“Umph… pelan-pelan…”
Napas Lyra bergetar, tubuhnya menegang ketika pinggangnya ditarik semakin rapat. Ranjang hotel itu berderit pelan di bawah gerakan mereka. Lelaki muda yang bersamanya mendekatkan bibir ke telinganya, suaranya rendah, penuh godaan. Bagi mahasiswa Lyvard University, nama LYRA VELISTA tak lagi asing. Di usia baru 27 tahun, ia sudah menyandang gelar profesor termuda. Perfeksionis, cerdas, sekaligus dingin di kelas—itulah kesan yang menempel pada dirinya. Tak ada yang menyangka, malam ini ia terperangkap dalam situasi paling memalukan sepanjang hidupnya. “Sempit, Bu…” bisik si lelaki muda berparas tampan. Lyra menahan desah. Tubuhnya terasa panas, terlalu panas, seolah api menjilat dari dalam kulit. Di balik kepalanya yang separuh sadar, ia tahu—ini salah. Sangat salah. Lelaki yang menindihnya bukan tunangannya. “Umph… masukin aja…” suaranya parau, tubuhnya menyerah. Namun, otaknya tak bisa lagi memberi perintah yang benar. Seingatnya, beberapa jam lalu, ia masih berada di festival kampus. Segelas teh hangat dari Reihan—tunangannya—menjadi awal dari semua ini. Rasa manis, aroma rempah… lalu pusing, panas, dan tiba-tiba pandangan berputar. Hanya itu yang ia ingat. Lalu gelap. Dan kini, ia justru terbaring di ranjang hotel bersama orang lain. Lyra hampir jatuh saat pintu kamar hotel tertutup. Tubuhnya seolah terbakar dari dalam, keringat menetes di pelipis. Nafasnya terengah, dada naik-turun tak terkendali. Dengan sisa kesadaran, ia bergegas masuk ke kamar mandi dan menyalakan keran. Air dingin mengenai wajahnya, menetes ke leher. Lyra meraupnya kasar, menahannya di tengkuk, membiarkan cipratan itu membasahi kemeja putih tipis yang masih ia kenakan. Kain itu langsung menempel erat pada kulit, memperlihatkan lekuk tubuh yang seharusnya tak terlihat siapa pun. “Kenapa… panasnya nggak hilang…” gumamnya lirih. Rambut panjangnya menempel ke pipi basah. Ia menatap bayangannya di cermin—mata kabur, bibir merah menggigil, kemeja transparan menempel basah. Seorang profesor muda, teladan kampus, kini bahkan tak bisa menegakkan tubuhnya sendiri. “Bu Lyra?” Suara bariton terdengar dari luar. Ketukan pelan menyusul. Kanz. Ketua BEM. Mahasiswa paling populer yang sering jadi bahan gosip di kampus. Lyra menahan napas, bingung. Ia ingin berteriak menyuruhnya menjauh, tapi mulutnya kelu. Ceklek. Pintu terbuka sedikit. Kanz melongok masuk dengan raut cemas. Begitu matanya menangkap sosok dosennya—kemeja putih basah, tubuh gemetar, tatapan kabur—ia langsung membeku. “Saya… saya kira Ibu pingsan,” ucapnya terbata. Ia hendak menutup pintu lagi, tapi Lyra berbalik, menatap lurus dengan mata separuh redup. Kanz terpaku. Air masih menetes dari ujung rambut Lyra, menelusuri garis leher, lalu menghilang di balik kemeja transparan itu. Pemandangan itu menghantam semua logika yang coba ia pertahankan. Ia menelan ludah, berusaha mengalihkan pandang. “Bu, kalau saya terus di sini… saya bisa salah paham.” Tapi langkah Lyra justru mendekat. Tangannya yang gemetar meraba dada bidang Kanz… turun… lalu berhenti tepat di bagian paling keras dari tubuh pria itu. “Reihan…” bisiknya parau. “Panas… sentuh aku…” Kanz mengumpat pelan, rahangnya mengencang. “Shit.” Tubuhnya refleks menegang, pupil melebar. Ia tahu ini dosennya. Wanita berwibawa yang setiap hari berdiri di podium, dingin dan penuh aturan. Tapi detik ini, yang menempel erat padanya adalah perempuan yang goyah, rapuh, dan terbakar hasrat. “Bu Lyra…” suaranya tercekat. “Kalau Ibu terus gini, saya—” Jari Lyra mencengkeram lebih kuat, tubuhnya merapat, bibirnya mencari. “Reihan… masukin…” desahnya nyaris seperti erangan. Pertahanan terakhir Kanz hancur. Semua alarm moral meraung di kepalanya, tapi desahan Lyra di telinganya melumat habis sisa logikanya. “Fuck… kalau Ibu nggak berhenti, saya nggak bisa janji,” gumamnya rendah. Seketika tangannya terulur menahan bahu Lyra, tapi justru tubuh mereka semakin dekat. Tatapan mereka bertaut, lalu bibirnya saling mencari. Ciuman itu liar. Panas. Terlalu nyata untuk bisa dihentikan. Ranjang hotel berderit pelan ketika tubuh Lyra jatuh ke atasnya, Kanz menindihnya tanpa lagi menahan diri. Desahan mereka berpadu. Hasrat beradu. Kanz menekan keningnya ke bahu Lyra, napasnya memburu. Jemarinya meremas pinggang dosennya yang terus merapat, tubuh mereka makin tak terpisahkan. “Bu…” suaranya rendah, hampir bergetar. “Saya nggak punya kondom.” Gerakan Lyra berhenti sepersekian detik. Matanya kabur, bibirnya gemetar, tubuhnya sudah tak bisa lagi mundur. “Gapapa kan… kalau udah saya masukin?” Kanz berbisik di telinganya.Pagi itu kamar apartemen Lyra masih remang. Udara dingin dari AC membuatnya meringkuk lebih lama di balik selimut, tapi suara lirih berisik dari luar kamar membuat matanya perlahan terbuka.Ia menoleh. Kosong. Kanz sudah tidak ada di sampingnya.Lyra menggigit bibir bawahnya, setengah lega, setengah… heran. Pergi? Atau…Perasaan cemas menggerakkan tubuhnya. Ia bangkit, meraih cardigan tipis, lalu keluar kamar dengan langkah pelan.Benar saja, dari arah dapur terdengar suara pintu kulkas dibuka. Saat ia tiba, matanya langsung menangkap punggung lebar seorang pemuda berjaket tipis, rambutnya sedikit acak, wajahnya masih segar meski baru bangun. Kanz.Ia sudah berdiri di depan meja dapur, satu tangan memegang telur, satu lagi menggenggam mentega. Kulkas terbuka lebar, beberapa bahan keluar.Lyra spontan menyilangkan tangan di dada. Suaranya meninggi sedikit.“Kamu ngapain?”Kanz menoleh sebentar, menampakkan senyum santai yang bikin Lyra ingin melempar spatula ke kepalanya.“Pagi, Bu Dos
“Bikin adiknya lagi… boleh?” suara Kanz terdengar parau, penuh nafas yang memburu. Tatapannya berkilat sayu, ada nyala keinginan yang begitu jelas ketika matanya menelusuri wajah Lyra. Lyra mendesis, wajahnya memerah, antara marah dan gugup. “Kamu gila?” Ia mendorong dada Kanz, membuang wajah ke arah lain, enggan bertemu pandang. Keheningan turun seketika. Hanya suara deru napas mereka berdua yang saling bersahut. Kanz menghela napas agak kasar, lalu perlahan melepaskan desakan tubuhnya. Ia merebahkan diri di sisi Lyra, berbaring menghadapnya. Sesaat, matanya menatap diam, mencari celah. Lyra tak berkata apa-apa, bahunya masih naik-turun cepat karena emosi yang bercampur dengan sesuatu yang tak mau ia akui. Tanpa banyak suara, lengan Kanz meraih dan menarik tubuh Lyra ke arahnya. Ia memeluknya dari belakang, tubuh hangatnya membungkus rapat tubuh Lyra. Lyra sempat menegang, hampir berontak, tapi entah kenapa tubuhnya tak bergerak. Ada sesuatu dalam dekapan itu yang membu
Setengah jam berlalu. Hujan di luar sana telah reda, menyisakan rintik kecil yang nyaris tak berarti. Neera kini sudah merebahkan tubuh di sofa Lyra, menguap kecil. Lyra menoleh, bingung. “Neera… kamu nggak pulang?” Neera menutup mata sebentar. “Kayaknya aku mau nginap aja di sini malam ini.” Lyra menegang seketika. “Tapi… bukannya apartemenmu persis di seberang gedung ini? Dekat sekali. Kamu bisa pulang, istirahat lebih nyaman di sana.” Neera membuka matanya, tersenyum malas. “Tetap aja aku lebih pengen di sini. Rasanya hangat, Ly. Lagian gak apa-apa lah sesekali nginap.” Lyra mendecak kecil, matanya melirik cemas ke arah kamar. 'Kalau dia bener-bener tidur di sini… selesai aku'. Ia hendak membuka suara lagi, tapi tiba-tiba ponsel Neera bergetar. “Bentar.” Neera meraih ponselnya. Namun raut wajahnya berubah ketika melihat nama di layar. Tegang, seakan disambar petir. Lyra memperhatikan dengan alis berkerut. “Ada apa?” Neera segera bangkit, meraih tasnya. “Aku… harus
Ciuman itu makin dalam, semakin menenggelamkan keduanya. Nafas mereka saling bertubrukan, dada naik turun cepat. Kanz menahan tengkuk Lyra dengan kedua tangannya, membiarkan bibirnya terus menekan bibir wanita itu. Hingga perlahan... tangan kanan Kanz bergerak, tanpa sadar meremas lembut bagian atas tubuh Lyra yang terasa membesar seiring usia kandungan. Lyra tersentak. Kedua matanya langsung terbuka lebar. Cepat-cepat ia menepis tangan itu, napasnya terengah. “Cukup, Kanz!” serunya dengan suara serak. Ia mendorong dada pria itu kuat, memaksa Kanz bangkit dari atas tubuhnya. Kanz menegang. Rahangnya mengeras, urat di lehernya tampak menonjol. Sesaat ia seperti hendak terbawa arus, tapi kemudian kesadarannya kembali. Ia menarik napas panjang, menunduk. “Maaf…” ucapnya parau. “Aku kebablasan.” Lyra masih duduk di sofa, wajahnya memerah entah karena marah atau malu. Ia menggeleng pelan, lalu bangkit berdiri. “Pulanglah, Kanz. Aku butuh sendiri.” Kanz menatapnya lama, seolah e
“Ini aku.” Suara bariton yang sangat ia kenal. Kanz. Lyra membeku, matanya melebar. Perlahan, Kanz melepaskan tangannya. “Gila kamu!” Lyra berbalik cepat, menatapnya dengan campuran terkejut dan marah. “Kamu pikir aku nggak bisa jantungan, hah?!” Kanz menarik napas berat, wajahnya serius. “Aku harus bicara sama kamu, Bu Lyra. Aku sudah melakukan segalanya untuk kamu. Aku yang membersihkan namamu di depan semua orang.” Lyra tertawa getir, matanya berkilat sinis. “Jadi benar kamu yang membersihkan namaku? Terima kasih, Kanz… terima kasih sudah jadi pahlawan kesiangan. Tapi jangan kira aku nggak tahu, kamu pasti yang menekan Kenzi untuk bohong.” Rahang Kanz mengeras. Ia menatap Lyra lurus, nada suaranya meninggi. “Kalau aku melakukannya, itu semata-mata demi kebaikan kamu! Apa kamu nggak lihat, mereka semua siap menginjak kamu hidup-hidup?” “Jangan seenaknya memutuskan atas nama aku!” bentak Lyra. “Itu hidupku, bukan hidupmu.” Keduanya terdiam sesaat. Nafas Lyra memburu, se
Pagi itu, Lyra melangkah menuju ruang rektorat dengan jantung berdebar. Ia bingung, heran, kenapa dirinya dipanggil lagi. Semalam ia bahkan sudah berusaha menenangkan diri, mencoba meyakinkan bahwa badai ini akan reda dengan sendirinya. Tapi begitu pintu rektorat terbuka, langkahnya sontak terhenti. Di dalam ruangan sudah ada Rektor Alif duduk dengan wajah serius, Reihan di sisi kanan dengan ekspresi dingin, Kanz yang bersandar di kursi dengan rahang mengeras, dan—yang paling mengejutkan—Kenzi. Gadis itu duduk di tengah, kepala menunduk dalam-dalam, wajah pucat, seolah siap menunggu eksekusi. “Silakan duduk, Bu Lyra,” suara Alif tenang tapi tegas, mengisi keheningan ruangan. Lyra melangkah perlahan, duduk dengan gugup. Matanya bergantian menatap Reihan dan Kanz, lalu jatuh ke arah Kenzi. Ada perasaan aneh menyelusup, campuran marah, penasaran, sekaligus tak percaya. Alif mencondongkan tubuh, mengetuk meja pelan. “Baik. Saya tidak akan berlama-lama. Hari ini, kita semua berkumpu