Lyra terbangun dengan napas terengah. Seluruh tubuhnya masih panas. Ia menoleh—selimut kusut, bantal berserakan, sosok yang menindihnya semalam masih tertidur lelap.
Tubuhnya gemetar, jantungnya berpacu cepat. Ia meraih tasnya dengan panik, hampir jatuh saat menarik rok yang tersampir di lantai. Setengah berlari, ia keluar kamar hotel, menyembunyikan wajah di balik masker dan rambut yang berantakan. Udara pagi menusuk paru-parunya. Lyra menahan tangis ketika langkahnya terseok menuju apotek 24 jam di ujung jalan. “Obat kontrasepsi darurat ada nih, Mbak,” suara apoteker membuatnya tersentak. Ia mengangguk cepat, menyodorkan uang dengan tangan gemetar. Kotak kecil itu terasa seperti bara di genggamannya. Lyra keluar dari apotek dengan langkah goyah. Kotak kecil itu ia genggam erat, seakan jika dilepas, seluruh rahasianya akan tumpah ke dunia. Nafasnya masih kacau, matanya perih menahan tangis. "Bagaimana kalau ada yang tahu? Bagaimana kalau Reihan tahu?" Ia berhenti di trotoar, memandang lalu lintas yang ramai. Semua orang berjalan dengan wajah biasa, sibuk dengan urusan masing-masing. Dunia tetap berputar, seakan tragedi yang barusan menimpa dirinya tak berarti apa-apa. Perasaan malu, jijik, marah, bercampur jadi satu. Ia ingin berteriak, tapi suara itu hanya terkurung di dalam dadanya sendiri. Saat kembali ke apartemen mungilnya, ia duduk di lantai, punggung bersandar pada dinding dingin. Kemeja yang ia kenakan masih berbau hotel, masih menyimpan jejak tubuh asing. Tangan Lyra gemetar saat meraih parfum di meja rias, menyemprotkannya berulang kali, seolah bisa menghapus noda yang tertinggal. Tapi bau itu tetap ada—atau mungkin hanya terjebak di dalam kepalanya. Cermin memantulkan wajah yang nyaris tak dikenalnya sendiri. Senyum tipis ia paksa, bedak menutupi lebam samar di bawah mata. Rambut sudah ia tata, blazer ia kenakan. Tidak boleh ada yang tahu. Tidak ada yang boleh curiga. Dengan langkah—yang terasa rapuh hanya untuk dirinya sendiri—Lyra akhirnya tiba di kampus. Lyra melangkah masuk ke kelas dengan wajah datar. Rambut sudah disisir rapi, kemeja bersih, riasan tipis menutupi kantung mata. Tak ada yang menyangka ia baru saja melewati malam terburuk dalam hidupnya. Suara riuh mahasiswa menyambut kedatangannya. Namun begitu pintu ditutup, kelas mendadak hening. Semua mata tertuju padanya. Lyra menarik napas panjang, mencoba bersikap seperti biasa. “Selamat pagi. Kita mulai kuliah hari ini.” Suara ketukan tiba-tiba terdengar di pintu kelas. Lyra menoleh, dan seketika tubuhnya menegang. Di ambang pintu, berdiri Kanz. Rambutnya sedikit berantakan, kemeja hitam dengan kancing atas terbuka, dan tas yang hanya disampirkan asal di bahu. Penampilannya terkesan santai, namun justru semakin menonjolkan pesonanya. Terlalu tampan—bahkan, Lyra harus jujur dalam hati, jauh lebih tampan dibanding Reihan. Tatapan pemuda itu menusuk, penuh sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Bukan sekadar kagum, bukan sekadar salah tingkah mahasiswa biasa. Lebih dalam. Lebih berbahaya. Detik itu juga, jantungnya berdegup kencang. Senyum tipis yang tersungging di bibir Kanz tampak biasa di mata orang lain, tetapi bagi Lyra, senyum itu terasa seperti sindiran. Seakan-akan pemuda itu mengingatkan sesuatu yang seharusnya terkubur semalam. Lyra menggigit bibir, berusaha menahan getar di dadanya. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, berharap Kanz tidak mengungkit apa yang terjadi di kamar hotel itu. Pemuda itu melangkah masuk. Langkahnya tenang, sedikit menunduk saat melewati Lyra, namun tatapannya membuat Lyra merasa ada maksud tersembunyi yang tak mampu ia tebak. “Maaf, Bu,” ucap Kanz dengan suara rendah, disertai senyum samar yang nyaris menohok. “Saya terlambat karena tadi ada urusan dengan… Pak Reihan, tunangan Ibu.” Tubuh Lyra sontak menegang. 'Urusan? Dengan Reihan? Astaga… jangan-jangan dia sudah tahu?! Apa dia mengadukan semuanya?!' pikirnya panik. “U-urusan… apa?” suaranya keluar tanpa sadar, pelan dan terbata. Alih-alih menjawab, Kanz hanya mengulas senyum kecil. Senyum itu tampak ramah di mata semua orang, tapi bagi Lyra, terasa mengancam. Ia buru-buru meneguk ludah, lalu mengalihkan pandangan. “Ah… baiklah. Silakan duduk.” Begitu Kanz melangkah menuju bangkunya, riuh rendah terdengar dari para mahasiswa lain. Terutama para wanita—mata mereka berbinar, suara bisik-bisik kagum memenuhi ruangan. Wajar saja. Kanz memang populer di kampus: tampan, cerdas, kaya, bahkan berhasil menduduki jabatan ketua BEM dengan mudah. Sempurna, dari sudut pandang siapa pun. Namun Lyra tahu sisi lain yang mereka semua tidak tahu. Kanz seorang cassanova—katanya, banyak wanita sudah menjadi korbannya. Dan yang lebih menyesakkan dada, kini Lyra salah satunya. Tangannya mengepal di balik meja. ‘Kalau mereka tahu pria yang mereka idolakan itu sudah tidur denganku… aku bisa habis digiling mereka.’ Lyra menarik napas panjang, berusaha menetralkan gejolak di dadanya. Nafasnya tercekat, seolah kembali terjebak di kamar hotel semalam. Ia mengangkat spidol dan mulai menulis materi di papan tulis, seolah tak ada yang salah. Tapi rasa berdebar tak mau hilang—apalagi ketika ia sadar, dari kursi barisan tengah itu, tatapan Kanz tak pernah lepas darinya. Lyra menuliskan baris terakhir di papan tulis. Kapur berderit pelan, lalu diletakkan di pinggiran. Tangannya sedikit berdebu, tapi yang lebih mengganggu adalah keringat dingin yang merembes di pelipis. "Apakah ada yang ingin bertanya?" suaranya terdengar cukup stabil, meski dadanya sendiri tak berhenti berdebar. Hening sesaat. Hanya bunyi kursi bergeser, suara napas mahasiswa, dan detak jantungnya yang kian keras. Lalu... “Saya ingin mengajukan pertanyaan, Bu Lyra.” Deg! Kepala Lyra terangkat cepat. Tatapannya langsung bertemu dengan tangan terangkat seorang mahasiswa di bangku barisan tengah. Kanz. Tubuh Lyra menegang. Tenggorokannya tercekat, seolah udara tiba-tiba menipis di ruangan itu. Ia berusaha tersenyum, meski terasa kaku sekali. “Y-ya… silakan.” Kanz tersenyum tipis. Senyum itu tidak sepenuhnya ramah—ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. “Bu Lyra… kalau kita bicara dari sisi biologis, apakah mungkin seorang wanita hamil hanya dari satu kali berhubungan badan tanpa perlindungan?” DEG! Kapur hampir terlepas dari genggaman Lyra. Ia buru-buru meraih spidol di meja untuk menutupi kegugupannya, padahal jarinya sedikit gemetar. ‘A-apa maksud anak ini? A-apa dia menyindirku?!’ hatinya berteriak panik. Kelas hening. Semua mahasiswa menunggu jawaban, tapi Lyra membeku. Keringat dingin makin deras di punggungnya. Belum sempat ia menjawab, Kanz menambahkan—suaranya lebih tenang, tapi justru membuat udara di kelas semakin sesak. “Secara medis, meski hanya sekali saja… peluang kehamilan itu tetap ada, kan? Menarik juga kalau kita hubungkan dengan teori probabilitas.” Napas Lyra tercekat. Tenggorokannya kering. Ia memaksa diri tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar sumbang, menusuk telinganya sendiri. ‘Sial! Ternyata hanya bertanya soal materi! Kenapa aku jadi tidak fokus begini?! Apa yang kau pikirkan, Lyra?!’ Ia menggigit bibir pelan, lalu menjawab dengan suara yang ia paksa terdengar tenang. “Memang… kemungkinan itu selalu ada, meskipun hanya sekali. Karena yang dibutuhkan bukan frekuensi, melainkan momen yang tepat. Jadi… satu kali pun bisa cukup untuk mengubah segalanya.” Kanz mengangguk kecil, senyum tipisnya tetap melekat. “Jadi hanya sekali pun bisa mengubah hidup seorang wanita, ya? Bagus. Karena aku juga tidak berniat membiarkan wanita itu kembali hidup yang sama seperti sebelum malam itu terjadi.” Sorak riuh mahasiswa terdengar mendengar ucapan Kanz. Sementara itu, Lyra tercekat. Tenggorokannya kering, ludahnya seperti batu yang sulit ditelan. ‘A-apa dia benar-benar menyindirku?!’ Napasnya memburu, tapi ia tetap memaksa tersenyum. “Jadi kamu melakukan itu dengan pacarmu, ya?” tanyanya, suaranya dibuat ringan seolah benar-benar tak tahu apa-apa. Kanz hanya tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Tidak dengan pacarku. Aku melakukannya dengan seorang wanita yang… tidak biasa.” DEG! Kata-kata itu menancap di dada Lyra seperti belati. Ia menunduk sedikit, menahan gemetar, jemari mengepal di balik meja. ‘Wanita yang tak biasa?’ ulangnya dalam hati, jantung berdegup semakin kencang, nyaris membuatnya sesak napas.Pagi itu kamar apartemen Lyra masih remang. Udara dingin dari AC membuatnya meringkuk lebih lama di balik selimut, tapi suara lirih berisik dari luar kamar membuat matanya perlahan terbuka.Ia menoleh. Kosong. Kanz sudah tidak ada di sampingnya.Lyra menggigit bibir bawahnya, setengah lega, setengah… heran. Pergi? Atau…Perasaan cemas menggerakkan tubuhnya. Ia bangkit, meraih cardigan tipis, lalu keluar kamar dengan langkah pelan.Benar saja, dari arah dapur terdengar suara pintu kulkas dibuka. Saat ia tiba, matanya langsung menangkap punggung lebar seorang pemuda berjaket tipis, rambutnya sedikit acak, wajahnya masih segar meski baru bangun. Kanz.Ia sudah berdiri di depan meja dapur, satu tangan memegang telur, satu lagi menggenggam mentega. Kulkas terbuka lebar, beberapa bahan keluar.Lyra spontan menyilangkan tangan di dada. Suaranya meninggi sedikit.“Kamu ngapain?”Kanz menoleh sebentar, menampakkan senyum santai yang bikin Lyra ingin melempar spatula ke kepalanya.“Pagi, Bu Dos
“Bikin adiknya lagi… boleh?” suara Kanz terdengar parau, penuh nafas yang memburu. Tatapannya berkilat sayu, ada nyala keinginan yang begitu jelas ketika matanya menelusuri wajah Lyra. Lyra mendesis, wajahnya memerah, antara marah dan gugup. “Kamu gila?” Ia mendorong dada Kanz, membuang wajah ke arah lain, enggan bertemu pandang. Keheningan turun seketika. Hanya suara deru napas mereka berdua yang saling bersahut. Kanz menghela napas agak kasar, lalu perlahan melepaskan desakan tubuhnya. Ia merebahkan diri di sisi Lyra, berbaring menghadapnya. Sesaat, matanya menatap diam, mencari celah. Lyra tak berkata apa-apa, bahunya masih naik-turun cepat karena emosi yang bercampur dengan sesuatu yang tak mau ia akui. Tanpa banyak suara, lengan Kanz meraih dan menarik tubuh Lyra ke arahnya. Ia memeluknya dari belakang, tubuh hangatnya membungkus rapat tubuh Lyra. Lyra sempat menegang, hampir berontak, tapi entah kenapa tubuhnya tak bergerak. Ada sesuatu dalam dekapan itu yang membu
Setengah jam berlalu. Hujan di luar sana telah reda, menyisakan rintik kecil yang nyaris tak berarti. Neera kini sudah merebahkan tubuh di sofa Lyra, menguap kecil. Lyra menoleh, bingung. “Neera… kamu nggak pulang?” Neera menutup mata sebentar. “Kayaknya aku mau nginap aja di sini malam ini.” Lyra menegang seketika. “Tapi… bukannya apartemenmu persis di seberang gedung ini? Dekat sekali. Kamu bisa pulang, istirahat lebih nyaman di sana.” Neera membuka matanya, tersenyum malas. “Tetap aja aku lebih pengen di sini. Rasanya hangat, Ly. Lagian gak apa-apa lah sesekali nginap.” Lyra mendecak kecil, matanya melirik cemas ke arah kamar. 'Kalau dia bener-bener tidur di sini… selesai aku'. Ia hendak membuka suara lagi, tapi tiba-tiba ponsel Neera bergetar. “Bentar.” Neera meraih ponselnya. Namun raut wajahnya berubah ketika melihat nama di layar. Tegang, seakan disambar petir. Lyra memperhatikan dengan alis berkerut. “Ada apa?” Neera segera bangkit, meraih tasnya. “Aku… harus
Ciuman itu makin dalam, semakin menenggelamkan keduanya. Nafas mereka saling bertubrukan, dada naik turun cepat. Kanz menahan tengkuk Lyra dengan kedua tangannya, membiarkan bibirnya terus menekan bibir wanita itu. Hingga perlahan... tangan kanan Kanz bergerak, tanpa sadar meremas lembut bagian atas tubuh Lyra yang terasa membesar seiring usia kandungan. Lyra tersentak. Kedua matanya langsung terbuka lebar. Cepat-cepat ia menepis tangan itu, napasnya terengah. “Cukup, Kanz!” serunya dengan suara serak. Ia mendorong dada pria itu kuat, memaksa Kanz bangkit dari atas tubuhnya. Kanz menegang. Rahangnya mengeras, urat di lehernya tampak menonjol. Sesaat ia seperti hendak terbawa arus, tapi kemudian kesadarannya kembali. Ia menarik napas panjang, menunduk. “Maaf…” ucapnya parau. “Aku kebablasan.” Lyra masih duduk di sofa, wajahnya memerah entah karena marah atau malu. Ia menggeleng pelan, lalu bangkit berdiri. “Pulanglah, Kanz. Aku butuh sendiri.” Kanz menatapnya lama, seolah e
“Ini aku.” Suara bariton yang sangat ia kenal. Kanz. Lyra membeku, matanya melebar. Perlahan, Kanz melepaskan tangannya. “Gila kamu!” Lyra berbalik cepat, menatapnya dengan campuran terkejut dan marah. “Kamu pikir aku nggak bisa jantungan, hah?!” Kanz menarik napas berat, wajahnya serius. “Aku harus bicara sama kamu, Bu Lyra. Aku sudah melakukan segalanya untuk kamu. Aku yang membersihkan namamu di depan semua orang.” Lyra tertawa getir, matanya berkilat sinis. “Jadi benar kamu yang membersihkan namaku? Terima kasih, Kanz… terima kasih sudah jadi pahlawan kesiangan. Tapi jangan kira aku nggak tahu, kamu pasti yang menekan Kenzi untuk bohong.” Rahang Kanz mengeras. Ia menatap Lyra lurus, nada suaranya meninggi. “Kalau aku melakukannya, itu semata-mata demi kebaikan kamu! Apa kamu nggak lihat, mereka semua siap menginjak kamu hidup-hidup?” “Jangan seenaknya memutuskan atas nama aku!” bentak Lyra. “Itu hidupku, bukan hidupmu.” Keduanya terdiam sesaat. Nafas Lyra memburu, se
Pagi itu, Lyra melangkah menuju ruang rektorat dengan jantung berdebar. Ia bingung, heran, kenapa dirinya dipanggil lagi. Semalam ia bahkan sudah berusaha menenangkan diri, mencoba meyakinkan bahwa badai ini akan reda dengan sendirinya. Tapi begitu pintu rektorat terbuka, langkahnya sontak terhenti. Di dalam ruangan sudah ada Rektor Alif duduk dengan wajah serius, Reihan di sisi kanan dengan ekspresi dingin, Kanz yang bersandar di kursi dengan rahang mengeras, dan—yang paling mengejutkan—Kenzi. Gadis itu duduk di tengah, kepala menunduk dalam-dalam, wajah pucat, seolah siap menunggu eksekusi. “Silakan duduk, Bu Lyra,” suara Alif tenang tapi tegas, mengisi keheningan ruangan. Lyra melangkah perlahan, duduk dengan gugup. Matanya bergantian menatap Reihan dan Kanz, lalu jatuh ke arah Kenzi. Ada perasaan aneh menyelusup, campuran marah, penasaran, sekaligus tak percaya. Alif mencondongkan tubuh, mengetuk meja pelan. “Baik. Saya tidak akan berlama-lama. Hari ini, kita semua berkumpu