini?" Kalau awet imut memang iya.

"Maksud saya tetap genit."

"Genit sama suami sendiri gak papa kali."

"Sebelum ini pernah pacaran?"

"Pernah lah, masa enggak."

"Pernah ngapain aja?"

"Maksud, Om?"

Wah-wah, ngelunjak ini Om-om. Apa coba maksudnya tanya-tanya kaya gitu? Pas ditanya balik malah gak bisa jawab.

"Oh, Sisy tau. Jadi Om meragukan kegadisanku?"

"Mmm---" Dia tetap gak bisa jawab.

"Oke, fix! Begitu sampai Surabaya, ayo kita buktiin!"

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Heylel Fosforus
Judulnya di ganti ya...???
goodnovel comment avatar
Elda Basri
huhui om bas pasti obrak-abrik sisy sampai disurabaya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DITOLAK OM-OM    Bab 62

    "Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt

  • DITOLAK OM-OM    Bab 61

    Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik

  • DITOLAK OM-OM    Bab 60

    "Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa

  • DITOLAK OM-OM    Bab 59

    "Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma

  • DITOLAK OM-OM    Bab 58

    "Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d

  • DITOLAK OM-OM    Bab 57

    "Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status