Share

Seunyu Apa, Sih?

Mendadak Om Bas gemetaran lihat aku beraksi menyingkap kimono pelan-pelan. Pokoknya pakai gerakan slow motion ala brand ambassador sabun mandi. Biar memacu adrenalin dan menciptakan sensasi gurih-gurih gimana gitu. 

"Hentikan!" Om Bas sampai berjingkat turun dari ranjang. Tetap bawa bantal buat tutupin muka, padahal ngintip juga. Ck! Muna-waroh memang. 

Aku menjulurkan kaki ke lantai, duduk berpose elegan dengan mencondongkan tubuh ke belakang. Pilin-pilin anak rambut dan kedipin sebelah mata, menggoda. Betewe, udah kaya pelakor belum? 

"Sini, dong, Om!" Kugerakkan jari telunjuk isyarat supaya lelaki mature itu mau mendekat. 

"Dasar bocah genit!" Bukannya maju, si dia malah mundur teratur. 

Syalan! Habis sudah kesabaran Sisy. Eh, belum, ding. Masih ada sisa sekian persen, bisalah untuk melanjutkan aksi nackal ini. Sebagai istri yang sebulan belum terjamah sama sekali, wajib hukumnya buat demo meminta hak buka segel. 

Dengan sejuta keanggunan yang kupunya, aku melangkah mendekati pria itu. Ya, kaya model iklan sabun mandi tadi, jalan selow samperin bath tub, eh Om Bas. Dia pun mundur lagi, selangkah aku maju, selangkah dia mundur dan ... brak! Selamat, punggung Anda mentok bentur dinding. Hayoloh, mau kabur ke mana? 

"Kamu mau ngapain sih, Sy?" 

"Mau kasih surprise buat Om." 

"Surprise apaan?" Om Bas meneliti tangan kanan dan kiriku yang kosong gak ada apa-apa. 

"Om nyari apa? Orang surprise-nya tepat di depan mata. Pasti Om bakalan suka." Kedua tanganku sudah tepat berada di kedua bahu, siap menjatuhkan kain yang melekat di tubuh. 

"Jangan lakukan itu, Sy!" 

"Satu, dua, ti--" 

"Stop, Sy!" Om Bas menutup mata rapat-rapat. 

"Tiga ... taraaaa!" 

Kimono pun sukses mendarat ke lantai, seiring dengan mata Om Bas yang dibuka sedikit demi sedikit. Yaelah, sok jaim tapi gak mau lewatin kesempatan juga. 

"Loh! Kok, pakai baju sama celana?" tanyanya tanpa dosa. 

Pakai acara kucek-kucek mata dan kembali memindaiku dari atas sampai bawah. Dari kaos tipisku sampai celana pendek selutut yang gak kalah tipis. Sayangnya gak bisa menipiskan iman Om Bas. 

"Omes!" Aku melengos ke sudut kamar di mana kipas angin setinggi dada berdiri mesra di sana. 

Pantesan hareudang luar dalam, orang kipasnya mati total tanpa pemberitahuan. Ibuk, sih, pakai suruh pindah ke kamar tamu segala. Katanya biar lebih leluasa anuan, secara kamarku memang sempit untuk dihuni berdua. Dempetan lagi sama kamar Ibuk. Kan, gak lucu kalau mereka dengar akunya diapa-apain Om Bas. Atau Om Bas-nya yang kuapa-apain. 

Ah! Boro-boro diapa-apain, dicolek aja kagak. Jadi inget pas ijab qobul dulu, sebelum cium tangan dia, tanganku dilap dulu pakai tisu basah. Parahnya pas kecup kening habis penyematan cincin, masa iya jidatku disemprot dulu pakai hand sanitizer. Kalau gak gitu, katanya terbayang-bayang terus waktu kecilku suka main masak-masakan pakai tanah sampai kuku-kuku pada hitam semua. Segitu tajam ingatannya. Ya kali tanah dan kumannya masih nempel sampai sekarang. Sangat membagongkan! 

Cuma, daripada acara pernikahan gak berjalan semestinya. Yasudah, aku pasrah diperlakukan tidak manusiawi oleh Om-om bercambang dan berbulu tipis itu. 

"Om gak gerah?" Kulihat Om Bas sudah rebahan manis di ranjang. 

"Gak." 

Kota Malang gak seadem dulu, kok. Ada saatnya gerah seperti sekarang. Dia yang pakai sweater sama celana panjang, eh malah akunya yang keringetan. Apa nanti kerjain aja, ya, kalau dia sudah tidur. Ambil kipas di kamar, setel yang anginnya paling kenceng biar dia kedinginan terus minta peluk. Atau aku yang peluk dia. Kalau pagi-pagi dia bangun dan tanya kenapa kita saling pelukan? Bilang aja lagi khilaf. 

Good idea! 

Gelisah miring sana sini gara-gara insecure tidur sama bocah yang katanya ingusan ini. Om Bas tetap kalah sama kantuk. Tepat jam 12 malam, dengkuran halus mengiringi tidur nyenyaknya. Aku berbaring miring sambil topang kepala pakai satu tangan. Lalu lihatin betapa anteng dan cute-nya suamiku. Sumpah! Kepingin nyolong kecup dikit aja, tapi jangan sekarang, deh. Ada misi yang lebih penting dari pada sekadar kecup mengecup. 

Kukibas-kibaskan telapak tangan ini di depan wajah Om Bas. Gak ada respon, berarti aman. Gegas aku mengendap-endap keluar kamar, ambil kipas angin terus balik lagi. Sesuai rencana, kupencet tombol angka tiga dengan kecepatan angin paling maksimal. Baling-baling pun menengok otomatis ke kanan dan kiri menghantarkan suhu dingin ke penjuru kamar. 

Semenit, dua menit, hingga satu jam lamanya gak ada tanda-tanda Om Bas kedinginan. Malah pulas dan makin terbuai ke alam mimpi. Mudah-mudahan dalam mimpinya ada aku, sampai gak terusik gitu. Capek nunggu dan gak ada hasil alias gagal total. Mataku lama-lama berat juga. Bodo amatlah, semoga besok pagi kita bertemu dengan posisi saling berpeluk satu sama lain. Aamiin. 

"Huek!" Pagi-pagi aku sudah muntah-muntah di kamar mandi. 

Niat jahat dibayar tunai ya begini ini. Bukan Om Bas yang kena perangkapku, malah aku yang masuk angin gara-gara angin kipasnya terlalu kencang. Bayangan pagi hari kita terbangun dalam keadaan saling berpeluk musnah sudah. 

"Makanya kalau habis beribadah itu langsung pakai baju. Ini akibatnya kalau polosan sampai pagi. Mentang-mentang kelelahan, sampai lupa diri." Ibuk memijit tengkuk dan bahuku. Gak lupa melontarkan dugaan-dugaan, bahwa semalam aku habis anuan. 

"Ish! Apaan, sih, Ibuk. Orang Sisy pakai baju." 

"Orang bajunya tipis begini, tetap saja anginnya gampang menerobos sela pori-pori. Apa jangan-jangan kamu hamil ya, Sy? Masa masuk angin sampai muntah begitu." 

Hamil dari Hongkong? Kerjasama garap ladang aja belum. 

"Gak mungkin, Buk." 

"Gak mungkin gimana, kalian kan sudah sebulan menikah. Wajar kalau sudah ada tanda-tanda." Ah, terserah Ibuk aja yang penting bahagia. 

Habis dipijit dan diolesi minyak kayu putih, lanjut lagi dengan kerokan. Kalau gak gini, anginnya bandel banget gak mau keluar. 

"Memangnya suamimu gak bisa ngerokin? Kok, masih suruh-suruh Ibuk." 

Bisa banget, Buk. Kerokin kesabaran aku. 

"Om Bas gak suka aroma minyak kayu putih, Buk." Demi siapa aku berbohong dengan ibu sendiri. Semoga bisa dibicarakan baik-baik dengan malaikat pencatat amal burukku. 

"Sudah jadi suami panggilnya masih Om. Mbok ya, mas atau sayang gitu. Biar mesra kaya bapak sama ibuk dulu." 

"Nanti juga terbiasa sendiri, Buk." 

Aku bersendawa berkali-kali, angin nackal mulai pergi. Pinggang yang semula sakit kaya digebukin sekarang sudah enteng lagi. 

Balik ke kamar, aku baring-baring lagi. Malas ngapa-ngapain, kepinginnya diapa-apain. Aroma sabun dan shampo mengganggu indera penciuman ini. Aku menoleh mencari sumbernya. Oh, ternyata berasal dari si dia yang baru keluar dari kamar mandi. Bertelanjang dada dengan handuk terlilit di pinggang. Halah, itu cuma kamuflase. Paling dalam handuk itu sudah terpasang celana pendek. Gak kaget lagi. 

"Ngapain senyum-senyum?" Om Bas rupanya tahu kalau mataku lagi jalan-jalan mengamati perut sixpack-nya, lantas turun ke ....

"Sisy jadi gemes kepingin unboxing." 

Refleks Om Bas mengamankan benda pusaka bawah perutnya dengan kedua tangan. 

Seunyu apa, sih? 

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Linda Jahit
hhh segitu nya sma istri sendri
goodnovel comment avatar
Elda Basri
astaga om bas malu2 kucing
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status