Share

Bab 2

Author: chalove
last update Last Updated: 2025-08-18 16:34:17

Lyra terbangun dengan napas terengah. Seluruh tubuhnya masih panas. Ia menoleh—selimut kusut, bantal berserakan, sosok yang menindihnya semalam masih tertidur lelap.

Tubuhnya gemetar, jantungnya berpacu cepat. Ia meraih tasnya dengan panik, hampir jatuh saat menarik rok yang tersampir di lantai. Setengah berlari, ia keluar kamar hotel, menyembunyikan wajah di balik masker dan rambut yang berantakan.

Udara pagi menusuk paru-parunya. Lyra menahan tangis ketika langkahnya terseok menuju apotek 24 jam di ujung jalan.

“Obat kontrasepsi darurat ada nih, Mbak,” suara apoteker membuatnya tersentak. Ia mengangguk cepat, menyodorkan uang dengan tangan gemetar. Kotak kecil itu terasa seperti bara di genggamannya.

Lyra keluar dari apotek dengan langkah goyah. Kotak kecil itu ia genggam erat, seakan jika dilepas, seluruh rahasianya akan tumpah ke dunia. Nafasnya masih kacau, matanya perih menahan tangis.

"Bagaimana kalau ada yang tahu? Bagaimana kalau Reihan tahu?"

Ia berhenti di trotoar, memandang lalu lintas yang ramai. Semua orang berjalan dengan wajah biasa, sibuk dengan urusan masing-masing. Dunia tetap berputar, seakan tragedi yang barusan menimpa dirinya tak berarti apa-apa.

Perasaan malu, jijik, marah, bercampur jadi satu. Ia ingin berteriak, tapi suara itu hanya terkurung di dalam dadanya sendiri.

Saat kembali ke apartemen mungilnya, ia duduk di lantai, punggung bersandar pada dinding dingin. Kemeja yang ia kenakan masih berbau hotel, masih menyimpan jejak tubuh asing. Tangan Lyra gemetar saat meraih parfum di meja rias, menyemprotkannya berulang kali, seolah bisa menghapus noda yang tertinggal. Tapi bau itu tetap ada—atau mungkin hanya terjebak di dalam kepalanya.

Cermin memantulkan wajah yang nyaris tak dikenalnya sendiri. Senyum tipis ia paksa, bedak menutupi lebam samar di bawah mata. Rambut sudah ia tata, blazer ia kenakan. Tidak boleh ada yang tahu. Tidak ada yang boleh curiga.

Dengan langkah—yang terasa rapuh hanya untuk dirinya sendiri—Lyra akhirnya tiba di kampus.

Lyra melangkah masuk ke kelas dengan wajah datar. Rambut sudah disisir rapi, kemeja bersih, riasan tipis menutupi kantung mata. Tak ada yang menyangka ia baru saja melewati malam terburuk dalam hidupnya.

Suara riuh mahasiswa menyambut kedatangannya. Namun begitu pintu ditutup, kelas mendadak hening. Semua mata tertuju padanya.

Lyra menarik napas panjang, mencoba bersikap seperti biasa.

“Selamat pagi. Kita mulai kuliah hari ini.”

Suara ketukan tiba-tiba terdengar di pintu kelas.

Lyra menoleh, dan seketika tubuhnya menegang.

Di ambang pintu, berdiri Kanz. Rambutnya sedikit berantakan, kemeja hitam dengan kancing atas terbuka, dan tas yang hanya disampirkan asal di bahu. Penampilannya terkesan santai, namun justru semakin menonjolkan pesonanya. Terlalu tampan—bahkan, Lyra harus jujur dalam hati, jauh lebih tampan dibanding Reihan.

Tatapan pemuda itu menusuk, penuh sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Bukan sekadar kagum, bukan sekadar salah tingkah mahasiswa biasa. Lebih dalam. Lebih berbahaya.

Detik itu juga, jantungnya berdegup kencang. Senyum tipis yang tersungging di bibir Kanz tampak biasa di mata orang lain, tetapi bagi Lyra, senyum itu terasa seperti sindiran. Seakan-akan pemuda itu mengingatkan sesuatu yang seharusnya terkubur semalam.

Lyra menggigit bibir, berusaha menahan getar di dadanya. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, berharap Kanz tidak mengungkit apa yang terjadi di kamar hotel itu.

Pemuda itu melangkah masuk. Langkahnya tenang, sedikit menunduk saat melewati Lyra, namun tatapannya membuat Lyra merasa ada maksud tersembunyi yang tak mampu ia tebak.

“Maaf, Bu,” ucap Kanz dengan suara rendah, disertai senyum samar yang nyaris menohok. “Saya terlambat karena tadi ada urusan dengan… Pak Reihan, tunangan Ibu.”

Tubuh Lyra sontak menegang.

'Urusan? Dengan Reihan? Astaga… jangan-jangan dia sudah tahu?! Apa dia mengadukan semuanya?!' pikirnya panik.

“U-urusan… apa?” suaranya keluar tanpa sadar, pelan dan terbata.

Alih-alih menjawab, Kanz hanya mengulas senyum kecil. Senyum itu tampak ramah di mata semua orang, tapi bagi Lyra, terasa mengancam.

Ia buru-buru meneguk ludah, lalu mengalihkan pandangan. “Ah… baiklah. Silakan duduk.”

Begitu Kanz melangkah menuju bangkunya, riuh rendah terdengar dari para mahasiswa lain. Terutama para wanita—mata mereka berbinar, suara bisik-bisik kagum memenuhi ruangan. Wajar saja. Kanz memang populer di kampus: tampan, cerdas, kaya, bahkan berhasil menduduki jabatan ketua BEM dengan mudah.

Sempurna, dari sudut pandang siapa pun.

Namun Lyra tahu sisi lain yang mereka semua tidak tahu. Kanz seorang cassanova—katanya, banyak wanita sudah menjadi korbannya. Dan yang lebih menyesakkan dada, kini Lyra salah satunya.

Tangannya mengepal di balik meja.

‘Kalau mereka tahu pria yang mereka idolakan itu sudah tidur denganku… aku bisa habis digiling mereka.’

Lyra menarik napas panjang, berusaha menetralkan gejolak di dadanya. Nafasnya tercekat, seolah kembali terjebak di kamar hotel semalam. Ia mengangkat spidol dan mulai menulis materi di papan tulis, seolah tak ada yang salah. Tapi rasa berdebar tak mau hilang—apalagi ketika ia sadar, dari kursi barisan tengah itu, tatapan Kanz tak pernah lepas darinya.

Lyra menuliskan baris terakhir di papan tulis. Kapur berderit pelan, lalu diletakkan di pinggiran. Tangannya sedikit berdebu, tapi yang lebih mengganggu adalah keringat dingin yang merembes di pelipis.

"Apakah ada yang ingin bertanya?" suaranya terdengar cukup stabil, meski dadanya sendiri tak berhenti berdebar.

Hening sesaat. Hanya bunyi kursi bergeser, suara napas mahasiswa, dan detak jantungnya yang kian keras.

Lalu...

“Saya ingin mengajukan pertanyaan, Bu Lyra.”

Deg!

Kepala Lyra terangkat cepat. Tatapannya langsung bertemu dengan tangan terangkat seorang mahasiswa di bangku barisan tengah.

Kanz.

Tubuh Lyra menegang. Tenggorokannya tercekat, seolah udara tiba-tiba menipis di ruangan itu. Ia berusaha tersenyum, meski terasa kaku sekali.

“Y-ya… silakan.”

Kanz tersenyum tipis. Senyum itu tidak sepenuhnya ramah—ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.

“Bu Lyra… kalau kita bicara dari sisi biologis, apakah mungkin seorang wanita hamil hanya dari satu kali berhubungan badan tanpa perlindungan?”

DEG!

Kapur hampir terlepas dari genggaman Lyra. Ia buru-buru meraih spidol di meja untuk menutupi kegugupannya, padahal jarinya sedikit gemetar.

‘A-apa maksud anak ini? A-apa dia menyindirku?!’ hatinya berteriak panik.

Kelas hening. Semua mahasiswa menunggu jawaban, tapi Lyra membeku. Keringat dingin makin deras di punggungnya.

Belum sempat ia menjawab, Kanz menambahkan—suaranya lebih tenang, tapi justru membuat udara di kelas semakin sesak.

“Secara medis, meski hanya sekali saja… peluang kehamilan itu tetap ada, kan? Menarik juga kalau kita hubungkan dengan teori probabilitas.”

Napas Lyra tercekat. Tenggorokannya kering. Ia memaksa diri tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar sumbang, menusuk telinganya sendiri.

‘Sial! Ternyata hanya bertanya soal materi! Kenapa aku jadi tidak fokus begini?! Apa yang kau pikirkan, Lyra?!’

Ia menggigit bibir pelan, lalu menjawab dengan suara yang ia paksa terdengar tenang.

“Memang… kemungkinan itu selalu ada, meskipun hanya sekali. Karena yang dibutuhkan bukan frekuensi, melainkan momen yang tepat. Jadi… satu kali pun bisa cukup untuk mengubah segalanya.”

Kanz mengangguk kecil, senyum tipisnya tetap melekat.

“Jadi hanya sekali pun bisa mengubah hidup seorang wanita, ya? Bagus. Karena aku juga tidak berniat membiarkan wanita itu kembali hidup yang sama seperti sebelum malam itu terjadi.”

Sorak riuh mahasiswa terdengar mendengar ucapan Kanz.

Sementara itu, Lyra tercekat. Tenggorokannya kering, ludahnya seperti batu yang sulit ditelan.

‘A-apa dia benar-benar menyindirku?!’

Napasnya memburu, tapi ia tetap memaksa tersenyum. “Jadi kamu melakukan itu dengan pacarmu, ya?” tanyanya, suaranya dibuat ringan seolah benar-benar tak tahu apa-apa.

Kanz hanya tersenyum, lalu menggeleng pelan.

“Tidak dengan pacarku. Aku melakukannya dengan seorang wanita yang… tidak biasa.”

DEG!

Kata-kata itu menancap di dada Lyra seperti belati. Ia menunduk sedikit, menahan gemetar, jemari mengepal di balik meja.

‘Wanita yang tak biasa?’ ulangnya dalam hati, jantung berdegup semakin kencang, nyaris membuatnya sesak napas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 16

    Pagi itu, langkah Lyra terasa berat memasuki area kampus. Udara sama, langit sama, tapi sorot mata orang-orang yang ia temui terasa berbeda. Ada bisik-bisik lirih, tawa kecil yang ditahan, tatapan yang cepat-cepat dialihkan setiap kali matanya menoleh. Dada Lyra menegang. Wajahnya panas. Kenapa… semua orang melihatku seperti itu? Baru saja masuk ke ruangannya, pintu tiba-tiba dibanting kasar. Neera tergesa masuk, wajahnya panik, nafasnya terengah. “Lyra!” serunya, nyaris terisak. Dengan tangan bergetar, Neera menyodorkan ponsel. “Kamu harus lihat ini sekarang juga!” Lyra berkerut bingung, lalu meraih ponsel itu. Dan begitu matanya menangkap layar… dunia seakan runtuh. Sebuah video. Dirinya. Ruangannya. Pertengkaran panas antara Kanz dan Reihan. Suara-suara yang teredam, tapi cukup jelas untuk membentuk narasi busuk: Profesor Lyra selingkuh dengan mahasiswa sendiri di belakang tunangannya. Ditambah... rekaman saat Lyra dan Kanz berpelukan setelah Reihan pergi. Mata Lyra m

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 15

    Lyra masuk ke rumah dengan langkah berat. Suara kunci yang beradu dengan pintu terdengar keras, seolah ikut melampiaskan amarahnya. Begitu pintu tertutup, ia langsung melempar tas ke sofa tanpa peduli jatuh berantakan. “Arrghhh!!” teriaknya lantang, suara parau penuh frustasi memenuhi ruangan sepi itu. Dadanya naik-turun cepat, matanya berair tapi tak mau menangis. Hanya ada bara, kecewa, dan rasa ditipu. Baru saja ia percaya kalau Kanz benar-benar serius, baru saja hatinya sedikit terbuka… dan sekarang? Suara lirih Monica dengan kalimat menggoda itu terus terngiang. “Kanz… apa kamu gak rindu menyentuhku seperti malam itu?” Kalimat itu menusuk lagi, membuat Lyra mendengus kasar, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri. “Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh kalau sampai percaya buaya darat itu!!” desisnya, hampir seperti menampar dirinya sendiri. Namun, di tengah amarahnya, Lyra refleks menaruh tangannya di perut. Tarikan napasnya tercekat. Ia terdiam beberapa detik. Tidak…

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 14

    Langkah Lyra terdengar mantap menuruni anak tangga. Wajahnya pucat, namun matanya dingin, seolah berusaha menutupi luka yang sebenarnya sudah merobek hatinya. Kanz panik, langsung bergerak cepat menghadang. Tangannya mencekal pergelangan Lyra, menahannya agar tidak pergi. “Bu Lyra, tunggu! Ini nggak seperti yang kamu dengar, aku bisa jelaskan!” suaranya bergetar. Lyra menoleh, tatapannya tajam, menusuk. Senyap sesaat, lalu ia membuka mulut dengan nada datar, dingin—persis seperti seorang dosen menegur mahasiswa yang ketahuan berbuat salah. “Simpan penjelasanmu, Kanz. Aku sudah cukup sering mendengar alasan dari mahasiswa yang ketahuan main asmara di lingkungan kampus. Jangan ulangi kesalahan itu lagi.” Kanz tercekat. Ucapannya seakan pisau yang mengiris dada. Monica, yang berdiri tak jauh di koridor, hanya melipat tangan dengan ekspresi kesal. Namun matanya menyipit curiga—ada sesuatu yang janggal. Kenapa Kanz begitu berani mencekal tangan Lyra? Kenapa ia panik setengah mati ha

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 13

    Lyra masih berdiri kaku, jantungnya berdegup kacau. Ia tak tahu harus merasa apa—antara menolak, marah, atau runtuh oleh perasaan yang bercampur aduk. Namun tiba-tiba… Kanz maju selangkah, lalu tanpa aba-aba bibirnya menempel pada bibir Lyra. Lembut. Dalam. Menyapu seluruh kewarasan yang tersisa. Mata Lyra membelalak, tubuhnya sempat menegang. Nafasnya tercekat, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk ciuman itu. “Kanz…” suaranya nyaris tertahan di sela helaan, tapi suara itu lenyap begitu saja ketika pemuda itu menekan bibirnya lebih dalam, gerakannya semakin berani namun masih sarat perasaan. Lyra seharusnya menolak. Seharusnya mendorong tubuh itu menjauh. Tapi entah mengapa, tubuhnya justru berkhianat. Perlahan, kelopak matanya terpejam, dan bibirnya… membalas. Seketika suasana berubah. Ciuman itu bukan lagi sepihak—panas, menuntut, tapi juga mengikat dalam satu gejolak yang tak bisa mereka hindari. Nafas mereka tersengal, tubuh Lyra sedikit terhuyung, tapi Kanz mere

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 12

    Aula kampus dipenuhi suasana haru. Mahasiswa dan dosen berdiri berbaris rapi, satu per satu menyampaikan kalimat duka cita atas meninggalnya nenek Lyra. Semua orang tahu bahwa wanita itu tumbuh hanya dengan kasih sayang neneknya. Wajah Lyra basah oleh air mata, hatinya bergetar. Ia tak menyangka, bahkan di tengah kerumitan hidupnya, masih ada banyak orang yang peduli. Selesai acara, Lyra kembali ke ruangannya. Ia baru saja menjatuhkan tubuh lelah ke kursi ketika pintu mendadak terbuka keras. BRAKK! Reihan masuk dengan wajah murka. “Rei—” Lyra berdiri, belum sempat bicara, tubuhnya langsung terdorong ke dinding. Bugh! “Argh—!” Lyra meringis, berusaha berontak, tapi tekanan tangan Reihan terlalu kuat menahan bahunya. Mata pria itu berkilat penuh amarah. “Ada hubungan apa KAMU dengan Kanz?!” suaranya bergetar marah. “Kenapa dia selalu ada di sekitarmu?! Dia muncul di kantin, bahkan juga di kampung kemarin! JANGAN KIRA AKU BODOH, LYRA!” Lyra terbelalak, tubuhnya bergeta

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 11

    Sore mulai meredup, pemakaman selesai. Orang-orang desa berangsur meninggalkan area, menyisakan suasana lengang yang dipenuhi aroma tanah basah. Lyra berjalan pelan menuju rumah kayu peninggalan neneknya, langkahnya berat, wajahnya tetap muram. Risa setia di sampingnya, menopang bahu Lyra yang nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak. Di teras rumah, Lyra berbalik, matanya masih sembab. Ia menatap Reihan, Neera, lalu sekilas ke arah Kanz yang berdiri beberapa meter dari mereka. “Terima kasih… karena sudah datang,” ucap Lyra lirih, suaranya serak. Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan tegas. “Tapi aku mohon… pulanglah. Aku ingin sendiri.” Reihan langsung melangkah mendekat, menatap Lyra penuh rasa khawatir. “Tidak, Lyra. Aku tidak akan pergi. Aku akan nginap di sini. Setidaknya sampai keadaanmu tenang.” Kalimat itu langsung membuat Kanz yang berdiri di sisi halaman mengepalkan tangan. Matanya berkilat marah, meski ia berusaha menahan wajahnya tetap datar. Lyra buru-b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status