Liana Hart terbangun dengan kepala berdenyut-denyut, seperti ada palu godam yang menghentak di dalam tengkoraknya. "Aduh..." keluhnya, mencoba membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang menusuk membuatnya mengerutkan kening.
Tapi itu bukan satu-satunya yang sakit.
Seluruh tubuhnya berasa seperti baru dihancurkan. Pahanya pegal, punggungnya kaku, dan di antara kedua kakinya—sakit.
"Apa yang terjadi semalam...?"
Dia mencoba mengingat, tapi ingatannya kabur. Pesta rumah sakit, anggur terlalu banyak, lalu... kosong.
Dengan gerakan lamban, Liana mengangkat selimut—dan dadanya sesak.
Noda darah.
"Oh Tuhan..." Tangannya gemetar menyentuh bekas yang sudah mengering di sprei putih itu. Dia masih perawan kemarin.
Tapi sekarang?
Tidak.
Liana menelan ludah, matanya liar memindai kamar. Ini bukan kamarnya. Kamar ini terlalu mewah, terlalu besar—seperti suite hotel bintang lima. Dan dia sendirian.
"Siapa yang—"
Tiba-tiba, ketukan pintu memecah kesunyian.
Liana kaget. Apa dia harus membukanya? Tapi dia bahkan tidak tahu di mana pakaiannya. Dengan gemetar, dia melilitkan kimono sutra yang tergantung di samping tempat tidur—bau parfum pria yang mahal melekat di kain itu.
"Siapa... siapa itu?" suaranya serak.
Pintu terbuka, dan seorang pelayan hotel dengan senyum sopan berdiri di sana.
"Selamat pagi, Nona. Tuan Antonio meminta saya untuk membantu Anda pagi ini."
Liana membeku.
"Tuan... siapa?"
Pelayan itu hanya tersenyum, seolah itu jawaban yang cukup. "Sarapan sudah disiapkan. Juga obat penghilang sakit kepala."
Liana ingin berteriak, ingin menuntut penjelasan—tapi pelayan itu sudah membungkuk dan pergi, meninggalkannya sendirian lagi, dengan jutaan pertanyaan dan satu tubuh yang sudah tidak lagi sama.
Di meja samping tempat tidur, ada secarik kertas dengan tulisan kasar:
"Jangan lupa kita. – A.V."
Dan di bawahnya—sebuah liontin berlian, berkilau sinis di bawah sinar matahari.
Liana menatap wajahnya di cermin kamar mandi suite mewah itu. Mata sembab, bibir sedikit bengkak, dan di lehernya—beberapa tanda merah yang jelas bukan gigitan nyamuk.
"Sial..."
Air panas dari shower mengalir deras, tapi tidak bisa membersihkan rasa kotor yang menempel di kulitnya. Dia menggosok tubuhnya sampai kemerahan, berharap bisa menghapus semua kenangan semalam yang kabur itu.
Tapi kenapa... kenapa dia masih merinding saat ingatan samar tentang tangan kasar di tubuhnya muncul?
Dia memaksakan diri untuk berpikir jernih.
Semalam.
Pesta perpisahan rumah sakit.
Andreas, pacarnya—mantan pacarnya—tertidur di kamar rawat inap dengan Celia, sahabatnya sendiri.
Dia minum terlalu banyak.
Dan kemudian...
Kamar yang salah.
Pria yang salah.
Keputusan yang salah.
Liana mengepalkan tangan. "Bodoh. Sangat bodoh."
Dia memakai pakaiannya yang sudah dilipat rapi di atas kursi—rok ketat dan blus yang sekarang terasa seperti pakaian orang lain. Tanpa menyentuh sarapan mewah atau liontin berlian yang ditinggalkan, Liana berjalan keluar.
Pelayan hotel terkejut melihatnya pergi. "Nona, Tuan Antonio—"
"Saya tidak kenal Tuan Antonio manapun," potong Liana dingin. "Dan tolong... jangan beritahu siapa-siapa saya pernah di sini."
Dia berjalan keluar hotel dengan kepala tegak, meski setiap langkah membuatnya mengingat betapa sakitnya tubuhnya.
Liana melemparkan tubuhnya ke atas kasur, menatap langit-langit apartemen sempitnya yang sudah mulai mengelupas. Masih sakit. Setiap tarikan napas terasa seperti mengingatkannya pada malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Briiing! Briiing!
Ponselnya bergetar di samping bantal. Liana mengerang, melihat layar—Andreas.
"Apa lagi yang dia mau?"
Dia mengangkat telepon, suaranya datar. "Aku tidak ingin bicara denganmu—"
"Ah! Aku pikir kamu sudah mati bunuh diri!"
Suara itu menusuk seperti pisau. Bukan Andreas.
Celia.
Liana menahan napas, jari-jemarinya mencengkeram ponsel sampai keputihan. Sahabatnya. Pengkhianatnya.
"Apa yang kau lakukan dengan telepon Andreas?" tanyanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.
Celia terkekeh, suara manis yang dulu selalu menenangkannya, sekarang seperti tetesan racun.
"Kami sedang bersama, sayang. Dia khawatir kamu hilang semalam setelah... yah, setelah kamu melihat kami."
Liana menutup mata. Bayangan itu kembali—Andreas dan Celia, terpeluk di ranjang rumah sakit, kulit bersentuhan, senyum puas.
"Aku baik-baik saja," Liana membentak. "Jangan hubungi aku lagi."
Dia hampir menutup telepon ketika Celia menyeringai, "Oh, Liana... jangan marah. Kami hanya tidak ingin kamu melakukan hal bodoh—seperti tidur dengan sembarang pria untuk balas dendam."
Darah Liana membeku.
Bagaimana dia tahu?
Sebelum sempat bertanya, suara Andreas terdengar di latar, "Celia, berikan telepon—"
"Dah, Liana. Jangan lupa, besok ada shift pagi. Jangan sampai kamu tidak bisa jalan karena... yah, kamu tahu."
Tuuut...
Telepon terputus.
Liana melemparkan ponselnya ke dinding. "Sialan!"
**
**
**
Sementara itu...
Antonio Valentino menggeser pistol berasap ke belakang pinggangnya, kulit jari-jarinya masih menghitam oleh bubuk mesiu. Di depannya, lantai gudang tua sudah berubah menjadi kolam merah—mayat-mayat anggota Kelompok Timur berserakan seperti boneka rusak.
"Berani merebut barangku?" Antonio menggeram, menginjak kepala salah satu mayat dengan sepatu bootsnya yang berlumuran darah. "Mati saja kau tak cukup bayar utang itu."
Jio, tangan kanannya yang setia, membuka pintu mobil hitam dengan wajah tegang. "Tuan, semalam... pelayan bilang ada wanita di kamar Anda?"
Antonio mendesah kasar sambil menceburkan tubuhnya ke jok belakang. "Iya. Gara-gara masalah bodoh ini, aku harus tinggalkan dia pagi-pagi."
Mobil meluncur meninggalkan tempat pembantaian itu. Jio mengintip melalui kaca spion. "Memangnya ada apa dengan wanita itu?"
Antario memutar gelangnya yang berlapis emas, senyum kejam muncul di wajahnya.
"Aku sudah menidurinya."
Jio nyaris membuat mobilnya oleng. "M-Maksud Tuan... tidur biasa kan?"
"Dia masih perawan, Jio." Antonio menatap asistennya melalui pantulan kaca, matanya berbinar seperti predator yang baru saja mencicipi mangsa. "Aku yang membuatnya tak perawan lagi."
Seketika kabin mobil menjadi sunyi.
Jio menggenggam kemudi sampai buku-bukunya memutih. "Tuan... Anda sudah... bisa... lagi?"
Antario menatap keluar jendela, mengingat setiap erangan Liana, setiap cengkeraman kukunya di punggungnya.
"Tubuhku bereaksi hanya untuk dia, Jio." Suaranya rendah, berbahaya. "Dan aku akan dapatkan dia lagi."
Di sakunya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari kontak tak bernama:
[Dr. Liana Hart baru saja tiba di apartemennya. Mau aku kirimkan foto-foto saat dia mandi?]
Antonio menghapus pesan itu dengan geram. "Bodoh. Aku bukan pengintip."
Tapi jarinya mengetik balasan cepat:
[Cukup awasi dia]
Dia menoleh ke asistennya yang masih pucat.
"Jio! Siapkan mobil lain. Aku mau ke rumah sakit tempat dia bekerja besok."
"Rumah sakit? Rumah sakit mana?" Jio mengerutkan kening, tangannya masih kaku di kemudi. "Anda sudah normal, Tuan. Tak perlu ke rumah sakit lagi, kan? Seperti kata Dokter Devan—"
"Dokter Devan tidak tahu apa-apa!" Antonio membentak, suaranya menggelegar dalam kabin mobil.
Jio menelan ludah. Dia tahu betapa berbahayanya Antonio ketika suaranya mulai meninggi seperti itu.
Antonio menarik napas dalam, menenangkan diri. "Dia bekerja di RS. St. Maria. Bagian neurologi."
Jio memandangnya lewat kaca spion, matanya penuh pertanyaan yang tidak berani dia lontarkan.
"Tapi... kenapa harus mengejarnya? Kalau tubuh Tuan sudah berfungsi normal, bukankah wanita lain juga—"
"Bukan tentang itu!" Antonio memotong, jarinya mengetuk-ngetuk konsol mobil dengan ritme gugup. "Aku tidur dengannya, tapi kau tahu apa yang aneh? Aku bisa merasakan semuanya. Bukan hanya sekedar nafsu, Jio. Aku bisa merasakan setiap sentuhan, setiap desahan, setiap detak jantungnya—seperti tubuhku benar-benar hidup untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu."
Jio diam. Dia ingat betul bagaimana Antonio setelah kecelakaan—seperti mayat hidup yang tidak bisa merasakan apa-apa, bahkan saat ditembak sekalipun.
Antario mengeluarkan ponselnya, membuka foto Liana yang tidak sadar sedang diambil dari kamera pengintai—wajah polosnya yang sedang tertidur, rambut pirangnya berantakan di bantal.
"Dia spesial, Jio. Dan aku akan tahu kenapa."
Jio menghela napas. "Tuan... Dokter Devan pernah bilang, kalau suatu saat Anda menemukan seseorang yang bisa memicu saraf Anda kembali berfungsi... itu artinya ada ikatan yang—"
"Jangan mulai dengan omongan takhayul itu!" Antonio menggeram. "Ini bukan tentang takdir atau cinta. Ini tentang kendali. Aku tidak akan membiarkan satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa normal... menghilang begitu saja."
“Ya, siapkan Emilia untuk misi ini," kata Antonio dengan suara datar, namun penuh wibawa, sebelum menutup teleponnya.Liana yang mendengar nama adiknya disebut langsung terdiam. Tubuhnya membeku di balik pintu, seolah dunia berhenti berputar. Sudah sejak kejadian dulu—ketika Emilia nekat mencoba menjual informasi internal Antonio pada musuhnya—nasib adiknya it
Pernikahan terjadi di sebuah kapel kecil, sunyi dan sederhana. Hanya beberapa orang kepercayaan Antonio yang hadir—Armano, Jio, dan beberapa pengawal setia yang berjaga di luar. Tidak ada hambatan, tidak ada protes. Hanya janji suci yang diucapkan di hadapan altar.Liana sendiri tampak bahagia, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Saat Antonio menyematkan cincin di jari manisnya, dia merasakan getaran aneh—seperti rantai yang akhirnya terkunci."Sekarang kita suami istri," bisik Antonio, suaranya rendah namun penuh arti. "Jadi jangan harap bisa kabur dariku."Liana hanya melotot jengkel. Di saat hari yang harusnya bahagia pun, pria ini masih sempat-sempatnya mengancam! Sebuah cubitan mendarat di lengan Antonio."Bagaimana aku bisa kabur dari kamu kalau setiap malam saja kamu selalu membuatku susah jalan?" jawabnya, suara berbisik penuh gemas.Antonio terkekeh, matanya berbinar licik. "Karena aku memang ingin kamu selalu puas, sayang," balasnya, tangan tak sengaja meraih pinggang Lian
Ponselnya terlempar ke sofa, dan dengan langkah cepat, ia bergegas keluar dari ruang kerjanya. Para pengawal yang melihatnya hanya bisa menunduk, tahu betul ekspresi itu—Antonio sedang dilanda hasrat yang membara.Di penthouse, Liana sedang membaca buku ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan kasar. Antonio masuk, matanya gelap."Antonio? Apa yang—"
Emilia masih terduduk lemas di ranjangnya, tubuhnya pegal dan hanya terbungkus selimut tipis yang tak mampu menyembunyikan kelelahan dan rasa malu. Bau parfum murah dan keringat pria asing masih menempel di kulitnya. Baru saja ia menyelesaikan layanan terakhirnya malam ini, dan yang ia inginkan hanyalah tidur dan melupakan segalanya.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka tanpa suara, dan Antonio muncul, berdiri dengan sikap santai namun tatapannya jelas membuat siapa saja takut, bersandar di bingkai pintu. Matanya yang gelap menyapu ruangan yang sempit dan kotor ini, seolah menghakimi setiap debu dan noda yang ada.
"Karena Tuan Antonio terikat janji untuk menjaga seorang wanita, dan kelak dia akan menjadi istrinya—penerus darah keturunan Brams," jawab Armano, suaranya datar tapi mengandung arti yang dalam.Liana terdiam.Janji?Penerus darah keturunan?Istri?Pikirannya berputar kencang. "Mana mungkin aku kan?" ujarnya, tawa kecil yang gugup meluncur dari bibirnya. "Pertemuanku dengan dia dari hal yang tidak direncanakan."Armano tersenyum, tapi kali ini senyumnya tidak seperti biasanya—lebih hangat, lebih manusiawi. "Sayangnya, setelah beberapa waktu ini, Tuan Antonio mencari informasi tentang Anda. Andalah orangnya.""Hah?!" Liana nyaris menjatuhkan gelas di tangannya, matanya membelalak."Soal itu nanti anda tanyakan sendiri pada Tuan Antonio pulang," kata Armano, tiba-tiba berhati-hati. "Saya tidak punya hak untuk menjelaskannya."Dia menunjuk sekeliling ruangan dengan gerakan halus. "Dan lagi pula, tempat ini terpasang CCTV ya
Akhirnya, mereka duduk bersama di meja makan kecil yang diterangi cahaya lilin. Steak yang sudah sedikit dingin ternyata tetap nikmat, kentang panggangnya renyah di luar namun lembut di dalam, dan sayuran segarnya memberikan sentuhan ringan di antara rasa gurih daging.Antonio memotong steak dengan pisau tajamnya, matanya sesekali mengangkat untuk menatap Liana. "Enak," pujinya singkat sebelum menyuap daging ke mulutnya.Liana tersenyum kecil, hatinya berbunga-bunga meski berusaha tak menunjukkan kesenangannya.