LOGINRoy tersenyum canggung sambil mengusap tengkuknya. "Kamu... baik-baik saja? Dita bilang kamu kecelakaan," ucap Roy dengan nada lembut.Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Untungnya cuma cedera kecil."Roy mengangguk samar. Matanya bergerak liar ke segala arah, ia terlihat sangat salah tingkah. "Kamu... sudah jadian sama Pak Jefri?"Aku tidak menyangka pertanyaan itu akan meluncur dari bibirnya. Mungkin Roy mengetahuinya dari Dita. Tetapi, ada hal berbeda yang tertangkap oleh mataku, Roy terlihat seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri melalui pertanyaan itu.Aku bingung harus menjawab apa. Pada kenyataannya, aku memang belum menjalin hubungan yang jelas dengan Pak Jefri. Namun, aku sadar jawabanku ini akan berpengaruh besar pada perasaan Roy."Sudah..." jawabku dengan nada ragu yang kupaksakan terdengar mantap. "Kami... akan segera menikah," imbuhku dengan yakin, meski aku sendiri tidak tahu bagaimana nasib hubunganku dengan Pak Jefri ke depan.Roy tersenyum getir
Aku memeluknya erat, merasakan kehangatan dekapannya yang sangat kurindukan. "Saya mencintai Bapak. Tolong jangan pergi lagi..." bisikku lirih, menenggelamkan wajah di dadanya.Pak Jefri membelai lembut rambutku, sesekali mengecup puncak kepalaku dengan sayang. "Saya juga mencintai kamu, Erika. Saya tidak akan pernah meninggalkan kamu lagi.""Benarkah?!" tanyaku refleks sambil mengangkat wajah.Pak Jefri menatapku hangat, menyiratkan cinta yang tulus dari lubuk hatinya. "Hm, tentu. Hanya kamu yang saya cintai."Bibirku tertarik lebar membentuk senyum yang merekah bahagia. Perlahan, Pak Jefri mengecup bibirku lembut. Aku pun membalasnya. Kami saling memandang selama beberapa detik sebelum kembali berciuman. Kali ini lebih intens dan bergairah daripada sebelumnya.Aku bahkan bersikap agresif dengan naik ke atas tubuh Pak Jefri. Lalu kusambar bibir tebalnya dengan gairah yang bergelora. Kami saling bergumul dalam dekapan yang panas, saling menghisap dengan brutal. Dan tepat saat gairah k
"Gimana, nih? Pak Jefri mengancam lagi..." seru Dita dengan wajah panik. Ia duduk di tepi ranjang dengan wajah murung sambil terus menatap layar ponselnya. "Gue baru aja berhasil dapetin hati Roy. Masa sekarang harus pisah lagi..."Aku duduk di atas kasur, bersandar di kepala ranjang sambil memeluk lutut. Dalam hatiku bergumam, 'Aku nggak mungkin mengorbankan kebahagiaan Dita demi ego dan kepentinganku sendiri.'Tak berselang lama, ponsel Dita kembali berdering nyaring. Ia menatapku dengan mata membulat sambil menunjukkan layar ponselnya padaku. "Erika, Pak Jefri telepon lagi. Gimana, nih?""Ya udah, Lo angkat aja. Tapi... gue masih nggak mau bicara sama dia," bisikku lirih, lalu segera membuang muka.Sedetik kemudian, suara Pak Jefri terdengar dari speaker ponsel Dita."Halo... Erika sama kamu, kan?" tanya Pak Jefri dengan nada dingin yang menusuk."Iya. Tapi... Erika sedang tidak mau bicara sama Bapak," jawab Dita jujur."Erika... Saya tahu kamu pasti mendengar suara saya," ucap Pak
Dengan tangan gemetar dan air mata yang terus berderai, aku berusaha menghubungi Dita melalui ponselku."Halo, Erika. Ada apa?" sahut Dita di seberang sana."Tolong gue, Dit... Gue butuh Ello..." isakku dengan napas yang mulai tersengal-sengal."Er... kenapa? Kok nangis?" Suara Dita terdengar sangat panik."Ello di mana? Gue butuh Ello sekarang juga...""Gue baru saja antar Sherly.""Gue mau nyusul Ello, Dit! Gue mau ketemu Ello sekarang juga!" Suaraku yang panik bercampur aduk dengan isak tangis yang semakin menjadi."Oke, oke. Gue share lock ya..."Setelah panggilan berakhir, aku bergegas memesan ojek daring melalui aplikasi. Tepat saat Pak Jefri melangkah keluar dari minimarket, aku langsung keluar dari mobil dengan air mata yang masih terus mengalir deras di pipi.Pak Jefri terlihat panik dari kejauhan. Ia berlari kecil menghampiriku yang sudah berdiri di pinggir jalan. "Erika, mau ke mana?!" teriaknya.Aku tidak menjawab dan langsung menghampiri ojek yang kebetulan sudah sampai d
"Ehem..." Pak Jefri terbatuk kecil sambil membuang muka, berpura-pura tidak mengerti pembicaraan mereka.Sementara itu, aku langsung bersembunyi di balik punggung lebarnya. Wajahku terasa panas dan terbakar malu. Dalam hatiku bergumam kesal, 'Sherly... ngapain, sih, tanya begituan...'Aku mendadak merasa gerah karena pertanyaannya. Sudah sebulan kami tidak bercinta, dan kata-kata dari Sherly seolah kembali membangkitkan gairah kami yang sempat padam. Apalagi sekarang tubuhku dan Pak Jefri saling menempel erat, menciptakan aliran listrik yang nyata di antara kami.Dita menyenggol lengan Sherly sambil mengalihkan pandangannya dari kami. "Nggak usah tanya. Telinga gue sampai budek dengerin desahan mereka di toilet kampus," sindirnya dengan nada sarkas yang tajam.Mendengar itu, wajahku refleks muncul ke permukaan. Aku menatap Dita dengan mata melotot. "Dita! Jadi Ello tahu semuanya?!" teriakku tak percaya."Gue pura-pura nggak tahu aja biar kalian senang," ucapnya sinis, lalu membalikkan
Beberapa saat kemudian, ponsel Pak Jefri berdering. Ia melepas pelukannya sebentar, lalu menjawab telepon itu menggunakan pengeras suara."Iya, Niken?""Saya sudah urus administrasi rumah sakit Non Erika, Pak.""Bagaimana dengan korban kecelakaan tadi?""Tidak ada korban jiwa maupun luka. Hanya mobilnya saja yang ringsek, sudah saya urus untuk pertanggungjawabannya.""Mobil Erika?""Sudah di bengkel asuransi juga, Pak.""Tidak ada masalah hukum?""Tidak, semua sudah aman."Pak Jefri menghela napas lega, guratan tegang di wajahnya perlahan memudar. Benarkah dia sekhawatir itu? Apa dia sungguh punya cinta yang begitu besar untukku?"Baiklah, Niken. Terima kasih."Setelah panggilan berakhir, seorang perawat datang untuk melepas infusku. "Sudah boleh pulang, Mbak," ucapnya ramah lalu beranjak pergi.Aku dan Pak Jefri saling bertatapan lama, sebelum akhirnya ia membuang napas panjang. "Ayo pulang," ucapnya dengan nada yang sengaja dibuat kasar, seolah masih kesal."Tapi kaki saya masih sak







