Home / Romansa / DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER / 2. Dia Pikir Aku Gigolo Bayarannya

Share

2. Dia Pikir Aku Gigolo Bayarannya

last update Last Updated: 2025-07-21 17:22:13

Antonio berdiri kaku di depan pintu suite-nya, tangan masih menggenggam gagang. Wanita mabuk itu terhuyung-huyung masuk, lalu terjatuh di atas karpet beludru hitam.

"Ah... kamu pasti pria yang disewakan Mom Hilarry untukku," ucapnya dengan senyum genit, jari telunjuknya menunjuk-nunjuk Antonio. "Tampan juga~"

Antonio mengerutkan kening.

Sialan. Dia pikir aku gigolo?

Dia hampir membentak, hampir menarik wanita itu dan melemparkannya keluar—tapi tiba-tiba, sesuatu di dalam celananya bereaksi.

Tidak mungkin.

Enam bulan. Enam bulan sejak kecelakaaan itu, sejak tubuhnya menolak semua wanita, sejak dokter-dokter mahal hanya bisa menggeleng.

Tapi sekarang?

Karena seorang wanita mabuk yang salah kamar?

"Aku bukan gigolo," geramnya, suara serak.

Wanita itu tertawa kecil, lalu mencoba berdiri—tapi malah terjatuh lagi. "Jangan... jangan malu-malu. Aku bayar mahal kok~"

Antonio menatapnya.

Gaun hitamnya melorot, memperlihatkan bahu mulus. Pipinya merah, bibirnya mengkilap karena lipstik yang sedikit luntur.

Dan di bawah sabuknya—

Sial.

Dia tidak pernah membayangkan akan bangkit kembali karena situasi konyol seperti ini.

Antonio menutup pintu suite-nya dengan keras. "Sial," gerutnya dalam hati. Dia berniat mengangkat wanita mabuk itu ke ranjang, lalu memanggil resepsionis untuk mengurusnya. Pantang baginya meniduri wanita asing—apalagi yang tidak jelas latar belakangnya.

Tapi saat dia membungkuk untuk membaringkan wanita itu, tiba-tiba—

Sepasang tangan hangat menarik kerah kemejanya.

"Jangan... pergi..." bisik wanita itu, napasnya berbau anggur manis.

Sebelum Antonio sempat bereaksi, bibirnya sudah tertutup oleh sesuatu yang hangat, lembut—

Ciuman.

Dia terpana.

Bibir wanita itu nakai, tidak terampil, tapi penuh keinginan. Tangannya meraba dada Antonio, kuku-kuku merahnya meninggalkan bekas di kulitnya.

"Kau—" Antonio mencoba menarik diri, tapi tubuhnya merespons.

Lebih keras dari sebelumnya.

Lebih panas dari yang dia inginkan.

Tidak.

Dia mencoba berpikir—apakah ini jebakan? Apakah wanita ini dikirim musuhnya? Tapi...

"Aku suka caramu diam," wanita itu bergumam di antara ciuman, "seperti pria sewaan seharusnya."

Antonio menggeram. "Aku bukan—"

Tapi tangan wanita itu sudah merayap ke bawah, menyentuh bagian yang selama ini mati suri.

Wanita itu mengusap bagian Antonio yang sudah keras membentuk tentara di balik kain celananya.

"Ayo, tunjukkan padaku..." bisiknya, suaranya parau oleh alkohol dan kepahitan. "Aku sudah muak dengan Andreas! Di belakangku dia berani mengkhianatiku... Dia pikir cuma dia yang bisa tidur dengan wanita-wanitanya? Aku juga bisa!"

Antonio menahan napas.

Andreas?

Sekarang gambarnya mulai jelas—wanita ini mabuk berat karena kecewa. Mungkin pacar, mungkin suami, tapi jelas: dia sedang berusaha balas dendam dengan cara yang paling primitif.

Dan Antonio...

Antonio terangsang oleh itu.

Bukan karena ceritanya. Bukan karena emosi wanita ini. Tapi karena ini pertama kalinya dalam enam bulan tubuhnya merespons seperti pria normal.

Dia menggeram, menangkap pergelangan tangan wanita itu. "Kau bahkan tidak tahu siapa aku," desisnya.

Wanita itu tertawa pahit. "Aku bayar untuk tidak peduli."

Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, dia mendorong Antonio ke kasur—

Liana mendorong Antonio ke kasur, tubuhnya bergerak naik dengan keseimbangan orang mabuk. Jari-jarinya mencengkeram kemeja Antonio, membuka kancing demi kancing dengan gerakan ceroboh.

"Dengar!" ujarnya, suara berat oleh anggur dan amarah. "Namaku Liana Hart. Aku dokter. Aku belum menikah—dan aku masih perawan."

Antonio menahan napas.

Dokter? Perawan?

Liana membungkuk, bibirnya hampir menyentuh telinganya. "Jadi tolong... perawanin aku," bisiknya, panas. "Akan kubuktikan ke Andreas bahwa aku juga bisa!"

Antonio merasakan darahnya mendidih.

Ini gila.

Ini salah.

Tapi—

Tubuhnya merespons.

Lebih keras dari sebelumnya.

Liana menggesekkan tubuhnya ke bawah perut Antonio, membuatnya mengerang. "Kau bahkan tidak perlu pura-pura menyukaiku," tambahnya, suara patah. "Aku cuma butuh bukti—"

Antonio tiba-tiba membalik posisi mereka.

"Kau mabuk," geramnya, menahan pergelangan tangan Liana di atas kasur. "Dan kau tidak tahu apa yang kau minta."

Liana tertawa getir. "Oh, aku sadar sekali—"

Tapi Antonio sudah menutup mulutnya dengan ciuman kasar, menghentikan kata-katanya.

Antonio menyeringai, bayangan kegelapan mengisi sorot matanya.

"Sudah cukup perkenalannya," desisnya, tangan kasar menelusuri lekuk tubuh Liana. "Kamu butuh membuktikan sesuatu pada kekasihmu, kan? Baik... akan kubantu."

Liana belum sempat menjawab ketika Antonio menelungkupkan tubuhnya di atasnya. Suhu kulit mereka bersinggungan—panas, terlarang, dan penuh keinginan.

"Nngh—!"

Lenguhan manja Liana pecah di udara ketika Antonio menaklukkannya tanpa ampun.

Dan malam itu, kamar suite mewah itu bergema oleh desahan dalam Antonio yang terlepas setelah berbulan-bulan terpendam, juga rintihan Liana yang berubah dari kemarahan jadi kepuasaan, tak lupa bunyi gesekan sprei sutra yang semakin liar

Liana mencengkeram bahu Antonio, kukunya meninggalkan bekas bulan sabit di kulitnya. "A-ah... An-Andreas—"

Antonio menggeram, menggigit pundaknya. "Salah sebut nama lagi, dan aku berhenti," ancamnya, tapi gerakannya justru semakin kasar.

Dengan gerakan menguasai, dia menenggelamkan diri ke dalam Liana—

"A—ahh! Sakit—!"

Jeritan Liana memecah kesunyian malam, kuku-kukunya mencengkeram punggung Antonio seperti cakar kucing liar.

Benar saja.

Perawan.

Antonio terpana. Di tengah kabut nafsunya, ada kepuasan purba—dia yang pertama. Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang lebih primal:

Tubuhnya bekerja.

Benar-benar bekerja, untuk pertama kali sejak kecelakaan itu.

"Tahan," geramnya di telinga Liana, suara serak oleh nafsu yang tertahan terlalu lama. "Akan lebih sakit jika kau meronta."

Liana mengangguk tak karuan, air mata mengalir di pelipisnya—campuran sakit, anggur, dan keinginan membara untuk membuktikan sesuatu pada dunia.

Dengan gerakan perlahan, Antonio mulai bergerak, memastikan setiap sentimeter dirinya dirasakan oleh Liana.

"Begini rasanya perawan?" bisiknya sinis, tapi tangannya yang mengepal di sprei mengaku betapa ini berarti baginya.

Liana menjawab dengan jeritan lain—tapi kali ini, ada nada berbeda.

Antonio Valantino menatap Liana Hart yang masih tertidur pulas, tubuhnya berserakan di atas sprei yang berantakan. Bercak darah merah di kain putih itu seperti tanda kemenangan—sekaligus pengingat betapa dalam kejatuhannya.

Dia menghela napas, mengusap wajah dengan tangan kasar. Ini gila. Tapi tubuhnya—tubuh yang mati rasa selama berbulan-bulan sejak kecelakaan itu—kini terasa hidup kembali. Setiap otot, setiap saraf, berfungsi sempurna. Seolah Liana adalah kuncinya.

Dingin sekali, pikir Antonio saat jari-jemarinya menyentuh kulit pundak Liana yang memucat. Tapi dia tak punya waktu untuk merenung.

Brrrng! Brrrng!

Ponselnya bergetar di lantai. Antonio mengutuk dalam hati sebelum mengambilnya. Layar menampilkan nama "Jio", asisten setianya.

"Tuan! Gawat!" suara Jio terengah-engah, panik. "Barang kita dirampas kelompok Timur! Mereka bawa senjata—"

"Sialan!" Antonio membentak, suaranya memecah kesunyian kamar. Matanya masih tertancap pada Liana, tapi pikiran sudah melompat ke urusan lain. Persis ketika aku menemukan sesuatu yang berharga...

Dia memandang sekali lagi ke arah gadis itu—rambut pirangnya berantakan, bibirnya bengkak oleh gigitannya sendiri semalam. Antonio hampir ingin membangunkannya, mengingatkannya betapa dia merengek meminta lebih. Tapi telepon Jio yang mendesak mengingatkannya: Dunia tak berhenti hanya karena satu malam gila.

"Maaf, Liana," bisiknya, meski tahu dia takkan mendengar. "Aku harus pergi."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   5. Pengkhianatan Keluarga Sendiri

    Liana membuka pintu apartemennya dengan tubuh lelah dan pikiran yang masih dipenuhi bayangan Antonio. Namun, sesaat sebelum bisa melepas sepatunya—"Kak!"Suara itu membuatnya kaget. Di sofa kecilnya, Emilia Hart—adiknya yang berusia 19 tahun—duduk dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca. Rambut pirangnya yang biasanya ditata rapi kini kusut, dan baju klub malam yang masih melekat di tubuhnya mengisyaratkan bahwa dia baru saja pulang kerja."Emi? Apa yang kau lakukan di sini?"Emilia menggigit bibir bawahnya, tangan gemetar memegang segelas air yang hampir tumpah. "Aku butuh uang, Kak."Liana menghela napas panjang, melemparkan tas kerjanya ke kursi. "Untuk apa lagi? Bulan kemarin bukannya sudah aku berikan setengah tabunganku?""Ini berbeda—""Untuk menghidupi priamu lagi?!" Liana memotong, suaranya meninggi. "Leon itu sampah, Emi! Dia hanya memanfaatkanmu!"Emilia menunduk, tapi yang keluar dari mulutnya berikutnya membuat Liana membeku."Aku... aku hamil, Kak." Suara kecilnya peca

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   4.Pilihan yang Serba Salah

    Pagi itu, Liana tiba di RS. St. Maria dengan langkah berat. Setiap gerakan masih terasa sakit, mengingatkannya pada malam yang seharusnya tidak pernah terjadi."Dokter Hart!"Suara itu membuatnya tertegun. Dokter Lincard, dokter senior neurologi, berdiri di depan ruang pemeriksaan dengan alis berkerut. Matanya yang tajam mengamati Liana dari ujung kepala hingga ujung kaki."Kamu baik-baik saja?"Liana mengangguk cepat, tangan gemetarnya menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga—gerakan yang justru membuat Dokter Lincard semakin curiga."Aku baik-baik saja, Dok. Hanya... kurang tidur."Dokter senior itu mengerutkan kening, tapi memilih tidak mengejar. "Ruangan satu sudah penuh. Pasien stroke post-op perlu evaluasi ulang. Kamu tangani?""Siap, Dok."Sepanjang pagi, Liana menyibukkan diri dengan rutinitas yang ia hafal di luar kepala. Memeriksa refleks Pasien A. Mengevaluasi perkembangan motorik Pasien B. Menandatangani resep untuk Pasien C.Tangan-tangan yang ia pegang hari ini t

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   3. Bangun Di Kamar Yang Salah

    Liana Hart terbangun dengan kepala berdenyut-denyut, seperti ada palu godam yang menghentak di dalam tengkoraknya. "Aduh..." keluhnya, mencoba membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang menusuk membuatnya mengerutkan kening.Tapi itu bukan satu-satunya yang sakit.Seluruh tubuhnya berasa seperti baru dihancurkan. Pahanya pegal, punggungnya kaku, dan di antara kedua kakinya—sakit."Apa yang terjadi semalam...?"Dia mencoba mengingat, tapi ingatannya kabur. Pesta rumah sakit, anggur terlalu banyak, lalu... kosong.Dengan gerakan lamban, Liana mengangkat selimut—dan dadanya sesak.Noda darah."Oh Tuhan..." Tangannya gemetar menyentuh bekas yang sudah mengering di sprei putih itu. Dia masih perawan kemarin.Tapi sekarang?Tidak.Liana menelan ludah, matanya liar memindai kamar. Ini bukan kamarnya. Kamar ini terlalu mewah, terlalu besar—seperti suite hotel bintang lima. Dan dia sendirian."Siapa yang—"Tiba-tiba, ketukan pintu memecah kesunyian.Liana kaget. Apa dia harus membukanya? Tapi dia

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   2. Dia Pikir Aku Gigolo Bayarannya

    Antonio berdiri kaku di depan pintu suite-nya, tangan masih menggenggam gagang. Wanita mabuk itu terhuyung-huyung masuk, lalu terjatuh di atas karpet beludru hitam."Ah... kamu pasti pria yang disewakan Mom Hilarry untukku," ucapnya dengan senyum genit, jari telunjuknya menunjuk-nunjuk Antonio. "Tampan juga~"Antonio mengerutkan kening.Sialan. Dia pikir aku gigolo?Dia hampir membentak, hampir menarik wanita itu dan melemparkannya keluar—tapi tiba-tiba, sesuatu di dalam celananya bereaksi.Tidak mungkin.Enam bulan. Enam bulan sejak kecelakaaan itu, sejak tubuhnya menolak semua wanita, sejak dokter-dokter mahal hanya bisa menggeleng.Tapi sekarang?Karena seorang wanita mabuk yang salah kamar?"Aku bukan gigolo," geramnya, suara serak.Wanita itu tertawa kecil, lalu mencoba berdiri—tapi malah terjatuh lagi. "Jangan... jangan malu-malu. Aku bayar mahal kok~"Antonio menatapnya.Gaun hitamnya melorot, memperlihatkan bahu mulus. Pipinya merah, bibirnya mengkilap karena lipstik yang sedi

  • DOKTER CANTIK VS MAFIA HYPER   1. Salah Kamar

    Malam itu, kamar suite mewah Antonio Valentino dipenuhi oleh kemarahan yang meledak."Keluar! Sekarang!" Antonio menggeram, melemparkan bantal ke arah wanita bayaran yang terlihat ketakutan."Tapi, Tuan—""Diam! Kau tidak berguna!" Suaranya menggelegar, membuat sang wanita segera menyambar gaunnya dan kabur dari kamar.Antonio menatap tajam ke bawah, frustrasi melihat bagian tubuhnya yang tetap lemas, tak peduli seberapa cantik atau seksi wanita yang dihadirkan untuknya. Ia mengutuk dalam hati, meninju dinding hingga buku-buku tangannya memerah.Ini tidak masuk akal.Sejak kecelakaan itu, segala sesuatu yang membuatnya Antonio Valentino—kekuasaan, ketakutan yang ia tebarkan, bahkan kejantannya—seolah tercabik.Jio, asisten sekaligus sahabatnya, masuk dengan langkah hati-hati. "Boss...""Jangan mulai, Jio," Antonio memotong, meneguk whiskey langsung dari botol. "Aku sudah muak dengan dokter-dokter itu dan teori bodoh mereka. Coba dengan wanita lain, coba suasana berbeda— BULLSHIT!"Jio

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status