LOGINRayhan menerima kiriman email dari pengirim anonim. Kali ini, bukan dokumen medis—melainkan sebuah rekaman CCTV buram, dari lorong hotel di malam yang sama yang diceritakan Nadine.
Dalam rekaman itu, terlihat Arvan yang setengah mabuk berjalan sempoyongan ke sebuah kamar hotel. Tak lama, seorang wanita muncul—bergaun gelap, membawa gelas minuman. Wajahnya hanya terlihat sebagian, tetapi Rayhan mengenali gaya berjalan dan siluet rambutnya, Raline. Ia menonton video itu dengan pandangan tajam. Kemudian di video kedua, yang membuat kedua matanya hampir terlepas, tampak seorang wanita dengan penampilan berantakan keluar dari kamar yang dimasuki oleh Arvan semalam. Detik demi detik terasa menusuk hati Rayhan. Tidak hanya karena kemungkinan jebakan itu nyata—tetapi juga karena bagaimana kehidupan Nadine telah dihancurkan oleh orang yang mengaku “keluarga”. *** Beberapa Hari Kemudian Di ruang kerjanya, Rayhan menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Video dari email anonim itu terus berputar dalam pikirannya. Sementara di tangannya, ada selembar foto lama yang sudah direstorasi dari arsip pribadi keluarganya—Amelia, Raline, dan Nadine. Semua tersenyum dalam satu acara ulang tahun kecil-kecilan. Pintu ruangannya diketuk. Sekretaris Rayhan masuk dengan wajah sedikit cemas. “Tuan, ada seseorang yang ingin bertemu. Ia bilang ini soal ... Tuan Arvan dan Nyonya Nadine.” Rayhan menegakkan tubuhnya. “Siapa dia?” “Dia mengaku teman dekat Tuan Arvan saat kuliah. Namanya Gino.” Rayhan mengangguk. “Suruh masuk.” Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh kurus dan berpakaian rapi masuk dengan sedikit gugup. “Apa yang ingin Anda sampaikan, Tuan Gino?” tanya Rayhan cepat, langsung ke inti. Gino menatap sekeliling, lalu duduk perlahan. “Begitu masuk sini, saya tahu ini adalah keputusan berisiko besar. Tapi saya tidak bisa lagi menahan ini. Arvan … dia pernah cerita tentang peristiwa di hotel itu. Tapi bukan dari sudut pandang publik.” Rayhan menyipitkan mata. “Lanjutkan.” Gino menghela napas. “Arvan tidak tahu pasti apa yang terjadi malam itu. Saya bersamanya di bar. Dia sedang mabuk berat dan dalam pengaruh obat. Saya sempat merekam percakapan antara Arvan dan juga antara Raline dengan bartender. Saya simpan buat jaga-jaga dan saya berikan jug duplikatnya ke Arvan. Karena dia pun merasa dijebak oleh Raline." Rayhan membeku. “Anda masih simpan rekaman itu?” Gino mengangguk, lalu mengeluarkan flashdisk dari saku dalam jasnya. “Saya gak bisa jamin ini bisa dijadikan bukti hukum. Tapi saya harap ini bisa membantu Anda.” "Kenapa bisa, tiba-tiba Anda ingin kasih tahu ini?" tanya Rayhan penasaran sekaligus menaruh sedikit rasa curiga. "Saya dulu sempat ditolong Anda saat kesulitan biaya rumah sakit. Beberapa hari yang lalu saya tanpa sengaja sempat curi dengar pembicaraan Raline di kafe. Dia mau melepaskan Arvan dan Anda, target berikutnya." Rayhan terkejut mendengar penjelasan dari pria di hadapannya. Dengan tersenyum, ia berkata, "Saya menolong tanpa pamrih, gak usah jadi beban. Terima kasih banyak atas bantuan Anda." "Terima kasih kembali, Tuan," balas Gino. --- Di Paviliun Nadine memandangi Arsa yang tertidur pulas. Hatinya terasa tenang, tetapi sekaligus was-was. Ia tahu badai belum selesai. Ia tahu Raline belum menyerah. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. [Kamu pikir semua sudah selesai? Tunggu sampai kamu menangis untuk dipercepat kematianmu. Kita belum selesai, Nadine. Aku akan buka semuanya—dari awal sampai akhir. Dan kali ini, gak ada yang bisa menyelamatkan kamu.] Nadine membaca pesan itu dengan tangan gemetar. Ia bangkit, menutup gorden jendela, dan mengaktifkan alarm keamanan rumah. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar diburu. --- Malam Hari Rayhan duduk bersama Nadine di ruang tamu. Ia memutar rekaman dari flashdisk yang diberikan Gino. Suara Arvan terdengar lirih dan berat: “Kepalaku pusing banget. Kayak ada yang aneh. Badanku panas dan ingin lampiaskan hasrat. Raline yang kasih minuman tadi. Apa dia kasih sesuatu ke minuman? Katanya mau kasih aku kejutan. Aku cuma … pengen tidur.” Suara itu lalu menghilang. Di akhir file, hanya ada bunyi napas berat dan bunyi langkah menjauh. Pada rekaman kedua, terdengar suara Raline dengan seorang pria. "Jangan sampe ketukar obatnya! Minuman kuning kasih ke cewek yang barusan kasih aku kado. Yang merah, biar aku kasih sendiri." Baik Rayhan maupun Nadine merasa geram mendengarnya. CEO tampan itu menoleh ke Nadine lalu bertanya, "Apa cewek yang dia maksud kamu?" Nadine menangis tertahan. “Ya, aku kasih kado karena dalam undangan tercantum perayaan ulang tahun dia. Kata Raline itu minuman soda, tapi begitu meminumnya, aku merasa ngantuk berat. Bangun pagi, sudah dalam kamar hotel bareng Mas Arvan." Rayhan mengelus tangan Nadine. “Ini membuktikan kamu tidak bersalah. Kamu korban, Nadine. Dan sekarang aku punya cukup alasan untuk membawa ini ke polisi.” Nadine menggeleng pelan. “Jangan buru-buru! Raline belum memainkan kartu terakhirnya. Aku kenal sifat culasnya. Dia sedang mengulur waktu, menunggu sesuatu lebih besar. Dan aku ingin tahu, siapa yang bermain bersamanya.” Rayhan menatap Nadine penuh tanya. “Maksudmu ... ada orang lain di balik ini semua?” Nadine mengangguk. “Bukan cuma Raline. Tapi juga seseorang dari orang-orang terdekat kamu, Sayang. Raline bisa tahu pasti schedule kamu. Ada yang berkhianat." "Nanti aku minta sekuriti mengamati gerak-gerik orang-orag terdekat aku lewat rekaman CCTV," sahut Rayhan, diakhiri pelukan dan kecupan pada dahi Nadine. --- Sementara Itu, di Tempat Lain Raline berdiri di sebuah ruang bawah tanah rahasia, bersama seorang pria berjas kelabu yang tak lain adalah Pamannya Rayhan—Leonardo Ananta, pemilik 30% saham rumah sakit. “Kalau Rayhan tahu Om terlibat dalam upaya pencegahan pasokan ASI anaknya—dia pasti memecat Om dari dewan direksi ,” ujar Raline. . Leonardo menoleh lalu tersenyum penuh arti. “Makanya, buruan urus Rayhan. Buat dia bertekuk lutut padamu lalu kita ambil alih aset. Biar aku yang urus Nadine dan Arsa. Sama-sama enak, kan?" Raline mengangguk dengan senyum puas. “Sudah waktunya, aku memiliki Rayhan seutuhnya. Aku yang pedekate sejak lama, kenapa Nadine yang dapati dia? Jalang itu selalu mengambil pria-priaku." ** Rayhan duduk di ruang rapat bersama tim keamanannya. Wajah pria itu tegang, tidak seperti biasa. Di layar besar terpampang grafik interaksi seluruh staf dan anggota keluarga dalam sebulan terakhir. Beberapa nama ditandai merah—termasuk salah satu pengemudi pribadinya, yang pernah direkomendasikan oleh Leonardo Ananta. “Lacak semua pergerakan mereka! Mulai dari siapa yang mereka temui di luar jam kerja, hingga riwayat percakapan mereka yang terekam di server. Aku mau semua jelas.” “Baik, Tuan Rayhan,” sahut kepala tim keamanan. Setelah ruangan kosong, Rayhan menghubungi seseorang dengan telepon satelit khusus. “Jalankan fase dua! Buat Leonardo percaya, dirinya tak terpantau. Dan pastikan Nadine dan Arsa dipantau tanpa diketahui siapa pun. Aku khawatir mereka jadi sasaran lebih dulu.” --- Di Rumah Raline Raline menerima kiriman koper hitam dari seseorang berpenutup wajah. Ia membuka koper itu—penuh dengan dokumen medis, perjanjian palsu, serta salinan transaksi tunai ke beberapa pejabat rumah sakit yang pernah menangani Nadine.Cahaya biru dari tubuh mereka saling berpantulan di permukaan logam, membentuk pola yang samar menyerupai simbol tak terpecahkan: ∞Nadine menatap simbol itu lama, lalu berbisik, “Apa ini hukuman atau takdir?”Yaros menatapnya, dan untuk pertama kalinya ia tak punya jawaban.Namun dalam keheningan itu, ia hanya tahu satu hal bahwa apa pun yang terjadi, jika salah satu dari mereka mati, dunia yang lain ikut berakhir.*-*Tiga hari berlalu sejak keterikatan Kairos disadari.Di ruang bawah tanah fasilitas persembunyian—bekas bunker medis Soviet yang kini menjadi laboratorium darurat—Yaros belum tidur.Kabel optik bersinar redup di sepanjang dinding logam, menyalurkan data biometrik yang terus berfluktuasi.Nadine terbaring lemah di ranjang medis. Tubuhnya gemetar setiap kali arus bio-listrik melonjak di dalam sistem sarafnya.“Stabilisasi masih gagal,” gumam Yaros dengan suara serak. “Kairos bereaksi seperti organisme tanpa pusat kendali.”Celeste berdiri di sisi lain meja kerja, mata
Tiba-tiba, sistem pengunci pintu otomatis terbuka. Celeste yang memantau jarak jauh mendeteksi lonjakan bioenergi ekstrem.“Tenang, Nadine. Aku melihat data tubuhmu. Jangan melawan alirannya! Biarkan kadar hormon menurun perlahan,” suara Celeste terdengar dari interkom.Akan tetapi Nadine sudah kehilangan sebagian kendali.Ia menggenggam tepi meja, matanya berkaca-kaca menahan sensasi yang seperti badai.“Dia … harus di sini,” katanya putus asa.Cahaya di ruangan redup.Satu tetes air hujan jatuh dari atap ke lantai, bersamaan dengan tubuh Nadine yang akhirnya terjatuh, kehilangan kesadaran.Beberapa jam kemudian, Yaros tiba dan menemukan ruangan dipenuhi aroma ozon samar. Itu pertanda sisa pelepasan energi bioelektrik.Ia berlari mendekat, memeluk tubuh Nadine yang terkulai di lantai.Monitor di samping ranjang menampilkan data baru: Resonansi Stabil — Sinkronisasi Diperlukan.Yaros menatap layar itu, napasnya tercekat. Kairos bukan hanya mengubah biologi mereka.Ia telah menciptakan
Yaros langsung menyentuh bagian sensitif Nadine, hingga membuat gairah wanita itu terpancing. Yaros mulai mencerup bagian sensitif tersebut secara bergantian dan sedikit bermain di sana, hingga Nadine mendesah lirih, “Ah, Sayang. Habiskan semua! Biar kamu semakin perkasa.” Cairan kental berwarna putih dari ujung aset Nadine semakin deras mengalir dan Yaros begitu menikmati minuman favoritnya.“Sayang, aku tidak kuat lagi,” ujar Yaros. Ia sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Ia langsung meloloskan bagian bawah pakaian Nadine lalu membuka kedua kakinya.“Ahh,” lenguh Yaros memulai penyatuan.“Emmmh, ahhh. Yaros ...,” desah Nadine dengan sengaja menyebut nama suaminya, membuat darah Yaros semakin bergejolak. “Emhhh, iya, Sayang. Sebut namaku.” Yaros terus memompa tubuh Nadine semakin kuat.Ia mempercepat hentakannya, hingga Nadine semakin menjerit.Keduanya memejamkan matanya dan .... “Akhhh ..., “ Erangan panjang mulai terdengar dari mulut keduanya, akhirnya sama-sama lungl
Ivan menyiapkan suntikan berisi cairan transparan yang berpendar samar.“Kau seharusnya berterima kasih,” lanjut Ivan, matanya berkilat fanatik. “Dengan tubuhmu, aku akan menulis ulang genetika manusia. Tak ada lagi alergi, tak ada lagi kelemahan. Dunia baru akan lahir.”Nadine mencoba melawan, suaranya serak, “Kau bukan ilmuwan. Kau monster!”Ivan tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi monster yang akan diingat sejarah.”Di balik kaca satu arah, Celeste dan Yaros menyaksikan dengan ngeri dari ruang pengawasan yang berhasil mereka retas.“Dia akan membunuhnya,” bisik Yaros dengan rahang menegang. Celeste menatap layar sambil menyiapkan pengendali pintu. “Tidak, kalau kita lebih cepat.”Sistem keamanan berderit. Lampu di ruang Ivan padam sesaat.Dalam kegelapan itu, Nadine mendengar langkah tergesa, lalu suara keras logam terhantam.Yaros menerobos masuk, tubuhnya penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah.“Ivan!” teriaknya. “Lepaskan dia!”Cahaya berkedip. Dua pria itu saling berhada
Ivan berjalan keluar, tetapi sebelum pintu tertutup, ia berkata pelan, hampir seperti bisikan, “Kau mengingat ibumu, bukan? Jangan ulangi kesalahannya.”Pintu menutup otomatis dengan bunyi klik. Celeste berdiri terpaku, tubuhnya gemetar halus. Di dada kirinya, detak jantung berdebar cepat, bukan karena takut, tetapi karena tahu satu hal, bahwa Ivan sudah mulai tahu.Malamnya, di ruang karantina, Nadine memperhatikan Celeste yang tampak gelisah.“Ada apa?” tanyanya perlahan.Celeste menggeleng, tetapi matanya kosong. “Ivan tahu sesuatu. Aku hanya tak tahu seberapa banyak.”Yaros mendekat, berdiri di sisi tempat tidur. “Berapa lama kita punya waktu sebelum dia bertindak?”Celeste menatap mereka bergantian. “Mungkin dua puluh empat jam. Setelah itu, aku akan dipindahkan ke sektor bawah. Dan kalian akan punya pengawas baru. Seseorang yang tak akan ragu membunuh.”Nadine menelan ludah. “Lalu apa yang akan kita lakukan?”Celeste menatap jam digital di dinding; jarum jam menunjukkan 21:32.M
Celeste tidak langsung menjawab. Ia menatap monitor yang kini menampilkan rekaman semu. Kemudian dengan suara rendah, ia berkata, “Karena aku pernah menjadi seperti kalian. Dulu aku bekerja di bawah Ivan. Kupikir aku menyelamatkan manusia dari penyakit genetik. Tapi yang sebenarnya kulakukan adalah menciptakan produk manusia. Versi-versi baru dari spesies yang bisa dijual kepada mereka yang kaya dan takut mati.”Ia menarik napas dalam. “Aku menandatangani kontrak itu karena ibuku sakit. Ivan menjanjikan pengobatan gratis. Tapi dia bohong. Dia menggunakan DNA-nya sebagai bahan percobaan.”Nadine memejamkan mata, merasakan empati yang berat di dadanya. “Jadi ini balasanmu.”Celeste menatap Nadine. “Bisa dibilang begitu. Tapi lebih dari itu, aku ingin Ivan gagal. Dan untuk itu, aku butuh kalian berdua tetap hidup.”Keheningan melingkupi mereka. Yaros memperhatikan Celeste lama, mencoba mencari kebohongan di balik matanya. Namun yang ia temukan hanyalah kelelahan, dan sebersit tekad.“Apa







