LOGINDOR!
Suara tembakan memekakkan telinga.
Blanco terhuyung ke belakang, darah mengucur dari bahunya.
"Siapa yang bilang dia bohong?"
Suara itu—dalam, berbahaya, dan penuh wibawa—membuat semua orang di ruangan itu membeku.
Antonio Valentino berdiri di ambang pintu, pistol berasap masih di tangannya. Matanya yang kelabu seperti badai besi, mengunci Blanco dengan pandangan mematikan.
"Kau menyobek pakaian milikku," Antonio melanjutkan, setiap katanya seperti pisau yang menancap. "Kau menyentuh apa yang menjadi hakku."
Blanco tersedu-sedu, mencoba merangkak mundur. "A-Antonio, aku tidak tahu—"
"Tahu?" Antonio berjalan mendekat, sepatu hitamnya menginjak tangan Blanco yang berdarah. "Aku sengaja membiarkanmu hidup selama ini. Tapi hari ini kau memilih untuk mati."
Dia tidak memberi Blanco kesempatan untuk berbicara lagi.
DOR!
Kali ini tepat di antara mata.
Liana menutup wajah, tapi tidak bisa menghindari percikan darah yang menghangatkan pipinya.
Ketika dia membuka mata, Antonio sudah berdiri di depannya, melepas jas Armani-nya dan menyelimuti tubuh Liana yang setengah telanjang.
"Kau menyebut namaku," bisik Antonio, jari-jarinya yang dingin menyentuh pipi Liana yang basah. "Berani sekali."
Liana menggigit bibirnya yang berdarah. "Aku tidak punya pilihan lain."
Antonio menariknya lebih dekat, bibirnya hampir menyentuh telinga Liana. "Sekarang kau benar-benar milikku. Dan aku tidak suka berbagi."
Dari balik bahu Antonio, Liana melihat Emilia terduduk lemas, wajahnya hancur—seperti baru menyadari monster apa yang telah ia bawa ke dalam hidup kakaknya.
Antonio menatap Emilia dengan pandangan yang membuat udara sekitar membeku. "Dia adikmu?" suaranya rendah, tapi setiap kata terasa seperti pisau dingin yang mengiris.
Liana merangkak mendekat, tangan masih menggenggam erat jas Antonio yang menyelimuti tubuhnya. "Biarkan dia pergi... Dia sedang hamil."
Antonio menyeringai, tatapannya beralih ke perut Emilia yang masih rata. "Hamil? Sungguh? Atau hanya alasan untuk terus memerasmu selama ini?"
Emilia gemetar, air mata mengalir deras. "Kakak... Aku—"
"Jio!" Antonio memotong, tidak memberi Emilia kesempatan berbicara. "Bawa wanita itu ke tempat yang seharusnya! Rumah—"
"TIDAK!" Liana menerjang, memegang lengan Antonio dengan kuat. "Dia mengandung, Antonio! Kau tidak bisa!"
Antonio menatap Liana dengan ekspresi tak terbaca. Beberapa detik yang terasa seperti abad berlalu sebelum akhirnya dia menghela napas.
"Rumah sakit," lanjutnya, suara lebih tenang tapi tetap berbahaya. "Periksa apakah benar dia hamil. Jika bohong..." Dia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Ancaman itu jelas terpancar dari matanya.
Jio segera menarik Emilia yang terisak. Gadis itu menoleh sekali lagi ke arah Liana, matanya penuh permohonan maaf dan ketakutan.
Begitu pintu tertutup, Antonio segera memeriksa luka di tubuh Liana. Tangannya yang biasanya kejam, kini terasa lembut saat menyentuh kulit Liana yang memar.
"Kau terlalu baik pada mereka yang mengkhianatimu," bisiknya.
Liana menatap lantai. "Dia satu-satunya keluarga yang kupunya."
Antonio mendekatkan wajahnya, memaksa Liana menatap matanya. "Sekarang kau punya aku. Dan aku tidak akan pernah mengkhianatimu."
Tubuh tegap Antonio membopong Liana dengan mudah, seolah tubuhnya yang terluka tak berbeban sama sekali. Kaki-kaki panjangnya melangkah mantap meninggalkan ruangan pengap itu, di belakangnya, anak buahnya yang berseragam hitam sedang "membereskan" Blanco dan anak buahnya—suara tembakan tertahan dan jeritan terakhir yang dipotong pendek menggema di lorong.
Udara malam yang dingin menyambut mereka saat Antonio membawa Liana keluar. Lampu jalan yang remang-remang menyinari profil tajam Antonio, membuat bayangan mereka terlihat seperti siluet yang menyatu di dinding gudang.
"Masukkan dia ke mobil," Antonio menggeram pada Jio yang bergegas membukakan pintu Mercedes hitamnya.
Dengan gerakan hati-hati yang mengejutkan dari seorang pria sekeras Antonio, dia menurunkan Liana ke jok belakang kulit yang mewah. Jas Armani hitamnya masih melilit tubuh Liana, menutupi tubuhnya yang nyaris telanjang.
Pintu mobil ditutup dengan bunyi "klik" yang halus.
Antonio meluncur ke sampingnya, aroma darah dan parfum mahalnya yang tajam memenuhi kabin tertutup. Jari-jarinya yang dingin menyentuh dagu Liana, memaksa gadis itu menatap matanya yang seperti dua kolam air es.
"Sekarang," suaranya rendah tapi bergetar dengan sesuatu yang berbahaya, "Mari kita bicara tentang pengkhianatan."
Mobil mulai melaju, meninggalkan tempat horor itu—tetapi Liana tahu, perjalanan ini mungkin akan membawanya ke tempat yang lebih mengerikan...
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di depan menara megah milik Antonio. Liana, masih terbungkus jas Antonio yang kini belepotan darah dan keringat, dibopong lagi olehnya hingga masuk ke dalam lift privat yang langsung melesat ke lantai paling atas.
Pintu penthouse terbuka dengan sendirinya, memamerkan interior mewah yang didominasi marmer hitam dan logam dingin. Antonio menurunkan Liana perlahan di sofa kulit putih, tapi sikapnya tak lagi selembut tadi.
"Mandi," perintahnya singkat, sambil melepas jam tangan mahalnya dan meletakkannya di meja kaca. "Kau bau."
Ada nada meledek di suaranya, tapi matanya tetap gelap tak terbaca.
Liana menatapnya, tubuhnya masih menggigil. "Aku tidak punya baju ganti."
Antonio bersandar di ambang pintu kamar mandi, lengan kekarnya bersilang di dada. "Pakai kemeja atau piyamaku dulu," ujarnya, suaranya berat tapi ada nada menggodanya. "Atau... tak usah pakai baju sekalian juga tidak apa-apa."
Liana melotot, tangan menggenggam erat handuk di dadanya. "Apa-apaan kamu?!"
Antonio tertawa pendek, matanya yang kelabu menyala dengan kombinasi bahaya dan nafsu. "Santai, dok. Cuma bercanda."
Tapi Liana tahu itu bukan sekedar candaan. Ada intensitas di balik kata-katanya yang membuat detak jantungnya tak karuan.
Liana menatap pantulan dirinya di cermin kabut kamar mandi. Tubuhnya masih merah di beberapa bagian—bekas cengkeraman Blanco, luka tali plastik di pergelangan tangan. Air panas menyapu semua itu, tapi tidak bisa membersihkan rasa terkhianati yang menggerogoti dadanya.
Dia melangkah keluar, handuk putih besar melilit erat di tubuhnya. Ruangan megah itu sepi. Antonio menghilang, meninggalkan hanya bau parfumnya yang mahal dan sebuah ancaman tak terucap di udara.
Dengan hati-hati, Liana membuka lemari pakaian Antonio.
Isinya membuatnya tercekat.
Rapi, sempurna—hanya berisi jas-jas hitam, kemeja putih berkancing mutiara, dan beberapa pasang sepatu kulit yang harganya mungkin setara gaji setahunnya. Tidak ada satu pun pakaian wanita.
"Dia memang sudah merencanakan ini," bisik hatinya.
Liana mengambil kemeja putih Antonio yang paling tipis. Kainnya halus seperti sutra, tapi tetap terasa seperti seragam tahanan saat dia mengenakannya.
Kebesaran.
Lengan menggantung melewati tangannya, ujung kemeja jatuh sampai ke pahanya. Tapi ini lebih baik daripada disuruh telanjang oleh pria itu.
Dia mengatupkan gigi saat mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang.
"Aku lebih suka melihatmu seperti ini," suara Antonio yang dalam tiba-tiba mengiris kesunyian. "Dengan bajuku... dan bau tubuhku di kulitmu."
Liana berbalik, menemukan Antonio berdiri terlalu dekat, matanya terlalu gelap, dengan segelas anggur merah di tangan yang seolah-olah mencerminkan warna bibirnya sendiri.
Antonio melangkah mendekat, setiap langkahnya seperti predator yang mengejar mangsa yang sudah terpojok. Liana mundur tanpa sadar, punggungnya menempel di dinding dingin, tak ada jalan kabur.
"Ka-kau mau apa?" suaranya bergetar, tangan mengepal di sisi tubuhnya.
Antonio tak menjawab. Tangannya yang besar menyentuh dinding di sebelah kepala Liana, mengurungnya dalam jarak yang terlalu dekat, terlalu intim. Napasnya hangat di kulitnya, bercampur aroma anggur dan sesuatu yang lebih gelap—kekuasaan.
"Aku mau membersihkan tangan kotor Blanco dari tubuhmu," gumamnya, suara seraknya seperti beledu yang dibalut pisau.
Liana menelan ludah. "Mak-maksudnya?"
Jari Antonio yang dingin menyentuh lekuk lehernya, menyusuri garis tempat Blanco pernah mencengkeram.
"Artinya..."
Dia membelokkan sentuhannya ke bahu Liana, menekan pelan di memar yang ditinggalkan anak buah Blanco.
"...setiap jejak mereka..."
Telapak tangannya yang hangat tiba-tiba menggeser ke pinggang Liana, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka hampir bersentuhan.
"...harus aku ganti dengan milikku."
“Ya, siapkan Emilia untuk misi ini," kata Antonio dengan suara datar, namun penuh wibawa, sebelum menutup teleponnya.Liana yang mendengar nama adiknya disebut langsung terdiam. Tubuhnya membeku di balik pintu, seolah dunia berhenti berputar. Sudah sejak kejadian dulu—ketika Emilia nekat mencoba menjual informasi internal Antonio pada musuhnya—nasib adiknya it
Pernikahan terjadi di sebuah kapel kecil, sunyi dan sederhana. Hanya beberapa orang kepercayaan Antonio yang hadir—Armano, Jio, dan beberapa pengawal setia yang berjaga di luar. Tidak ada hambatan, tidak ada protes. Hanya janji suci yang diucapkan di hadapan altar.Liana sendiri tampak bahagia, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Saat Antonio menyematkan cincin di jari manisnya, dia merasakan getaran aneh—seperti rantai yang akhirnya terkunci."Sekarang kita suami istri," bisik Antonio, suaranya rendah namun penuh arti. "Jadi jangan harap bisa kabur dariku."Liana hanya melotot jengkel. Di saat hari yang harusnya bahagia pun, pria ini masih sempat-sempatnya mengancam! Sebuah cubitan mendarat di lengan Antonio."Bagaimana aku bisa kabur dari kamu kalau setiap malam saja kamu selalu membuatku susah jalan?" jawabnya, suara berbisik penuh gemas.Antonio terkekeh, matanya berbinar licik. "Karena aku memang ingin kamu selalu puas, sayang," balasnya, tangan tak sengaja meraih pinggang Lian
Ponselnya terlempar ke sofa, dan dengan langkah cepat, ia bergegas keluar dari ruang kerjanya. Para pengawal yang melihatnya hanya bisa menunduk, tahu betul ekspresi itu—Antonio sedang dilanda hasrat yang membara.Di penthouse, Liana sedang membaca buku ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan kasar. Antonio masuk, matanya gelap."Antonio? Apa yang—"
Emilia masih terduduk lemas di ranjangnya, tubuhnya pegal dan hanya terbungkus selimut tipis yang tak mampu menyembunyikan kelelahan dan rasa malu. Bau parfum murah dan keringat pria asing masih menempel di kulitnya. Baru saja ia menyelesaikan layanan terakhirnya malam ini, dan yang ia inginkan hanyalah tidur dan melupakan segalanya.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka tanpa suara, dan Antonio muncul, berdiri dengan sikap santai namun tatapannya jelas membuat siapa saja takut, bersandar di bingkai pintu. Matanya yang gelap menyapu ruangan yang sempit dan kotor ini, seolah menghakimi setiap debu dan noda yang ada.
"Karena Tuan Antonio terikat janji untuk menjaga seorang wanita, dan kelak dia akan menjadi istrinya—penerus darah keturunan Brams," jawab Armano, suaranya datar tapi mengandung arti yang dalam.Liana terdiam.Janji?Penerus darah keturunan?Istri?Pikirannya berputar kencang. "Mana mungkin aku kan?" ujarnya, tawa kecil yang gugup meluncur dari bibirnya. "Pertemuanku dengan dia dari hal yang tidak direncanakan."Armano tersenyum, tapi kali ini senyumnya tidak seperti biasanya—lebih hangat, lebih manusiawi. "Sayangnya, setelah beberapa waktu ini, Tuan Antonio mencari informasi tentang Anda. Andalah orangnya.""Hah?!" Liana nyaris menjatuhkan gelas di tangannya, matanya membelalak."Soal itu nanti anda tanyakan sendiri pada Tuan Antonio pulang," kata Armano, tiba-tiba berhati-hati. "Saya tidak punya hak untuk menjelaskannya."Dia menunjuk sekeliling ruangan dengan gerakan halus. "Dan lagi pula, tempat ini terpasang CCTV ya
Akhirnya, mereka duduk bersama di meja makan kecil yang diterangi cahaya lilin. Steak yang sudah sedikit dingin ternyata tetap nikmat, kentang panggangnya renyah di luar namun lembut di dalam, dan sayuran segarnya memberikan sentuhan ringan di antara rasa gurih daging.Antonio memotong steak dengan pisau tajamnya, matanya sesekali mengangkat untuk menatap Liana. "Enak," pujinya singkat sebelum menyuap daging ke mulutnya.Liana tersenyum kecil, hatinya berbunga-bunga meski berusaha tak menunjukkan kesenangannya.







