KEMBALI KE RUANG ISOLASI – SAAT ININadine menggeliat pelan. Matanya terbuka sedikit, melihat Liang Shen yang duduk dengan kepala menunduk. Ia tak tahu apa yang lebih menyakitkan, tubuhnya yang lemah, atau pria itu yang hadir dalam hidupnya? Bahkan membuat luka baru dalam hatinya.“Kenapa Tuan ada di sini?” bisik Nadine lemah.Liang Shen menoleh cepat. Sejenak, matanya seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri. Akan tetapi ia buru-buru bersikap sewajar mungkin.“Karena kau belum mati,” jawabnya datar. Namun bibirnya gemetar.Nadine menatapnya lama. “Mungkin, aku memang harus mati, supaya Tuan berhenti menyiksaku.”Wajah Liang Shen mengeras. Ia berdiri, menatap Nadine tajam. Namun bukan kemarahan yang muncul, melainkan ketakutan.“Jangan pernah bilang itu lagi,” suaranya berat. “Aku akan hhancur kalau itu terjadi.”Nadine memejamkan mata. Air mata hangat mengalir di pipinya. Ia merasa jijik. Namun juga bingung. Lelaki itu telah menghancurkannya. Akan tetapi ia mengucapkan kata y
VILA PRIBADI LIANG SHEN, PULAU LANTAU, HONG KONG – MALAM HARICahaya remang di kamar mewah itu menari pelan di atas langit-langit yang dihiasi ukiran naga dan burung phoenix. Wangian sandalwood samar tercium dari dupa yang terbakar di pojok ruangan.Nadine terbaring di ranjang king-size dengan selimut setengah menutupi tubuhnya. Matanya terbuka, menatap langit-langit dengan kosong. Napasnya tidak teratur. Ia berkeringat deras, walau AC di ruangan itu menyala dingin.Di meja sebelah tempat tidur, tergeletak sebuah ampul kosong dan jarum suntik. Liang Shen duduk santai di kursi berlengan, masih mengenakan kemeja dengan semua kancing terbuka. Hingga bentuk dada kekar dan perut six pack-nya terekspos sempurna.Tangannya memutar segelas wine. Pandangannya menatap Nadine seperti menilai lukisan mahal yang baru saja ia miliki secara penuh.“Obat itu hanya mempercepat penerimaanmu,” gumamnya dingin, seperti tak merasa bersalah. “Aku tidak suka wanita yang berteriak atau menangis. Aku hanya in
DINI HARI – BANGKOK, THAILAND – LOKASI RAHASIA Udara di ruangan itu berbau parfum tajam dan alkohol mahal. Asap rokok memenuhi seisi ruangan. Musik lembut mengalun dari speaker tersembunyi di dinding. Cahaya remang-remang membuat wajah para perempuan di dalam ruangan tampak samar, seperti boneka-boneka hidup yang dipaksa tersenyum. Nadine duduk di pojok kamar mewah yang telah diubah menjadi ruang "karantina". Tangannya kini bebas, tetapi tubuhnya masih lemas. Luka di lengannya —bekas tembakan kecil yang diarahkan dekat kakinya di gudang beberapa hari lalu—mulai membengkak, berwarna ungu kehitaman. Ia menggigit bibir menahan nyeri, tetapi lebih dari itu, hatinya nyaris hancur. Dua perempuan lokal mendekat, membawa nampan berisi pakaian dalam tipis dan gaun malam yang mengumbar dada. Mereka bicara dalam bahasa Thailand, menunjuk pakaian itu dan tubuh Nadine bergantian. "Aku bukan pelacur!" desis Nadine lemah, dalam bahasa Inggris. Salah satu dari mereka mendekat, mengusap lembut ra
Beberapa Jam Kemudian – Di Gudang KosongUdara di dalam gudang tua itu terasa lembap dan dingin. Bau besi karat, oli, dan debu memenuhi hidung. Di tengah ruangan, Nadine duduk di kursi besi, tangannya terikat di belakang. Di depannya ada seorang wanita berambut pirang dan berkacamata hitam. Ia bukan orang asing.Raline.“Apa kabar, Nadine?” tanya Raline dengan senyum sinis. “Kamu terlalu banyak berharap dari posisi yang hanya bersifat kontrak. Kamu pikir kamu siapa? Hanya pendonor. Hanya proyek sosial.”“Proyek?” Suara Nadine serak.“Iya, dong! Emang kamu, kasih ASI gratisan? Selama ini Rayhan membayar mahal setiap tetes susu yang dinikmati anaknya, di luar biaya pelunasan pengobatan kamu.” “Kau ?! Manusia macam apa kamu …?”Raline mendekat, menepuk pipinya pelan. “Aku wanita yang tahu apa yang pantas dimiliki. Dan kamu ... sayangnya bukan bagian dari dunia kami.”Kemudian Raline menyodorkan sebuah laptop. Pada layar tertera aplikasi email.“Buat surat pengunduran diri! Ketik dan kir
Rayhan mengatupkan rahangnya. Ia menutup laptop dengan kasar, lalu bangkit berdiri."Ke mana kamu pergi, Nadine?” gumamnya penuh frustrasi.Ia berjalan mondar-mandir di ruang kerja seperti orang panik. Tak ada satu pun pesan Nadine masuk ke ponselnya. Ia mencoba menelepon, tetapi nadanya langsung tidak aktif. Bahkan kontak WhatsApp-nya pun hilang—diblokir.“Pak?” Suara Santi, sekretaris pribadi Rayhan, muncul dari balik pintu. “Semua barang Bu Nadine sudah benar-benar diambil. Rumah dinas juga sudah dikembalikan kuncinya pagi tadi.”Rayhan hanya mengangguk pelan. Ia tak sanggup menjawab.Ketika Santi keluar, Rayhan berjalan menuju kamar bayi. Arsa sedang tertidur lelap di dalam boksnya. Pria itu duduk di kursi goyang di samping anak itu, memandangi wajah mungil yang tak tahu apa-apa.“Maafin Papa, Nak,” bisiknya lirih. “Mama Nadine sudah pergi.”Tangannya mengusap lembut kepala Arsa yang penuh rambut halus. Ingatannya kembali ke malam terakhir, ke aroma tubuh Nadine, ke bisikan-bisika
Sebelum pintu kamar tertutup rapat, Nadine yang baru datang, buru-buru masuk. Rayhan tersenyum melihat kehadirannya. Ia menarik tangan wanita itu dengan kasar. Gerakan spontan itu membuat tubuh mereka bersamaan terempas ke atas ranjang empuk hotel bintang lima ini.Nadine meringis sejenak, bukan karena sakit semata, tetapi karena kejutan atas betapa buasnya sisi Rayhan yang baru saja dilihatnya.“Enggak bisakah kau sedikit lebih lembut?” bisik Nadine, setengah protes. Sisi kelakian Rayhan semakin tertantang karenanya.Rahyan tak menjawab. Tatapannya yang gelap penuh nafsu seakan-akan menelan semua protes dari Nadine. Tubuh Nadine dibalik dengan mudah, seolah-olah wanita itu tak lebih dari boneka di tangannya. Helaan napas Nadine tercekat ketika Rayhan membuka pahanya, memperjelas jarak di antara mereka yang semakin menguap—tak ada lagi ruang bagi logika, hanya letupan yang semakin membakar.Rayhan membungkuk, mencengkeram pinggang Nadine dengan kuat. Mata pria itu menatap wanitanya da