Home / Rumah Tangga / DITOLAK OM-OM / Seunyu Apa, Sih?

Share

Seunyu Apa, Sih?

Author: Lyra Vega
last update Last Updated: 2022-06-18 20:47:28

Mendadak Om Bas gemetaran lihat aku beraksi menyingkap kimono pelan-pelan. Pokoknya pakai gerakan slow motion ala brand ambassador sabun mandi. Biar memacu adrenalin dan menciptakan sensasi gurih-gurih gimana gitu. 

"Hentikan!" Om Bas sampai berjingkat turun dari ranjang. Tetap bawa bantal buat tutupin muka, padahal ngintip juga. Ck! Muna-waroh memang. 

Aku menjulurkan kaki ke lantai, duduk berpose elegan dengan mencondongkan tubuh ke belakang. Pilin-pilin anak rambut dan kedipin sebelah mata, menggoda. Betewe, udah kaya pelakor belum? 

"Sini, dong, Om!" Kugerakkan jari telunjuk isyarat supaya lelaki mature itu mau mendekat. 

"Dasar bocah genit!" Bukannya maju, si dia malah mundur teratur. 

Syalan! Habis sudah kesabaran Sisy. Eh, belum, ding. Masih ada sisa sekian persen, bisalah untuk melanjutkan aksi nackal ini. Sebagai istri yang sebulan belum terjamah sama sekali, wajib hukumnya buat demo meminta hak buka segel. 

Dengan sejuta keanggunan yang kupunya, aku melangkah mendekati pria itu. Ya, kaya model iklan sabun mandi tadi, jalan selow samperin bath tub, eh Om Bas. Dia pun mundur lagi, selangkah aku maju, selangkah dia mundur dan ... brak! Selamat, punggung Anda mentok bentur dinding. Hayoloh, mau kabur ke mana? 

"Kamu mau ngapain sih, Sy?" 

"Mau kasih surprise buat Om." 

"Surprise apaan?" Om Bas meneliti tangan kanan dan kiriku yang kosong gak ada apa-apa. 

"Om nyari apa? Orang surprise-nya tepat di depan mata. Pasti Om bakalan suka." Kedua tanganku sudah tepat berada di kedua bahu, siap menjatuhkan kain yang melekat di tubuh. 

"Jangan lakukan itu, Sy!" 

"Satu, dua, ti--" 

"Stop, Sy!" Om Bas menutup mata rapat-rapat. 

"Tiga ... taraaaa!" 

Kimono pun sukses mendarat ke lantai, seiring dengan mata Om Bas yang dibuka sedikit demi sedikit. Yaelah, sok jaim tapi gak mau lewatin kesempatan juga. 

"Loh! Kok, pakai baju sama celana?" tanyanya tanpa dosa. 

Pakai acara kucek-kucek mata dan kembali memindaiku dari atas sampai bawah. Dari kaos tipisku sampai celana pendek selutut yang gak kalah tipis. Sayangnya gak bisa menipiskan iman Om Bas. 

"Omes!" Aku melengos ke sudut kamar di mana kipas angin setinggi dada berdiri mesra di sana. 

Pantesan hareudang luar dalam, orang kipasnya mati total tanpa pemberitahuan. Ibuk, sih, pakai suruh pindah ke kamar tamu segala. Katanya biar lebih leluasa anuan, secara kamarku memang sempit untuk dihuni berdua. Dempetan lagi sama kamar Ibuk. Kan, gak lucu kalau mereka dengar akunya diapa-apain Om Bas. Atau Om Bas-nya yang kuapa-apain. 

Ah! Boro-boro diapa-apain, dicolek aja kagak. Jadi inget pas ijab qobul dulu, sebelum cium tangan dia, tanganku dilap dulu pakai tisu basah. Parahnya pas kecup kening habis penyematan cincin, masa iya jidatku disemprot dulu pakai hand sanitizer. Kalau gak gitu, katanya terbayang-bayang terus waktu kecilku suka main masak-masakan pakai tanah sampai kuku-kuku pada hitam semua. Segitu tajam ingatannya. Ya kali tanah dan kumannya masih nempel sampai sekarang. Sangat membagongkan! 

Cuma, daripada acara pernikahan gak berjalan semestinya. Yasudah, aku pasrah diperlakukan tidak manusiawi oleh Om-om bercambang dan berbulu tipis itu. 

"Om gak gerah?" Kulihat Om Bas sudah rebahan manis di ranjang. 

"Gak." 

Kota Malang gak seadem dulu, kok. Ada saatnya gerah seperti sekarang. Dia yang pakai sweater sama celana panjang, eh malah akunya yang keringetan. Apa nanti kerjain aja, ya, kalau dia sudah tidur. Ambil kipas di kamar, setel yang anginnya paling kenceng biar dia kedinginan terus minta peluk. Atau aku yang peluk dia. Kalau pagi-pagi dia bangun dan tanya kenapa kita saling pelukan? Bilang aja lagi khilaf. 

Good idea! 

Gelisah miring sana sini gara-gara insecure tidur sama bocah yang katanya ingusan ini. Om Bas tetap kalah sama kantuk. Tepat jam 12 malam, dengkuran halus mengiringi tidur nyenyaknya. Aku berbaring miring sambil topang kepala pakai satu tangan. Lalu lihatin betapa anteng dan cute-nya suamiku. Sumpah! Kepingin nyolong kecup dikit aja, tapi jangan sekarang, deh. Ada misi yang lebih penting dari pada sekadar kecup mengecup. 

Kukibas-kibaskan telapak tangan ini di depan wajah Om Bas. Gak ada respon, berarti aman. Gegas aku mengendap-endap keluar kamar, ambil kipas angin terus balik lagi. Sesuai rencana, kupencet tombol angka tiga dengan kecepatan angin paling maksimal. Baling-baling pun menengok otomatis ke kanan dan kiri menghantarkan suhu dingin ke penjuru kamar. 

Semenit, dua menit, hingga satu jam lamanya gak ada tanda-tanda Om Bas kedinginan. Malah pulas dan makin terbuai ke alam mimpi. Mudah-mudahan dalam mimpinya ada aku, sampai gak terusik gitu. Capek nunggu dan gak ada hasil alias gagal total. Mataku lama-lama berat juga. Bodo amatlah, semoga besok pagi kita bertemu dengan posisi saling berpeluk satu sama lain. Aamiin. 

"Huek!" Pagi-pagi aku sudah muntah-muntah di kamar mandi. 

Niat jahat dibayar tunai ya begini ini. Bukan Om Bas yang kena perangkapku, malah aku yang masuk angin gara-gara angin kipasnya terlalu kencang. Bayangan pagi hari kita terbangun dalam keadaan saling berpeluk musnah sudah. 

"Makanya kalau habis beribadah itu langsung pakai baju. Ini akibatnya kalau polosan sampai pagi. Mentang-mentang kelelahan, sampai lupa diri." Ibuk memijit tengkuk dan bahuku. Gak lupa melontarkan dugaan-dugaan, bahwa semalam aku habis anuan. 

"Ish! Apaan, sih, Ibuk. Orang Sisy pakai baju." 

"Orang bajunya tipis begini, tetap saja anginnya gampang menerobos sela pori-pori. Apa jangan-jangan kamu hamil ya, Sy? Masa masuk angin sampai muntah begitu." 

Hamil dari Hongkong? Kerjasama garap ladang aja belum. 

"Gak mungkin, Buk." 

"Gak mungkin gimana, kalian kan sudah sebulan menikah. Wajar kalau sudah ada tanda-tanda." Ah, terserah Ibuk aja yang penting bahagia. 

Habis dipijit dan diolesi minyak kayu putih, lanjut lagi dengan kerokan. Kalau gak gini, anginnya bandel banget gak mau keluar. 

"Memangnya suamimu gak bisa ngerokin? Kok, masih suruh-suruh Ibuk." 

Bisa banget, Buk. Kerokin kesabaran aku. 

"Om Bas gak suka aroma minyak kayu putih, Buk." Demi siapa aku berbohong dengan ibu sendiri. Semoga bisa dibicarakan baik-baik dengan malaikat pencatat amal burukku. 

"Sudah jadi suami panggilnya masih Om. Mbok ya, mas atau sayang gitu. Biar mesra kaya bapak sama ibuk dulu." 

"Nanti juga terbiasa sendiri, Buk." 

Aku bersendawa berkali-kali, angin nackal mulai pergi. Pinggang yang semula sakit kaya digebukin sekarang sudah enteng lagi. 

Balik ke kamar, aku baring-baring lagi. Malas ngapa-ngapain, kepinginnya diapa-apain. Aroma sabun dan shampo mengganggu indera penciuman ini. Aku menoleh mencari sumbernya. Oh, ternyata berasal dari si dia yang baru keluar dari kamar mandi. Bertelanjang dada dengan handuk terlilit di pinggang. Halah, itu cuma kamuflase. Paling dalam handuk itu sudah terpasang celana pendek. Gak kaget lagi. 

"Ngapain senyum-senyum?" Om Bas rupanya tahu kalau mataku lagi jalan-jalan mengamati perut sixpack-nya, lantas turun ke ....

"Sisy jadi gemes kepingin unboxing." 

Refleks Om Bas mengamankan benda pusaka bawah perutnya dengan kedua tangan. 

Seunyu apa, sih? 

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Linda Jahit
hhh segitu nya sma istri sendri
goodnovel comment avatar
Elda Basri
astaga om bas malu2 kucing
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DITOLAK OM-OM    Bab 62

    "Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt

  • DITOLAK OM-OM    Bab 61

    Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik

  • DITOLAK OM-OM    Bab 60

    "Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa

  • DITOLAK OM-OM    Bab 59

    "Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma

  • DITOLAK OM-OM    Bab 58

    "Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d

  • DITOLAK OM-OM    Bab 57

    "Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j

  • DITOLAK OM-OM    Bab 56

    "Santai aja, Mbak. Gak usah tegang." Evan menutup pintu mobilnya, lalu menarik tanganku ke sebuah bangunan modern klasik berlantai dua. "Kamu yang santai, Van. Aku enggak bakalan ilang." Kulepas genggamannya yang hangat, seketika detak jantungku kembali normal. Dia gak tahu irama menyebalkan itu cukup mengganggu. "Evan!" seru seseorang, setelah daun pintu ditarik ke dalam. Wanita berambut keriting sebahu memeluk erat pemuda itu. Erat sekali seperti seakan semua rindu tumpah di sana. Seolah dia pernah bepergian ke suatu tempat, lalu kembali setelah bertahun-tahun. "Kangen banget ya, Ma?" Evan lebih erat membalas. "Iyalah. Biasanya seminggu sekali pulang, ini enggak. Mentang-mentang sudah nemu--" "Oh, ya, Ma. Kenalin, ini wanita cantik yang pernah Evan ceritain ke Mama." Pelukan terurai dan dengan lancangnya tangan Evan merangkul leherku. Cerita apa saja dia ke ibunya? "Oh, jadi kamu yang namanya Erin? Cantik sekali. Real pict seperti di foto-foto yang sering dikirim Evan." "I

  • DITOLAK OM-OM    Bab 55

    "Semudah itu papa kasih izin Evan?" Terpaksa aku prepare juga pagi ini. Aku kalah telak dengan pendukung cowok cute itu. Papa, Mama dan Vanya bersekongkol meluluhkanku dengan sejuta cara. "Dia meminta izin dan bicara baik-baik sama papa. Papa cuma bisa kasih semangat, sekalian ingin melihat bagaimana cara dia berjuang mendapatkan cinta Erin yang kerasa kepala. Berani juga anak itu." Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menungguku bersiap-siap karena sebentar lagi Evan menjemput. "Sekarang papa pasrah, ya?" Aku tertawa kecil menggodanya, mengingat pria-pria rekomendasi papa yang pernah kutolak sebelum ini. Dari kesemua lelaki tersebut, aku tahu papa sudah menyelidiki dulu latar belakang masing-masing. Gak mungkin asal walaupun bisa dikatakan aku begitu terlambat menemukan pasangan. "Bukan pasrah, tapi ingin mengikuti apa yang terbaik menurut kamu karena yang akan menjalani adalah kamu. Soal Evan ... menurut papa, dia memiliki daya tarik kuat. Bisa kamu lihat dari niat baiknya, keber

  • DITOLAK OM-OM    Bab 54

    Aku tertawa, tepatnya menertawakan diri sendiri. Menyedihkan, bukan! Bahkan sekarang aku sedang dihibur oleh lelaki muda dengan gombalannya. Gombalan yang sering kulihat di acara komedi talk show atau cuplikan video singkat di sosmed. Evan berhasil, melebur sakitku, kecewaku juga sedihku dengan caranya meski di balik semua itu batinku meronta-ronta. "Ada yang lucu, Mbak?" Pertanyaan yang membuatku menghentikan tawa ini. Bukankah dia pencipta mood booster itu? Lawakan khas anak muda ketika iseng merayu wanita-wanita di sekitarnya. Kenapa dia malah datar saja? "Maaf, Van. Aku terbawa suasana dan gak bisa nahan tawa." "Jadi, Mbak pikir aku sedang becanda?" "Loh, terus?" Apa ini sebuah kode tertentu, kode lelaki terhadap perempuan yang memiliki kepekaan tinggi. Masa depan Mbak sudah ada di sini katanya. Apa itu artinya dia sudah berani melangkah lebih jauh? "Mungkin terlalu cepat dan begitu konyol di mata Mbak. Tapi jujur, apa yang sedang kurasakan ini gak salah. Serius!" Pramusaj

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status