Share

Masih Menunggu

Penulis: Lyra Vega
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-18 21:00:18

Rumah itu gak terlalu besar, tapi bersihnya minta ampun. Benar-benar sudah siap huni karena semua perabotan telah tertata rapi. Pokoknya Sisy tinggal bawa badan sama baju doang. Gak salah aku jadi Om-om lover. Selain matang secara usia, Om Bas juga prepare banget tentang kewajibannya sebagai suami, yakni sandang, pangan, papan. Tinggal satu kewajiban anuan aja yang belum. Nah, kan! Ke sana lagi, ke sana lagi.

"Ini kamar kita, bereskan sendiri baju-baju kamu di lemari." Om Bas menarik koperku, masuk ke sebuah ruangan yang lumayan lega kalau dipakai buat anuan. Buat guling-guling maksudnya.

Kamar kita katanya. Berarti boboknya bareng-bareng kan, ya! Haseeek.

Ada ranjang berukuran nomor satu dengan seprei dan bed cover warna pastel di sana. Gak sabar kepingin rebahan, apalagi sudah dilengkapi AC yang bisa diatur temperaturnya. Pasti gak bakalan bikin masuk angin kaya kipas di rumah Ibuk.

"Sisy boleh tiduran di situ kan, Om?"

"Ya, bolehlah."

Yes! Otewe rebahan. Mana nyaman banget lagi, gak kaya kasur busaku yang panasnya minta ampun kalau siang-siang.

Om Bas melepas jaket dan kaos, lantas menggantinya dengan pakaian formal. Loh, mau ke mana? Bukannya pas di mobil tadi dia bilang mau buka segel buat ngetes keperawananku.

"Om mau ke mana?"

"Ya ke kantor lah, masa mau piknik."

"Oooh, kirain." Aku menunduk kecewa, cek kesabaran di dalam sini, masih tersisa seperempat.

"Kirain apa?"

"Mau buka segel."

"Lain kali saja, saya buru-buru takut kesiangan, soalnya ada rapat penting."

Sisy yang malang harus terima nasib ditolak lagi. Padahal udah ber-pose seksi ala putri duyung begini. Namun, harus berakhir dengan gigit jari.

"Berarti aku sendirian di rumah, dong!"

"Nanti siang Mama ke sini."

Yah, ada Mama mertua. Alamat gak bebas ngapa-ngapain Om Bas. Hiks! Begini amat cobaanmu, Sy.

"Untuk sarapan sudah saya pesankan lewat Go Food. Kalau gak cocok, kamu bisa masak sendiri. Di kulkas banyak bahan mentah."

"Hmmm."

Sambil nyerocos, Om Bas wara wiri menyiapkan perlengkapan kerjanya sendiri. Kok, gak minta tolong aku buat pura-pura benerin simpul dasi gitu. Iya, kaya di drama-drama biar romantis. Lempeng amat jadi laki-laki, tapi gimana, udah terlanjur suka.

"Saya berangkat dulu, ya!" Pamitnya, setelah menyambar tas kerja.

"Om gak cium aku?"

Lelaki yang hampir menutup pintu kamar itu berbalik. Kirain mau samperin, ternyata cuma lempar senyum aja.

Aaaaargh! Dianggurin melulu. Kapan diapelin, dimanggain, dinanasin?

***

"Hallo, Sayang. Selamat datang di Surabaya!" Mama mertua peluk aku erat-erat waktu aku menyambutnya di teras.

Wanita itu lembut dan penyayang banget, beda sama anaknya. Kita baru bertemu empat kali. Saat lamaran, seserahan, nikahan dan hari ini. Jadi masih bingung mau pencitraan model gimana.

"Masuk, Ma!" Aku menggandeng lengannya masuk rumah. Menyuruh beliau duduk di sofa ruang tengah, lantas mengambilkan minuman dingin dan cemilan yang kubawa dari Malang tadi pagi.

Bingung juga mencari bahan obrolan dengan seseorang yang lebih tua. Apalagi masih belum mengenal dengan baik kepribadiannya bagaimana. Takut salah-salah ngomong, nanti bisa dipecat jadi menantu. Beda dengan Bapak dan Ibuk yang sudah bocor alus dari sananya. Mau dijailin segimana juga gak bakalan diambil hati.

Ya sudah lah. Basa basi apa saja yang penting nyambung. Pesan Ibuk, anggap mertua itu seperti orang tua sendiri. Perlakukan dan hormati mereka dengan baik. Natural saja, jangan dibuat-buat atau ngadi-ngadi alias di depan beda, di belakang beda.

"Jadi ceritanya, waktu kecil kamu sudah naksir sama Bas?" tanya Mama disela mencicipi keripik apel.

Ghibahin suami sendiri gak papa, kan, ya! Sekaligus menggali sedikit demi sedikit tentang kisah cinta Om Bas yang selalu gagal dan gagal lagi.

"I--iya, Ma."

Mungkin waktu itu aku adalah bocah SD limited edition. Bocah 10 tahun yang tertarik dengan lawan jenis dengan jarak usia 15 tahun lebih tua. Saat teman-teman cewek lain masih malu-malu kucing atau nangis kejer kalau dijodoh-jodohin sama teman cowok paling dekil di kelas. Aku sudah selangkah lebih maju dan percaya diri menegakkan emansipasi dengan menembak duluan. Yah, walaupun rata-rata ditolak.

"Kamu lucu." Mama tertawa ringan.

"Mama percaya gitu aja kalau Om Bas kesulitan jodoh gara-gara kutukan Sisy?"

"Entahlah, tapi mama dan papa sudah capek lihat Baskara gagal terus tiap kali mau membangun hubungan serius. Makanya, begitu Jatmiko bercerita tentang keponakan yang kebetulan lagi kebelet nikah muda. Kami gak mau menyia-nyiakan kesempatan itu."

Jiah! Syalan Om Jatmiko. Jatuhin harkat dan martabat aku di depan calon mertua. Eh, hampir calon mertua maksudnya. Untung sekarang jadi mertua beneran.

"Kenapa Mama dan Papa bisa langsung setuju waktu itu? Kan, sebelumnya belum pernah kenal."

"Ya, apalagi pertimbangannya kalau bukan umur Baskara yang sudah matang. Jatmiko yang sepantaran saja anaknya sudah tiga. Nah, si Bas istri saja belum punya. Daripada jadi omongan orang dan dituduh punya kepribadian menyimpang. Kan sebaiknya langsung dinikahkan saja. Bukankah kalian berdua juga sedang membutuhkan satu sama lain?"

Iyes, aku butuh seseorang yang bisa kasih nafkah tanpa rempong kerja berat. Biar gak nyusahin Ibuk dan Bapak yang punya anak perawan kerjaannya rebahan sambil ngehalu melulu. Biar mereka bangga. Kalau Om Bas gak tahu, entah aslinya butuh istri beneran apa enggak. Masih abu-abu karena pertahanan diriku belum terbobol olehnya.

"Iya juga ya, Ma."

"Mama cuma mau pesan. Berhubung kalian ini sama-sama anak tunggal, jadi sebaiknya mulai dari sekarang fokus dengan program memiliki momongan. Jangan terlalu santai karena kamu masih muda. Ingat! Suamimu sudah sangat matang. Kalau bisa jangan cuma punya anak dua, dilebihkan empat misalnya. Jadi, kalau salah satu gak ada, masih ada anak lainnya yang menemani. Biar gak sepi-sepi amat kaya rumah mama sekarang. Bisa jadi rumah orang tua kamu juga."

Ebuset, suruh bikin anak setengah lusin. Dijamah aja belum, gimana mau jadi?

***

"Om sengaja, ya, mau menjatuhkan citraku sebagai menantu di depan mertua?"

Aku melipat tangan di depan pria yang tengah menikmati makan malam. Masakan Mama tentunya, kalau aku yang masak belum tentu Om Bas suka. Orang di rumah aja sering kena protes gara-gara keasinan melulu.

"Maksud kamu?"

"Gara-gara Om gak kasih nafkah buat aku, terpaksa siang tadi pinjam uang Mama buat bayar makanan delivery."

Om Bas hampir menyemburkan makanan di mulutnya, kelepasan tawa. Apanya yang lucu?

"Kamu gak ada pegangan uang sama sekali?"

"Uang dari mana? Aku kan gak kerja. Uang jajan juga gak punya, kan udah gak sekolah lagi."

Masa iya udah nikah minta uang saku sama Ibuk pas mau ke Surabaya? Di mana harga dirimu sebagai menantu mapan, Kisanak?

"Iya, iya, maaf. Saya lupa mau ngasih ATM ke kamu."

Bukan cuma ATM yang harus diingat, Bambang! Tapi nafkah yang lain juga.

Kukira habis makan malam dan nge-teh, Om Bas bakal ngajak masuk kamar secepatnya. Ternyata enggak, dia ke kamar cuma buat ambil laptop terus balik lagi ke depan TV. Temenin Mama nonton sinetron. Uh, kesel!

"Om gak ngantuk? Udah jam sembilan lewat, loh!" Sengaja kasih kode keras biar dia sadar.

"Saya masih banyak kerjaan. Kalau kamu ngantuk tidur duluan sana! Jangan lupa cuci muka, tangan dan kaki." Ya, kalau jawabnya sambil noleh aku. Ini tetap lurus hadap laptop. Serius kepingin seret dan iket dia di kamar.

"Ya, udah! Ma, Sisy pamit ke kamar, ya." Setengah kesal aku meninggalkan ibu dan anak itu.

"Ya, Sayang."

Sampai di kamar, aku gak langsung tutup pintu rapat-rapat. Sisain celah sedikit buat nguping pembicaraan mereka. Siapa tahu pada ghibahin aku.

"Susul saja istrimu, Bas. Gak usah temenin mama. Santai saja dan gak usah sungkan, mama bisa maklum dengan gejolak pengantin baru. Mungkin Sisy lagi kepingin dimanja setelah seharian kamu sibuk."

Tuh, kan! Mertuaku aja pengertian banget.

"Itu dia masalahnya, Ma. Kalau Bas ingat waktu Sisy masih kecil, cuma pakai celana pendek sama singlet sambil gelantungan di pohon jambu. Kok, sekarang jadi gak tega mau kelonin dia."

Woooy! Apa-apaan ini?

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (7)
goodnovel comment avatar
nelly thalita
hahaha ngaksk abis
goodnovel comment avatar
Lienda -
seruuu..ngakaak ......
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
Baskara msh menganggap Sisy adek kecil jd gak tega dia apa2in... hehe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • DITOLAK OM-OM    Bab 62

    "Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt

  • DITOLAK OM-OM    Bab 61

    Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik

  • DITOLAK OM-OM    Bab 60

    "Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa

  • DITOLAK OM-OM    Bab 59

    "Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma

  • DITOLAK OM-OM    Bab 58

    "Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d

  • DITOLAK OM-OM    Bab 57

    "Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j

  • DITOLAK OM-OM    Bab 56

    "Santai aja, Mbak. Gak usah tegang." Evan menutup pintu mobilnya, lalu menarik tanganku ke sebuah bangunan modern klasik berlantai dua. "Kamu yang santai, Van. Aku enggak bakalan ilang." Kulepas genggamannya yang hangat, seketika detak jantungku kembali normal. Dia gak tahu irama menyebalkan itu cukup mengganggu. "Evan!" seru seseorang, setelah daun pintu ditarik ke dalam. Wanita berambut keriting sebahu memeluk erat pemuda itu. Erat sekali seperti seakan semua rindu tumpah di sana. Seolah dia pernah bepergian ke suatu tempat, lalu kembali setelah bertahun-tahun. "Kangen banget ya, Ma?" Evan lebih erat membalas. "Iyalah. Biasanya seminggu sekali pulang, ini enggak. Mentang-mentang sudah nemu--" "Oh, ya, Ma. Kenalin, ini wanita cantik yang pernah Evan ceritain ke Mama." Pelukan terurai dan dengan lancangnya tangan Evan merangkul leherku. Cerita apa saja dia ke ibunya? "Oh, jadi kamu yang namanya Erin? Cantik sekali. Real pict seperti di foto-foto yang sering dikirim Evan." "I

  • DITOLAK OM-OM    Bab 55

    "Semudah itu papa kasih izin Evan?" Terpaksa aku prepare juga pagi ini. Aku kalah telak dengan pendukung cowok cute itu. Papa, Mama dan Vanya bersekongkol meluluhkanku dengan sejuta cara. "Dia meminta izin dan bicara baik-baik sama papa. Papa cuma bisa kasih semangat, sekalian ingin melihat bagaimana cara dia berjuang mendapatkan cinta Erin yang kerasa kepala. Berani juga anak itu." Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menungguku bersiap-siap karena sebentar lagi Evan menjemput. "Sekarang papa pasrah, ya?" Aku tertawa kecil menggodanya, mengingat pria-pria rekomendasi papa yang pernah kutolak sebelum ini. Dari kesemua lelaki tersebut, aku tahu papa sudah menyelidiki dulu latar belakang masing-masing. Gak mungkin asal walaupun bisa dikatakan aku begitu terlambat menemukan pasangan. "Bukan pasrah, tapi ingin mengikuti apa yang terbaik menurut kamu karena yang akan menjalani adalah kamu. Soal Evan ... menurut papa, dia memiliki daya tarik kuat. Bisa kamu lihat dari niat baiknya, keber

  • DITOLAK OM-OM    Bab 54

    Aku tertawa, tepatnya menertawakan diri sendiri. Menyedihkan, bukan! Bahkan sekarang aku sedang dihibur oleh lelaki muda dengan gombalannya. Gombalan yang sering kulihat di acara komedi talk show atau cuplikan video singkat di sosmed. Evan berhasil, melebur sakitku, kecewaku juga sedihku dengan caranya meski di balik semua itu batinku meronta-ronta. "Ada yang lucu, Mbak?" Pertanyaan yang membuatku menghentikan tawa ini. Bukankah dia pencipta mood booster itu? Lawakan khas anak muda ketika iseng merayu wanita-wanita di sekitarnya. Kenapa dia malah datar saja? "Maaf, Van. Aku terbawa suasana dan gak bisa nahan tawa." "Jadi, Mbak pikir aku sedang becanda?" "Loh, terus?" Apa ini sebuah kode tertentu, kode lelaki terhadap perempuan yang memiliki kepekaan tinggi. Masa depan Mbak sudah ada di sini katanya. Apa itu artinya dia sudah berani melangkah lebih jauh? "Mungkin terlalu cepat dan begitu konyol di mata Mbak. Tapi jujur, apa yang sedang kurasakan ini gak salah. Serius!" Pramusaj

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status