Share

Bab 3

Author: chalove
last update Last Updated: 2025-08-22 12:45:17

Lyra duduk di kantin kampus, menunduk menatap nasi goreng di piringnya. Sendok di tangannya hanya bergerak pelan, mengaduk-aduk tanpa benar-benar berniat menyuap makanan itu. Perutnya terasa penuh, tapi bukan oleh makanan—melainkan rasa sesak yang sulit ia jelaskan.

Neera, rekan kerja sesama dosen, datang dengan wajah ceria, menenteng buku catatan lalu duduk di depannya. “Ly, aku boleh nanya sesuatu nggak?”

Lyra menoleh singkat. “Apa?”

“Hubunganmu sama Pak Reihan, baik-baik aja kan?”

Jantung Lyra sempat terhenti sepersekian detik. Ia cepat menampilkan senyum tipis, berusaha terlihat wajar. “Ya… baik. Kenapa tanya begitu?”

Neera mendecak kecil, menatapnya serius. “Soalnya kemarin dia sempat curhat ke aku. Katanya kamu akhir-akhir ini sering ngejauhin dia. Kayak… nggak mau diajak ngobrol terlalu lama.”

Sendok Lyra terhenti sejenak. Matanya bergerak menatap Neera, dalam, penuh tekanan yang ia sembunyikan di balik tatapan tenangnya. “Dia bilang gitu?”

Neera mengangguk pelan. Lyra hanya menghela napas samar, pura-pura tidak terlalu terpengaruh. Tapi dadanya terasa makin berat.

Sebelum Neera sempat melanjutkan, suara riuh mahasiswa mendadak pecah. Pintu kantin terbuka.

Kanz masuk dengan langkah santai, jas almamater BEM tersampir di lengannya. Aura karismatik itu seketika menarik perhatian. Tapi ia tidak sendirian. Di sampingnya, Monica melangkah anggun dengan dress merah menyala. Gadis itu tertawa manja, tangannya menempel di lengan Kanz seolah-olah mereka pasangan resmi.

Neera langsung menegakkan tubuh, matanya berbinar. “Ya ampun… The perfect boy is here!”

Lyra buru-buru menunduk, menyibakkan rambutnya untuk menutupi wajah. Jemarinya mencengkeram sendok erat-erat.

'Jangan lihat. Jangan sampai ketahuan. Jangan sampai dia tahu aku di sini.' batinnya.

Neera mencondongkan tubuh, suaranya setengah berbisik tapi penuh semangat. “Ly, sumpah deh… mahasiswa seganteng itu harusnya jadi artis. Kuliah oke, pintar, kaya, aktif organisasi, punya karisma, terus wajahnya tuh… Astaga!”

“Siapa?” suara Lyra terdengar datar, meski hatinya berdetak tak karuan.

Neera menatapnya seolah ia bercanda. “Ya siapa lagi kalau bukan Kanz Mahanggadewa Yurdha, ketua BEM idola semua cewek? Kamu tahu nggak, bahkan dosen-dosen muda aja sering bisik-bisik tiap dia lewat.”

Lyra tersedak kecil, buru-buru meneguk air mineral untuk menutupi kegugupannya. Nafasnya memburu.

“Kamu ini, kalau ngefans ya… biasa aja. Jangan lebay,” ucap Lyra, pura-pura menegur.

Neera terkekeh, tak berhenti memandangi Kanz. “Lebay gimana? Realitanya gitu. Kalau aku secantik kamu, udah dari dulu ngecengin dia.”

Lyra diam. Sendok di tangannya nyaris bengkok oleh cengkeramannya. Jangan bahas dia. Tolong, jangan bahas dia…

Neera masih berkomentar, matanya tak lepas dari Kanz. “Kalau aku jadi Monica, nggak bakal ngelepasin cowok kayak Kanz sih. Lihat tuh, cuma masuk kantin aja, satu ruangan auto rusuh. Wkwk—eh, Ly, kamu kenapa pucat?”

Lyra cepat-cepat memaksakan senyum. “Nggak… nggak apa-apa. Cuma… perut agak nggak enak.”

Neera mengernyit, menatap wajah Lyra lebih lama. “Ly, akhir-akhir ini kamu pucat banget ya? Jarang pakai make-up juga. Kelihatan banget bedanya.”

Lyra buru-buru menunduk lagi, menyuapkan nasi yang tak ada rasanya ke mulutnya. Ia pura-pura sibuk, pura-pura tak dengar.

Namun dari kejauhan, sepasang mata tajam menatap ke arahnya.

Kanz.

Tatapan itu singgah begitu lama, begitu dalam. Seolah menembus semua lapisan perlindungan Lyra. Dan meski ia berusaha sekuat tenaga memalingkan wajah, jantungnya sudah lebih dulu berkhianat—berdegup kacau, seakan seluruh dunia bisa mendengarnya.

Neera baru hendak berceloteh lagi ketika bayangan seseorang jatuh di atas meja mereka.

“Lyra.”

Lyra sontak menegakkan punggung. Reihan—tunangannya, berdiri di sana—rapi dengan kemeja abu, wajah tenang tapi matanya tajam menusuk. Tatapan itu seperti menelanjangi Lyra habis-habisan, seolah menuntut jawaban yang tak bisa ia berikan.

“Aku ingin bicara. Sekarang.”

Lyra menelan ludah, mencoba tersenyum tipis, meski perutnya serasa dikocok ribuan kupu-kupu. Ia meraih tas kecilnya, siap berdiri.

Namun langkahnya terhenti ketika suara lain tiba-tiba terdengar.

“Permisi, Bu Lyra.”

Lyra terhuyung sedikit. Suara itu. Suara yang masih terngiang sejak pagi di kelas. Ia menoleh—dan benar saja, Kanz sudah berdiri tak jauh dari meja mereka. Jas almamater tergantung santai di lengannya, ekspresinya tenang. Terlalu tenang.

Tatapan Lyra otomatis menghindar. Tapi ia bisa merasakan denyut nadi di lehernya makin keras.

Reihan mengernyit, menoleh pada Kanz. “Ada apa?”

Kanz menunduk sedikit, sopan, tapi suaranya tegas. “Ada hal yang perlu saya diskusikan dengan Bu Lyra, Pak. Menyangkut agenda BEM dan koordinasi dosen. Penting.”

Lyra terpaku di tempat, jari-jarinya mengepal di balik rok.

Reihan mendelik tipis. “Bisa nanti? Aku sedang—”

Kanz langsung menyela, masih dengan wajah tenang. “Sayangnya, tidak bisa ditunda. Ini menyangkut keputusan rapat sore ini. Jika tak segera didiskusikan, bisa berimbas ke banyak mahasiswa.”

Sejenak suasana terdiam. Reihan menatap Kanz, lalu Lyra. Ada ketegangan samar di rahangnya.

Lyra nyaris tak bisa bernapas. 'Ya Tuhan… jangan-jangan dia… mau tanya soal malam itu...?'

Akhirnya Reihan mendesah berat. Ia menoleh pada Lyra. “Cepatlah. Jangan lama.”

Kanz mengangguk pelan. Sementara Lyra, matanya tak berani menatap balik.

Dengan langkah ragu, ia mengikuti Kanz keluar dari kantin. Suara gaduh mahasiswa terdengar samar di belakang, tapi bagi Lyra, dunia sudah menyempit hanya pada punggung lelaki itu.

‘Apa sebenarnya yang ingin dia tanyakan? Kenapa harus sekarang? Kenapa di depan Reihan?’

Jantungnya berdetak begitu keras sampai rasanya akan terdengar oleh siapa pun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 16

    Pagi itu, langkah Lyra terasa berat memasuki area kampus. Udara sama, langit sama, tapi sorot mata orang-orang yang ia temui terasa berbeda. Ada bisik-bisik lirih, tawa kecil yang ditahan, tatapan yang cepat-cepat dialihkan setiap kali matanya menoleh. Dada Lyra menegang. Wajahnya panas. Kenapa… semua orang melihatku seperti itu? Baru saja masuk ke ruangannya, pintu tiba-tiba dibanting kasar. Neera tergesa masuk, wajahnya panik, nafasnya terengah. “Lyra!” serunya, nyaris terisak. Dengan tangan bergetar, Neera menyodorkan ponsel. “Kamu harus lihat ini sekarang juga!” Lyra berkerut bingung, lalu meraih ponsel itu. Dan begitu matanya menangkap layar… dunia seakan runtuh. Sebuah video. Dirinya. Ruangannya. Pertengkaran panas antara Kanz dan Reihan. Suara-suara yang teredam, tapi cukup jelas untuk membentuk narasi busuk: Profesor Lyra selingkuh dengan mahasiswa sendiri di belakang tunangannya. Ditambah... rekaman saat Lyra dan Kanz berpelukan setelah Reihan pergi. Mata Lyra m

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 15

    Lyra masuk ke rumah dengan langkah berat. Suara kunci yang beradu dengan pintu terdengar keras, seolah ikut melampiaskan amarahnya. Begitu pintu tertutup, ia langsung melempar tas ke sofa tanpa peduli jatuh berantakan. “Arrghhh!!” teriaknya lantang, suara parau penuh frustasi memenuhi ruangan sepi itu. Dadanya naik-turun cepat, matanya berair tapi tak mau menangis. Hanya ada bara, kecewa, dan rasa ditipu. Baru saja ia percaya kalau Kanz benar-benar serius, baru saja hatinya sedikit terbuka… dan sekarang? Suara lirih Monica dengan kalimat menggoda itu terus terngiang. “Kanz… apa kamu gak rindu menyentuhku seperti malam itu?” Kalimat itu menusuk lagi, membuat Lyra mendengus kasar, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri. “Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh kalau sampai percaya buaya darat itu!!” desisnya, hampir seperti menampar dirinya sendiri. Namun, di tengah amarahnya, Lyra refleks menaruh tangannya di perut. Tarikan napasnya tercekat. Ia terdiam beberapa detik. Tidak…

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 14

    Langkah Lyra terdengar mantap menuruni anak tangga. Wajahnya pucat, namun matanya dingin, seolah berusaha menutupi luka yang sebenarnya sudah merobek hatinya. Kanz panik, langsung bergerak cepat menghadang. Tangannya mencekal pergelangan Lyra, menahannya agar tidak pergi. “Bu Lyra, tunggu! Ini nggak seperti yang kamu dengar, aku bisa jelaskan!” suaranya bergetar. Lyra menoleh, tatapannya tajam, menusuk. Senyap sesaat, lalu ia membuka mulut dengan nada datar, dingin—persis seperti seorang dosen menegur mahasiswa yang ketahuan berbuat salah. “Simpan penjelasanmu, Kanz. Aku sudah cukup sering mendengar alasan dari mahasiswa yang ketahuan main asmara di lingkungan kampus. Jangan ulangi kesalahan itu lagi.” Kanz tercekat. Ucapannya seakan pisau yang mengiris dada. Monica, yang berdiri tak jauh di koridor, hanya melipat tangan dengan ekspresi kesal. Namun matanya menyipit curiga—ada sesuatu yang janggal. Kenapa Kanz begitu berani mencekal tangan Lyra? Kenapa ia panik setengah mati ha

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 13

    Lyra masih berdiri kaku, jantungnya berdegup kacau. Ia tak tahu harus merasa apa—antara menolak, marah, atau runtuh oleh perasaan yang bercampur aduk. Namun tiba-tiba… Kanz maju selangkah, lalu tanpa aba-aba bibirnya menempel pada bibir Lyra. Lembut. Dalam. Menyapu seluruh kewarasan yang tersisa. Mata Lyra membelalak, tubuhnya sempat menegang. Nafasnya tercekat, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk ciuman itu. “Kanz…” suaranya nyaris tertahan di sela helaan, tapi suara itu lenyap begitu saja ketika pemuda itu menekan bibirnya lebih dalam, gerakannya semakin berani namun masih sarat perasaan. Lyra seharusnya menolak. Seharusnya mendorong tubuh itu menjauh. Tapi entah mengapa, tubuhnya justru berkhianat. Perlahan, kelopak matanya terpejam, dan bibirnya… membalas. Seketika suasana berubah. Ciuman itu bukan lagi sepihak—panas, menuntut, tapi juga mengikat dalam satu gejolak yang tak bisa mereka hindari. Nafas mereka tersengal, tubuh Lyra sedikit terhuyung, tapi Kanz mere

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 12

    Aula kampus dipenuhi suasana haru. Mahasiswa dan dosen berdiri berbaris rapi, satu per satu menyampaikan kalimat duka cita atas meninggalnya nenek Lyra. Semua orang tahu bahwa wanita itu tumbuh hanya dengan kasih sayang neneknya. Wajah Lyra basah oleh air mata, hatinya bergetar. Ia tak menyangka, bahkan di tengah kerumitan hidupnya, masih ada banyak orang yang peduli. Selesai acara, Lyra kembali ke ruangannya. Ia baru saja menjatuhkan tubuh lelah ke kursi ketika pintu mendadak terbuka keras. BRAKK! Reihan masuk dengan wajah murka. “Rei—” Lyra berdiri, belum sempat bicara, tubuhnya langsung terdorong ke dinding. Bugh! “Argh—!” Lyra meringis, berusaha berontak, tapi tekanan tangan Reihan terlalu kuat menahan bahunya. Mata pria itu berkilat penuh amarah. “Ada hubungan apa KAMU dengan Kanz?!” suaranya bergetar marah. “Kenapa dia selalu ada di sekitarmu?! Dia muncul di kantin, bahkan juga di kampung kemarin! JANGAN KIRA AKU BODOH, LYRA!” Lyra terbelalak, tubuhnya bergeta

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 11

    Sore mulai meredup, pemakaman selesai. Orang-orang desa berangsur meninggalkan area, menyisakan suasana lengang yang dipenuhi aroma tanah basah. Lyra berjalan pelan menuju rumah kayu peninggalan neneknya, langkahnya berat, wajahnya tetap muram. Risa setia di sampingnya, menopang bahu Lyra yang nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak. Di teras rumah, Lyra berbalik, matanya masih sembab. Ia menatap Reihan, Neera, lalu sekilas ke arah Kanz yang berdiri beberapa meter dari mereka. “Terima kasih… karena sudah datang,” ucap Lyra lirih, suaranya serak. Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan tegas. “Tapi aku mohon… pulanglah. Aku ingin sendiri.” Reihan langsung melangkah mendekat, menatap Lyra penuh rasa khawatir. “Tidak, Lyra. Aku tidak akan pergi. Aku akan nginap di sini. Setidaknya sampai keadaanmu tenang.” Kalimat itu langsung membuat Kanz yang berdiri di sisi halaman mengepalkan tangan. Matanya berkilat marah, meski ia berusaha menahan wajahnya tetap datar. Lyra buru-b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status